1735. Tak Peduli Apa Yang Dipertaruhkan?

06-08-2025

Tak peduli yang dipertaruhkan, atau tidak tahu? Membayangkan apa yang dipertaruhkan memang perlu upaya lebih. Membayangkan masa depan memang sering tidak mudah. Apalagi dunia sudah menjadi semakin sulit diprediksi. To govern is to foresee, demikian dikatakan seorang jurnalis Perancis di bagian akhir abad 19, dikutip Daoed Joesoef dalam salah satu tulisannya. Maka salah satu strategi penguasaan: hadirkan pemimpin yang tidak tahu apa yang dipertaruhkan.

Paling tidak ada dua rute sehingga ‘pemimpin’ akhirnya menjadi ‘tidak tahu apa yang dipertaruhkan’, pertama, yang dihadirkan adalah sosok yang memang terbatas dalam kemampuan imajinasinya. Kedua, eksploitasi hasrat, terutama hasrat ‘perut ke bawah’ dalam pemikiran Platon: seks, makan-minum, dan terutama hasrat akan uang. Eksploitasi hasrat yang akan menggerus ‘akal sehat’. Bisa ditambah dengan eksploitasi ‘hasrat di dada’, terkait dengan kehormatan, nama baik, dan sekitar-sekitarnya. Mabuk uang, seks, makan dan pakaian, ditambah lagi dengan mabuk tentang hal-hal besar, adalah salah satu cara jitu penguasaan di ujung sana. Dengan ekspoiltasi hasrat yang ngendon di perut ke bawah, dan ditambah dengan hasrat di dada, maka akal sehat di kepala akan tertekan. Munculnya bukan to forsee, tetapi ngibulnya sudah tidak tahu batas. Tidak sadar ketika ‘kejahatan hasrat’ itu akhirnya melahirkan ‘kejahatan logika’-nya sendiri. Bahkan to foresee-pun kemudian menjadi ngibul-kerasnya, propaganda, bersekutu dengan segala megalomania yang berangkat dari ‘hasrat di dada’ itu. Maka pemimpin seperti itu akan menjadi lumpuh dalam to govern is to foresee, dan tahu-tahu bertahun kemudian ternyata republik telah dikuasai oleh [……]. Dalam semua aspek dan sudutnya.

Bak lingkaran setan, ketika akal sehat itu tertekan karena gejolak hasrat dari ‘perut ke bawah’ dan ‘dada’, bisa dikatakan ‘keutamaan prudence’-pun akan tertekan pula. Padahal ada yang mengatakan bahwa ‘keutamaan prudence’ itu adalah ‘ibu’ dari segala keutamaan (virtue). Menurut Machiavelli, kekuasaan itu laksana gadis cantik yang menggoda, memabukkan, maka ‘pesan tersembunyi’ dari Machiavelli: perlu peran penting dari virtue. Ditambah menurut Thomas Hobbes -setelah Machiavelli, hasrat akan kuasa itu tidak hanya akan dibawa sampai ajal menjemput, tetapi adalah juga untuk mengamankan apa-apa yang sudah diperolehnya, apa-apa yang sudah dinikmatinya. Maka tidak mengherankan to foresee itu pertama-tama yang dilihatnya adalah amannya kenikmatan diri dan lingkaran dekatnya. Yang dipertaruhkan adalah semata kenikmatan diri, bukan republik. Apalagi jika segala kenikmatan itu lebih diperoleh dari olah-kuasa semata.

Kamu adalah apa yang kamu makan, demikian ada sebuah pepatah. Dan bagaimana ketika yang terbatas imajinasinya itu kemudian dilatih dalam ‘kurikulum’ eksploitasi hasrat, terutama hasrat akan uang? Terbatas imajinasinya itu memang bisa karena serba terbatas, atau malas berpikir saja. Jika memakai istilah Hannah Arendt yang muncul setelah mengikuti persidangan Adolf Eichmann di awal-awal 1960-an, maka bisa-bisa evil menjadi banal, banality of evil.Evil’ bohong-pun jadi banal, ‘evil’ korupsi-pun jadi banal, ‘evil’ memenjarakan orang tanpa sebab kuat jadi banal, bahkan ‘super-evil’: menghilangkan nyawa-pun bisa-bisa jadi banal.

Kamu adalah apa yang kamu makan seperti di atas bisa dibayangkan ketika kemudian dalam upaya menegakkan rejim, eksploitasi hasrat-pun menjadi ‘paradigma’, terutama hasrat akan uang. Maka kemudian ada yang rajin ‘menebar uang’. Akibatnya? Meledaklah korupsi, kong-ka-li-kong, pat-gu-li-pat dalam keluasan dan jumlah yang tak terbayangkan sebelumnya. Republik seakan menjadi korban dari ‘holocaust’ karena ketamakan akan uang. Termasuk akal sehat juga menjadi korban di dalamnya.

Apa yang dipertaruhkan di sini? Bayangkan jika segala kenikmatan di atas diusik, dan di satu sisi mereka yang sudah menikmati selama bertahun-tahun itu akan mati--matian, bahkan at all cost mempertahankan kenikmatan yang sudah diperolehnya. Republik akan panas-dingin, sepanas-panasnya, dan tidak mudah untuk masuk fase pendinginan. Jika tidak hati-hati kita bisa masuk dalam rentang the year of living dangerously. Kepakan sayap ‘kupu-kupu-plonga-plongo-sok-lucu’ itu ternyata bisa mengakibatkan badai di bertahun kemudian. Sudah di ‘luar’ bermacam badai terus saja mengintai dan datangnya sulit diprediksi, di ‘dalam’ negeri masih harus sibuk menghadapi badainya sendiri. *** (06-08-2025)

1736. Bukan Republik Ampas Tahu (?)

07-08-2025

Di bagian awal abad-20, Nikolai Kondratiev, ekonom Russia memotret siklus ‘naik-turun’ kapitalisme, gerak ekonomi. Pada satu saat gelombang perkembangan ekonomi itu mencapai puncaknya, dan akan masuk periode menurun, sampai pada titik terendahnya akan naik lagi. Siklus tadi akan berlangsung setiap 40-50 tahun. Setelah Kondratiev ada beberapa pemikir yang memotret siklus tersebut secara lain, terutama tentang rentang waktu siklusnya.

Terkait dengan terjadinya Depresi Besar, pemerintah AS saat itu kemudian membuat bermacam proyek ‘konstruksi padat karya’ dan dengan itu daya beli meningkat, ekonomi-pun bergerak. Dengan ‘Fordisme’ yang sudah berjalan, bisnis mobil-pun seakan kemudian memimpin merangkaknya kembali ekonomi ‘ke atas’. Lepas dari tinjauan kritis dari Antonio Gramsci terkait dengan pernak-pernik ‘Fordisme’ ini. Juga saat itu televisi mulai merangkak menjadi kebutuhan sehari-hari. ‘Hiper-konsumerisme’pun kemudian semakin berkembang pula. Yang di sekitar tahun 1955 kemudian muncul istilah throw-away society itu.

Ampas tahu’ dalam judul lebih diambil dari bermacam unggahan ‘tofu dregs construction’ di China, di channel YouTube. Bidang konstruksi memang menjadi salah satu andalan China dalam memompa daya beli, katakanlah seperti AS saat menghadapi Depresi Besar seperti dicontohkan di atas.[1] Tentu masih banyak ‘klarifikasi’ dari unggahan-unggahan tersebut, tetapi bagaimanapun juga tiada asap tanpa api. Artinya, ada kebenaran juga dari bermacam unggahan tersebut. Bahkan unggahan semacam itu sudah ada sejak paling tidak 5 tahun lalu. Akhir-akhir ini memang terasa lebih sering, terlebih terkait dengan banjir yang melanda berbagai tempat di China, karena perubahan iklim yang membuat curah hujan menjadi begitu tingginya. Empat bulan yang lalu ada gempa di Myanmar yang dirasakan juga sampai Thailand. Ada gedung tinggi bertingkat-tingkat yang sudah sampai tahap penyelesaian pembangunannya, dan runtuh total dalam hitungan detik akibat goncangan gempa.[2] Pemborong bangunannya perusahaan konstruksi dari China. Atau lihat keruntuhan kanopi Stasiun Kereta Api Novi Sad di Serbia, 1 November 2024 lalu.[3] Korban jiwa sekitar lima belas orang, dan ini kemudian juga memicu goncangan politik di Serbia. Tetapi apapun itu, dalam konteks ini adalah pelajaran apa yang bisa diambil dari bermacam unggahan-berita di atas?

Tiba-tiba saja menjadi teringat tulisan Koentjaraningrat sekitar 50 tahun lalu terkait dengan mentalitas yang tidak sesuai dengan pembangunan, (1) sifat mentalitas yang meremehkan mutu, (2) sifat mentalitas suka menerabas, (3) sifat tidak percaya kepada diri sendiri, (4) sifat tidak berdisiplin murni, dan (5) Sifat mentalitas yang suka mengabaikan tanggung jawab yang kokoh.[4] Masalahnya, apakah semua harus tidak mempunyai mentalitas seperti di atas supaya pembangunan berhasil? Dari pelajaran masa lalu kita bisa melihat tidak perlulah menunggu semua ‘menjadi baik’ lebih dahulu sebagai prasyarat keberhasilan pembangunan.

Bukannya berarti ‘rakyat biasa’ semua mengidap ke-lima ‘penyakit’ seperti di atas, tidak-lah. Mungkin memang ada kecenderungan jika kita masuk dalam bahasan ‘pasca-kolonial’, misalnya. Tetapi bagaimanapun setiap komunitas pastilah berkembang menjadi ‘masyarakat pembelajar’. Cepat atau lambat. Lalu apakah semua pemimpin juga harus bebas dari kelima ‘penyakit’ di atas? Jika bisa akan lebih baik, tetapi yang paling diperlukan adalah komitmen. Komitmen merupakan serapan bahasa asing, dari asal katanya terdiri dari com (bersama) dan mittere. Mittere yang juga merupakan asal kata dari mission, misi. Kedua hal di atas bisa dikatakan sebagai prakondisi sosial dan prakondisi politis. Bagaimana dengan prakondisi teknis? Di sinilah kita bicara salah satu yang penting dalam prakondisi teknis, kaum teknokrat. Dari kaum teknokrat inilah kita bisa ‘menuntut’ untuk mempunyai sikap mental yang sesuai dengan ‘pembangunan’ secara ‘komplit’: (1) sifat mentalitas menjunjung tinggi mutu, (2) punya mental tekun, tidak suka menerabas, (3) percaya kepada diri sendiri, (4) sifat berdisiplin murni, dan (5) mempunyai tanggung jawab yang kokoh.

Tetapi apakah kemudian kaum teknokrat itu semacam obat mujarab bagi sebuah pembangunan? Bisa juga, jika dan hanya jika ada keterbukaan untuk cek-ricek baik itu dilakukan oleh komunitas akademik, kelompok-kelompok masyarakat sipil, media massa, dan terutama sebenarnya, partai politik. Tanpa itu maka kaum teknokrat justru akan mempunyai potensi besar masuk dalam pragmatisme ugal-ugalan, atau dalam bahasa Van Peursen dalam Strategi Kebudayaan: operasionalisme. Karena bagaimanapun juga dalam diri kaum teknokrat itu bisa dikatakan lebih mempunyai potensi besar untuk jatuh pada situasi ‘pengkhianatan kaum intelektual’ seperti pernah disuarakan oleh Julian Benda hampir se-abad lalu.

Tulisan ini lebih didorong bantahan dari banyak ekonom terkait pengumuman BPS baru-baru ini tentang pertumbuhan ekonomi kuartal II: 5,12%. Dari mana tuh hitung-hitungan angkanya? Belum lagi otak-atik batas kemiskinan sehingga angka kemiskinan nampak tidak tinggi. Dan ini sudah berlangsung bertahun-tahun terakhir. Belum lagi bagaimana dengan telanjang kita melihat laku asal njeplak, asal mangap, asal ancam dari para petinggi. Berulang dan berulang. Bertahun terakhir seakan republik dibangun menjadi republik ampas tahu, yang akan nampak begitu rapuh-ringkih ketika menghadapi perjalanan di tengah-tengah bermacam gejolak ketidak-pastian. Itulah sebenarnya kejahatan utama dari rejim bertahun terakhir ini. Semua dirampok, bahkan masa depan (republik)-pun dirampok juga. *** (07-08-2025)

[1] Ingat, pada saat itu di AS sono, spoils system sudah dikoreksi melalui Pendleton Civil Service Reform Act pada tahun 1883. Sistem ‘patronase’ dalam spoils system digantikan dengan sistem meritokrasi.

[2] https://www.youtube.com/watch?v=8kGxHHhYRmE

[3] https://id.wikipedia.org/wiki/Keruntuhan_kanopi_Stasiun_Novi_Sad

[4] Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan, hlm. 45

1737. Batas-batas

08-08-2025

Ada yang mengatakan bahwa soal makan adalah batas yang tidak boleh dilanggar, sekotor-kotornya politik. Ketika soal makan menjadi terganggu, kelaparan menjadi membayang lekat, ada batas yang telah dilanggar. Ketika batas itu dilanggar maka konsekuensinya akan menjadi begitu besar. Dalam pergantian rejim, nampaknya ada ‘batas-batas’ yang bisa saja dibuat saat berkuasa. Atau sudah menjadi ‘pakem’-nya hidup bersama. Jangan ganggu saya setelah lengser, dan ada yang menambahkan, terutama segala kenikmatan yang sudah diperoleh. Ada pepatah Jawa, mikul dhuwur, mendhem jero, kebaikan dipikul, aib dikubur dalam-dalam. Tetapi bagaimana jika mendem-nya kebablasan? Mendem (Jw., tanpa h) artinya mabuk. Bisa-bisa mendhem-nya, menguburnya harus dalam sekali, dan tentu ini terkait dengan biaya. Bermacam biaya. Maka mikul dhuwur mendhem jero itu bukanlah cek kosong, artinya janganlah selama berkuasa terus mendem, mabuk-mabukan: tahu bataslah. Pesannya jelas, jika berkuasa janganlah terlalu aèng-aèng.

Lapar tidak hanya masalah sekarang, tetapi juga masa depan, meski rentangnya relatif pendek. Terbayang seminggu, sebulan mendatang akan makan apa? Bahkan bisa berbulan-bulan. Maka ini memang akan lekat dengan kemiskinan dan pengangguran. Atau hari-hari ini, perang. Tetapi ada batas lain juga yang sebenarnya tidak boleh dilanggar, dan ini sifatnya memang ‘jangka panjang’: pendidikan. Jika ada yang ‘menarik batas’ terkait dengan pendidikan ini memang punya alasan kuatnya. Tidak hanya terkait besarnya alokasi yang wajib disediakan dalam APBN misalnya, tetapi juga karena terlalu banyak yang dipertaruhkan di luar masalah biaya itu. Salah satu dinamika pendidikan adalah terkait ‘memajukan horison’, apapun rute pendidikan yang ditempuh. Dengan horison semakin ‘maju’ atau meluas, siapa tahu akan melihat kemiskinan secara lain. Lihat bagaimana pendahulu melihat nasib di masa penjajahan, terus berkembang dari waktu ke waktu. Maka tak salah-salah amat jika ada yang mengatakan bahwa pendidikan adalah dinamitnya kolonialisme. Bisa meledakkan kolonialisme.

Maka penguasa yang mempermainkan pendidikan adalah juga telah menerobos-melewati batas. Karena dampaknya lebih ‘jangka panjang’ dibanding dengan kelaparan, memang kadang tidak dirasakan bagaimana ‘kurang ajar’-nya penguasa saat menerobos batas ranah pendidikan ini. Bertahun terakhir kita dengan telanjang melihat bagaimana rejim telah menerobos batas ini, telah mempermainkan pendidikan. Tidak hanya dari aspek pernak-pernik gelapnya seliweran rupiah tetapi juga bagaimana ranah pendidikan diobok-obok, bahkan berulang pula diolok-olok. Maka rejim seperti itu adalah juga rejim mendem, rejim mabuk. Kegilaan yang sudah sulit lagi untuk di-pendhem jero dalam konteks pepatah di atas.

Batas juga bisa terkait dengan masa lalu. To govern is to foresee, demikian pernah dikatakan oleh jurnalis Perancis di bagian akhir abad-19, seperti dikutip Daoed Joesoef dalam salah satu tulisannya. Ketika masa lalu diotak-atik dalam tarikan napas masa kini saja -apapun alasannya, maka itu seakan sedang berdiri di tepi batas. To govern is to foresee bukan hanya soal masa kini dan bagaimana masa depan diantisipasi, tetapi suka atau tidak juga akan terkait dengan ‘cara’ menghayati masa lalu. Masa lalu yang sebenarnya sudah tidak tergantung pada kita lagi. Yang tergantung pada kita adalah bagaimana masa lalu itu akan kita persepsikan, akan kita hayati, atau bahkan akan ditulis, dan dalam konteks to govern is to foresee itu sebaiknya hal-hal di atas ada dalam ‘nada-nada’ yang sedang kita antisipasi. Faktanya memang tidak hanya dalam antisipasi masa lalu akan ikut terlibat sebenarnya, bahkan dalam ‘melihat masa depan’pun masa lalu akan terlibat pula. Keterlibatan yang semestinya jika dirumuskan dalam kata tanya: “Apa pelajaran dari masa lalu?”

Karena nantinya sebagai ‘bahan pelajaran’ dalam melihat ke depan dan bangunan antisipasinya, maka menghayati masa lalu perlulah kejujuran, dan terlebih lagi, keberanian. Hanya dengan keberanian dan kejujuran dalam menghayati masa lalu bermacam endapan ingatan itu akan memberikan pelajarannya. Dan itu bukanlah hal yang tiba-tiba saja jatuh dari langit, tiba-tiba berani, mendadak jujur. Berani jujur terhadap masa lalu itu akan terbangun jika dan hanya jika berani juga menatap masa depan. Maka jika ada keinginan ‘menulis ulang sejarah’, serahkan itu pada para ahlinya, dan atau biarlah terjadi bermacam inter-subyektifitas saling koreksi tanpa rasa takut, atau lainnya. Sedangkan sik-penguasa -katakanlah begitu, tetap fokus utama pada ‘to govern is to foresee’, gouverner, c’est prévoir.[1] Masa depan siapa? Dalam konteks republik, maka jangan lupa konteks sebuah pemerintahan yang ada dalam Pembukaan UUD 1945, alinea-4. *** (08-08-2025)

[1] Daoed Joesoef, Pikiran dan Gagasan - 10 Wacana tentang Aneka Masalah Kehidupan Bersama, Kompas Media Nusantara, hlm. 268

1738. Etika Masa Depan

10-08-2025

Demi membangun masa depan yang tetap manusiawi, etika masa depan karena itu mengingatkan manusia agar berani menjawab tantangan terhadap kemampuan yang khas manusiawi, yaitu kemampuan untuk mengantisipasi, untuk merumuskan nilai-nilai, untuk menetapkan prioritas-prioritas dalam suasana yang tidak pasti agar generasi-generasi mendatang tidak menjadi mangsa dari proses yang semakin tidak terkendali di zaman mereka kemudian hari. Jadi, etika masa depan tidak sama dengan etika di masa depan, tetapi etika sekarang untuk masa datang,” demikian ditulis Daoed Joesoef dalam Etika Masa Depan Demi Keutuhan Yang Harmonis dan Abadi Negara-Bangsa, dalam Konferensi Nasional Pertama Kesejahteraan Sosial, Jakarta 25 Juli 2001.[1] Duapuluh lima tahun kemudian, mungkin saja Daoed Joesoef tidak hanya akan membedakan ‘etika masa depan’ dengan ‘etika di masa depan’ tetapi mungkin saja dengan ‘masa depan etika’. Menurut Sidney Hook, masalah etis yang sesungguhnya […] dirumuskan tidak sebagai pertentangan antara baik dan buruk, melainkan sebagai pertentangan baik dan baik, antara benar dan benar, serta antara yang baik dan yang benar.[2] Sebab jika itu antara baik dan buruk maka sebenarnya kita sudah memilih. Masalahnya, dalam kenyataannya tidaklah mudah untuk masuk dalam ranah pertentangan antara baik-baik, benar-benar, atau baik-benar, seringnya justru masuk dalam pertentangan baik-buruk. Bahkan pertentangan antara baik dan buruk itu sering masuk dalam jurang ‘fanatisme’. Bahkan kadang memang sengaja dieksploitasi.

Tetapi kadang pertentangan-pertentangan di atas memang harus ‘diselesaikan’ secara ‘politik’, termasuk juga pertentangan baik-buruk. Meski sebagian besar pemilih bukanlah ‘pemilih ideologis’, tetapi di AS sono baik Partai Republik atau Partai Demokrat -dua partai dominan, mempunyai pendekatan yang berbeda, meski sama-sama kapitalisnya. Katakanlah jika memakai istilah Karl Polanyi dalam The Great Transformation (1944), ‘gerakan ganda’ (double movement) itu dimainkan oleh kedua partai dalam posisi yang berbeda. Tidak dengan satu konduktor antara ‘pertumbuhan’ dan ‘pemerataan’ seperti di jaman old di republik. Lalu dimana ‘etika masa depan’nya? Istilah lain dari Daoed Joesoef cukup menarik: rehabilitasi masa depan.[3] Sangat relevan dan menjadi lebih mudah menghayatinya ketika kita bicara soal kedaruratan iklim, misalnya.

Dari hal-hal di atas maka sebenarnya etika masa depan itu dalam praktek akan juga berimpitan erat dengan etika politik. Bisa dikatakan ‘jembatan’ diantara keduanya adalah soal kepercayaan, trust. Jika memakai istilah Van Peursen dalam Strategi Kebudayaan, ‘melukis’ kepercayaan itu akan ada dalam baik tahap mitis, ontologis, dan fungsionil. Yang kadang terjadi, kepercayaan dibangun dalam modus ‘bablasan’ ketiga tahap di atas. Dibangun dalam nuansa ‘magis’ (bablasan tahap mitis) dan ‘operasionalisme’ (bablasan tahap fungsionil), sementara tahap ontologis didorong pada ‘eskapisme’ (bablasan tahap ontologis), bahkan kemudian diolok-olok, dibunuh karakternya. Maka jamak kemudian ada yang mengatakan bahwa memang politik yang nyata itu nir-etika. Benarkah?

Melihat bermacam pengalaman masa lalu maka masalahnya bukanlah apakah politik itu memang ada etikanya atau tidak, tetapi adalah politik tanpa etika itu adalah sebuah tantangan. Tantangan yang harus direspon jika ingin peradaban berkembang. Bahkan juga, untuk masa depan yang lebih baik bagi generasi mendatang. Bagi Ketua Mao, politik adalah perang tanpa darah. Jika berangkat dari itu maka kita bisa merasakan mengapa politik itu juga masalah ‘gertak’, bluffing. Bablasan ‘gertak’ tidak hanya mempunyai potensi besar masuk dalam modus magis dan operasionalisme, tetapi juga bisa-bisa mengingkari pentingnya etika, pertentangan baik dan baik, antara benar dan benar, serta antara yang baik dan yang benar. Bahkan akan cenderung mengeksploitasi pertentangan baik-buruk. ‘Operasionalisme’ seperti disebut di atas bisa-bisa merambah pada tiga kekuatan (Alvin Toffler), kekuatan pengetahuan, uang, dan kekerasan. Wacana tentara kembali ke barak misalnya, atau wacana ke-profesionalan yang pegang senjata itu pada dasarnya kritik terhadap ‘operasionalisme’ kekuatan kekerasan yang telah menabrak apa yang sebenarnya menjadi esensi adanya.

Maka pemilihan dalam jangka waktu tertentu dalam rejim demokrasi itu pada dasarnya adalah untuk memberikan kesempatan terhadap upaya ‘rehabilitasi masa depan’. Bahkan juga revolusi, misalnya. ‘Etika masa depan’ hanya akan (perlahan) berkembang jika ‘rehabilitasi masa depan’ itu telah menjadi ‘kosa-kata’ yang mampu menelusup pada setiap rejim. Untuk memperbesar kemungkinan itu maka ‘matahari kembar’ memang sebaiknya dihindari. Atau yang punya keinginan untuk terus saja berkuasa, semestinya tahu diri. Jika tetap saja nekad, semestinyalah orang semacam itu harus dianggap tantangan yang mesti direspon dengan sungguh-sungguh. *** (10-08-2025)

[1] Daoed Joesoef, 10 Wacana tentang Aneka Masalah Kehidupan Bersama, Penerbit Buku Kompas, 2011, hlm. 48

[2] Harsja W. Bachtiar ((ed.), Percakapan Dengan Sidney Hook, Penerbit Djambatan, 1986, cet-3, hlm. 9

[3] Daoed Joesoef, ibid, hlm. 47