1700. Tiga Stasiun TV (1)
25-06-2025
Kebetulan saja di rumah tiga channel TV berdekatan, France24, NHK World, dan DW (Jerman). Jadi bisa dengan cepat pindah channel. Membandingkan ‘gaya’ ketiga channel tersebut agak menarik juga. Terutama channel NHK World dibandingkan kedua channel lain. Meski hari-hari ini banyak berita tentang perang, NHK nampak lebih menyiarkan sebagai berita ‘ala kadarnya’ saja. ‘Ala kadarnya’ jika dibandingkan porsi siaran dua channel lainnya. NHK tetap konsisten dengan acara ‘makan-makan’-nya misal per-bento-annya, juga perkereta-apian, dan lain-lain yang jauh dari kelamnya perang. Apa yang dapat dipelajari dari sini adalah, NHK nampaknya lebih menekankan pada apa-apa ‘yang masih ada dalam kendali’, jika memakai istilah tulisan terdahulu (Tulisan no. 1699). Bukan berarti perang-perang dengan segala akibatnya tidak mempunyai nilai jurnalistik tinggi, tetapi sekali lagi itu dikemas dalam nuansa ‘ala kadarnya’ saja dalam arti porsinya.
Jepang sebagai salah satu area dalam ‘ring of fire’ -dalam sabuk dunia yang penuh dengan gunung berapi, termasuk republik juga: maka selalu akan dihadapkan pada besarnya ancaman ‘yang di luar kendali’. Maka bisa dikatakan pula, mereka menjadi terlatih untuk memaksilmalkan apa-apa yang masih dalam kendali, sehingga ancaman yang sungguh bisa dahsyat itu paling tidak menjadi tidak begitu menghancurkan. Memang kadang gagal, kadang berhasil, tetapi itu semua kemudian menjadi bahan pembelajaran untuk tidak berhenti memaksimalkan apa-apa yang masih ada dalam kendali. Termasuk juga bagaimana mengendalikan potensi ‘ring of fire’ dari kerumunan politik saat kampanye, misalnya. (Lihat: Keranjingan Kerumunan, no. 1692, bagian akhir). Tentu ini tidak lepas dari kelamnya sejarah yang pernah menyapa Jepang dengan begitu kerasnya. Terutama ketika kalah, tetapi juga ketika ada ‘di atas angin’ dalam rentang waktu tertentu. Sama-sama menghadirkan nuansa kendali-kendalian sebenarnya.
Tetapi fokus tulisan ini adalah pada bagaimana memaksimalkan apa-apa yang masih dalam kendali, dengan salah satu contoh dalam hidup bersama, Jepang. Tentu ada hal lain ketika bicara soal bekas jajahan, misalnya. Lamaaa sekali sebagai yang terjajah seakan menjadi tidak terlatih untuk memaksimalkan apa-apa yang masih dalam kendali, terutama sayangnya, pada para ‘elit’ waktu itu. Viktor Frankl menunjukkan justru pada orang-orang yang seakan sudah kehilangan semuanya, ada yang masih ada dalam kendali: harapan. Ketika harapan menjadi horison salah satu yang menampakkan diri adalah, makna.
Apa dibalik yang masih dalam kendali? Salah satu paling penting adalah tanggung jawab. Latihan terus menerus dalam hal tanggung jawab akan memberikan peluang lebih besar dalam memaksimalkan apa-apa yang masih dalam kendali. Mengapa soal tanggung jawab ini perlu dilatih? Amartya Sen membedakan antara perfect obligation dan imperfect obligation. Dari ilmu otak-atik-gathuk dengan memakai kacamata Fenomenologi, ‘temporalitas’ perfect obligation itu bisa dibayangkan sebagai dalam ‘waktu obyektif’, waktu yang semua saja bisa mengukur dalam detik, jam, bulan, misalnya. Sedangkan imperfect obligation itu ada dalam ‘waktu subyektif’. Sama-sama bisa diukur dengan jam tangan selama 10 menit, ketika ngobrol dengan sahabat akan terasa cepat. Tetapi ketika di ruang tunggu UGD menunggu sahabat sedang ditangani di ruang UGD, terasa lama sekali. Dan kita memperhatikannya, membayangkan dalam posisi dia dan waktu yang sedang dijalaninya, perlahan kita mendekat dan menawarkan minuman. Tidak ada kewajiban atau tanggung jawab langsung kita terhadap situasi yang sedang dihadapinya -imperfect obligation, tetapi kita memutuskan untuk membantu sebisa mungkin, menawarkan minuman misalnya.
Selain ‘waktu obyektif’ dan ‘waktu subyektif’ seperti di atas, ada waktu yang sifatnya lebih ‘primordial’, consciousness of internal time. Sekali lagi, kalau ada nada 1-2-3, dan sekarang kita mendengar nada 2 (primal impression), maka nada 1 tidaklah terus menghilang tetapi mengalami retensi, sedang nada 3 meski belum hadir seakan sudah kita antisipasi. Nada-nada itu seakan mengalir begitu saja, ada flow. Hal ini dimungkinkan karena kita mempunyai endapan-endapan ingatan masa lalu, atau pengalaman-pengalaman masa lalu. Flow seperti inilah yang kemudian memungkinkan dalam sebagian besar hidup kita akan kita jalani take for granted saja.
Dalam teori tindakannya Pierre Bourdieu, bisa kita bayangkan apa yang dimaksud sebagai habitus adalah waktu dalam arti consciousness of internal time ini. Sedangkan ranah atau field adalah ‘waktu obyektif’. Baju putih dengan stetoskop di rumah sakit itu dengan serta merta banyak orang akan menghayati sebagai dokter, misalnya. Atau saat nonton film di bioskop seakan sepakat saja dengan aturan: jangan berisik. Sedang capital dekat dengan ‘waktu subyektif’. Ada rasa berbeda ketika ketemu dengan ‘mo Setyo saat di ruang kuliah dengan ketika komplit dengan ‘jubah kebesaran’ di gereja, misalnya. Atau saat minum kopi sambil merokok dengan ketika menumpuk lembar tugas. Tindakan menurut Bourdieu akan dipengaruhi oleh capital, habitus, dan ranah. Habitus lebih dari sekedar kebiasaan saja, ia lebih dalam. Maka tindakan kita sebenarnya adalah ‘mewaktu’, tidak lepas dari nuansa ketiga ‘tingkat’ waktu di atas. *** (25-6-2025)