1715. Credenda - Agenda
17-07--2025
Ini adalah soal kebiasaan. Atau bahkan kemampuan? Sudah terbiasa berkubang dalam kolam ‘untuk dipercaya’. Lihat, sampai ada yang begitu kucluknya, ada pendukung (atau penjilat?) yang bahkan menyamakan dirinya sebagai ‘nabi’. Atau ‘raja’. Bagaimana tidak, memang dalam suatu waktu ia senang saja dipoles dengan segala pernak-pernik kemaha-rajaan. Suka-suka saja tuh, bahkan ketika diarak-arak juga. Juga, bagaimana tidak, ketika ia ngibul atau berbohong-pun banyak yang tepuk tangan juga. Maka bukan ‘agenda’ yang biasa dibawa, misalnya bermacam agenda yang ditawarkan saat kampanye, tetapi: credenda -things that are to be believed or accepted. Credenda adalah juga ‘lawan’ dari agenda -things that are to be done. Credenda memang sering ada di ranah agama, credo: ‘aku percaya’.
Dalam credenda, jika ada yang tidak percaya, konsekuensi ditanggung sendiri. Salahnya tidak percaya. Dalam agenda, apalagi agenda yang ditawar-tawarkan kepada khalayak kebanyakan -saat kampanye misalnya, jika tidak dilaksanakan maka ada konsekuensi bagi dirinya. Semestinya. Intinya, karena terlalu asyik terus menerus bermain ‘sihir-sihiran’ maka tidak terlatih pula dalam hal menghadapi konsekuensi. Tidak terlatih menghadapi tanggung jawab. Bahkan bisa-bisa menjadi ‘alergi’ terhadap kata ‘agenda’.
Main ‘sihir-sihiran’ memang bisa-bisa dahsyat power-nya. Tidak percaya? Lihat ‘sihir’ mobil esemka itu, lebih sepuluh tahun lalu. Bahkan David C. Korten-pun sampai memotret kekuatan utama dari kelompok sayap kanan (dalam hal ini Partai Republik, terutama sayap radikalnya), yaitu dalam hal bercerita. Dalam membangun storytelling-nya. Meski memang tidak ada (calon presiden) yang sampai ngibul bahwa ia dilahirkan di pinggir kali (sungai), misalnya.
Bahkan karena sibuknya kadang seseorang harus membuka buku agenda hariannya, agenda yang ada dalam tanggalan/kalender tergantung di tembok misalnya. Atau di atas meja. Untuk mengingatkan things that are to be done hari ini. Atau besoknya. Sama sekali tidak ada hal negatif tentang kata ‘agenda’ dalam hal ini. Tentu ada masalah konteks, ada ‘permainan bahasa’ yang mesti jadi pertimbangan juga. Termasuk juga ‘kebiasaan’ atau ‘sejarah’ dari orang yang mengucapkan itu. Atau lainnya. Macam-macam. Ketika isu ‘ijasah palsu’ semakin ramai, dan kemudian ada pihak yang menuding ada agenda besar di balik ramainya isu ‘ijasah palsu’ itu, maka mungkin saja ada benarnya. Ada pihak yang melihat agenda besar itu adalah untuk menjatuhkan dirinya dan keluarga, komplit dengan konco-konconya. Komplotannya. Tetapi di pihak lain ada yang yakin bahwa ini memang harus dilakukan, things that are to be done. Agenda (besar)nya: sebagai langkah awal menyelamatkan republik dari ‘sihir-sihir’ yang membutakan. Yang menganggap semua manusia di republik ini bodoh semua. Menyelamatkan republik dari keserakahan tanpa ujung dari orang-orang yang sudah keranjingan main ‘sihir’ itu. *** (17-07-2025)
1716. Ning Bener to Iki ...?
18-07-2025
Totok mlebu nang cakruk’é Nyah Ndut, clingukan kiwo tengen. Nyah Ndut penasaran: “Nggolèki sopo Tok?”
“Likwan karo Cuk Bowo Nyah ….”
“Lagi waé metu bareng Tok, limang menitan …” Mas Amir sing cepet-cepet jawab.
“Ngono yo Mas …” Totok terus lungguh cedhak Kang Yos. Biasa …, langsung waé Kang Yos nawari rokok, Magnum ireng. “Nuwun Kang …”
Kang Yos takon: “Ono opo Tok …, kok kadingarèn golèki Likwan karo cuk Bowo …”
“Anu Kang …”
“Sing kuwi Tok?!” Nyah Ndut nyelo.
“Lho cuk Bowo lan Likwan crito-crito Nyah?”
“Hè’èh ..,” jawab Nyah Ndut santai karo nyiapké kopi nggo Totok. Kopi Wamema Arabica, gulo sak sendok waé.
“Wah kojor iku, kuduné ora olèh disebar-sebar …”
“Lha opo kowé omong karo Likwa nèk kuwi ora olèh dikanda’-kandaké?” Cak Babo nimbrung.
“Yo ora Cak …, ning wingi kan mung ngobol gayeng waé Cak … Ngalor-ngidul, kiwo tengen, lha tekan kono kuwi ugo …”
Nyah Ndut: “Lah jan-jané critoné kuwi bener opo ora Tok?”
“Yo bener Nyah …”
“Seratus persen?”
“Ora Nyah, seribu persen bener …”
“Lha terus opo masalahé?”
“Ngono yo Nyah …”
“Lha iyo Tok …, terus opo masalahé?” Kang Yos mèlu-mèlu nyekak Totok.
“Ngono yo Kang …”
“La iyo to Tok …, nèk pancèn bener yo omong opo anané waé,” Koh Bos nimbrung.
“Ngono yo Koh …” Lanjut Totok nang Nyah Ndut: “Lha mau Cuk Bowo karo Likwan rencana terus arep nang endi?”
Nyah Ndut jawab santai berat karo senyum kecil: “Lha kuwi nang mburi cakruk … Mbantu ponakané Koh Bos nggarap PR …, lha piyé?!”
Totok ora jawab, nyruput kopi terus bukak-buka HP. Santai. Ujug--ujug takon nang Nyah Ndut: “Ora usah wedi yo Nyah ….”
“Ora usah wedi Tok …, santai waé ….”
“Ngono yo Nyah .…”
“Hè’èh Tok .…” *** (18-07-2025)
1717. TM/SE vs Unsur Jahat
19-07-2025
Salah satu kesibukan manusia dalam hidup bersama dari waktu ke waktu adalah mengendalikan (hasrat) ‘kejahatan’. Bahkan jika mungkin semua kejahatan itu dimasukkan saja ke dalam ‘kotak’ (Pandora). Hukum dengan segala aparatusnya adalah salah satu unsur penting dalam menjaga tutup ‘kotak’ Pandora. Jangan sampai terbuka dengan telanjangnya. Maka ketika hukum dipermainkan dalam praktek, pada dasarnya tutup ‘kotak’ Pandora juga mulai dibuka lebih lebar lagi dengan tanpa beban. Kejahatanpun akan semakin merebak.
Menurut Freud, kesadaran itu seperti gunung es. Bagian yang nampak adalah bagian kecil saja, sedang bagian terbesarnya ada di bawah permukaan. Bagian yang nampak di atas permukaan menggambarkan bagian sadar atau ego. Sedang bagian besar di bawah permukaan menggambarkan bawah sadar atau id. Di antara itu ada super-ego. Ego didorong oleh prinsip realitas, sedangkan id oleh prinsip kesenangan. Super-ego akan bicara soal etika, moral. Gejolak hasrat id cenderung ingin segera saja dipuaskan. Tetapi karena peran ego dan super-ego, gejolak itu bisa ‘diredam’ atau ‘dikendalikan’, misal soal (kenikmatan) seks itu. Bagi beberapa pengikut Freud, ditekannya soal seks mulai dari unit terkecil, keluarga, bisa-bisa merupakan pengalaman yang akan menjadikannya lebih mudah menerima fasisme ke depannya. Karena ternyata sudah ada pengalaman ‘fasisme mikro’ yang kemudian ngendon di bawah sadar jauh sebelum ia dewasa. Pendidikan seks sejak remaja dan juga tentu tentang etika dan moral terkait dengan seks, sedikit banyak akan membantu penghayatan ‘lain’ dari ‘fasisme mikro’ ini.
Ada yang berpendapat, seks adalah hasrat utama yang ada dalam id. Tetapi ada yang mengatakan hasrat akan kuasalah yang utama, will to power. Tetapi bukankah soal seks juga tidak lepas dari bayang-bayang relasi power? Ataukah terutama dalam kapitalisme, uang adalah juga bagian dari will to power ini? Jika di awal tulisan disebut salah satu kesibukan manusia dalam hidup bersama adalah mengendalikan ‘kejahatan’, apakah itu adalah soal juga bagaimana mengendalikan bermacam (gejolak) hasrat (yang minta segera dipuaskan) yang ada di id -bawah sadar, dengan segala prinsip kesenangannya? Padahal di satu sisi menurut Freud, justru dari bawah sadar -id, inilah tindakan manusia akan banyak dipengaruhi.
Tetapi bagaimana bermacam hasrat itu kemudian mendesak minta untuk (segera) dipuaskan? Dari teori mimesis-nya Rene Girard kita bisa melihat bahwa itu karena meniru. S akan menghasrati O karena meniru M (model) yang juga menghasrati O. Tetapi pada titik tertentu S yang meniru hasrat M (yang ditiru S) akan menganggap M sebagai rivalnya. Terutama jika modelnya ‘model internal’, karena dekat misalnya. Menurut Girard, supaya rivalitas itu tidak kemudian menghancurkan hidup bersama maka perlulah ada kambing hitam. Kambing hitam yang katakanlah, akan ‘dipukuli-bahkan-dibunuh’ bersama-sama.
Maka ketika ‘penguasa tertinggi’ menunjukkan hasrat will to power-nya seakan sudah menjadi begitu serakahnya -tanpa beban lagi, selain itu akan ditiru, tiba-tiba saja ia akan mendapat rival dari orang-orang sekitar yang dulu menirunya. Bagaimana itu di atasi? Seperti sudah disinggung di atas: hadirkan ‘kambing hitam’. Tetapi cukupkah itu? Apalagi jika ‘yang tertinggi’ itu pada dasarnya tidaklah kuat-kuat amat? Kelas ‘medioker’, misalnya. Maka pertanyaan Machiavelli menjadi relevan itu, anda (Sang Pangeran) memilih untuk dicintai atau ditakuti? Ternyata memilih untuk ditakuti. Indikasinya, yang sering kita kenal sebagai sandera kasus itu. Artinya, logika hukum adalah logika kekuasaan. Padahal hukum merupakan salah satu instrumen penting dalam ‘mengendalikan’ bermacam gejolak hasrat yang memang sangat mungkin berubah menjadi kejahatan. Bahkan dengan serta-merta. Maka akibatnya adalah, anda boleh memuaskan segala apa yang ada di id, segala hasrat sampai tanpa batas lagi, asal tidak mengambil posisi berseberangan. Di situlah misalnya, kalau ada yang mengatakan bahwa korupsi sudah menjadi pilarnya rejim itu juga mempunyai alasan kuatnya. Yang tidak korupsi justru akan merusak rejim! Musuh rejim.
Bagaimana dengan khalayak kebanyakan yang jelas bukan ‘orang-orang sekitar’? Tetapi bukankah ada slogan, sik-J adalah kita? Ia yang katanya sungguh merakyat itu? Sepatunya harganya cuma sekian, juga baju, celana, dan jam tangannya. Bukankah ia telah menjadi ‘model internal’ juga bagi khalayak kebanyakan? Yang nantinya juga akan mempunyai potensi untuk terjadinya ‘rivalitas’? Maka kebutuhan akan ‘kambing hitam’-pun menjadi penting di sini. Cukupkah itu? Mungkin saja cukup dalam jangka pendek, tetapi untuk jangka panjang perlu upaya lain, bukan ‘sandera kasus’ tetapi: terror. Sandera kasus sebenarnya juga terror, tetapi a la ‘istana’, untuk kaum atau kelas ‘bangsawan’. Maka hukum-pun akan dipermainkan di depan khalayak kebanyakan, ketika ‘ketidak-pastian’ (hukum) menjadi banal. Tebang-pilih secara brutal, dan ini sebenarnya juga: terror.
Maka ketika kekuasaan sudah menjadi begitu serakahnya, saat itulah ada potensi besar untuk masuk jaman atau rejim terror dan ‘perayaan’ kambing hitam yang gila-gilaan. Bablasan rejim seperti itulah yang dihadapi oleh Tom Lembong (TL) dan Prof. Sofian Effendi (SE) hari-hari ini. ‘Yang jahat’ -para termul-termul itu, seakan sedang menari-nari dengan sambil tanpa beban mengejek, ngenyèk, di hadapan TL/SE, juga di depan kita semua. Juga di depan republik: negara yang berdasarkan hukum itu. *** (19-07-2025)
1718. Durasi
21-07-2025
Gerak sejarah bisa dibayangkan akan melibatkan faktor-faktor jangka panjang (long term -longue duree), menengah (mid term), dan singkat saja atau event history, menurut Fernand Braudel. Bagaimana dengan ‘sejarah endapan ingatan’ kita? Sehingga endapan ingatan masuk dalam mode ‘know-how’ dengan tanpa susah payah lagi mengingatnya. Seperti layaknya naik sepeda, bisa saja kita tidak tahu secara rinci teori tentang naik sepeda. Atau ingatan akan teori naik sepeda. Tahu-tahu latihan sebentar, bisa. Dan lama tidak naik sepeda, tahu-tahu ya bisa lagi, lancar-lancar saja. Atau juga, bagaimana yang punya hobi main catur dan 53 tahun lalu saat itu sedang senang-senangnya main catur, menghayati perebutan gelar juara dunia antara Bobby Fischer dan Boris Spassky? Di puncak Perang Dingin itu?
Banyak faktor yang akan mempengaruhi bagaimana ingatan menjadi terendap dalam kesadaran kita. Tidak semua yang terendap menjadi mudah-mudah saja untuk ‘dipanggil’ lagi. Bahkan ada bagian diri yang justru ‘menolak’ endapan ingatan itu untuk menyeruak ke permukaan, dengan bermacam caranya. Komplit dengan segala konsekuensinya. Tetapi apapun itu, endapan ingatan yang bersemayam dalam alam bawah sadar itu tetaplah akan menjadi bagian dari yang dikatakan oleh Freud, bahwa sebagian besar tindakan kita akan dipengaruhi oleh alam bawah sadar. Clotaire Rapaille dalam The Culture Code: An Ingenious Way to Understand Why People around the World Live and But as They Do (2006) secara gamblang menjelaskan hal ini. Clotaire sebenarnya tidak hanya menyampaikan pentingnya ‘kode-kode kultural’ sebagai bagian alam bawah sadar, tetapi juga kemungkinan de-koding-nya. Tradisi minum teh di Jepang sudah berlangsung ratusan tahun lamanya, bagaimana caranya ‘jualan kopi’ di Jepang supaya berhasil? Clotaire sebagai konsultan pemasaran kemudian melakukan ‘de-koding’ dengan mulai memasukkan ‘rasa kopi’ yang begitu tipisnya dalam ‘kode-kode kultural’ rakyat Jepang sana, dalam biskuit atau permen lebih dahulu. Setelah beberapa tahun itu berjalan, maka barulah jualan kopi digencarkan. Dan berhasil! Dalam waktu singkat gerai-gerai kopi di Jepang sono mulai menyebar di kota-kota. Tentu faktor ‘nama besar’ gerai kopi tersebut di tingkat global juga akan mempengaruhi atau membantu ‘serangan dari dalam’ (kode-kode kultural rasa kopi) untuk keberhasilannya.
Atau bisa kita bayangkan ada proses-proses molekuler yang berjalan dalam sebaran rasa kopi di permen, biskuit dalam contoh di atas. Dan ‘nama besar’ dalam per-kopian itu bisa sebagai katalisnya. Atau kita lihat isu ‘ijasah palsu’ itu. Dengan durasi yang cukup lama (dan terus menerus, tidak hanya sebagai ‘event-history’) soal isu ‘ijasah palsu’, itu sudah bukan saja soal ‘taktik’ supaya selalu ada di ‘dunia ketiga’-nya popperian, tetapi di sisi lain itu adalah juga proses-proses molekuler. Perlahan terjadi ‘de-koding dari ‘kode kultural orang-baik’, misalnya,, berubah menjadi: ( …. ). Apa yang menjadi katalisnya? Hari-hari ini kita bisa merasakan katalis itu, yaitu dari sosok Prof. Sofian Effendi. Sosok yang katakanlah mempunyai ‘capital simbolik’ tinggi. Tiba-tiba saja sebaran informasi terkait dengan ‘ijasah palsu’ itu menjadi make sense. Dengan menyinggung bahwa UGM adalah juga kampus Pancasila, Sofian Effendi sebenarnya sudah mengantipasi kemungkinan adanya ‘serangan balik’ melalui rute ‘kill the messengers’ dalam logika ‘per-kambing-hitam-an’. Tak jauh-jauh amat dari bagaimana di awal-awal ‘rejim orang-baik’ itu membangun salah satu pilar rejimnya.
Lalu bagaimana jika de-koding itu sudah menjadi mapan, atau bisa kita bayangkan ketika gerai kopi di Jepang sono menjadi begitu (mudah) merebaknya? Ada satu yang perlu diper-hati-kan, dari buku Naomi Klein The Shock Doctrine (2007). Apakah akan ada (rentetan) shock sehingga kesadaran khalayak akan menjadi ‘putih bersih’ yang mana akan ada yang (segera) melukiskan de-koding baru terhadap de-koding di atas? Sebab kemapanan de-koding sudah terjadi, ‘gerai-gerai kopi sudah merebak di mana-mana’ dan nampaknya tidak mudah dilawan hanya dengan ‘pengalihan isu’ seperti biasanya. Bahkan dengan ‘kill the messengers’-pun bisa-bisa kontra-produktif. Mari kita lihat bagaimana ‘orang-orang jahat’ itu akan bertingkah-polah. *** (21-07-2025)
1719. Pengabdi Uang
22-07-2025
Bagaimana jika Marx membaca Mateus 6:24, “Kamu tidak bisa mengabdi Tuhan dan mammon kedua-duanya?” ‘Mammon’ atau katakanlah ‘uang’ yang berkeliaran di ‘basis’ itu. Yang menjadi bagian tak terpisahkan dari ‘mode of production’ tertentu. Apakah mengabdi pada Tuhan dan uang memang benar-benar terpisah? Ataukah, bekerja untuk dunia ‘basis’ dan ‘bangunan atas’ itu memang benar-benar merupakan dunia terpisah? Mengapa Max Weber sampai menulis The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (1905) -terutama calvinism-nya? Atau lihat Jesuit dengan kaul kemiskinan-nya. Dengan segala pernak-pernik Perang Dingin, mengapa Bank Dunia seakan ‘membiarkan’ kebocoran ‘bantuan’ yang ditengarai (paling tidak) sebesar 30 persen di jaman old? Apakah itu juga sebenarnya sebuah ‘contra-ideology cost’? Coba bandingkan ketika Trump di akhir jabatan pertamanya memutuskan menarik mundur pasukan AS di Afghanistan yang pelaksanaannya di era Biden itu? Dan kemudian kekuasaan bergeser ke Taliban? Dan selang beberapa waktu kemudian terjadi demo atau protes di jalanan digelar oleh penentang Taliban? Di tengah-tengah kemiskinan warga Afghanistan, nampak sekali ‘penampilan’ para demonstran itu jauh lebih ‘terawat’. Kalau memakai cerita jaman old di atas, apakah itu pihak-pihak yang menikmati -katakanlah, 30 persen kebocoran bantuan? Sekali lagi, sebagai ‘contra-ideology cost’?
Tulisan ini adalah pengembangan dari tulisan terdahulu. Dari Devil’s Advocate ke Devil’s Gambit? (https://pergerakankebangsaan.org/tulsn-127, No. 1707). Fakta sejarah telah memberikan pelajaran pada kita bagaimana ‘kebangkrutan’ pengikut Marx ‘sayap’ over-deterministik. Baik biaya sosial dan juga biaya kemanusiaannya. Tak jauh-jauh amat sebenarnya dari sayap ‘over-deterministik’ terkait dengan ‘kepentingan diri’ dari kaum neolib. Biaya sosial dan juga biaya kemanusiaannya. Dari ‘kediktatoran proletariat’ ke ‘kediktatoran borjuasi’? Juga hari-hari ini kita melihat dengan telanjangnya bagaimana ‘strict father’ a la Trump telah membuat panas dingin nggak karu-karuan. Sik-‘strict father’ yang sebenarnya juga menyimpan ‘kegelapan hasrat’ masa lalu dalam ‘Epstein files’ itu. Atau juga ‘file-file’ lainnya? Siapa tahu. Dan siapa yang pegang rahasia itu? Atau kalau pakai bahasa republik: sandera kasus? Maka di antara ‘basis’ dan ‘bangunan atas’ itu sebenarnya ada manusianya. Dengan segala kemampuannya, dengan segala hasratnya. Akankah ada ‘basis’ dan ‘bangunan atas’ jika tidak ada manusia?
Bertahun terakhir kita bisa dengan telanjang melihat bagaimana hidup bersama dikelola oleh para ‘pengabdi uang’. Atau ada yang membahasakan secara ‘halus’: matinya dimensi teknokratis. Dan itu baru sebagian benar, karena ternyata tidak hanya itu tetapi juga harapan, keberpikiran, bahkan imajinasi telah sampai pada fase sekaratnya. Hasrat akan uang dari pengelola hidup bersama ternyata telah melahirkan juga ‘kejahatan logika’-nya. Bermacam tirai asap, bermacam ‘taktik-strategi’, at all cost demi tetap berlangsungnya keserakahan yang sudah tanpa ujung itu. Tidak ada nilai-nilai, tidak ada ideologi, atau apapun itu yang ikut berperan dalam mengendalikan hasrat akan uang itu, dalam diri pengelola hidup bersama. Serakah.
Orang-orang yang ada dalam ‘ruang antara’ basis dan bangunan atas itu ternyata telah banyak kehilangan wajah manusianya. Itulah yang kemudian dikritik melalui ditetapkannya Pedleton Civil Service Reform Act di AS sono doeloe di tahun 1883, sebagai koreksi kebijakan Andrew Jackson, presiden AS ke-7 tahun 1829-1837 terkait dengan ‘spoils system’ atau sering juga disebut: politik patronase. Loyalitas -bukan (wajah manusia yang ber)prestasi, yang maju paling depan. Dan tanpa beban lagi korupsi-pun kemudian merebak dimana-mana. Orang-orang mempunyai kemampuan dan integritas -termasuk kaum teknokratnya, malah tersingkir. Mungkin benar apa yang dikatakan CP. Snow di sekitar 1970-an: “When you think of the long and gloomy history of man, you will find more hideous crimes have been committed in the name of obedience than have ever been committed in the name of rebellion.” Meski Pedleton Act di atas sudah ditetapkan di tahun 1883, tetapi perlu berpuluh tahun sehingga bisa berjalan seperti yang dimaksud. Sungguh kerusakan sangat dalam dan luas yang diakibatkan oleh ‘spoils system’ dari Presiden ke-7 AS itu. Déjà vu? *** (22-07-2025)