1725. Universitas Hama Hada
28-07-2025
Dengan telah berkali-kali panen raya semestinya republik menjadi berkecukupan. Tetapi mengapa terus saja terseok-seok? Karena terlalu banyak hama terus mengganggu. Macam-macam bentuk-jenis hamanya. Yang terakhir, hama-hama itu senang pamer kemewahan di tengah khalayak kebanyakan sedang susah terseok-seok. Pejabat atau keluarga pejabat pamer pelesiran di luar negeri dengan segala kemewahannya. Naik-turun jet pribadi mewah. Pamer baju, tas tangan mewah, sepatu mewah dengan tanpa beban lagi. Dan rakyat cukup dikenyangkan dengan keluh kesahnya, ‘aku bilang soal menyan dinyinyirin, aku bilang AI juga dinyinyirin’ misalnya. Seakan khalayak diminta berpihak terhadap perasaan terlukanya, sementara kelakuannya dan orang-orang sekitarnya tidak pernah peka terhadap situasi yang sedang dihadapi khalayak kebanyakan. Kelakuan pejabat seperti itu jelas merupakan kelakuan hama bagi republik.
Belum lagi ketika dunia semakin sulit diprediksi, uang pajak yang terkumpul malah digunakan secara ugal-ugalan. Dihambur-hamburkan tanpa pertimbangan matang. Sementara khalayak kebanyakan cukup dikenyangkan oleh pecingas-pecingis-glècènannya. Oleh kelakuan sok-sok-an, gegayaan. Lucuuu …. Berapa biaya yang harus dibayar republik terkait banyaknya kesempatan yang menguap begitu saja? Hilang karena kelakuan sik-super-hama dan hama-hama ternakannya itu. Korupsi merebak sampai pada tingkat tak terbayangkan sebelumnya. Dengan jumlah dikemplang sampai pada tingkat tak terbayangkan sebelumnya. Utang ugal-ugalan memberikan beban berat ke depannya.
Universitas Hama Hada adalah perguruan tinggi, terhormat sebenarnya, juga punya sejarah panjang, tetapi karena polah tingkah hama-hama akhirnya berubah menjadi UHH tadi. Menjadi perguruan tinggi yang mau-mau saja diobok-obok oleh hama-hama republik. Sama sekali sudah tidak punya kehormatan lagi. Terakhir, diobok-obok oleh hama-hama republik untuk main reuni-reunian. Maka, pertanyaan bagi yang mencintai republik, hama-hama itu sebaiknya diapakan? Lama-lama semakin menjijikkan saja! Setiap komunitas pasti punya hama-hamanya sendiri. Hama-hama itu adalah salah satu tantangan yang mesti direspon. Jika hama-hama menjadi tidak terkendali bisa dipastikan peradaban akan terus saja mundur. Mundur jauh ke belakang. Dan ironisnya, justru perguruan tinggi yang sudah berubah menjadi Universitas Hama Hada itu malah menjadi bagian penting dalam kemunduran peradaban. Tak mudah dijelaskan karena terlalu besarnya ironinya. Satu-satunya penjelasan yang mungkin adalah, perguruan tinggi memang sedang dirusak oleh hama-hama itu. Bahkan menjadi tempat bertelurnya, tempat beranak-pinak hama-hama. Jadi, what is to be done? *** (28-07-2025)
1726. Faustian Bargain
29-07-2025
Bagi Machiavelli, kekuasaan itu laksana gadis cantik. (Tentu saat itu belum ada gerakan feminism, atau sekitarnya) Begitu menggoda, tetapi juga sekaligus memabukkan. Bisa-bisa menjerumuskan. Demikian dibayangkan saat itu. Maka keutamaan, virtue diperlukan dalam olah kuasa. Semestinya. Atau dalam kata-kata Van Peursen dalam Strategi Kebudayaan, kekuasaan itu memang cenderung terhayati dalam ‘tahap mitis’. Terlebih menurut Nietzsche hasrat utama manusia adalah will to power. Maka perlu upaya lebih untuk ‘meretakkan’ lingkaran tertutupnya sehingga mau terbuka terhadap ‘tahap ontologis’. Dengan kemauan dan kemampuan untuk menyelami apa-apa yang menjadi ‘esensi’ maka kebijakan-kebijakan yang akan dioperasionalkan di ‘tahap fungsionil’ menjadi lebih tepat, dan juga berani terbuka dengan masukan, kritik, dan sekitar-sekitarnya.
Maka jika ada yang berpendapat bahwa setelah pemilihan kelompok-kelompok relawan itu sebaiknya dibubarkan sebenarnya mempunyai alasan kuat. Puja-puji yang terus dilakukan oleh relawan kepada sik-terpilih sadar atau tidak akan membuat ‘lingkaran tahap mitis’ semakin mengeras. Menjadi lebih sulit retak. Karena yang terbangun adalah juga fanatisme. Akhirnya ‘tahap mitis’ itu bablas menjadi magis. Upaya untuk mengingatkan hal esensi memang akan terus ada, tetapi itu tidak pernah didengar. Mbudeg. Bahkan terus saja diolok-olok. Tak jauh dengan jaman old, bedanya tidak hanya tidak didengar tetapi bisa-bisa ditangkap. Tidak hanya diolok-olok, tetapi diobok-obok dan jika apes masuk penjara. Keluarannya tak jauh beda: hal esensi tidak pernah masuk dalam perdebatan publik. Keduanya melihat sebaiknya (jika terpaksa) ‘tahap ontologis’ itu masuk dalam modus bablasannya saja, eskapisme. Maka tak mengherankan jika ‘tahap fungsionil’ kemudian jatuh pada modus bablasannya juga: operasionalisme. Bentuk lain dari pragmatisme ugal-ugalan. Ugal-ugalan karena dalam ‘lingkaran tertutup’ itu bahkan ‘kaum teknokrat’ juga sudah disingkirkan.
Faust adalah laki-laki paruh baya yang tergila-gila pada seorang gadis cantik, masih muda. Karena selalu bertepuk sebelah tangan, ia kemudian minta bantuan pada Mephistopheles sang iblis. Sang iblis bersedia membantu Faust untuk mendapatkan gadis idamannya, dengan syarat ketika ia suatu saat minta jiwa Faust maka harus segera saja diserahkan. Sebuah faustian bargain. Maka jika ada pemimpin yang semau-maunya, ndableg, sibuk sok-sok-an-gegayaan, jangan-jangan ia sedang dalam faustian bargain. Telah menjual jiwa-nya kepada sik-iblis. ‘Jiwa’ republik yang tergambarkan pada Pembukaan UUD 1945 telah dijual habis-habisan pada sik-iblis. Dari kewajiban melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia telah dijual habis-habisan pada sik-iblis.
Kita bisa melihat dengan begitu telanjangnya bagaimana ke-empat hal di atas (ada dalam Pembukaan UUD 1945, alinea ke-4) yang semestinya menjadi kewajiban sik-terpilih telah dikhianati dengan tanpa beban lagi. Paling tidak sepuluh tahun terakhir ini. Dikhianati sambil pecingas-pecingis-glècènan, sesuai pesanan dari sik-iblis. Jiwa-nya telah dijual dan diubah juga menjadi ‘sasaran tembak’ atau flare (dalam pesawat tempur) sehingga sik-iblis mendapat ruang sangat luas untuk menggangsir kekayaan republik. Bahkan kedaulatannya. Mencerdaskan kehidupan bangsa? Dengan segala upaya terus tanpa henti bahkan setelah jadi mantan-pun selalu saja berupaya membuat bodoh khalayak kebanyakan. Ikut melaksanakan ketertiban dunia? Bahkan selama 10 tahun untuk menghadiri Sidang Tahunan PBB-pun sama sekali tidak pernah! Memajukan kesejahteraan umum? Yang maju paling depan adalah memajukan kesejahteraan diri, keluarga, dan gerombolannya saja. Dan terutama tentu sik-iblis. *** (29-07-2025)
1727. Lucu, Cuk?
30-07-2025
“Piyé Cuk ... wingi réuni-né aku lan konco-koncoku angkatan 80, menurutmu lucu opo ora? Kowé kan tak séwa dadi juru potrèté …” Pak ML.[1] Mukidi takon karo Cuk Bowo lan sak gerombolané.
“Lucu pak, lucuuu …,” Cuk Bowo jawab karo ogah-ogahan. Totok sing semangat jawab, banter: “Lucu Pak, lucuuu …!” Totok wektu kuwi dadi asistèné juru potrèt. YMT, yang membawakan tas.
Cak Babo rodo telat mikir, takon kanthi lugu: “Réuni kok dados lucu niku critané pripun Pak ML.”
“Kang Wé mèlu réuni Cak …”
“Kang Wé mantan gali terminal niko?”
“Hè’èh Cak, lucu opo ora nèk ngono kuwi …”
“Lucu pak, lucuuu …” Kabèh kompak jawab ‘lucu’. Bèn ML. Mukidi tambah seneng waé. Mas Amir penasaran: “Lho menopo Kang Wé sekolahané sami kaliyan Pak ML. Mukidi?”
“Yo ora Mas. Tak kongkon …, yo jelas kuwi ono sanguné. Tak pacaki kaos biru, terus tak kongkon mangkat mèlu réuni. … Lucu opo ora kuwi?”
“Lucuuu …”
Kang Yos nyelo: “Lha Kang Wé kan wonten butuh to Pak ... Kathah … Mbonten lucu-lah …”
Pak ML. Mukidi tetep ngèyèl, karo méngo nang Cuk Bowo: “Piyé Cuk, lucu opo ora …?”
Karo aras-arasen Cuk Bowo jawab: “Lucuuu …”
Pak ML. Mukidi tambah semangat: “Profesor-profesor kaé, kapusan kabèh Cuk. Wong-wong pinter kok gampang banget diapusi yo …. Lucu opo ora Cuk?”
Totok sing jawab, banter banget: “Lucuuu …”
“Gayané waé nganggo pengukuhan pidato-pidato-an ….. Ning kok gampang banget diapusi. Yo ora Tok?!” Lanjut ML. Mukidi tambah semangat.
Totok: “Lucuuu …”
Ujug-ujug Koh Bos nimbrung: “Lha Pak ML. Mukidi niku jan-jané lulus mboten to …?”
“Aku Koh?!”
“Nggih Pak …”
“Aku lulus opo ora Koh?!”
“Nggih Pak …”
“Diwisuda opo ora Koh?!”
“Nggih Pak …”
“Ora Koh …,” Jawab Pak ML. Mukidi, saiki lirih waé ... Hilang semangat. Turun drastis. Nglokro. Lemes.
Ujug-ujug Likwan sing seko mau meneng waé, mbengok: “Lucuuu …” Pak ML. Mukidi jan-jané rodo kagèt. Kétoké arep muni ‘asuuu’ ning mandeg nang ilat waé. Ya’é lho kuwi Cuk.
Cuk Bowo nang Pak ML. Mukidi: “Lha niku terus ijazahipun Pak ML. Mukidi asli nopo mboten?” Pak ML. Mukidi ora jawab, terus balik kanan, pamit kebelet-mules. Aèng-aèng waé.
Nyah Ndut sing seko mau wis ngempet ora arep nimbrung, wis ora tahan manèh terus mbengok: “Lucuuu …” Bar ML. Mukidi sing wis balik kanan maju jalan mau kuwi ora kétok buntuté, Nyah Ndut terus takon nang Cuk Bowo: “Jan-jané Mukidi kuwi sekolah opo ora Cuk?!”
Cuk Bowo: “Kuliah Nyah, ketoké nang UGL ...”
“Opo Kuwi, anyaran yo …?”
“Wis suwé Nyah …: Universitas Gajah Lucu, Nyah …”
“Ora UGD Cuk?”
“Opo kuwi Nyah?”
“Universitas Gajah Duduk Cuk …”
“Ora Nyah, UGL, Universitas Gajah Lucu ….”
“Ngono yo Cuk …”
“Ya’é …”
“Rampung ora?”
“Ora Nyah …”
“Kok duwé ijazah. Mbiyèn dipasang nang Kelurahan … Gedhi banget.”
“Mbuh Nyah, ora jelas …”
“Ora jelas Cuk?”
“Ora jelas Nyah …” *** (30-07-2025)
[1] ML=Mantan Lurah
1728. Salam Cerdas! (2)
1729. Saat Lupa Marah
31-07-2025
Sulit untuk melupakan wajah Jack Nicholson dalam Film Anger Management (2003). Sulit melupakan salah satu master ‘tarikan wajah’ itu. Tetapi sinopsis Anger Management adalah soal ‘tata-kelola’ kemarahan privat-individu, bagaimana dengan ‘social anger management’? Kemarahan publik? Amuk, amok, adalah kemarahan kelompok sosial di ujung sana. Amok yang katanya khas di satu area tertentu. Tetapi bagaimana dengan ‘banality of evil’ seperti dibayangkan Hannah Arendt yang terjadi bahkan bertahun terus menerus, tidak hanya dalam rentang waktu singkat saja? Bagaimana dengan kerusuhan 6 Januari 2021 ketika pendukung garis keras Trump merengsek masuk Capitol Hill?
Kemarahan publik biasanya tidak lepas dari bandwagon effect. Tetapi bagaimana jika seakan publik lupa akan marah? Apakah sedang menunggu siapa pertama kali melempar batu? Misalnya, tentu ada kemarahan ketika beberapa universitas ternama di republik ini sedang dipermainkan habis-habisan. Sedang dirusak dengan tanpa beban lagi. Bahkan dirusak sambil pecingas-pecingis, glècènan. Tidak hanya diobok-obok tetapi seakan tanpa henti diolok-olok juga. Yang terakhir, diolok-olok habis-habisan melalui reuni (abal-abal) dadakan itu. Nalar mereka dan pendukung fanatiknya akan bilang, lha diobok-obok, diolok-olok nyatanya mau tuh … Tak jauh dari ketika lempar-lempar bingkisan kepada rakyat melalui jendela mobil yang jalan pelan, lha rakyat mau tuh … malah berebut bingkisan tuh … Tidak ada sama sekali bisikan imperfect obligation bahwa bagi yang lebih berkuasa sebaiknya tidak melakukan ini dan itu pada rakyat yang jelas lebih lemah. Tidak ada, tidak tahu, tidak peduli, yang ada hanya selalu sok-sok-an, gegayaan bak raja.
Hampir enam bulan setelah Amerika Serikat merdeka, Edward Rutledge berkirim surat pada John Jay, terkait demokrasi, kutipannya antara lain: “A pure democracy may possibly do, when patriotism is the ruling passion; but when the State abounds with rascals, as is the case with too many at this day, you must suppress a little of that popular spirit.” Kita tidak usah membuka sejarah sampai seratus-duaratus tahun ke belakang, cukup sepuluh-sebelas tahun ke belakang yang terjadi di republik, bagaimana sik-rascals itu telah melekat erat pada negara dan merampok habis-habisan republik. Kita tidak usah melihat lebih dahulu soal patriotisme ini sebagai ‘bahan mentah’ dari ultra-nasionalis atau sekitar-sekitarnya, tetapi lebih sebagai bagian dari ‘agere contra’. Sebagai hal dalam ranah hasrat vs hasrat. Ketika mengendalikan ‘hasrat gelap’ dengan latihan ditabrakkan dengan hasrat lain yang ‘lebih terang’. Menjadi sik-rascals karena ternyata ‘hasrat gelap’ itu selalu saja yang menang. ‘Kejahatan hasrat’ yang akhirnya melahirkan ‘kejahatan logika’-nya sendiri melalui lembaga survei bayaran yang sudah tidak bisa dibedakan kelakuannya dengan binatang lagi, asal ada uang segera saja integritas keilmuannya dicampakkan. Dan kemudian menyalak keras-keras. Atau polesan statistik yang sesungguhnya menyimpan bom waktu itu. Seakan-akan baik-baik saja di atas kertas, tetapi di lapangan ada bara yang terus membesar. Maka jika ada yang khawatir you must suppress a little of that popular spirit karena hama sik-rascals yang sudah merebak, itu mempunyai alasan kuatnya. Maka pula, jangan sampai kita jatuh pada situasi hipokognisi (Robert Levy, 1973) terkait kemarahan yang sebenarnya merupakan bagian (normal) dari peradaban. Yang kita tahu pula, jelas itu bukan marah yang ada dalam genangan darah. Maka, muak-lah, marah-lah, sebelum bau darah mendekat dan menggoda. *** (31-07-2025)

