1650. Republik Kunang-kunang

25-04-2025

Bagi aktivis yang akrab dengan berdebarnya jantung di jaman old pastilah akan mengenal sosok Adi Sasono, Menteri Koperasi dan UKM di masa BJ. Habibie jadi presiden. Dalam rentang waktu relatif singkat, apalagi di masa transisi memang tidak mudah melaksanakan ‘idealisme’ dalam bentuk kongkretnya. Apalagi jika ‘suasana kebatinan’ perebutan kekuasaan menjadi denyut-udara dominan. Kerlap-kerlip kesempatan untuk menjadi wakil presiden bahkan presiden, atau hadirnya partai politik baru dengan ‘kedekatannya’, misal saat itu, Partai Daulat Rakyat membuat apa yang disebut Toynbee sebagai ‘hukum psikologi pertukaran budaya’ menemui ‘uji lapangan’-nya. Nilai (idealisme) yang ‘tinggi’ itu justru akan sulit diserap dibandingkan nilai yang lebih ‘rendah’, misal kesempatan nguntal, ngemplang dan seterusnya. Yang ‘ideal’ itu bisa-bisa tenggelam telak dalam ugal-ugalannya pragmatisme. Triliun-an rupiah digelontorkan untuk mendorong berkembangnya usaha tani dan usaha mikro saat itu melalui bank-bank pemerintah, dengan segala ‘maksud baik’-nya. Masalahnya beberapa tahun kemudian, ternyata bank-bank pemerintah itu harus ‘memutihkan kredit macet’ berdasarkan maunya pemerintah selanjutnya. Rentetan peristiwa ini ternyata tidak hanya sekali saja, tetapi berulang dan berulang. Bahkan ada yang membanding-bandingkan dengan besaran rupiah yang dikemplang dalam skema BLBI misalnya, atau jumlah yang dikorupsi. Tidak salah-salah amat memang, tetapi apa itu terus menjadi ‘kenormalan baru’? Apa iya republik akan berjalan seperti itu?

Melalui Ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960, ditetapkanlah Rencana Pembangunan Semesta Berencana dengan pilarnya adalah UU Pokok Agraria. ‘Suasana kebatinan’ dari hal di atas adalah keterpihakan pada ‘yang kecil-kecil’. Sayangnya dalam perjalanannya, bahkan sampai sekarang-pun keterpihakan pada ‘yang kecil-kecil’ itu masih jauh dari harapan. Jika kita bayangkan adanya trias economica (istilah dari B. Herry Priyono), tanah, modal, dan buruh, apapun latar belakangnya, faktanya ketiga hal tersebut berpuluh tahun seakan semakin ‘tersedot ke atas’ saja. Sampai sekarang. Jadi, ‘idealisme’ seperti dibayangkan oleh Adi Sasono saat menggelontorkan dana triliunan untuk UKT/UKM tidak hanya menghadapi tantangan ‘kultural’ seperti digambarkan Toynbee di atas, tetapi juga ada tantangan ‘struktural’-nya. Tantangan ‘struktural’ yang sudah begitu trampilnya menggunakan ‘deep frame’ perebutan kuasa sebagai alat pembusukan bahkan ‘legitimasi-penormalan’ melalui dorongan pragmatismenya. Laku evil seperti ngunthet, ngemplang, plang usaha abal-abal demi aliran dana/kredit, menjadi banal, menjadi normal-normal saja karena sihir ranah kuasa atau perebutan kuasa. Hasilnya? Status quo dimana trias economica nyatanya terus saja ‘tersedot ke atas’ tetap bertahan.

Menurut Braudel, gerak sejarah bisa dihayati dalam longue durée, conjunctures, dan short term atau event history. Event history kadang digambarkan sebagai kerlap-kerlip kunang-kunang di malam hari, kadang nampak, kadang tidak. Keberulangan rentetan peristiwa di atas seakan memberikan petunjuk bagaimana memang kerlap-kerlip kunang-kunang itu tidak hanya mempesona, tetapi juga telah begitu menyihirnya. Yang semestinya ada dalam event history itu seakan terhayati sebagai ‘dunia semestinya’. Kalau memakai istilah Van Peursen dalam Strategi Kebudayaan, terhayati sebagai ‘bablasan’ sikap mitis: magis. Menjadi gagal atau bahkan tidak mampu menapak tahap ontologis yang mungkin saja dengan itu akan mampu menempatkan event history itu dalam kerangka conjunctures bahkan longue durée-nya. Suka atau tidak, anti atau tidak, mempelajari karya Marx dan Engels sebenarnya bisa menjadi latihan dalam segala ayunan ketiga ‘nuansa’ seperti digambarkan oleh Braudel di atas.

Tulisan ini didorong oleh rencana alokasi 400 triliun rupiah (!) uang dari pembayar pajak untuk membuat delapan puluh ribu (!) koperasi desa, yang ditarget besok 12 Juli 2025 bertepatan dengan Hari Koperasi bisa dirayakan berdirinya. Sim-sa-la-bim, abracadabra! Blistering barnacles! Thundering typhoons! Asu Kabèh! *** (25-04-2025)

1651. MaCGA !

26-04-2025

Pada masanya ada MaNCGA, make national-car great again. Atau MaMGA, make mentality great again. Melalui revolusi mental, katanya. Atau juga, MaCGA, make capital-city great again, melalui proyek IKN itu. Dan besok 12 Juli saat peringatan Hari Koperasi mungkin saja kita akan dengar MaCGA, make cooperation great again. Dan diresmikan pula 80.000 koperasi desa dengan alokasi anggaran 400 T. Plok … plok … plok … plok … Belum lagi diulang-ulangnya hikayat tentang masa keemasan, besok-besoknya. Tahun sekian republik akan masuk masa keemasan, golden period. Atau soal ‘hilirisasi’. Juga ‘ekonomi meroket’. Atau di jaman old, soal ‘tinggal landas’. Mengapa hal-hal di atas -yang serba ‘abstrak-abstrak’ itu, bisa berulang dengan segala konsekuensi ‘gelap-terang’-nya? Karena bahasalah kita bisa bicara hal abstrak seperti beberapa contoh di atas. Karena bahasa kita bisa bicara soal imajinasi. Kita bisa bicara soal yang belum atau tidak hadir di depan hidung. Kita bisa asyik bicara pertandingan bola dan Drogba misalnya, meski pertandingannya baru nanti tengah malam. Tetapi imajinasi bisa berkembang sedemikian liarnya, maka penting untuk mengkomunikasikan imajinasi itu dengan imajinasi lain. Atau kembali cek-ricek dengan realitas yang ada. Atau bisa juga dibandingkan dengan pengalaman-pengalaman masa lalu, katakanlah sebagai ‘patok duga’-nya. Intinya, dengan bahasa pula kita bisa mulai mengambil sikap prudence juga.

Kadang-kadang imajinasi tentang masa depan kita beri nama sebagai harapan. Bahkan ada yang mengatakan harapan itu semacam ‘pulau kepastian’ di tengah segala gejolak samudra. Maka apapun itu, di dalam harapan ada ‘kekuatan’ tertentu, ada power. Bahkan bisa-bisa harapan adalah juga ‘senjata’, masalahnya siapa man behind the gun? Abraham J. Heschel, seorang filsuf yang juga rabbi Yahudi dalam Who Is Man (1965) pernah menulis bahwa ‘teori tentang bintang tidak akan mengubah esensi dari bintang, tetapi teori tentang manusia akan mengubah manusia secara mendasar’. Atau seperti dikatakan oleh Alasdair McIntyre dalam After Virtue (1981), manusia itu secara esensial adalah ‘storytelling animal’. Bagaimana akibat dari storytelling MAGA di Amerika sono tidak hanya membuat panas dinginnya warga Amerika, tetapi sampai republik juga. Bisa-bisa harga tempe-tahu naik ‘tanpa sebab’. Maka kita mengenal adanya propaganda, atau juga ‘bingkai’, bahkan ideologi. Juga agama. Macam-macam. Atau istilah ‘camera obscura’ yang dipakai oleh Marx terkait bermacam potensi distorsi realitas.

Erich Fromm dalam Revolusi Harapan menjadikan harapan sebagai salah satu tinjauan khusus. Menurutnya, harapan bisa sangat berperan dalam sebuah perubahan sosial. Tetapi bagaimana sebuah harapan bisa sungguh berperan dalam sebuah perubahan (positif) bagi hidup bersama? Nampaknya itu perlu ‘modal sosial’ yang cukup. Dan modal sosial terpenting adalah trust, kepercayaan. Masalahnya, bagaimana soal trust ini akan ‘dicapai’? Republik pernah punya pengalaman paling tidak sepuluh tahun terakhir, bagaimana soal trust ini ‘dikembangkan’ lebih pada tahap mitis, jika memakai istilah Van Peursen dalam Strategi Kebudayaan. Bahkan sudah dalam mode ‘bablasan’-nya: magis, paling tidak pernah muncul (sihir dari) term ‘orang baik’ itu. Orang disuruh percaya saja karena ia ‘orang baik’. Padahal ketika ‘tahap ontologis’ dibuka dengan inter-subyektifitas yang bisa semakin meraba hal esensi, dialog-perdebatan ini akan semakin memberikan dasar ketika tahap fungsionil, tahap ‘yang membuat dipercaya’ itu dioperasikan. Ketika soal trust itu lebih dibangun melalui tahap magis, maka tahap ontologis-pun seakan ‘dilompati’ saja, dan tahap fungsionil akhirnya (dengan tanpa beban lagi) terpeleset dalam mode ‘bablasan’-nya: operasionalisme. Kalau toh ada yang mencoba untuk menelisik mengusik hal esensi, ia tidak akan didengar, mbudeg. Maka ketika harapan ternyata tidak didukung oleh ‘modal sosial’ yang cukup, dapat dilihat ia justru menjadi ‘kontra-produktif’ karena akan hanya sebagai tirai asap saja. Berulang dan berulang, dari MaNCGA, MaMGA, hilirisasi, ekonomi meroket, dan seterusnya. Seakan rentetan peristiwanya sudah ‘pakem’. Termasuk ‘rentetan peristiwa lanjutan’ ketika tirai asap mau ditebar besok tanggal 12 Juli 2025, saat peringatan Hari Koperasi: MaCGA! Tirai asap yang akan menyembunyikan kemana sebenarnya larinya dana sebesar 400 T (!) itu. Uang-dana terkumpul dari keringat yang terhormat pembayar pajak. Déjà vu? *** (26-04-2025)

1652. Koperasi Sebagai Sihir

27-04-2025

“Ada hantu gentayangan di republik, hantu ugal-ugalan ‘bablasan’ rejim lama,” demikian pembukaan ‘manifesto’ pembayar pajak. Bertahun terakhir para pembayar pajak yang terhormat sebenarnya dengan mata telanjang melihat bagaimana pajak-pajak dikelola secara ugal-ugalan. Tanpa beban. Seakan pajak yang dikumpulkan itu adalah upeti saja, maka tidak perlu lagi mempertanggung-jawabkan penggunaannya. Termasuk masih saja pecingas-pecingis ketika uang pajak itu dikorupsi habis-habisan. Dalam jumlah dan keluasan yang tak terbayangkan sebelumnya. Proyek-proyek mercusuar megalomania seolah diputus tanpa memperhitungkan ‘perasaan’ dari para pembayar pajak. Semau-maunya. Utang dipompa seakan sudah seperti keranjingan saja, tak sebanding dengan pertumbuhan ekonomi yang nantinya akan menyediakan lapangan pekerjaan itu. Mengapa yang serba ugal-ugalan itu bisa menjadi begitu ugal-ugalannya?

Jika kita kembali merunut paling tidak sepuluh tahun terakhir, atau lebih beberapa tahun sebelumnya, maka akan nampak bagaimana gejala monarkisasi itu diorkestrasi. Ketika bukan presiden yang sedang bekerja, tetapi adalah sang-raja, sik-mono dalam mono-arki. Pernak-pernik ‘kemaha-rajaan’ diulang dan diulang terus saja ada di sekitar sik-mono. Lihat bagaimana sik-mono disuruh bertingkah setiap upacara 17 Agustus. Ia bertepuk pelan sambil tebar senyum ke kanan ke kiri sementara para menteri disuruh jogetan di depannya. Atau lempar-lempar bingkisan kepada rakyat di luar masa kampanye. Atau kegandrungannya akan kerumunan tanpa kenal waktu lagi. Bahkan sampai tega menjadikan bencana untuk citra diri. Jika memakai term Hofstede di awal-awal 1970-an, karakter komunitas dengan power distance tinggi itu memang sedang dieksploitasi habis-habisan.

Maka modal utamanya adalah: sihir. Siapa yang tidak melihat kekuatan dahsyat ketika Hitler menebar sihir-nya? Banyak penjelasan mengapa sihir semacam itu bisa bekerja. Gustave Le Bon (1841 - 1931) di bagian akhir abad 19 sudah menjelaskan dengan gamblangnya. Atau Wilhelm Reich (1897 - 1957) yang menjelaskan bagaimana fasisme itu bisa berkembang, yaitu ketika bawah sadar atau id (Reich adalah pengikut Freud) itu diotak-atik dalam genderang sihir. Tetapi tentu akan dilihat juga bagaimana ‘orkestrasi monarkisasi’ dapat berhasil, yaitu salah satunya terkait dengan efek bandwagon. Diperlukan sepuluh-duapuluh orang yang mengelu-elukan misalnya, maka akan membesar pula yang akan mengelu-elukan. Juga misalnya bagaimana para menteri itu -lapis ‘bangsawan’, harus mau jogetan di depan ‘sik-mono’. Dan banyak lagi rute ‘orkestrasi monarkisasi’ ini, terlebih ketika Komite Creel di AS sono -di sekitar waktu Revolusi Bolshevik pecah, mampu membuat rakyat Amerika saat itu menjadi keranjingan untuk ikut berperang dalam PD I. Mulai dari itulah ‘propaganda modern’ kemudian terus berkembang. Terus berkembang, contoh terkait Skandal Cambridge Analytica sepuluh tahun lalu ketika sosial media mulai merebak.

Tetapi sihir tentu ada ‘batas’-nya. Dari Rene Girard kita bisa belajar tentang ‘teori segitiga hasrat’ dimana S (subyek) akan menghasrati O (obyek) karena meniru M (model) yang menghasrati O. ‘Monarkisasi’ adalah upaya membuat sik-mono sebagai (satu-satunya) model yang akan ditiru oleh yang lain terkait apa mau-maunya dia (O), melalui jalan sihir. Masalahnya, bagi sik-bangsawan atau orang-orang sekitar ia adalah ‘model internal’ yang pada titik tertentu akan muncul ‘rivalitas’ dengan model, dalam hal ini sik-mono. Rivalitas yang bisa saja akan menghancurkan. Maka supaya rivalitas itu tidak menghancurkan, menurut Girard perlu dihadirkan sik-‘kambing hitam’. Pada titik inilah kita bisa membayangkan mengapa korupsi kemudian merebak dalam jumlah dan keluasan yang tak terbayangkan sebelumnya. Korupsi yang dibuka lebar bagi siapapun orang-orang dekat, apalagi lingkar ‘bangsawan’-nya sehingga rivalitas bisa dikendalikan. Yang tidak nampak adalah sebenarnya para pembayar pajak yang terhormat itu sedang diposisikan sebagai ‘kambing hitam’. Uang pajak yang dibayarkan pada republik dengan segala keringatnya itu sedang disembelih-dijarah habis-habisan dengan tanpa beban lagi. Tetapi yang namanya hasrat itu bisa-bisa the sky is the limit. Bagaimana jika minta lebih dan lebih? Ada lapis kedua untuk ‘pendisiplinan’, sandera kasus. Tetapi bagaimana dengan khalayak kebanyakan dimana memang sik-mono dengan segala sihirnya telah menjadi model? Karena ‘jarak’-nya maka bagi khalayak kebanyakan sik-mono adalah ‘model eksternal’ sehingga kecil untuk terjadinya rivalitas, tetapi bagaimana jika sihirnya perlahan berkurang khasiatnya? Noam Chomsky telah menunjukkan bahwa adanya inter-subyektifitas akan bisa mengganggu ‘status quo’. Contoh Arab Spring lalu itu. Maka tak mengherankan represi dalam bermacam bentuknya akan jadi pilihan. Bentuk tanpa mlipir lagi sebagai ‘sandera kasus’.

Koperasi sebagai sihir dalam judul adalah terkait dengan rencana membangun 80.000 koperasi desa yang 80 hari mendatang (harus) sudah bisa diresmikan. Abracadabra! Biayanya fantasis, 400 Triliun. Asal uangnya dari yang terhormat pembayar pajak. Diharapkan setahun-dua tahun dari Rp 400 triliun, modal yang dikucurkan untuk kopdes bisa menjadi Rp 2000 triliun, kata Wakil Menteri Koperasi Ferry Juliantono saat ditemui di Kementrian Koordinator Bidang Pangan, Senin (14/4).[1] Sim-sa-la-bim, abracadabra! Blistering barnacles! Thundering typhoons! Asu Kabèèèh! *** (27-04-2025)

[1] , https://katadata.co.id/berita/industri/67fcb95c64dc8/modal-rp-400-triliun-kopdes-bisa-cuan-hingga-rp-2000-triliun

1653. Mitis Ontologis Fungsionil

28-04-2025

Mitis, ontologis, dan fungsionil adalah istilah Van Peursen tentang tahap-tahap kebudayaan dalam Strategi Kebudayaan, terbit pertama kali dalam bahasa Belanda awal tahun 1970-an. Jika kita hidup dalam sebuah ‘lingkaran’, dalam tahap mitis seakan kita terkungkung dalam ‘lingkaran’ itu. Tahap ontologis, ‘lingkaran’ seakan mengalami keretakannya, kita kemudian bisa mengajukan berbagai pertanyaan. Tahap fungsionil, tidak hanya mengalami keretakan, tetapi terbukanya ‘lingkaran’ itu membuat kita mampu aktif bekerja sama misalnya, atau menjadi aktif dalam ‘mengubah dunia’. Tahap-tahap di atas bukan berarti yang satu lebih tinggi dibanding dengan yang lain karena dalam keseharian ketiganya bisa-bisa ada secara bersamaan atau simultan. Bahkan hidup keseharian kita, sadar atau tidak lebih banyak dijalani dalam tahap mitis, yaitu hidup dijalani sebagian besar dengan modus taken for granted saja. Atau kadang kita masih percaya satu dua takhayul, atau bermacam mitos meski kemajuan tekhnologi sudah sedemikian rupa. Dalam dunia Marxian kita mengenal istilah camera obscura, juga istilah kritik-otokritik, dan ungkapan Marx dalam Theses on Feuerbach (tesis XI): “The philosophers have only interpreted the world, in various ways. The point, however, is to change.” Atau yang pernah dikatakan John F. Kennedy beberapa tahun sebelum Strategi Kebudayaan terbit: “The great enemy of the truth is very often not the lie - deliberate, contrived, and dishonest - but the myth - persistent, persuasive, and unrealistic. Too often we hold fast to the cliches of our forebears... We enjoy the comfort of opinion without the discomfort of thought."

Ciri khas kebudayaan terdapat dalam kemampuan manusia untuk mengajar dirinya sendiri. Kebudayaan merupakan semacam sekolah di mana manusia dapat belajar. Dalam kebudayaan manusia tidak hanya bertanya bagaimana sifat-sifat sesuatu, melainkan pula bagaimana sesuatu seharusnya bersifat,” demikian ditulis Van Peursen dalam Strategi Kebudayaan (hlm. 14) mengutip pendapat Immanuel Kant. Beberapa hal di atas, termasuk kutipan-kutipannya adalah upaya untuk mengajukan pertanyaan yang ‘tepat’ terhadap situasi yang berkembang termasuk juga ‘bagaimana sesuatu seharusnya bersifat’. Tetapi sebelum sampai di situ, perlu diingat bahwa menurut Van Peursen ketiga ‘tahap’ kebudayaan di atas masing-masing mempunyai mode ‘bablasan’-nya. Tahap mitis bisa ‘mengeras’ menjadi magis, tahap ontologis bisa bablas menjadi eskapisme, sedang tahap fungsionil bisa tanpa sadar tenggelam dalam operasionalisme. Dalam ranah olah-kuasa, ketiga bablasan itu bisa saja kemudian dieksploitasi sedemikian rupa demi keuntungan dalam olah-kekuasaan. Bagaimana Wilhelm Reich menggambarkan berkembangnya fasisme dengan pintu masuk eksploitasi ketidak-sadaran atau id (Freudian). Mungkin saja ada bagian spekulasinya, tetapi dalam praktek mungkinkah kita membayangkan adanya ‘kesesuaian’ antara mitis, ontologis, fungsionil dengan id, super-ego, ego? Bagaimana ketika olah-kuasa lebih banyak eksploitasi tahap mitis bahkan mode bablasannya, magis? Yang kalau itu kita pahami sebagai id, itu merupakan bagian terbesar dari kesadaran? Bandingkan dengan ketika sebagian besar hidup dijalani dengan modus taken for granted seperti sudah disinggung di depan. Jika itu yang terjadi, apa yang kemudian tertekan? Apakah tahap ontologis yang terus saja tertekan dan dipinggirkan kemudian memunculkan frase: “Etik ndasmu” itu? Atau berjalan dengan sama sekali tanpa ‘ideologi’? Atau tahap fungsionil yang kemudian justru terjerumus dalam operasionalisme? Kerja, kerja, kerja, dan sama sekali tanpa pertimbangan lagi dari para ‘teknokrat’? *** (28-04-2025)

1654. Bonus Moral Rendah

29--04-2025

Bonus adalah kata serapan bahasa asing dan artinya dikaitkan dengan sesuatu diterima ekstra karena kinerja luar biasa. Jadi judul sebenarnya agak kontradiktif, kok kata bonus berdampingan dengan ‘moral rendah’. Dari pengertian di atas maka kata bonus sebenarnya terkait dengan peristiwa sebelumnya, dalam hal ini ‘kinerja luar biasa’. Maka ketika kata bonus didampingkan dengan ‘moral rendal’ seperti ada dalam judul, yang dimaksudkan adalah ada kinerja yang ‘luar biasa rendah moralnya’ di masa sebelumnya yang akhirnya (sekarang) ber-bonus ‘moral rendah’ itu. Atau bisa dikatakan, menebar angin menuai badai.

Masalah di atas sedikit banyak tergambarkan di X, “Mau nyawapres, otak-atik konstitusi. Mau menang, otak-atik bansos. Bikin Lapor Wapres, otak-atik pelapor. Bikin channel Youtube, otak-atik like dan views.”[1] Yang terakhir adalah ketika salah satu unggahan si-Wapres itu -di YouTube, yang nge-like ternyata belipat-lipat jumlahnya dari yang views. Unggahan sebelumnya terkait dengan ‘Bonus Demografi’ memberikan data yang ‘buram’, yang dis-like ternyata jauuuh lebih banyak dari yang nge-like. Mungkin ini yang memprovokasi untuk mem-booster like di unggahan selanjutnya. Me-manipulasi like, katakanlah begitu. Tanpa beban, tanpa hitung-hitungan lagi. Apakah ini hanya sekedar permainan views, like, dan dislike? Dalam ranah privat, silahkan saja main-main like misalnya, demi apapun itu. Jualan jadi lancar, misalnya. Tetapi jika itu dilakukan oleh pejabat publik di ranah publik? Pejabat publik yang bisa saja mempunyai kuasa untuk menggerakan yang pegang senjata?

Pejabat publik memang diharapkan mempunyai tingkat moral tinggi. Selain karena tanggung jawab publik-nya, juga karena ada atau banyak hidup kesehariannya itu ditopang oleh pajak yang dikumpulkan dari keringat warga negara. Jika dalam perkara ‘kecil’ seperti ‘permainan views, like, dislike di channel YouTube saja tidak menampakkan ia ‘tahu batas’, bagaimana ketika berhadapan dengan ‘perkara-perkara besar’? ‘Pemimpin’ yang tidak terlatih untuk ‘tahu batas’ ia tidak akan pernah paham apa ‘yang sedang dipertaruhkan’. ‘Pemimpin’ seperti itu pada titik tertentu bahkan republik-pun akan ia gadaikan pula dengan tanpa beban lagi. Super amit-amit. *** (29-04-2025)

[1] https://x.com/uyoktweet/status/1916517461777936580