1760. Oikos-nomos vs Chrematistics (1)
29-08-2025
Bagaimana jika ‘basis’ lebih bernuansa chrematistics, apakah olah kuasa juga akan lebih bernuansa ‘kuasa untuk kuasa’ saja? Kuasa hanya untuk dirinya sendiri saja? Jika ‘basis’ ternyata ada nuansa oikos-nomosnya, apakah bisa diharapkan kuasa bisa lebih memperhatikan upaya untuk mewujudkan ‘kebaikan umum’? Aristoteles membedakan oikos-nomos -akar kata ekonomi, dengan chrematistics, yang terakhir ini merupakan akumulasi uang untuk akumulasi itu sendiri. Sedangkan oikos-nomos, oikos berarti ‘keluarga’, atau katakanlah ‘polis’. Adam Smith membayangkan sik-sekte agung -famous sect, yang mengurus negara -katakanlah begitu, dengan keutamaan lebih dari ‘yang biasa-biasa’ saja, diharapkan mampu mengelola oikos-nomos ini. Masalahnya seperti dikatakan Marx, ia akan menghadapi ujian sangat berat ketika harus menghadapi kekuatan pengaruh dari dinamika di ‘basis’. Pengalaman di republik bertahun terakhir sungguh membuktikan pendapat Marx, bagaimana dinamika yang menampakkan diri terlalu banyak nuansa chrematistics ini telah membuat olah kuasa ranah negara-pun akhirnya menjadi ‘kuasa untuk kuasa’ semata. Di mata publik, kuasa menjadi semau-maunya sendiri. ‘Basis’ sungguh menjadi faktor penentu ‘bangunan atas’, dengan tanpa ampun lagi.
Beberapa hari lalu, raksasa perusahaan properti China Evergrande mengalami delisting di bursa saham Hongkong. Bertahun bisnis properti dan konstruksi telah menjadi motor penggerak ekonomi China, dan akhirnya ‘gelembung’ itupun pecah, paling tidak dinampakkan melalui kasus Evergrande itu. Salah satunya karena utang yang begitu besar, bahkan utangnya sebagai korporasi itu jumlahnya sekitar tiga perempat dari total jumlah utang (negara) Argentina, yang dengan itu pula Argentina kemudian jatuh dalam krisis ekonomi. Oikos-nomos yang salah urus membuat semua menanggung akibatnya.
Dari beberapa analisis para ekonom ‘kritis’, soal utang dalam hal ini, ada yang menarik untuk dipelajari terkait dengan keberhasilan SBY melunasi hutang IMF. Memang patut diapresiasi, paling tidak ada sesuatu yang membuat hidup bersama ‘lebih berarti’, terlebih melihat bagaimana sepak terjang IMF saat krisis moneter 1998-1999 lalu. Tetapi yang nampaknya sebagai putusan oikos-nomos itu ternyata telah ditelikung pula, yaitu tetap berhutang bahkan sekarang dengan bunga yang semakin hari semakin jauh lebih besar dari bunga hutang IMF itu. Biang-dalangnya ya SMI dkk itu, dari dulu sampai sekarang. Di balik itu adalah bagaimana ‘akumulasi uang demi akumulasi itu sendiri’ tanpa peduli lagi soal oikos-nomos. Para ekonom ‘kritis’ telah menunjukkan bagaimana ‘reaksi berantai’ dari tidak hanya ugal-ugalannya utang dari segi jumlah, tetapi juga dari bunga ditawarkan, yang itu jelas akan membuat para kreditor berbunga-bunga. Tetapi di lain pihak, ujung-ujungnya khalayak kebanyakan harus mengetatkan ikat pinggang. Bahkan kemudian ‘diperas’ melalui bermacam pajak demi membayar bunga hutang dan cicilan pokoknya. Tidak jauh-jauh amat dari bagaimana pengadaan listrik dari swasta yang harga per-kwhnya sungguh mencekik khalayak kebanyakan. Rizal Ramli pernah mendisiplinkan ‘bisnis listrik’ ini dengan taktik jitu. Tetapi setelah RR itu, kembali pada ‘kebiasaan buruk’ lagi. Dasar serakah.
Jika dilihat lebih lanjut, beda antara chrematistics dan oikos-nomos ini adalah juga soal penghayatan akan batas. Chrematistics, akumulasi seakan tidak mengenal batas, the sky is the limit. Sedangkan oikos-nomos, jelas oikos adalah batasnya. Masalahnya, bahkan kadang dengan jalan perang chrematistics dan oikos-nomos baru bisa ‘duduk bersama’, paling tidak jika kita belajar bagaimana paradigma welfare state itu kemudian menjadi paradigma dominan pasca Perang Dunia II. Sampai sekitar dekade 1970-an.
Penampakan hari-hari ini dari banyak ‘politisi’ yang suka nantang-nantang khalayak dalam bermacam bentuknya itu sedikit banyak memperlihatkan bahwa soal ‘batas’ memang sudah tidak ada dalam imajinasi mereka. Maka dari orang-orang seperti ini, jangan berharap mereka mau dan mampu mengurus oikos-nomos. Ke-chrematistics-an ‘basis’ sungguh sudah menelan mereka mentah-mentah, kegilaan akumulasi yang sudah tidak mengenal batas lagi -dan tidak mau ‘dibatasi’, bahkan ‘batas’ oikos-pun jika harus hancur berkeping mereka sudah tidak peduli lagi. *** (29-08-2025)
1761. Oikos-nomos vs Chrematistics (2)
30-08-2025
Indonesia disinggung cukup banyak oleh John Perkins dalam bukunya Confessions of and Economic Hit Man (2005). Bahkan disebut Indonesia sebagai tugas pertamanya sebagai EHM. Jika memakai istilah George Lakoff, ‘basis’ sebagai term Marxian itu bisa kita bayangkan sebagai ‘deep frame’ juga. Deep frame adalah tempat digantungkannya apa yang disebut Lakoff sebagai ‘surface frame’. Apa yang dilakukan oleh EHM atau juga EHW (economic hit women), sering ada di dataran ‘deep frame’ ini. Bagaimana yang punya duwit banyak itu dapat terus melipat gandakan kekayaannya? Melalui jalur finansialisasi, misalnya. Seperti disinggung pada bagian pertama, salah satunya melalui utang negara yang memberikan bunga tinggi. Utang IMF-pun segera saja dilunasi supaya benchmark besaran bunga utang itu melenyap, dan kemudian bisa dibuat semau-maunya, mengikuti kemauan keserakahan calon-calon jadi kreditor. Paradigma utang (dengan bunga tinggi) itulah salah satu deep frame, sedang kepentingan sik-punya uang banyak adalah surface frame yang mendapat cantolannya pada deep frame yang sudah dipersiapkan oleh EHM/W. Bisa ‘dibolak-balik’ memang, tetapi jelas ini bukan masalah telur-anak ayam.
Terpentalnya Jonan sebagai salah satu menteri yang menolak proyek kereta api cepat adalah salah satu contoh saja bagaimana oikos-nomos itu bisa-bisa ada di ranah pertarungan keras. Demikian juga Rizal Ramli. Dan memang seperti ditulis oleh John Perkins, EHM/W itu sering ujung-ujungnya memang akan berurusan dengan (jatuh bangunnya) rejim. Hari-hari ini sebenarnya bisa dikatakan sebagai ‘contoh klasik’ bagaimana (segala polah tingkah) EHM/W itu sedang berurusan dengan (jatuh bangunnya) rejim itu. EHM/W yang pada dasarnya pengabdi setia dari ‘yang serba kaya’ itu, meski memang ‘yang serba kaya’ itu tidaklah semua ‘majikan’ dari EHM/W. Terutama yang masih punya perhatian/kepentingan besar terhadap oikos-nomos. Maka pula istilah ‘jebakan hutang’ itu bukanlah istilah yang hadir di ruang hampa saja.
Di balik ketidak-tahuan akan batas dari ‘kaum chrematistikos’, (pasti) ada bayang-bayang brutalisme. Brutalisme akhirnya tinggal selangkah lagi ketika hasrat menumpuk uang sudah sampai pada level kegilaannya. Maka di balik, misalnya wajah inteleknya, di balik wajah kalemnya, atau apapun wajah yang dinampakkan, ada fakta potensial untuk menjadi brutal. Mengatakan bahwa guru dan dosen adalah beban bagi negara (republik) adalah salah satu kebrutalan (verbal) juga. Mencekik rakyat yang sedang kesulitan cari makan dan cari pekerjaan dengan berbagai pajak demi terbayarnya utang yang dibuatnya secara ugal-ugalan itu, bukankah itu juga sebuah kebrutalan? Dan justru karena mampu bertindak brutallah ia bisa menjadi sales promotion girl/boy kesayangan dari ‘kaum chrematistikos’ itu.
Maka kebrutalan yang pegang senjata dari jaman old sampai sekarang ini, siapapun yang lebih menampakkannya, itu adalah salah satu surface frame dari deep frame yang lebih dibangun dengan bahan-bahan chrematistics. Atau juga bisa dikatakan ketika oikos-nomos semakin sekarat saja sebagai deep frame. Karena yang mau digeser itu selalu lekat dengan hal brutal, jika serius mau menggeser maka memang harus siap dengan segala panas-dinginnya. Tidak akan pernah terjadi dengan jalan mulus-mulus saja. Perlawanan bisa sungguh seperti akan perang saudara saja. Maka, berani? Atau hanya omon-omon saja? *** (30-08-2025)


1762. Emang Loe Siapa? (Rakyat!)
31-08-2025
Hari-hari ini terkait pejabat nantang-nantang itu bukanlah soal mendadak nantang. Bertahun terakhir kita bisa melihat dengan telanjang, bisa merasakan bagaimana soal nantang-nantang dan sekitar-sekitarnya itu bukanlah soal moralitas belaka, tetapi adalah juga soal ‘taktik’. Para ‘konsultan politik’ mereka dengan sangat sadar membuat keputusan itu, menghadapi khalayak kebanyakan dalam paradigma ‘emang loe siapa?’ Bisa menampakkan diri sebagai nantang-nantang, mbudeg, asal mangap, asal njeplak, asal ancam, dikritik jangan melakukan A malah demonstrative melakukan A lagi, ngibul yang diulang dan diulang seperti sudah keranjingan saja. Mungkin ‘konsultan politik’nya sedang membayangkan atau sedang mempratekkan ‘teori orang gila’ yang sering dikaitkan dengan Nixon menjelang 1970-an, the madman theory. Sedikit banyak juga dipraktekkan oleh Reagan dengan ancaman star wars-nya saat itu. Dan nampaknya juga oleh Trump, hari-hari ini. Tetapi apapun itu, yang disebut sebagai ‘teori orang gila’ itu lebih sebagai gertak dalam konteks dinamika geopolitik internasional. Katakanlah, untuk menggertak kekuatan lain di luar negeri. Tetapi memang era Trump bisa dirasakan itu tidak hanya menghadapi dinamika luar negeri, dalam negeripun ia juga melakukannya.
Sadarnya para ‘konsultan politik’ atau bisa juga disebut ‘dalang’nya, think-tanknya, terkait asal nantang dan sekitarnya seperti di sebut di atas, karena ini semua adalah soal kekuasaan. Jadi ‘emang loe siapa’ itu adalah salah satu strategi dasar dalam olah kuasa. Bertahun terakhir ini. Tujuan utamanya jelas, supaya kuasa tetap di tangan. Dengan tujuan ‘melumpuhkan’ khalayak kebanyakan, misalnya. Seperti George Orwell dalam 1984, penguasa sampai membuat newspeak, olah bahasa yang berujung pada penguasaan total, oleh kekuasaan absolut. Seperti ‘kata jinak’ oknum di jaman old misalnya, untuk menghindari tudingan kerusakan luas dan kemudian dialihkan pada satu dua ‘oknum’. Tetapi sejarah juga mencatat, katakanlah hal-hal di atas adalah ranah ‘soft power’, itu baru merupakan ‘syarat mutlak’, dan belumlah mencukupi. Ia masih perlu ‘hard power’ sebagai ‘garansi’ kekuasaan absolut yang diidamkan itu. Karena bagaimanapun juga taktik seperti ‘emang loe siapa’ itu seperti taktik-taktik lainnya, mempunyai batasnya sendiri. Apalagi yang dihadapi adalah khalayak kebanyakan yang juga mampu belajar.
Jika melihat bagaimana laku korupsi yang begitu merebak dan dalam jumlah tak terbayangkan sebelumnya bertahun terakhir ini maka tidak mengherankan perilaku politik kemudian mempunyai ‘obsesi’ untuk melumpuhkan khalayak kebanyakan. Juga bermacam kebijakan yang sekarang terbukti justru memperparah ketimpangan itu. Tak mengherankan pula jika bertahun terakhir ada ‘obsesi’ lain, melumpuhkan dunia pendidikan. Mengapa pendidikan? Supaya ‘obsesi’ melumpuhkan khalayak itu tidak mendapatkan lawan tangguhnya. Mereka lupa, meski pendidikan penting dalam membangun perlawanan, menjadi lebih pandai itu tidak hanya melalui dinding-dinding sekolah atau perguruan tinggi saja.
Hari-hari ini adalah pelajaran penting (lagi) bagi republik bahwa obsesi akan ‘kekuasaan abolut’ itu terbukti akan terjerembab dengan begitu kerasnya. Dan obsesi akan kekuasaan absolut itu bisa diraba bukan pertama-tama soal penggunaan kekuatan kekerasan, hard power, tetapi justru pada soft power. Atau bisa diraba ketika kekuasaan semakin jauh dari keutamaan prudence, itulah saatnya alarm deteksi dini akan hadirnya obsesi akan kekuasaan abolut sudah harus dibunyikan keras-keras. Dan ke-prudence-an itu bukanlah terus ‘mendadak prudence’, tetapi ia hadir karena adanya interaksi. Tak jauh-jauh amat dengan apa yang dibayangkan Hannah Arendt tentang apa itu politik. *** (31-08-2025)
1763. Gelombang Berikutnya: KPU!
01-09-2025
Samar-samar muncul ingatan berita KPU terkait dengan sewa pesawat jet pribadi. Tetapi yang tidak samar-samar, ingatan tentang hilangnya atau tidak bisa diaksesnya data atau dokumen Joko Widodo saat mengikuti pemilihan. Sebagai prasyaratnya. Bahkan hanya dari ini saja sungguh ada alasan untuk membawa KPU (dan Bawaslu) ke atas meja operasi untuk dibedah sehingga penyakit yang ada dapat diangkat sampai ke akar-akarnya. Audit total!
Sebaiknya secepat-cepatnyalah dilakukan ‘revolusi total’ terhadap KPU (dan Bawaslu) ini, mumpung masih jauh dari gegap gempitanya gelar pemilihan. Bukan reformasi, tetapi revolusi. Jika masa lalu menjadi begitu merepotkan, anggap saja sedang menyongsong ‘patahan sejarah’. Kita potong segala gerak jalannya KPU (dan Bawaslu) sekarang ini, lupakan! Lupakan semua, bahkan dengan segala warna buramnya. Termasuk orang-orang yang terlibat di dalamnya. Dan bangun lagi KPU (dan Bawaslu) yang benar-benar kredibel, kompeten, dan sungguh bisa dipercaya. Melalui proses yang kredibel, akuntabel, dan transparan. Hapus itu Sirekap, buang saja. Bangun lagi yang baru, libatkan ahli-ahli IT yang mempunyai integritas dan sungguh mencintai republik ini. Jangan yang plendas-plendus, maju-mundur tidak jelas berlindung di balik nama besar institusi. Libatkan ahli-ahli IT yang berani maju ke depan untuk diuji ulang, dan diuji ulang di depan publik. Dan juga di depan ahli-ahli lain.
Dan jangan lupa ke-sekretariatan-nya, aspek birokrasinya, yang disebut oleh Alvin Toffler sebagai ‘partai siluman’ itu. Kita bisa menempatkan orang-orang pilihan dalam KPU (dan Bawaslu), tetapi ketika masuk ranah pengadaan barang dan jasa misalnya, jelas akan kalau jauh ketrampilannya dengan yang berasal dari birokrasi. Bisa-bisa dimakan, bisa di-untal oleh bermacam godaan tuh orang-orang pilihan kita itu. Kasus Noel sik-wamen itu telah memberikan pelajaran berharganya. *** (09-08-2025)