1660. Disiplin Sipil dan Tentara

06-05-2025

Waktu SMA di Jogja sekitar awal 1980-an, meski rambut boleh gondrong, boleh pakai kaos, sekolah tidak harus pakai sepatu, tetapi tetap saja kedisiplinan bisa tumbuh di sekolah. Masuk sekolah tepat waktu, jika terlambat bisa agak panjang urusannya. Demikian juga jika tidak masuk sekolah. Nyontek-nyontekan hampir tidak ada, jika ketahuan urusannya bisa panjang juga, buang sampah tidak sembarangan, dan lain-lain. Intinya adalah, jika kita mengenal ‘inner beauty’ mengapa kita tidak bisa membayangkan adanya ‘inner discipline’? Tentu ‘inner-discipline’ tidak harus dikontraskan dengan luaran yang ‘kusut’ seperti contoh di atas. ‘Kusut’ karena semua laki-laki, coba saat itu ada ceweknya juga, akankah beda ‘luaran’-nya? Konteks kesempatan ini adalah apa yang membedakan terkait dengan ‘pendidikan’ ke-disiplin-an di kalangan ‘sipil’ dan ‘tentara’? Nampaknya adalah, di ranah sipil, kedisiplinan (dalam pendidikan) lebih sebagai ‘kurikulum tersembunyi’, tetapi di ranah (pendidikan) tentara mungkin itu ada di paling depan rentang kurikulumnya. Bahkan secara rutin akan dinampakkan karena disiplin tentara salah satunya adalah untuk menggetarkan musuh. Sebaliknya, disiplin sipil justru untuk mengundang rekan. Meski tidak selalu tetapi sebagian besarnya disiplin sipil akan membuat nyaman orang-orang sekitar. Menurut Pierre Bourdieu, tindakan akan dipengaruhi oleh capital, habit, dan ranah (field). Sedikit banyak dalam ranah ada dimensi ‘disiplin’-nya. Dalam ranah ada satu set ‘aturan’ atau ‘aturan main’ yang mestinya ditaati. Bahkan dalam ranah ngobrol-gayeng-nggak jelas juntrungannya pun ada ‘aturannya’, misal tidak boleh hal fisik jadi guyonan.

Tetapi lebih dari itu, disiplin sipil justru adalah untuk ‘membebaskan’, sedang disiplin tentara terutama adalah untuk ‘taat perintah’. Dengan hadirnya disiplin sipil, ‘orang sipil’ seakan sedang berdiri di atas batu (yang terus saja disusun semakin tinggi) sebagai titik pijak, dan dia seakan sedang melihat bermacam kemungkinan sampai pada batas horisonnya. Karena disiplin sipil sebenarnya adalah ‘disiplin aktif’. Disiplin merupakan serapan bahasa asing, dari bahasa Latin, disciplina "instruction given, teaching, learning, knowledge," also "object of instruction, knowledge, science, military discipline," from discipulus "pupil, student, follower".[1] Disiplin sipil karena ke-aktifannya ia akan erat dengan teaching, learning, knowledge. Bukan untuk menjadi ‘follower’ seperti dalam disiplin militer. Apa esensi dari teaching, learning, knowledge? Itu akan terkait dengan bagaimana horison terus dimajukan, diperluas. Terkait dengan horison maka akan melibatkan ‘titik pijak’ yang itu akan melibatkan juga dimensi kedisiplinan (aktif, karena titik pijak-pun akan terus berkembang juga).

Maka ‘wajib militer’ apapun alasannya, itu akan ada di rentang usia manusia dewasa. Dewasa karena dengan segala pendidikan dan pengajaran yang telah dilaluinya ia dengan keluasan horisonnya diharapkan mampu menempatkan bermacam hal termasuk ‘wajib militer’ sebagai salah satu kemungkinan yang mesti dihadapi. Termasuk kemungkinan untuk menolak dengan segala akibatnya. Sebagai warga negara (dewasa) ketika ikut wajib militer ia dipersiapkan untuk ikut bertempur dalam perang mempertahankan kedaulatan jika diperlukan. Dengan rentang waktu tertentu dalam ‘wajib militer’ selain supaya mampu menangani alat-alat perang ia juga dilatih untuk mengenal apa yang disebut sebagai ‘disiplin tentara’. Karena memang beda. Dan bukan berarti ‘disiplin tentara’ itu lebih unggul dibanding ‘disiplin sipil’. Tidaklah, dan itu memang bukan soal mana yang lebih ‘unggul’ karena ranahnya memang beda. Latar belakang ‘wajib militer’ adalah potensi adanya perang yang mengancam kedaulatan. Apa yang terjadi jika semua kehidupan diatur dengan logika ‘disiplin tentara’? Ya semua bisa menjadi ‘berhenti’ karena semua akan berpotensi besar menjadi ‘follower’. *** (06-05-2025)

[1] https://www.etymonline.com/word/discipline

1661. Bicaralah, dan Bangkit!

07-05-2025

Bagaimana perasaan ketika mendengar kata pertama dari anak kita? Kata pertama yang kita bisa memahaminya -apapun itu? Seakan kita ingin membalas dengan mengucapkan, selamat datang di dunia ini! Seakan pula pendapat Heidegger bahwa bahasa adalah rumah being -katakanlah manusia, benar. Kata pertama itu seakan telah membuat bayi tidak sekedar terlempar di dunia ini, tetapi telah mampu menjalin hubungan. Terutama tentu pertama-tama dengan ibu yang melahirkan, ayah, dan saudara-saudaranya. Horééé ...

Secara liar kita bisa membayangkan bangkit dan berkembangnya Toyota karena salah satu pilarnya adalah bicara. Bicaralah dan bangkit! Bicara dalam konteks liberal arts yang terdiri dari trivium dan quadrivium itu. Mari kita bayangkan kaizen sebagai liberal arts. ‘Kai’, perubahan, ‘zen’, baik: perubahan menuju lebih baik (yang dilakukan oleh ‘manusia merdeka’). ‘Merdeka’-nya ada dimana? Dari adanya kesempatan untuk terlibat dalam ‘merubah menuju lebih baik’ terutama di sekitar ia bekerja, dan itu akan melibatkan bahasa (trivium) dan angka-angka (quadrivium). Trivium seperti sudah disinggung tulisan terdahulu terdiri dari grammar, logika, dan retorika. Kita bayangkan dalam penggunaan bahasa itu adalah juga ‘rangkaian’ dari input (grammar), proses (logika), dan output (retorika-persuasif). Quadrivium terdiri dari aritmetika, musik, geometri, dan astronomi. Dan musikpun akan terlibat dengan angka dalam prakteknya. Lihat, biasanya para ahli matematika itu juga penggemar musik. Astronomi dikatakan sebagai angka dalam geraknya. Sedang geometri angka yang meruang, meluas. Jadi quadrivium memang urusannya dengan angka. Lalu apa hubungannya dengan kaizen?

Seorang pekerja diberi kesempatan usul perbaikan. Manajemen terbuka terhadap bermacam usulan perbaikan. Maka ketika ada pekerja dengan pengamatan sehari-hari kemudian membuat kesimpulan sementara bahwa ada satu set alat yang menurutnya sebaiknya diletakkan di tempat B dari pada di A, maka ia mencoba ‘penelitian’ kecil-kecilan yang kemudian ‘diangkakan’ dalam bentuk ‘statistik sederhana’. Ternyata jika dirubah dengan dipindahkannya alat-alat tersebut ke tempat B, ada waktu lebih cepat sekitar 30 detik. Karena berulangnya pekerjaan maka akumulasi waktu bisa berpuluh menit. Ia kemudian usul pada supervisor atau pihak atasan. Dan iapun diberi kesempatan memaparkan ‘temuan’nya itu. Jika pihak manajemen setuju, itu kemudian ditetapkan sebagai ‘standard operating procedure’ baru karena memang lebih efisien. Bukankah rangkaian di atas akan melibatkan trivium dan quadrivium? Bahasa dan angka?

Tetapi manusia hidup tidak hanya dengan bahasa dan angka, ada juga keterlibatan yang disebut Henry Bergson sebagai elan vital. Jika elan vital ini tak jauh-jauh amat dari hasrat, jangan-jangan bahasa dan angka itu tidak lain dari ‘budaknya’ hasrat seperti disinyalir oleh David Hume tentang ‘rasio’ yang diperbudak hasrat? Jika benar begitu, hasrat yang mana? Albert Camus dalam The Rebel (1951) membedakan adanya ‘kejahatan logika’ dan ‘kejahatan hasrat’. Akankah ‘kejahatan hasrat’ memperbudak ‘logika’ sehingga menjadi ‘kejahatan logika’? Jika kita lihat sejarah masa lalu, nampaknya salah satu kesibukan manusia adalah soal hasrat ini, bagaimana hasrat ‘dikendalikan-dikelola’. Baik ketika era kosmosentris, teosentris, maupun antroposentris. “Desire is the very essence of man,” demikian pernah dikatakan Spinoza (1632-1677). Esensi dari manusia ‘apa adanya’.

Ketika hasrat dikelola dengan baik dan bertransformasi menjadi elan vital seperti dibayangkan Henry Bergson, maka kreatifitas akan mendapatkan bahan bakar utamanya. Tetapi bagaimana elan vital itu akan ‘terbina’? Apakah elan vital itu merupakan bagian dari bangkitnya sebuah respon ketika menghadapi tantangan? Hal ‘material’ yang memprovokasi imajinasi? Tetapi bagaimana imajinasi yang abstrak itu menjadi mungkin? Adanya bahasa tidak hanya berurusan hal kongkret, tetapi juga akhirnya manusia menjadi mampu menyapa hal-hal abstrak. Maka tidak mengherankan jika ada yang mengatakan dalam trivium itu, retorika sebagai output atau keluaran akhirnya akan berurusan juga dengan hal etik. Etika sebagai bagian dari elan vital. Etika yang lekat dengan hal timbang-menimbang itu (grammar - logika) semestinya dihayati sebagai bayang-bayang lekat ketika manusia dipahami dalam mode ‘apa adanya’ dengan segala hasrat yang digendongnya. Etika yang ikut menjaga supaya hasrat menjadi tidak mudah jatuh pada ‘kejahatan hasrat’-nya. Melalui ‘liberal art’ manusia mendidik dirinya untuk menjadi merdeka, termasuk mampu meloloskan diri dari terkaman hasratnya sendiri, dan bahkan mampu mengubah hasrat menjadi bahan bakar bermacam kreatifitas dengan pagar-pagar etika yang dibangun bersama manusia lainnya. Dan dengan itu ia menapak jalan evolusinya. Creative evolution (1907), kata Henry Bergson. *** (07-03-2025)

1662. Mengapa Bicara? (1)

08-05-2025

Pada jaman old, sering digambarkan republik era sebelumnya adalah era dimana politik sebagai panglimanya. Di balik itu sebenarnya ingin meyakinkan bahwa era sebelumnya itu terlalu banyak omong, terlalu banyak bicara, terlalu banyak pidato, terlalu banyak diskusi. Karena bagaimanapun politik itu pada dasarnya memang adalah soal omong, soal bicara. Tetapi jelas juga bukan omon-omon. Maka jaman old maunya ingin memperbaiki dengan idiom: pembangunan. Jangan banyak bicara lagi, waktunya kerja dalam pembangunan. Maka jadilah dalam satu paket idiom pembangunan itu: depolitisasi. Langkah pragmatis yang kemudian berkembang menjadi pragmatisme. Pragmatisme yang salah satunya akan meminggirkan ‘debat ideologis’ misalnya. Pragmatisme yang jika tidak dikawal ketat oleh kaum teknokrat bisa-bisa ‘segala biaya’ akan serasa meningkat tajam karena outcome-nya jauh dari yang semestinya.

Masalahnya untuk berhasilnya ‘lembaga’ depolitisasi ini akan membutuhkan prakondisi politis, teknis, dan sosial. Prakondisi politis jelas ada karena penguasa memang maunya begitu. Prakondisi teknis misalnya segala tahapan untuk penyederhanaan partai politik. Bahkan sampai pada adanya lembaga litsas-litsus itu. Negara hadir, cuk. Bagaimana prakondisi sosial? Di sinilah kita bicara soal ‘bicara’. Pendidikan bahasa di sekolah misalnya, lebih digeser pada ‘know that’ daripada ‘know how’. Pembedaan ini pertama kali diungkap oleh Gilbert Ryle dalam The Concept of Mind (1949). Lebih menguasai ‘teori’ tentang naik sepeda daripada berhasil mampu naik sepeda itu sendiri. Maka pendidikan bahasa, dan juga pendidikan sejarah, menjadi terasa ‘kering’. Yang tidak boleh dilupakan terkait prakondisi sosial dari depolitisasi ini adalah adanya genderang kedaruratan yang ditabuh berulang dan berulang tentang ‘bahaya laten’. Ini tidak sekedar untuk menunjukkan siapa yang berdaulat (schmittian), tetapi prakondisi sosial kemudian perlahan berubah menjadi begitu ‘magis’-nya. Dengan kemampuan bicara yang dikerdilkan dan bahkan dibatasi, memutus-meretakkan ‘lingkaran sihir’ itu terbukti memang menjadi tidak mudah. Dan dari apa-apa yang terjadi, kita bisa melihat bagaimana di pertengahan dekade 1990-an ketika sekelompok pemuda-mahasiswa mulai mampu-berani meretakkan ‘lingkaran magis’ itu melalui bermacam retorika-nya. Melalui kemampuan ‘bicara’-nya. Tentu ini tidak di ruang hampa, tetapi apapun itu tetaplah sejarah akan mencatat peran pentingnya.

Tetapi apa yang sebenarnya menjadi daya dorong utama dari segala ‘cerita’ di atas? Lihat bagaimana catatan-catatan terdahulu seakan republik yang merupakan ‘zamrud-nya katulistiwa’ itu dibagi-bagi penguasaan kekayaan alamnya di sekitar akhir 1960-an dan awal 1970-an. Di awal-awal jaman old. Atau undang-undang apa yang pertama kali disahkan di jaman old? Atau catatan bagaimana kegilaan perburuan rente -rent seeking activities, bertahun kemudian itu dimulai dari soal kayu-hutan. Atau nasib-digantung di kemudian harinya -di jaman old, UU Pokok Agraria 1960 yang disahkan di tahun-tahun akhir jaman old-old. Seakan kapitalisme kroni, pat-gu-li-pat, kong-kali-kong, itu sedang sibuk membangun habitat idamannya: fasisme. DĂ©jĂ  vu? *** (08-05-2025)

1663. Mengapa Bicara? (2)

09-05-2025

Apa salah satu kesibukan utama dalam rejim rule by tyrant dan rule by few? Tak jauh-jauh amat dalam gambaran novel 1984 karya George Orwell, menguasai-mengendalikan ‘yang banyak’. Dalam celetukan jaman Yunani Kuno terkait dengan ‘roti dan sirkus’ itupun lekat dengan maksud mengendalikan ‘yang banyak’. Bahkan Negri dan Hardt juga menempatkan ‘yang banyak’ -multitude, ini sebagai lawan utama dari Empire. Berkembangnya demokrasi juga tidak lepas dari dorongan untuk melawan dominasi dari sik-mono dan sik-olig.

Pembedaan Marx tentang adanya ‘basis’ dan ‘bangunan atas’ nampaknya akan sangat membantu menghayati dinamika di atas. Bagaimana relasi-relasi kekuatan produksi dengan segala mode of production-nya akan menentukan dinamika ‘bangunan atas’ termasuk politik. Bagaimana jika cara produksi (kekayaan) itu lekat dengan jalan kapitalisme kroni, pat-gu-lipat, kong-ka-li-kong, korupsi, ngemplang, ngunthet, rent seeking activities? Yang semuanya itu jelas akan menunjuk pada bukan ‘yang banyak’? Menurut Thomas Hobbes, hasrat akan kekuasaan pada manusia itu tidak hanya dibawa sampai ajal menjemput, tetapi juga untuk menjaga segala kenikmatan yang sudah diperoleh. Apalagi ketika segala kenikmatan itu mengalir lebih karena kekuasaan. Maka tidak mengherankan jika Leo Strauss menghayati juga ekonomisme sebagai machiavellism come of age, machiavellisme yang menua. Atau dalam kata-kata B. Herry Priyono, Machiavelli menumpuk harta. Menumpuk kekuasaan dengan rute machiavellis itu bisa-bisa terreleksi pada bagaimana kepentingan diri terus dipuaskan. Atau arahnya mestinya dibalik? Kekuasaan menjadi ‘seperti itu’ karena ‘basis’ sudah berkembang layaknya transaksi gerombolan machiavellis. Apakah ini juga menjelaskan bagaimana premanisme baik dalam arti ‘metafora’ atau ‘vulgarnya’ ikut terlibat dalam upaya ‘Machiavelli menumpuk harta’ itu?

Maka ketika korupsi sudah begitu dalam dan luas dengan jumlah yang tak terbayangkan sebelumnya itu, bagaimana kekuasaan akan terbangun atau membangun dirinya? Ketika kapitalisme kroni mendapat perlakuan istimewa dalam bentuk ‘proyek strategis nasional’, kuota impor, hak pengelolaan hutan-tambang, menelikung habis-habisan melalui pernak-pernik rute pasar keuangan dan sekitar-sekitarnya itu, tax-amnesty, bail-out, kesempatan luas untuk aksi penyelundupan, illegal fishing, tambang-ilegal, kekuasaan seperti apa sehingga segala ‘kenikmatan’ itu akan terus dinikmati? Kekuasaan yang salah satu kesibukan utamanya adalah membungkan ‘yang banyak’? Tetapi bagaimana ketika sosial media sudah berkembang sedemikian rupa di era Revolusi Informasi ini? Apakah kekuasaan kemudian juga akan melatih diri untuk menulikan diri? Mbudeg? Atau bahkan sukanya ‘nantang-nantang’. Dikritik jangan lempar-lempar bingkisan pada rakyat malah diulang dan diulang, tanpa beban. Ataukah di kepalanya sedang berpikir, emang loe siapa? Emang loe siapa 
 jika kagak setuju, keluar dari republik!

Jika memakai istilah Gayatri Spivak, ‘yang banyak’ dalam situasi di atas sebenarnya adalah juga ‘subaltern’. Maka pertanyaannya, can subaltern speak? Atau lanjutannya kemudian, mampukah jaringan (subaltern) bicara? Negri dan Hardt menyebut jaringan seperti ini sebagai multitude. Bukan hanya ‘yang banyak’ tetapi bagaimana ‘yang banyak’ itu mampu berjejaring tanpa meluruhkan keunikan masing-masing. Lebih seabad lalu, jaringan ‘semacam ini’ disebut sebagai ‘partai pelopor’. *** (09-05-2025)

1664. Dari 'Budaya Bisu' ke 'Budaya Mbudeg'? (1)

09-05-2025

Paulo Freire di bagian akhir dekade 1960-an mengintrodusir tentang ‘kebudayaan bisu’. Rentang waktu di sekitar-sekitar itu bisa dikatakan sebagai puncak modus komunikasi man-to-mass melalui produk cetak, radio, film, dan terutama televisi. Bahkan di sekitar-sekitar itu juga Guy Debord menerbitkan tesis-tesisnya dalam The Society of the Spectacle (1967). Paulo Freire di Brazil dengan kemiskinan masih meluas. Sebaliknya Debord di Perancis dengan kekayaan semakin meluas dengan ‘hiper-konsumsi’ membayang lekat. Sekitar-sekitar itu adalah juga puncak Perang Dingin, termasuk perlombaan untuk merambah ruang angkasa. Dunia bipolar ini di berbagai belahan dunia mempunyai banyak konsekuensi, salah satunya munculnya para diktator yang ‘terdukung’. Asal mau ikut satu polar maka kediktatoranpun akan didukung. Apalagi dengan modus man-to-mass, ‘sihir’ bisa dimaksimalkan efektifitasnya. Maka tak mengherankan jika Noam Chomsky di sekitar-sekitar itu memandang salah satu yang akan meretakkan status quo adalah ketika ‘yang satu’ saling tahu apa yang menjadi sentiment dari ‘yang lain’. Kurungan kesadaran yang disebut Freire sebagai ‘kesadaran magis’ akan retak jika satu sama lain mulai membuka diri untuk dialog.

Tahun-tahun itu bagi yang terlibat langsung dalam Perang Dunia II adalah juga puncak ‘restorasi’ kesejahteraan melalui rute ‘negara kesejahteraan’ keynesian. Peran negara ada di pusat dalam ‘olah kapitalisme’. Pada tahun-tahun itupun karya ideologis Friedrich von Hayek dan MPS (Mont Pelerin Society -berdiri tahun 1947) seakan memperoleh momentum ketika big-business merasa gatal terhadap bermacam ‘beban sosial’nya dan negara seakan menjadi ‘pembatas’ bagi ekspansi modalnya. Hayek yang mengusung ‘freedom’ itu paling anti dengan ‘ekonomi terpusat’. Hayek juga sebenarnya ‘anti-konservatisme’ karena kaum konservatif itu cenderung suka dengan tariff. Tahun-tahun itu pula dengan ikon Festival Musik Woodstock (1969) ‘generasi bunga’ meluas sebagai respon terhadap Perang Vietnam. Pada sekitar awal 1970-an Allende di Chile dikudeta melalui Operasi Djakarta dan ‘diuji-cobalah’ oleh Chicago Boys paradigma neoliberalisme a la Hayek dkk itu. Beberapa tahun kemudian Margaret Thatcher membanting buku Hayek di atas meja di depan rapat Partai Konservatif dan berseru: “Inilah yang kita percaya!” Sekitar tiga puluh tahun kemudian David Harvey menerbitkan buku A Brief History of Neoliberalism (2005) dengan cover buku bergambar Ronald Reagan, Deng Xiaoping, Augusto Pinochet, dan Margaret Thatcher. *** (09-05-2025)

Catatan: Mbudeg = sengaja menulikan diri, tidak mau mendengar