1690. (Menulis Ulang) Sejarah Kegilaan

10-06-2025

Mungkinkah diantara founding fathers yang ikut merumuskan Pembukaan UUD 1945 dan memang faktanya lekat dengan gerakan antithesis terhadap penjajahan, akhirnya menemukan sintesisnya seperti tergambarkan dalam Pembukaan dan Proklamasi? Dan bahkan kemudian terhayati sebagai ‘jiwa absolut’ yang akan menentukan segala peristiwa di kemudian hari? Atau kemudian terhayati sebagai ‘asas tunggal’? ‘Ke-absolut-an’ yang seakan melumpuhkan kemampuan untuk ‘menunda’ atau dalam Fenomenologi disebut sebagai epoche itu. Yang dengan itu pula (epoche) siapa tahu realitas akan semakin menampakkan diri. Siapa tahu pula semakin menampakkan diri sebagai anti-tesis. Pembukaan dan Proklamasi tiba-tiba adalah sebuah tesis yang sedang berhadapan dengan anti-tesisnya. Dan mungkin saja muncul sintesis yang akan menjadi tesis baru: bubar.

Perbudakan, kolonialisme, exploitation de l’homme par l’homme, adalah sebagian yang bisa disebut dari sisi gelap manusia. Dari sisi kegilaan manusia. Dan ternyata ‘yang nyata’ itu tidak hanya ‘yang rasional’ saja. Kegilaan hasrat bahkan mempunyai potensi besar untuk memperbudak rasio. ‘Kejahatan logika’ itu bisa-bisa lekat dengan ‘kejahatan hasrat’. Dan hasrat apa yang mempunyai potensi kegilaan paling besar? Hasrat akan uang? Tapi lihat dalam film Wall Street (1987) ketika juga neoliberalisme seakan ada di atas angin, Gordon Gekko (Michael Douglas) sudah membaptis bahwa greed is good: bukan kegilaan, katanya. Dan bagaimana jika keserakahan (akan uang) ini akhirnya memperbudak ke-absolut-an ‘rasionalitas negara’? Apakah sudah waktunya keserakahan yang memperbudak ‘negara’ itu adalah juga sebuah tesis baru yang (semestinya) akan menghadirkan anti-tesisnya?

Jika hari-hari ini ada keinginan kuat dari penguasa untuk menulis ulang sejarah, maka dari sekian klaster sejarah ada baiknya ditulis juga sejarah tentang bagaimana bermacam kegilaan telah ikut mewarnai perjalanan republik. Termasuk juga bagaimana kegilaan itu tidak hanya terus ‘dinormalkan’ tetapi juga ditutupi oleh segala selubung ‘ke-absolut-an’, entah itu negara atau segala angan tentang kebesaran di masa depan. Realitas kegilaan yang memang sungguh nyata ada. Tetapi bagaimana sejarah kegilaan akan ditulis ketika kegilaan itu sendiri masih begitu dalamnya? Maka itu (‘sejarah kegilaan’) akan ditulis bukan sebagai ‘doktrin resmi’ tetapi sebagai sejarah perlawanan, dan sekali lagi, sebagai anti-tesis. *** (10-06-2025)

1691. Sebulan Lagi, 240 Triliun!

11-06-2025

You can sway a thousand men by appealing to their prejudices quicker than you can convince one man by logic ― Robert A. Heinlein

Bisakah anda bayangkan ketika korupsi sudah tidak melibatkan hanya milyaran atau triliunan rupiah, tetapi sudah puluhan triliun bahkan ratusan triliun? Atau dari Sabang sampai Merauke, jika meminjam kegilaan Trump: drill, baby, drill. Gali-gali-gali semua tambang itu dengan paradigma at all cost. Demi siapa? Demi kegilaan sik-Machiavelli dalam menumpuk harta! Machiavelli yang menua, demikian kata Leo Strauss. Semua tambang kalau perlu ‘di-privatisasi’ dan di-distribusikan pada lu lagi lu lagi. Baik itu ‘legal’ atau ‘ilegal’. Kalau perlu digeser ke propinsi lain yang ‘ramah lu lagi lu lagi’. Gila. Brutal. Belum lagi accumulation by dispossession yang tanpa beban lagi menggangsir bermacam dana pensiun itu, atau dana pekerja di Jamsostek. Atau dana haji. Melalui salah satu rute accumulation by dispossession (David Harvey): finansialisasi. Satu bulan lagi kita akan melihat bagaimana ‘manipulasi dan manajemen krisis’ akan menari-nari di atas panggung. Krisis yang terjadi di banyak desa-desa itu: kemiskinan dan keterjeratan terhadap tangan-tangan panjang bermacam mafia, sedang diorkestrasi untuk menyamarkan bagaimana salah satu bentuk accumulation by dispossession: finansialisasi, dimainken. Tidak akan jauh-jauh amat dari sritex-isasi, hanya saja ini dimainken sacara kolosal. Dan sekali dayung dua pulau dalam hal ini, hikayat menggangsir dan membangun jaringan politik. Jaringan politik di desa-desa yang akan digaji 8 juta per bulan! Judul Lakon di panggung: Koperasi DMP, tahap pertama dibuka sebulan lagi sebesar 240 triliun dari rencana 400 triliun!

Semakin nampak yang dihadapi bertahun terakhir sudah bukan ‘kejahatan hasrat’ lagi, tetapi ‘kegilaan hasrat’. Maka semakin ke sini semakin terasa tepat saja istilah ‘termul’ itu: ternak mulyono. Karena orang-orang itu semakin menampakkan diri saja lebih mendekat pada perilaku binatang dengan hilangnya hal timbang menimbang sebagai salah satu imbangan dari gejolak hasrat. Tidak ada kepentingan lain selain kepentingan diri dan komplotannya. Bahkan untuk menormalkan situasi, dibukalah tutup kotak Pandora itu lebar-lebar, semua kejahatan kemudian seakan menjadi normal-normal saja bebas beredar di tengah republik. Bahkan harapan yang ikut keluarpun dipermainkan habis-habisan dengan ngibul yang sudah tidak tahu batas lagi. Res-publika kemudian bergeser lebih merupakan bagian dari ilmu zoology. Dengan segala ke-brutal-annya. *** (11-06-2025)

1692. Keranjingan Kerumunan

13-06-2025

Pengalaman adalah pelajaran yang paling berharga, katanya. Pengalaman apa dapat diperoleh bertahun terakhir terkait kekuasaan dalam praktek? Tentu banyak, tetapi pada kesempatan ini terkait dengan kerumunan. Ada yang keranjingan pada kerumunan, atau bahkan kecanduan kerumunan dalam olah kuasa. Dari kerumunan kamerawan yang selalu menguntit, kerumunan dari hasil survei, kerumunan digital yang dimobilisir untuk sebuah ‘trending’, atau kerumunan di ‘lapangan’ dalam bermacam peristiwa. Atau kerumunan yang sibuk membicarakan dia, atau sesuatu. Macam-macam. Bahkan sampai menggunakan media lempar-lempar bingkisan segala. Atau setiap Agustus-an, setelah upacara dan di tempat yang sama, di depannya kerumunan adipati sedang berjoget. Disuruh berjoget. Disaksikan oleh ‘sik-raja’ dengan angguk-angguk kecil sambil pecingas-pecingis. Komplit dengan tepuk tangan ringan a la Mafioso. Raja tentu tak boleh berjoget bersama para abdi. Macam-macam, namanya saja sudah kecanduan. Jadi bukan ‘raja jawa’ atau lainnya, tetapi ‘raja kerumunan’. Tak peduli kerumunan asli, palsu, atau bayaran.

Banyak pendapat yang mungkin muncul terkait peristiwa di atas. Macam-macam. Kerumunan dalam praktek kuasa sudah ada sejak sejak dulu. Istilah ‘roti dan sirkus’ sudah dikenal lebih dari 2000 tahun lalu. Raja-raja tidak akan ada jika tidak ada kerumunan dalam bermacam peristiwa. ‘Tekhnologi’ axis mundi tidak akan muncul jika tidak ada kerumunan yang menghidup-hidupinya. Bahkan tilikan Manuel Castell tentang masyarakat jaringan-pun tidak lepas bagaimana kerumunan menempatkan diri. Masyarakat dan kerumunan memang beda, tetapi dalam praktek kuasa kadang masyarakat dihayati oleh sang-penguasa tidak lebih dari sekedar kerumunan saja. Dan inilah yang menjadi fokus tulisan, keranjingan akan kerumunan itu perlahan kemudian menggeser persepsi sang-penguasa terhadap masyarakat sehingga lebih dihayati sebagai kerumunan saja.

Atau kalau meminjam istilah Braudel meski spekulatif sifatnya, kerumunan itu adalah event history, masyarakat mid-term, dan peradaban adalah longue duree. Bisa dibayangkan juga ketika masyarakat kemudian dihayati sebagai kerumunan maka yang dipertaruhkan adalah juga peradaban. Mengapa kerumunan mempunyai potensi merusak peradaban ketika menjadi pusat gravitasi olah kuasa? Gustav Le Bon pernah mengingatkan terkait dengan ‘anonimitas kerumunan’. Anonim adalah serapan dari bahasa asing yang dari asal katanya dekat dengan pengertian ‘tanpa nama’. Individu-individu yang larut dalam kerumunan itu seakan menjadi ‘tanpa nama’ lagi. Dan bisa jadi ‘subyek’pun akan melenyap. Atau kalau dalam film kartun, pemilik modal tiba-tiba saja melihat manusia-manusia dalam kerumunan itu nampak menjadi lambang dollar atau rupiah.

Maka manusia-manusia dalam kerumunan itu akan terhayati sebagai obyek belaka. Dan relasi antara penguasa dan kerumunan itu jika memakai istilah Martin Buber, adalah relasi I-it. Terlebih dalam komunitas dengan power distance tinggi (Hofstede): yang keranjingan bisa-bisa menjadi kecanduan. Tetapi dalam demokrasi, bukankah memang tidak mungkin lepas dari olah kerumunan? Dalam rejim monarki - aristokrasi, bisa dikatakan yang ‘butuh’ kerumunan adalah sik-mono, atau sik-aristo. Sedang dalam rejim demokrasi, mestinya kerumunan itu tercipta karena mau-maunya sik-demos. Maka adalah penting untuk memberi kandang ketat terhadap kemungkinan ‘manipulasi tingkat dewa’ terkait kerumunan yang sudah dilepas dari mau-maunya sik-demos, yaitu ada di rentang kampanye saja. Bermacam tehnik manipulasi modern, ‘manipulasi tingkat dewa’ yang sudah berkembang sejak awal abad 20 itu. Keranjingan atau bahkan kecanduan kerumunan dalam olah kuasa adalah bablasan dari rentang kampanye. Tiada hari yang tidak diupayakan untuk mengolah kerumunan seakan sedang kampanye saja. Tiada hari yang tidak mengerahkan buzzerRp untuk membangun kerumunan digital. Dan seterusnya.

Kampanye dalam rejim demokrasi, terlebih terkait dengan rentang pemilihan umum, suka atau tidak jika memakai pembedaan tahap-tahap kebudayaannya Van Peursen dalam Strategi Kebudayaan, akan lekat dengan eksploitasi tahap mitis. Selalu akan ada upaya ‘mengurung’ yang banyak sehingga itu pula yang akan dibawa ke bilik-bilik coblosan. Mungkin saja akan ada bentuk dialog -relasi I-thou (Martin Buber), yang menggali bersama apa yang menjadi ‘esensi’ masalah: tahap ontologis, tetapi tetap saja itu akan mempunyai potensi besar sebagai yang minor saat itu. Jepang adalah negara yang mengeluarkan peraturan ketat dalam kampanye politik. Aturan dalam segala pernak-pernik kampanye politik. Salah satu yang ditekankan oleh Public Official Election Act (POEL) di Jepang sana adalah “election campaign by candidate are permitted only during the election period.”[1] Dan banyak lagi. Jadi, mengapa dalam hal ini tidak belajar dari Jepang saja? Sudah terbukti. *** (13-06-2025)

[1] Masahiro Usaki, Restriction on Political Campaigns in Japan, 1990 (Bisa dicari via google)

1693. Dari Epstein Files ke Epstein-Barr?

14-06-2025

Bertahun terakhir kita bisa melihat dengan telanjangnya bagaimana orang bisa mau melakukan hal-hal ‘di luar nalar’ akibat sandera kasus. Kita membayangkan orang dengan kapasitas seperti itu semestinya hil yang mustahal untuk melakukan hal-hal yang ‘di luar nalar’ itu. Tapi nyatanya terjadi juga, bahkan jika disuruh kayang atau koprol sekalipun akan dilakukan. Bertahun sebelum media sosial merebak, dan jaringan internet sedang mulai menyebar, Manuel Castells telah memperingatkan bahwa nantinya di era Informasi, politik skandal akan menempati posisi penting. Sebelum internet masuk dalam keseharian - beberapa tahun sebelum Manuel Castells menulis triloginya, Gary Hart yang digadang-gadang menjadi calon presiden dari Partai Demokrat tersandung sebuah foto dengan Dona Rice di tahun 1987. Muncul di sebuah majalah cetak. Jika itu masuk dalam logika ‘Epstein files’, foto seperti itu akan disimpan saja dan tidak dipublikasikan untuk menjadi senjata dalam ‘sandera kasus’ jika siapa tahu nantinya Gary Hart jadi presiden, misalnya. Atau menjadi bagian dari ‘politik skandal’ seperti dimaksud oleh Castells di atas.

Dalam trilogy yang terbit di dekade terakhir abad 20, Manuel Castells juga menyebut akan adanya ketegangan antara the net dan the self dalam Revolusi Informasi ke depannya. “Man is essentially a story-telling animal. That means I can only answer the question ‘what am I to do’ if I can answer the prior question of ‘what story or stories do I find myself a part of?” Demikian ditulis Alasdair MacIntyre dalam After Virtue beberapa tahun sebelum trilogy Castells terbit. Bisa dibayangkan salah satu sumber utama dari bangunan stories di atas bisa saja akan ada-terbangun dalam dinamika the net. Masalahnya, bagaimana I find myself a part of jika kaki-tangan tersandera kasus? Istilah ‘jati diri’ dalam hal ini memang sengaja dihindari karena sering sudah mengalami ‘inflasi’-nya. Kegagapan republik bertahun terakhir dalam menghadapi bermacam dinamika the net rasa-rasanya salah satu sumber utamanya adalah keranjingannya akan ‘politik skandal’ ini. Pertanyaan ‘what am I to do’ tidak pernah terjawab secara otentik.

Peristiwa yang membangun Epstein Files dimulai tak jauh-jauh amat dari terbitnya triloginya Manuel Castells. Dan peristiwa itu tak jauh-jauh amat dari kegilaan hasrat, terutama hasrat akan seks. Tidak hanya itu, tetapi ternyata banyak melibatkan wanita-wanita muda. Anak-anak? Masih belum terkuak memang. Jelasnya, ternyata Epstein itu mucikari. Dan pelanggannya kalangan ‘elit’, yang menurut Elon Musk ketika perang kata-kata dengan Trump, jika Epstein Files itu dibuka semua, Trump katakanlah akan ‘kesulitan’. Tetapi dalam konteks ‘politik skandal’, masalahnya bukan sekedar ‘kesulitan’ lagi, tetapi bisa-bisa membuat -jika memakai istilah Castells, the self perlahan akan melenyap. Jika itu terkait dengan kekuasaan, kuasa bisa-bisa berkembang menjadi ‘tanpa wajah’ lagi. Dalam pertemuan tatap-muka, face-to-face, ada sebuah etika yang berkembang menurut Levinas. Seakan kita dalam pertemuan tatap-muka itu dituntut untuk ikut bertanggung jawab terhadap ‘yang lain’. Ekstremnya, ‘yang lain’ itu seakan sedang menyampaikan pada kita, ‘jangan bunuh saya’. Ketika kuasa semakin ‘tanpa wajah’ karena jeratan ‘politik skandal’, maka bisa dikatakan juga ia semakin menjauh dari penghayatan akan etika. Ada yang menyebut abad 21 semestinya menjadi Abad Etika, nampaknya itu perlu perjuangan yang tidak kecil. Bahkan etika bisa-bisa terkapar berhadapan dengan soal perkontholan dan pertempikan yang sudah berubah menjadi ‘politik skandal’. Sudah terlanjur membuat analisa ‘tingkat dewa’, ternyata port de entrée segala kegelapan itu berasal dari perkontholan dan pertempikan. Kucluk berat-lah ... *** (14-06-2025)

Catatan: Epstein-Barr adalah virus yang bisa menular lewat ludah atau cairan tubuh lain. Salah satu akibat jangka panjang yang meski jarang terjadi adalah kanker.

Gary Hart, Dona Rice, 1987

1694. "Tone positif" yang Tak Terdukung

16-06-2025

Menulis ulang sejarah dalam ‘tone positif’? Lihat tone yang sedang dialami republik, ada petinggi dengan tanpa beban mengatakan yang sedang mempermasalahkan ijazah sik-J itu sebagai sakit jiwa! Apakah nantinya yang mempersoalkan peristiwa pemerkosaan massal-brutal juga akan disebut sebagai yang sakit jiwa? Tone asal ancam. Belum tone-tone lain terkait korupsi. Perusakan alam demi tambang. Tone asal mangap asal njeplak. Tone tipu-tipu yang sudah tidak tahu batas lagi. Dan masih banyak lagi tone-tone negatif di republik seakan sudah tanpa jeda lagi. Juga tone-tone yang dibawa oleh berita PHK. Tone-tone sulitnya cari pekerjaan. Tone-tone tentang berita kemiskinan. Turunnya kelas menengah. Tone universitas diobok-obok. Ketika republik yang sedang dialami sekarang ini seakan terjerembab dalam tone-tone negatif, ada yang berpikir untuk menulis sejarah dalam tone positif-nya. Maka tak mengherankan jika dari akun X Kang A misalnya menulis: tone positif ndas-mu!

Jika yang mau ditulis ulang adalah sejarah pribadi, maka lain urusannya. Bahkan ketika saat ini sedang dalam tone negatif, masih mungkin meski dengan susah payah tone negatif itu ‘ditunda’ lebih dahulu untuk memberikan kesempatan tone positif mewarnai tulis ulangnya. Bebas, terlebih jika tulis ulang toh hanya untuk album pribadi dan dinikmati sendiri. Mau ditulis begitu lahir langsung kayang dan koprolpun silakan. Atau lahir di pinggir kali langsung bisa bicara ko-mit-men, misalnya. Tetapi jika bicara soal sejarah bersama maka itu akan lekat dengan, katakanlah, intersubyektifitas, yang akan mengandaikan tidak hanya saling terbuka, tetapi juga ‘kesetaraan’. Yang saling membuka diri itu adalah manusia-manusia, dan bukan it jika memakai istilah Martin Buber dalam menggambarkan relasi komunkasi I-it.

Menurut Edmund Husserl, pelopor gerakan Fenomenologi di awal abad-20, kesadaran itu semestinyalah sadar akan sesuatu. Sesuatu itu bisa macam-macam, benda kongkret sampai ingatan, masa lalu. Juga mimpi, imajinasi. Atau masa depan. Hal di atas juga menunjukkan bahwa ada batas di situ. Tidak bisa sadar akan sesuatu itu diganti dengan sadar akan semuanya. Di pihak lain sesuatu itu akan memberikan dirinya pada kita tidak pernah komplit keseluruhan. Ketika kita melihat kubus misalnya, mungkin yang kita lihat hanya bentuk jajaran genjang, bukan keseluruhan kubus. Jadi yang memberikan dirinya pada kita itupun ada batasnya juga. Tetapi mengapa meski serba ‘ada batas’ itu kita bisa melihat bahwa itu kubus, misalnya? Maka kita bicara di sini soal endapan, ingatan, apa-apa yang sudah dialami di masa lalu. Seakan sudah taken for granted saja. Sebagian besar hidup kita akan dijalani dengan modus seperti itu, taken for granted. Atau dalam istilah Husserl, sikap alamiah, natural attitude. Biasa saja. Atau kalau dalam Strategi Kebudayaannya Van Peursen, sikap mitis, ontologis, dan fungsional itu bisa ada terus beredar dalam hidup, bukan soal mana yang lebih tinggi.

Husserl juga mengenalkan istilah sikap fenomenologis, phenomenological attitude. Endapan, ingatan, yang memberikan ‘habitat’ bagi sikap taken for granted itu ‘ditunda’ lebih dahulu, diberi ‘tanda kurung’, epoche. Kemudian kita terlibat dalam relasi dengan sesuatu itu seakan sebagai pemula. Yang menampakkan diri sebagai jajaran genjang itu, soal perkubusan kita tunda lebih dulu, dan sebagai pemula kita melihat dari bermacam sisinya, aspeknya, atau profilnya. Dan kalau perlu imajinasi kita tentang jajaran genjang itu adalah kubus setelah melakukan langkah-langkah di atas kita komunikasikan dengan imajinasi lain yang juga melihat penampakan jajaran genjang itu. Atau kita kembali pada realitas jajaran genjang itu, kita ukur masing-masing panjang sisinya, dan ternyata memang: kubus. Maka bisa dibayangkan betapa repot jika hidup tidak dijalani sebagian besarnya dengan modus taken for granted. Dalam Strategi Kebudayaan seperti di atas, tahap ontologis kiranya tak jauh-jauh dari dinamika sikap fenomenologis.

Terkait dengan ‘waktu’, Fenomenologi membedakan tiga macam waktu, pertama, waktu obyektif yang bisa diukur melalui detik, menit, jam, atau waktu di kalender. Siapa saja bisa mengukurnya dengan sama. Waktu subyektif adalah rentang yang sungguh kita alami. Sama-sama lima menit, tetapi saat bercanda gayeng dengan teman serasa cepat berlalu. Tetapi dengan kecemasan di ruang tunggu UGD saat teman ditangani tim medis karena kedaruratan, rasanya akan lama. Jenis ketiga adalah waktu dalam arti paling primordial, consciousness of internal time. Jika ada nada 1-2-3, dan sekarang kita mendengar nada 2, nada 1 bukannya terus menghilang, tetapi seakan tertahan, mengalami retensi, sedang nada 3 yang belum hadir itu seakan sudah kita antisipasi. Aliran, flow itulah yang disebut sebagai consciousness of internal time. Hal-hal di atas pada akhirnya akan membangun ‘dunia kehidupan’ kita, terutama waktu subyektif dan consciousness of internal time, dan (terutama) juga sikap alamiah kita. Dengan segala intersubyektivitas kita perlahan ‘pengetahuan umum’ terbangun sebagai bagian utama dari ‘dunia kehidupan’ -lifeworld, kita sehari-hari. Yang mau disampaikan dalam konteks tulisan ini adalah, segala tone-tone di atas (di luar ‘tone positif’ yang digagas oleh penguasa dalam upaya tulis ulang sejarah itu), adalah tone-tone yang dialami oleh kebanyakan khalayak, dan perlahan itulah yang membangun ‘dunia kehidupan’-nya, langsung atau tidak. Bertahun terakhir segala ‘propaganda modern’ itu merasa bisa mengkooptasi ‘dunia kehidupan’ keseharian yang kongkret dialami oleh khalayak kebanyakan. Seakan keluaran dari ‘propaganda modern’ itulah yang nyata. Inilah sumber krisis yang sebenarnya. Inilah krisis partai politik yang mendasar, semakin terlepas dari ‘dunia kehidupan’ keseharian dari alasan adanya. Termasuk ‘partai tone positif’ itu. Lupa yang dialami khalayak kebanyakan adalah tone-tone negatif.

Di komunitas yang berhasil ‘mengelola’ sejarah gelapnya adalah yang berhasil membangun tone-tone positif dalam hidup bersama. Jika itu di republik maka soal pemberantasan korupsi akan menjadi sangat penting. Selama korupsi, kong ka li kong, pat gu li pat, pemburuan rente semakin ugal-ugalan, hukum yang terus saja dipermainkan, maka pada akhirnya yang beredar adalah tone-tone negatif. Lalu apakah jika korupsi bisa diberantas dan sebagainya seperti disinggung di atas bisa ‘diatasi’ kemudian menulis ulang sejarah bisa dalam tone positif seperti dibayangkan oleh penguasa saat ini? Tidak juga. Tetapi tone positif itu berarti bahwa kemudian berkembang ‘suasana kebatinan’ yang memberikan keluasan dan kedalaman dalam ‘intersubyektifitas’. Itulah tone positif yang tidak terjebak dalam sebuah operasionalisme jika memakai bablasan tahap fungsionil dalam Strategi Kebudayaan. Salah satu ciri operasionalisme adalah mengingkari adanya perdebatan, sebuah pragmatisme habis-habisan. Dan jamak orang bilang bahwa di belakang pragmatisme habis-habisan itu pasti ada kepentingan tersembunyinya. ‘Nada-nada 1-2-3’ dalam tone positif-nya, ketika sampai pada sebuah antisipasi: perdebatan tidak berarti pula membuat luka-luka baru. Kebenaran sebagai pelajaran bersamalah yang menjadi ‘pihak ketiga’-nya. Sepahit sekelam apapun ketika kebenaran terkuak. Dan itupun belum pasti berhasil. Tetapi meski begitu, ternyata dimungkinkan juga untuk berhasil. Pengalaman komunitas lain bisa menjadi pelajaran juga. *** (16-06-2025)