1655. Kosongnya 'Suasana Kebatinan'
30-04-2025
Beberapa hari ini hadir berita mundurnya Hasan Nasbi sebagai Kepala Kantor Komunikasi Presiden Republik Indonesia. Sudah sepantasnya sebab apa yang dikatakannya terkait dengan kasus ‘kepala babi’ itu memang sungguh ‘merusak suasana’. Sebelum mundur mestinya ditendang lebih dahulu. Ditendang masuk got. Merusak ‘suasana kebatinan’ hidup bersama saja. Bertahun terakhir rasanya memang ‘suasana kebatinan’ hidup republik serasa diacak-acak. Asak njeplak-nya Hasan Nasbi terkait kasus ‘kepala babi’ itu seakan memang asal mangap asal njeplak sik-penguasa sudah banal saja. ‘Bawah sadar’ penguasa bertahun terakhir nampaknya salah satunya ya ‘memang begitu itu’. Semau-maunya, termasuk bacot-bacot yang sudah kendor sekrup-sekrupnya itu. Lucu? Tidaklah …, mari kita lihat bersama.
Dari mana ‘suasana kebatinan’ republik semestinya mengalir? Itu mestinya bersumber dari Pembukaan UUD 1945. Tetapi apakah ‘suasana kebatinan’ republik akan menampakkan diri dalam Pembukaan UUD 1945 jika tidak ada bahasa? Sekitar tahun-tahun awal dekade 1970-an, Robert Levi melakukan penelitian di Tahiti terkait dengan tingginya angka bunuh diri. Salah satu hasil penelitian itu adalah munculnya istilah hipokognisi. Tingginya angka bunuh diri di Tahiti (saat itu) karena adanya hipokognisi ini, yaitu ketika tidak ada kata-kata yang mewakili perasaan kehilangan dan sedih luar biasa ketika kehilangan sesuatu yang sangat berharga. Yang dirasakan hanyalah perasaan yang tidak enak dan sangat mengganggu.
Politik Etis sejak 1901 dan segala kemajuan teknologi komunikasi saat itu, nampaknya perlahan mampu menggerus hipokognisi terkait dengan segala perasaan tertindas dan sekitar-sekitarnya saat penjajahan doeloe. Cerdik-pandai para intelektual-organik saat itu tanpa lelah menulis, pidato, diskusi, dan seterusnya -bahkan tidak sedikit yang ditangkap, dan akhirnya bertahun kemudian menjadi mampu merumuskan dalam kata-kata seperti tertulis dalam Pembukaan UUD 1945. Hampir setengah abad setelah Politik Etis dimulai. Kata-kata yang disusun seakan menggambarkan kesedihan, kemarahan, cita-cita ke depan, bercampur-aduk. Jika kita baca pelan-pelan Pembukaan UUD 1945 itu, sungguh sebuah karya hasil endapan dari keluasan dan kedalaman pengalaman yang mampu menangkap ‘suasana kebatinan’ yang bergejolak mengenai masa lalu, saat itu, dan masa depan.
Tetapi bahasa tidaklah sebagian besar untuk berenang dalam keluasan dan kedalaman. Ia bisa timbul tenggelam dalam kolam omong kosong obrolan sehari-hari misalnya. Atau dengan gaya lain dalam transaksi di pasar. Lain di pasar Bulu, lain pula di Gang Pinggir (Semarang). Atau di Glodok. Atau di Warung Madura. Atau gaya ‘kacau’ anak-anak muda. Dengan ‘kode-kode’ yang hanya peer-group mereka saja akan akrab. Macam-macam. Tetapi Wittgenstein dalam Tractatus (1922) pernah menulis, “whereof one cannot speak, thereof one must be silent.” Ada batas-batas bahasa juga, sehingga jika ada sesuatu yang tidak bisa ‘dibahasakan’ janganlah berspekulasi, dan lebih baik diam. Tetapi bagaimana jika kemudian berujung naiknya angka bunuh diri seperti ditemukan oleh Robert Levi dalam contoh di atas? Atau berujung gagalnya founding fathers dalam membahasakan ‘suasana kebatinan’ seperti terbahasakan dalam Pembukaan UUD 1945? Maka tidak mengherankan jika dalam tulisan-tulisan jaman perjuangan doeloe sering ada kata-kata asing bermunculan di sana-sini. Atau sampai sekarang banyak kata yang merupakan serapan bahasa asing. Tidak masalah. Atau juga seniman-seniman dengan puisi-puisinya yang menawarkan penghayatan baru dan seakan ‘menerobos batas’ melalui sebuah kata atau rangkaian kata.
Bahasa kemudian seakan menjadi sebuah ‘permainan’ saja. Bagaimana konteks permainan bahasa dimainkan? Oleh siapa? Dan seterusnya, dan seterusnya. Bahkan ada ‘permainan’ bahasa yang ‘berbahaya’ seperti dibayangkan oleh George Orwell dalam novel 1984 (1949). Bahasa yang dinamai Orwell sebagai ‘newspeak’ yang ditujukan pada pengendalian ‘yang banyak’ dalam sebuah negara otoriter. Hubungan bahasa dan kuasa telah banyak ditelaah. Bagaimana hubungan bahasa dan kuasa dalam ranah Revolusi Informasi? Bagaimana rentetan kata dipilih untuk dikirim pada klaster-klaster psikologis tertentu dalam Skandal Cambridge Analytica sepuluh tahun lalu? Atau bagaimana air liur menetes dari para propagandis melihat fenomena ‘logika waktu pendek’ yang menggerus soal keluasan dan kedalaman sebuah informasi di era Revolusi Informasi ini? Atau ketika Guy Debord menulis The Society of the Spectacle hampir 60 tahun lalu? Atau karya Clifford Geertz, Negara: the theatre state in nineteenth-century Bali (1980).
Beberapa hal disebut di atas untuk menunjukkan bagaimana kemungkinan-kemungkinan yang melatar belakangi mengapa bertahun terakhir kekuasaan menjadi begitu demennya ngibul, asal mangap, asal njeplak di depan publik pembayar pajaknya. Sudah begitu keranjingan-nya, tanpa beban lagi. Bahasa oleh penguasa digiring hanya sebagai ‘obrolan-omong-kosong’ saja. Sangat berbeda dengan era perjuangan doeloe ketika bahasa salah satunya masuk dalam keluasan dan kedalamannya. Tanpa lelah. Di ranah publik kelakuan penguasa seperti di atas bukan lagi sebuah ‘permainan bahasa’ tetapi lebih sedang ‘mempermainkan bahasa’. Akibatnya? Tidak hanya gagal dalam menghayati ‘suasana kebatinan’ republik, tetapi juga -sadar atau tidak, merusak soal rasa-merasa hidup bersama dalam republik. Rusak-rusakan. Akhirnya ranah negara yang sudah dikosongkan dari ‘suasana kebatinan’ yang genuine itu diganti dengan (‘suasana kebatinan’) yang lain: keserakahan. Serakah yang kegilaannya sungguh tak terbayangkan lagi. Korupsi dengan kegilaan yang tak terbayangkan sebelumnya. ‘Orang baik’ itu memang hanya merusak republik saja. Bangsat-lah. *** (30-04-2025)
1656. Setelah 1 Mei
02-05-2025
Setiap tanggal 1 Mei ada dua yang pasti akan disinggung, yaitu soal jobs dan job security. “Job security” tidak hanya soal bagaimana pekerjaan terasa aman dari ancaman PHK misalnya, tetapi juga dengan pekerjaan itu potensi untuk meningkatkan kualitas hidup bisa terus dimungkinkan. Paling tidak dua ratus tahun terakhir adalah pelajaran berharga atas segala ‘eksperimen’ terkait dengan jobs dan job security ini. Segala gelap-terang dan wilayah abu-abunya. Bagaimana ‘trias ekonomica’ -tanah, buruh, modal, mengalami panas-dingin yang sering mengambil bermacam ‘biaya’ begitu tingginya. Kita menjadi saksi atas meraksasanya modal melalui bermacam merger, atau bagaimana modal meloloskan diri dari ‘patria’. Juga bagaimana perkembangan tekhnologi masuk dalam kancah dan mengacak-acak relasi-relasi sebelumnya. Atau term-term baru dalam perburuhan, misal outsourcing atau juga ‘fleksibilitas buruh’. Pada jaman dulu sekali, budak laksana ‘emas’, siapa mempunyai banyak budak maka ia akan lebih kaya. Sekarang? Akankah siapa yang mempunyai lebih banyak ‘buruh-murah’ maka ia akan lebih sejahtera? Termasuk sampai tingkat negara? ‘Buruh-murah’ kemudian menjadi salah satu tolok ukur tingkat kompetitif dan juga kemungkinan rute ‘dumping’ melalui upah murah?
Kaum buruh akan menggunakan demokrasi untuk memperjuangkan kesejahteraannya, tetapi itu akan menghadirkan dilema terkait dengan akumulasi profit (‘pihak lain’). Dan dilema itu bisa-bisa diselesaikan dengan jalan fasisme. Demikian Harold J. Laski pernah menulis-memperingatkan dalam The State in Theory and Practice (1935). Atau, bagaimana jika bukan fasisme yang berpihak pada modal, tetapi sebaliknya, dilema itu diselesaikan dengan ‘kediktatoran proletariat’? Apapun itu, terkait dengan jobs dan terlebih job security peran ‘sang Leviathan’ menjadi tidak hanya penting, tetapi sudah menjadi ajang perebutan pengaruh juga karena sifat ‘memaksa’-nya. Bagi modal dalam paradigma kaum neolib, negara seperti apa yang menjadi ‘idaman’? Nampaknya ada dua pilihan, menjadi ‘ultra-minimal state’ atau ‘ultra-maximal state’ seperti dalam fasisme di atas. Lalu bagi kaum buruh, negara seperti apa yang menjadi ‘idaman’?
Jika ‘ultra-maximal state’ yang pro-buruh (baca: ‘kediktatoran proletariat’) kita ‘tunda’ lebih dulu, maka negara yang prudence-lah nampaknya yang bisa menjadi ‘idaman’ kaum buruh. Dan sebenarnya juga bagi pemilik modal di luar ‘big-bussiness’. Dengan ‘skema tahap-tahap kebudayaan’ dari Van Peursen dalam Strategi Kebudayaan kita bisa meraba ke-prudence-an itu sebagai ‘dinamika’-nya ranah negara. Politisi (semestinya) akan berdiri dengan kedua kaki, satu di ‘tahap’ mitis, dan satunya lagi di ‘tahap’ ontologis. Kaum teknokrat, satu kaki di ‘tahap’ fungsionil, dan kaki lainnya di ‘tahap’ ontologis. Kaum cerdik pandai dan terutama intelektual organic akan lebih berkubang dalam tahap ontologis. Mempunyai perspektif-alarm deteksi dini, terutama terkait bablasan mitis dan bablasan fungsionil akan lebih memberikan tambahan ‘kualitas’ sehingga tidak mudah masuk dalam bablasan tahap ontologis: eskapisme. Negara yang prudence adalah ketika ranah negara mampu menjadikan dirinya terdukung oleh dinamika hal-hal di atas. Jadi bukan semata karena ‘maksud baik’ dari ‘orang baik’ saja.
Dalam mitologi Yunani Kuno, Icarus adalah anak dari Daedalus, sosok pandai dan seorang pencipta, innovator. Singkat cerita, bapak dan anak ini dipenjara karena Daedalus mau pulang ke kampung halamannya, di negara lain. Padahal raja saat itu sudah sangat senang dengan segala kepandaian dan kreatifitas Daedalus. Di penjara Daedalus tetaplah usil dengan kemampuannya, dan terus berpikir bagaimana melarikan diri dari penjara. Maka ia membuat sayap dari lilin dan bahan-bahan lain yang ditemukan dalam penjara. Penjara merupakan bangunan tinggi di tepi laut. Dengan sayap -seperti sayap burung, terbuat dari sebagian besar lilin itu ia dan anaknya -Icarus, terbang melarikan diri dari penjara.
Sebelum ‘lepas landas’ meninggalkan penjara, Daedalus berpesan pada Icarus supaya jangan terbang terlalu tinggi karena panasnya matahari akan melelehkan lilin yang membentuk sayap, juga jangan terlalu rendah karena ombak laut bisa menghancurkan sayap. Tetapi Icarus karena hasrat ‘kebesarannya’ tidak mengindahkan saran ayahnya, ia sengaja terbang tinggi justru semakin mendekat pada matahari. Akibatnya iapun jatuh terhempas ke laut karena sayap dari lilin itu meleleh habis. Pelajaran dari ‘hikayat’ Icarus ini bukan soal ‘sedang-sedang’ saja, tetapi adalah soal keutamaan prudence yang dengan timbang-menimbang tidak mengambil jalan ‘ekstrem’. Maka soal gelar doctor sik-Bahlil yang penuh kontroversi di UI, atau kontroversi soal Sirekap KPU di ITB, atau yang sedang hanagat: isu ijazah palsu di UGM, itu bisa menjadi semacam ‘kepakan kupu-kupu’ yang bisa mengakibatkan badai yang menghancurkan, entah dimana, entah kapan. Yang ujungnya bisa ikut menghancurkan ke-prudence-an di ranah negara. Atau juga segala kekangan terhadap masyarakat sipil, termasuk pers dan karya jurnalistiknya. Atau melenyapnya kaum teknokrat di ranah negara. Teknokrat yang siap mundur jika diperlakukan sebagai stempel kebijakan ‘operasionalisme’ saja dan menolak menjadi kaum teknokrat ‘palsu’.
Maka ketika ada politisi di atas panggung 1 Mei pidato menggelegar, bernyanyi lantang, dan bahkan sampai buka baju, itu satu kakinya sedang ada di ‘tahap’ mitis. Satu kakinya ada dimana? Benarkah ia mampu menangkap apa yang menjadi esensi dari 1 Mei itu? Dan jika ia mampu menangkap esensinya, apakah ada counterpart yang mampu mengimbangi terutama dalam pengoperasiannya? Dan mampukah ia mendengar-menangkap apa-apa yang disuarakan oleh khalayak kebanyakan? Jangan-jangan kedua kakinya ada di ‘tahap’ mitis, bahkan mode bablasannya: magis. Asyik main-main sihir dengan tetap enteng-enteng saja mempertaruhkan 400 triliun rupiah (!) secara ugal-ugalan. Jangan-jangan ia sedang ikut-ikutan -sadar atau tidak, di-’jerumuskan’ atau tidak, sedang mengikuti ‘jalan Icarus’? *** (02-05-2025)


1657. Keberakaran Yang Diperjuangkan
03-05-2025
Ketika sebuah rumah akan digusur dan penghuninya mesti pindah, itu bukanlah semata menggusur tanah dan bangunan, bukan sekedar house yang dirobohkan, tetapi juga home yang sedang diusik. Bukan sekedar fisik saja, tetapi rumah adalah tempat tinggal, tempat membangun ‘dunia’ keseharian, dan perlahan membangun keberakaran atau dwelling. Kira-kira sebulan setelah dilantik, Trump melontarkan ide kucluk tentang Gaza, yaitu akan mengubah Gaza menjadi Riviera-nya middle east. Ide kucluk-kuclukan ini tidak hanya terkait dengan dwelling-nya warga Gaza yang terancam tercerabut sampai akar-akarnya, tetapi lihat bagaimana segala kebrutalan menjadi sudah tanpa beban lagi. Sampai sekarang, brutal. Dari ide kucluk-kuclukan asal mangap menjadi tanpa beban brutal-brutalannya lagi, seakan mem-booster saja.
Panta rei, mungkin ini ikut mengilhami Manuel Castells ketika bicara soal space of flows. Castells di depan pintu gerbang Revolusi Informasi membedakan antara space of flows dan space of places. Maka, dimanakah keberakaran itu akan lebih dibangun? Faktanya ide kucluk Riviera-plan dari Trump itu ternyata menuai kritik yang luar biasa. Tetapi apakah sekarang dan ke depannya kita akan lebih menjadi seorang ‘perantau’? Atau jika keperantauan menjadi pilihan, apa yang mesti ‘dipersiapkan’? ‘Merantau’ dalam konteks apa? Tahun 1989 Mangunwijaya pernah menulis dengan judul “Kini Kita Semua Perantau”, dan ditutup dengan ‘keterpesonaan’ Mangunwijaya dengan potensi penguakan oleh pesawat luar angkasa nir-awak Voyager yang diluncurkan menjelang tahun 1980-an. Bagaimana jika Mangunwijaya masih sugeng dan melihat Teleskop Ruang Angkasa James Webb diluncurkan? Kita tidak bisa membayangkan apa yang dirasakan oleh para penari ketika menari di depan Ratu Belanda di Kraton Belanda sono dengan diiringi gamelan yang sedang ditabuh dari Jogja. Diperdengarkan lewat siaran langsung radio, dulu sekali ketika era penjajahan. Kemajuan teknologi seperti itu bagi yang sudah menempatkan sebagai ‘bagian dari semesta’ mungkin tidak heran lagi, tetapi bagi yang belum? Bagaimana ketika semesta mendapatkan ‘tambahan kompleksitas’-nya, ditambah seperti digambarkan Castells sebagai space of flows seperti disinggung di atas? Atau juga yang terus berkembang, artificial intelligence itu? Bagaimana kemudian soal keberakaran di tengah semesta yang seakan mampu melar dan mungkret dalam waktu bersamaan? Apakah kegamangan kemudian sadar atau tidak, perlahan menelusup dalam keseharian? Kegamangan yang dapat merupakan pintu masuk bagi para propagandis untuk menawarkan atau mengintervensi dengan keberakaran yang penuh ‘gegap gempita’ semacam MAGA itu? Atau naiknya popularitas sayap kanan-jauh di negara-negara Eropa sana?
Hari-hari ini di Jerman sedang panas-dingin ketika partai sayap kanan-jauh, Afd, ditetapkan sebagai kaum ‘ekstremis’. Segera saja dari Elon Musk sampai Marco Rubio bereaksi keras dengan penetapan itu. Republikan garis keras itu merasa ‘teman-dekat-ideologisnya’ sedang ‘dianiaya’. Tetapi apakah mereka pernah merasakan bagaimana Nazi dan pasca-Nazi begitu menyiksa warga Jerman? Kota-kota lama Eropa saat ini memang banyak menampilkan pesonanya, tetapi lihat pasca dua Perang Dunia itu, hancur-hancuran. Dan bagaimana itu dengan susah payah dibangun lagi dan diupayakan kembali seperti sebelum hancur? Artinya bahwa soal keberakaran itu adalah juga soal ingatan. Kadang ingatan soal keindahan, tetapi juga kadang ingatan soal yang menyakitkan. Macam-macam. Yang mau disampaikan di sini adalah soal keberakaran ini ternyata banyak dimensinya. Tidak hanya itu, juga akan melibatkan skala ‘dosis’-nya.
Keberakaran yang diperjuangkan seperti dalam judul dimaksudkan bahwa memang itu harus diperjuangkan tidak hanya karena ‘semesta yang terus berubah’ tetapi selalu ada saja yang ingin ‘membajak’ untuk kepentingan tertentu, seperti dicontohkan di atas, tawaran keberakaran yang penuh ‘gegap gempita’ itu. Suatu keberakaran ‘pasif’ yang bisa-bisa hanya ‘ikut-ikutan’ saja, meski ini tetap satu pilihan juga. Maka keberakaran harus diperjuangkan itu berarti keberakaran yang ‘aktif’, dan itu mengandaikan adanya ‘kemerdekaan’ diri. Bagaimana kemerdekaan diri itu dapat semakin didekati? Atau pertanyaan terlebih dalam dunia pendidikan, bagaimana anak-anak kita bisa bertumbuh semakin merdeka dan nantinya mampu aktif membangun keberakaran dirinya?
Pendidikan klasik atau sering disebut liberal arts kiranya bisa menjadi pertimbangan. Liberal di sini dimaksudkan sebagai ‘merdeka’, tetapi bukan juga ‘kurikulum merdeka’ itu. Bagian pertama dari pendidikan klasik disebut sebagai trivium, yang terdiri dari grammar, logika, dan retorika, dan ketiganya erat dengan masalah bahasa. Bagian kedua disebut sebagai quadrivium, terdiri dari aritmetika, geometri, astronomi, dan musik. Keempatnya erat terkait dengan angka. Tentu bagaimana ini disampaikan akan sangat terkait dengan perkembangan anak. Peringatan David Elkind dalam The Hurried Child (1981) sungguh perlu diperhatikan. Contoh untuk anak TK atau kelas 1 SD, guru bercerita di depan murid dengan membaca buku cerita, dengan suara dan intonasi yang menarik akan memberikan dorongan pada anak tentang grammar, misalnya. Dan jenis-jenis permainan serta umpan-balik lainnya. Maka di Finlandia misalnya, guru di pendidikan dasar adalah guru-guru terbaik. Ketika salah seorang petinggi pendidikan di Finlandia ditanya resep sukses, dijawab singkat: “Guru, guru, dan guru.” Tak jauh dari Singapura, dengan melihat alokasi anggaran per tahun untuk ‘pendidikan berkelanjutan’ bagi para gurunya. Bagi ‘negara dunia ketiga’, pendidikan klasik ini menjadi lebih penting mengingat apa yang pernah ditulis oleh Gayatri Spivak, Can Subaltern Speak? (1998) Beranilah bicara! Atau dalam pendidikan Mangunwijaya, beranilah bertanya!
Dengan kemampuan berbahasa berpondasi pada latihan dalam grammar, logika, dan retorika, maka akan berkembang pula kemampuan dalam ‘menghadapi’ pembajakan keberakaran yang ‘gegap gempita’ dari para propagandis atau politisi. Bagaimanapun ‘sihir’ politisi itu akan disampaikan dalam bahasa, tidak yang lainnya. Entah bahasa verbal, bahasa tubuh, atau melalui bermacam gambar. MAGA mungkin dengan cepat meraih sukses di Amerika sono, tetapi sayap kanan-jauh di Eropa mendapat perlawanan keras dan bisa dikatakan tidak akan mudah untuk mencapai kesuksesan seperti di AS. *** (03-05-2025)
1658. Dicari, 'Rantai Pondasi'
04-05-2025
Ketika seorang petinggi publik gegayaan bicara pentingnya AI di depan anak-anak dan nampak ia tidak punya imajinasi soal ‘rantai pondasi’ maka petinggi publik itu justru mempunyai potensi besar ‘menjerumuskan’ hidup bersama menjadi ‘tidak ke mana-mana’ atau bahkan justru mundur ke belakang dibanding dengan komunitas yang mampu melangkah maju dengan imajinasi ‘rantai pondasi’-nya. Yang dimaksud dengan ‘rantai pondasi’ adalah ketika ada peristiwa 1-2-3-4 misalnya, sering peristiwa 1 perlu pondasi A, peristiwa 2, perlu pondasi A dan B, atau peristiwa 3 perlu pondasi hasil dari peristiwa 2 ditambah dengan C, dan seterusnya. Atau kalau ada input-proses-output, yang memenuhi imajinasinya adalah output saja, input apalagi proses hilang entah kemana. Hari-hari ini kadang muncul analisa bahwa ramainya ijasah palsu itu karena si-pemilik ijasah itu maunya memang terus masuk pemberitaan, hadir di ruang publik apapun caranya. Jika benar analisa ini (dalam hal ini saya tidak percaya) maka ini contoh ‘kediktatoran output’ yang sudah mencampakkan proses dan inputnya: segala cara halal-halal saja. Dan sebenarnya republik telah menerima tebaran laku semacam itu bertahun-tahun terakhir. Hasilnya? Katakanlah seperti disinggung di atas, republik ‘tidak ke mana-mana’ dan bahkan disalip oleh komunitas lain dengan telaknya.
Hal mendasar dari ‘rantai pondasi’ ini adalah bagaimana mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tepat. Pada setiap peristiwa atau katakanlah juga ‘tahapan pertumbuhan-perkembangan’. Dari tulisan sebelum ini (No. 1657) disinggung soal ‘liberal arts’ atau ‘pendidikan klasik’. Ini adalah ‘jawaban’ dari ‘pertanyaan’ bagaimana menghadapi dunia yang terus berubah? Terutama bagi anak-anak di rentang usia pendidikannya? Dalam konteks ini, di rentang pendidikan dasar yang merupakan ‘wajib belajar’ itu? Usia sampai tingkat SMP lulus? Pendidikan dasar yang akan menjadi pondasi bagi hidup (kependidikan) selanjutnya. Maka siswa semestinya terdidik untuk menjadi ‘manusia bebas/merdeka’. Dengan apa sehingga anak-anak bisa menjadi manusia bebas, dan dengan itu pula ia berdiri menghayati dunia yang terus berubah? Jawabannya dalam konteks tulisan terdahulu, melalui pendidikan ‘liberal arts’, yang terdiri dari trivium dan quadrivium itu. Bagaimana dengan ke-disiplin-an? Itulah mengapa kunci sukses adalah di guru, guru, dan guru, yang paham bagaimana mengembangkan ke-disiplin-an misalnya, dalam konteks ‘kurikulum tersembunyi’. Menjadi sosok disiplin jelas bukan monopoli dunia keserdaduan. Dan dari anak-anak yang semakin menjadi bebas-merdeka itu, bisa-bisa muncul hal-hal yang ‘tak terduga’, bermacam potensi diri bisa semakin menampakkan diri. Maka jika memakai istilah ini, pendidikan dasar itu mestinya lebih bicara soal potensi, bukan kompetensi. Di Finlandia misalnya, setelah pendidikan dasar mau kemana? Disediakanlah para ‘pekerja sosial’ oleh negara untuk memberikan konseling kemana sebaiknya meneruskan pendidikan sesuai dengan potensi masing-masing. Dengan potensi yang digendong anak kemudian masuk dalam ranah kompetensi. Termasuk juga bagaimana prospek pekerjaan ke depannya yang memang menuntut standar kompetensi tertentu. Dan seterusnya, dan seterusnya. *** (04-05-2025)
1659. Kebijakan Pendidikan Tidak di Ruang Hampa
05-05-2025
"Education is the most powerful weapon which you can use to change the world" - Nelson Mandela
Mungkin saja kesimpulan Nelson Mandela itu juga berasal dari bermacam pengalaman dari berbagai penjuru dunia, termasuk sejarah republik. Menurut Mangunwijaya, Politik Etis bukan hanya menyediakan tenaga-tenaga terdidik bagi kepentingan penjajah -sebagai ‘agenda tersembunyi’-nya, tetapi kedatangan para guru-guru yang berdedikasi tinggi telah memberikan inspirasi tersendiri. Enampuluh tahun-an sebelum Politik Etis dimulai di republik jaman penjajahan doeloe, Mohamad Ali Pasya ingin membangun kekuatan angkatan laut menjadi lebih modern. Maka diundanglah ahli-ahli dari Barat dengan gaji yang menggiurkan untuk membangun kapal-kapal perang modern saat itu. Tetapi ahli-ahli itu tidak mau ke Mesir jika tidak bersama keluarganya. Dan untuk itu dipersyaratkan pula hadirnya dokter-dokter Barat untuk merawat istri dan anak-anak para ahli itu. Akhirnya datanglah ahli-keluarga-komplit dengan dokter mereka. Ketika banyak waktu luang, dokter-dokter itu kemudian membuka pelayanan kesehatan bagi masyarakat sekitar. Meski terkait hubungan pria-wanita saat itu masih ‘tertutup’, perlahan pelayanan kesehatan termasuk pelayanan bagi ibu melahirkan berkembang di ‘arsenal-arsenal’ tersebut.[1] Apa yang mau disampaikan di sini adalah perubahan yang satu akan membawa perubahan lainnya juga. Tak terelakkan. Maka bisa dibayangkan, guru-guru Belanda yang didatangkan dalam rangka Politik Etis itu, dengan segala dedikasi sebagai guru, akhirnya menjadi ‘model’ bagi murid dan bahkan masyarakat sekitar. ‘Model’ yang menghasrati akan ilmu pengetahuan dan juga kebebasan, model yang akan ditiru. Suatu ‘perubahan lain’ di luar ‘skenario’ Politik Etis. Apapun itu, Kebangkitan Nasional 20 Mei itu tidak lepas dari pendidikan, atau tak jauh-jauh amat dari pendapat Nelson Mandela seperti kutipan di awal tulisan.
Menurut Thomas Hobbes dalam Leviathan, kekuasaan tidak hanya dihasrati manusia sampai ajal menjemput, tetapi juga untuk mengamankan apa-apa yang sudah diperolehnya. Apa-apa yang sudah dinikmatinya. Apalagi jika sebagian besar kenikmatan itu berasal dari kekuasaan, misal dari rent seeking activities dan segala ‘kerabat’-nya itu. Bagaimana nasib pendidikan seperti dikatakan Nelson Mandela dimana pendidikan adalah juga the most powerful weapon yang dapat digunakan untuk merubah rent seeking activities menjadi ‘tidak begitu’? Maka tidak berlebihan jika kemudian dikatakan bahwa soal gonta-ganti kurikulum, banyak status guru tidak jelas, atau beban administrative guru yang justru mengganggu tugas utamanya, dan seterusnya itu, tidaklah di ruang hampa. Ia ada di ruang dimana banyak pengambil kebijakan adalah sekaligus ‘penikmat kekuasaan’, demikian kejadian di republik. ‘Penikmat kekuasaan’ yang ingin terus bercokol demi amannya kenikmatan di tangan. Dan bagaimana jika sik-‘penikmat kekuasaan’ salah satu atau salah duanya adalah yang pegang senjata?
Dari kurikulum 1975-1984-2013-Merdeka-dan sebagainya, nampaknya ada satu ‘garis batas’ yang tidak boleh dilanggar: anak-anak ‘tidak boleh bicara’. Tentu ada CBSA di tahun 1984, tetapi mengapa Mangunwijaya memplèsètkan jadi Cah Bodo Samsoyo Akèh? Yang dimaksud dengan ‘bicara’ ini adalah berani bicara dan bicara dengan didukung ‘latihan’ dalam trivium itu. Ada pondasi yang (sengaja) dihilangkan, baik itu melalui sihir ‘paradigma output’, sihir kemajuan teknologi yang membuat ‘silau’, beban terlalu tinggi pada anak-anak usia awal-awal sekolah sehingga seperti jatuh pada situasi hurried child (David Elkind), atau dengan kualitas guru yang tidak terus ditingkatkan dan malah terus saja disibukkan dengan bermacam beban administrative. Belum lagi kita bicara soal fasilitasnya. Maka baik prakondisi politis, teknis, dan bahkan sosial (dari studi pasca-kolonial) yang ada atau diadakan memang telah menjadikan ‘lembaga’ anak bicara itu tidak terdukung. Atau bahkan: tidak ada. Nampaknya ada yang begitu menikmati jenis ‘kolonial baru’ ini. *** (05-05-2025)
[1] Arnold J. Toynbee, Psikologi Perjumpaan Kebudayaan-kebudayaan, dalam Mangunwijaya (ed), Teknologi dan Dampak Kebudayaannya, Vol. I, Yayasan Obor Indonesia, 1987, hlm. 84-85