1770. Lagu Untuk Sebuah Nama
07-09-2025
“What’s in a name?” demikian ditulis Shakespeare dalam lakon Romeo dan Juliet. Tentu akan berbeda jika itu dikatakan di ranah negara. Beberapa hari lalu Trump resmi mengubah nama Departemen Pertahanan menjadi Departemen Perang, jadi ‘what’s in a name’? Apakah ‘lagu’ untuk sebuah nama Departemen Perang akan berbeda dengan sebelumnya? Apakah akan sama saja seperti bertahun terakhir nama cabinet di republik bisa saja berbeda, tetapi korupsi dan glécénannya tetap sama saja. Asal mangap, asal njeplaknya sama saja. Pamer-pamer kuasa masih saja gitu-gitu terus. Ugal-ugalannya tidak juga berbeda. Mainnya masih suka yang permukaan-permukaan saja, main citra-citraan bahkan secara kasar dan tak tahu malu lagi karena begitu mudah dibongkar kepalsuannya. Tidak mau menyelam jauh ke dasarnya. Jadi, apa artinya nama-nama cabinet diubah-ubah? Atau, berapa banyak sebuah nama pakai embel-embel ‘merah-putih’? Memangnya terus berbeda dalam perilaku ketika macam-macam ditambahkan embel-embel ‘merah-putih’ itu? Atau undang-undang diberi nama ‘cipta kerja’, ujung-ujungnya justru malah banyak ‘melenyapkan’ pekerjaan. PHK menjadi lebih mudah, bahkan seakan dengan tanpa beban lagi. Se-kucluk-kucluk-nya Trump, ia didukung oleh partai yang jelas ‘pandangan hidup’nya. Atau katakanlah ‘ideologi’nya, dalam hal ini Partai Republik. Partai dominan lainnya, Partai Demokrat juga jelas, paling tidak dia akan mengambil posisi ‘lebih kiri’ dari Partai Republik. Sama-sama kapitalisnya memang, tetapi lain ‘gaya’.
Dalam Fenomenologi, keseluruhan dapat dianalisa dalam dua macam bagian-bagiannya, pieces dan moments. Pieces dapat dihayati lepas dari wholes, dari keseluruhan, sering juga disebut independent parts. Dahan pohon bisa kita hayati sebagai dahan meski lepas dari pohonnya, misalnya. Pieces dapat menjadi whole sendirian. Sedangkan moments adalah bagian yang tidak bisa lepas dari keseluruhan. Warna merah misalnya, bisa kita hayati ketika ia menempel pada kursi, meja, atau lainnya. Moment sering disebut juga sebagai nonindependent parts, dan tidak pernah menjadi keseluruhan pada dirinya.
Whole atau keseluruhan mempunyai sifat concretum, ia bisa dihayati pada dirinya sendiri. Demikian juga bagian yang disebut sebagai pieces seperti disebut di atas, ia bisa menjadi whole, maka iapun bersifat concretum. Sedangkan moments tidak akan menjadi concreta, ia bersifat abstracta. Dan kita bisa menghayati hal abstract itu karena kita mempunyai bahasa. Marx mengajukan suatu hal yang ‘problematic’, apakah politik sebagai bagian dari ‘bangunan atas’ itu menjadi tak terjelaskan jika dilepas dari dinamika ‘basis’? Atau jika politik adalah sebuah ‘warna’, ia tidak bisa dihayati jika tidak ‘menempel’ pada entitas lain? Dan kita akan menjadi bisa menghayati politik karena adanya bahasa? Yang ditegaskan oleh Hannah Arendt bahwa berpolitik itu pada dasarnya memang adalah ranah ‘berbahasa’?
Maka terlalu banyak peristiwa jogat-joget di ranah negara itu bukanlah sekedar jogetan saja. Juga asal mangap, asal njeplak, asal ancam, atau juga ngibul yang sudah tidak tahu batas lagi. Atau eksploitasi ke-grothal-grathulnya, kegagapan dalam bahasa Inggris misalnya. Hal wajar sebenarnya, tetapi jika dieksploitasi? Hal-hal ini sebenarnya bisa dilihat sebagai: depolitisasi. Tetapi mengapa ada upaya depolitisasi jika sebenarnya politik sudah ditentukan oleh dinamika ‘basis’?
Marx benar bahwa politik sebagai bagian dari ‘bangunan atas’ akan sangat dipengaruhi oleh dinamika ‘basis’. Bahkan bisa-bisa tak terjelaskan tanpa melihat apa yang sebenarnya terjadi di ‘basis’. Tetapi manusia tidak hanya sebagai zoon politikon saja, tetapi juga animal rational. Dalam evolusinya, ketika kaki depan dilepas dari fungsi berjalan dan semakin dimungkinkan untuk melakukan gerakan motorik halus, ini akan memicu lebih berkembangnya area otak yang bertanggung jawab terhadap kemampuan berbahasa. Dengan bahasa maka manusia kemudian mampu membangun ‘jarak’ terhadap sekitar-lingkungannya. Dan seterusnya umpan-balik ini semakin membangun kemampuan manusia dalam berpikir. Dan di sini pula, politik menjadi berbeda dengan ‘warna merah’ misalnya. ‘Warna merah’ tidak bisa ‘mengambil jarak’ terhadap kursi atau meja misalnya, tetapi manusia mampu ‘mengambil jarak’ terhadap apa-apa yang terjadi pada ‘basis’. Maka Hannah Arendtpun membedakan aktivitas manusia dalam vita activa sebagai: kerja, karya, dan tindakan. Selain vita activa, ada juga vita contemplativa. Kerja atau labor bertujuan untuk memenuhi kebutuhan biologis manusia. Karya atau work terkait dengan daya kreatif manusia dalam menghasilkan lukisan, misalnya. Atau lainnya. Sedangkan tindakan atau action, disitulah seharusnya politik diletakkan. Dalam tindakan yang akan menampakkan diri sebagai bahasa dalam interaksinya. Maka jargon kerja-kerja-kerja jika ada yang menghayati sebagai bagian depolitisasi mempunyai alasan kuatnya. Politik justru digiring sebagai jalan memenuhi kebutuhan biologis saja.
Maka ujung dari depolitisasi itu adalah supaya kemampuan ‘mengambil jarak’ sehingga menjadi mampu ‘melihat dengan jernih’ apa-apa yang terjadi di ‘basis’ menjadi meredup, sekaligus itu sebagai garansi bagi yang begitu menikmati jenis-jenis relasi yang berkembang di ‘basis’ itu sehingga selalu terjaga kenikmatannya, atau kalau bisa lebih nikmat lagi. Istilah populer beberapa tahun lalu: status quo. *** (07-09-2025)
Lagu Untuk Sebuah Nama, salam hormat untuk Ebiet G. Ade, https://www.youtube.com/watch?v=h4F0bt5dXwU
1771. Salam Cerdas Juga
1772. Dua Keberuntungan
09-09-2025
Lebih dari sepuluh tahun lalu, republik menjadi saksi bagaimana keberuntungan itu bekerja pada orang yang kemudian naik ke puncak kekuasaan. Hari-hari ini, lebih dari sepuluh tahun kemudian, republik kembali menjadi saksi bagaimana orang yang beruntung di ranah kekuasaan itu ternyata ‘tidak tahu cara bersyukur’. Tentu bagi Machiavelli tidak ada hubungannya olah kekuasaan itu dengan ‘bersyukur atau tidak’, tetapi Machiavelli menggunakan kata lain. Dalam kaitannya dengan keberuntungan ini Machiavelli menggunakan term virtue. Virtue sering diterjemahkan sebagai keutamaan, tetapi yang dimaksud Machiavelli dalam hal ini adalah lebih sebagai sebuah ‘perhitungan’ terkait dengan situasi yang berubah. Keberuntungan bisa jadi merupakan separuh nafas yang mengantarkan menjadi penguasa, tetapi separuhnya akan tergantung dari ‘perhitungan’ terkait dengan situasi yang terus saja mempunyai potensi untuk berubah.
Virtue sebagai keutamaan atau seperti dimaksud Machiavelli di atas sebenarnya mempunyai persamaan, hal timbang-menimbang. Dan lebih sepuluh tahun terakhir bisa dilihat dengan telanjangnya bagaimana hal timbang-menimbang itu sungguh dipinggirkan dengan telaknya. Keutamaan prudence mengering, dan bisa dilihat, keutamaan lainnyapun kemudian terseok-seok pula. Ada yang mengatakan keutamaan prudence itu adalah juga ibu dari keutamaan lainnya. Bahkan jika virtue seperti dimaksud Machiavelli di ataspun sungguh juga ikut-ikutan terpinggirkan. Lihat apa yang dilakukan sik-yunior di tengah-tengah amuk massa hari-hari kemarin, tetap bikin pencitraan yang begitu mudah dibongkar kepalsuan, dan masih saja bagi-bagi sembako. Masih ada keyakinan kuat bahwa keberuntungan akan menyelesaikan semuanya. Mau terbongkar pencitraan palsunya sudah (terbiasa) tidak peduli lagi, emang loe siapa?
“When small men attempt great enterprises, they always end by reducing them to the level of their mediocrity,” demikian pernah dikatakan Napoleon. Menjadi kaum medioker salah satunya ya selamanya, dalam semua halnya mengandalkan keberuntungan itu. Keberuntungan menjadi semacam sihir yang membuai dan akhirnya tidak mampu mengambil jarak lagi (terhadap keberuntungan) sehingga menjadi mampu untuk memulai bermacam virtue, paling tidak seperti dimaksud Machiavelli di atas. Kadang antara presiden dan wakilnya memang bisa terjadi persaingan, apapun alasannya. Tetapi yang dilakukan oleh Sarah Duterte -wakil presiden Philipina, sungguh gambaran laku kelas ‘medioker’, dengan omongan asal mangap, asal njeplak, akhirnya asal ancam: akan membunuh presiden Marcos Jr. yang kemudian berujung di-impeachnya Duterte.
Keberuntungan kedua adalah yang melekat dalam diri Mr. P hari-hari ini. Beruntung karena ia tidak ambruk setelah terjadi bermacam kerusuhan dan korban. Beruntung meski peristiwa hari-hari ini sudah ‘dipersiapkan’ sejak hari pertama ia dilantik dan secara simultan dibangun dari waktu-ke-waktu, sekali lagi beruntung karena ‘perancang’-nya kelas medioker saja. Sehingga menjadi mudah ditebak, sebenarnya.
The political, atau bisa kita terjemahkan sebagai ‘yang politikal’ adalah sesuatu yang membuat politik itu ada. Bermacam pendapat mengenai ini, tetapi Carl Schmitt mengatakan bahwa ‘yang politikal’ itu adalah pembedaan antara ‘kawan dan lawan’. Karena inilah maka politik itu ada. Seperti adanya ‘untung dan rugi’ maka ekonomi menjadi ada. Dan karena ‘perancang’ dan ‘eksekutor’nya kelas medioker, maka ada keberuntungan tersendiri selain tidak ambruknya diri itu, yaitu menjadi jelas siapa ‘kawan dan lawan’ itu. Jika Gabriel Garcia Marquez punya novel Seratus Tahun Kesunyian, apakah ada yang sedang menulis ‘satu tahun pemetaan’?
Bagaimana nasib Mr. P di kemudian hari? Apakah ia akan seperti sik-J yang ‘tenggelam’ dalam keberuntungan dan membuang ke-prudence-an? Tetapi ada pertanyaan lebih mendasar, kapan khalayak kebanyakan akan beruntung? Dan kapan akan dan dengan apa-bagaimana mengantisipasi ketika situasi berubah atau tidak berubah nantinya? *** (09-09-2025)
1773. Rejim Pembunuh Bakat
10-09-2025
Mengapa ada istilah ‘bakat terpendam’? Apakah rejim pembunuh bakat itu adalah rejim yang justru sebagai ‘pengubur bakat’? Bakat-bakat akan berkembang dengan menemukan jalannya sendiri-sendiri. Katakanlah, emas tetaplah emas meski ia ada di tempat sampah. Benarkah? Tetapi berapa bakat yang mampu ‘meloloskan diri’ dari lingkungan yang serba mencekiknya, misalnya? Jamak sudah diyakini bahwa manusia itu bukanlah soal ‘natur’ semata, tetapi juga ‘nurtur’. Studi epigenetik dipicu oleh temuan-temuan beberapa penyakit yang muncul saat dan (segera) pasca Perang Dunia II yang mengakibatkan kelaparan kronis itu, ternyata diturunkan. Artinya, faktor lingkungan bahkan bisa mempengaruhi ‘natur’, dalam hal ini kode-kode DNAnya.
Trio pemenang Nobel ekonomi beberapa waktu lalu salah satu penelitiannya adalah terkait meningkatnya jumlah SD Inpres dekade awal-awal jaman old. Pendidikan kemudian dikatakan telah memperbesar akses peserta didik untuk lebih mampu berdaya guna dan bersaing dalam pasar. Sehingga lebih mampu meningkatkan kesejahteraannya. Benarkah? Tetapi apapun itu yang bisa dikatakan ‘sangat benar’ adalah soal ‘akses’ itu. Maka sangat beralasan jika ada yang melihat bahwa kekerasan itu adalah juga terhalanginya bermacam potensi untuk berkembang. Bicara bakat adalah juga bicara potensi. Bakat adalah salah satu ‘bahan bakar’ penting bagi berkembangnya sebuah potensi. Bakat untuk supaya lebih berdaya ledak sebagai potensi ia perlu upaya-upaya ‘nurturan’. Minimal sekali, akses. Alip Ba Ta[1] menjadi mampu tidak hanya mengembangkan bakat, tetapi memperkenalkan bakat yang dipunyai pada dunia melalui akses YouTube misalnya. Dan dengan itu pula eksplorasi potensi yang dipunyainya menjadi ‘tak terbatas’ lagi.
Tetapi sebagian besar bakat atau potensi faktanya ‘tidak ramah dunia digital-internet’ itu. Artinya, ia membutuhkan akses dan kenurturannya dalam ‘dunia riil’ sehari-hari. Katakanlah ia memerlukan ‘dunia tatap-muka’ kongkret sehingga bakat dan potensinya terus berkembang. Bahwa ‘dunia kongkret’ itu akan terbangun dengan melibatkan juga ‘dunia digital-internet’ adalah karena memang ‘dunia digital-internet’ itu sendiri sudah menjadi bagian dari ‘dunia kongkret’. Jadi, jangan dibalik. Atau kalau memakai term Manuel Castells secara ‘bebas’, sedahsyat-dahsyatnya space of flows, ia tetap saja akan terhayati dengan kaki-kaki yang berakar erat dalam space of places.
Bakat atau juga potensi akan berkembang pula jika ada tantangan. Dari manapun tantangan itu berasal. Bahkan jika ia menantang diri sendiri. Bagaimana seorang pelukis atau musisi yang selalu mencoba tehnik-tehnik baru, misalnya. Tetapi tantangan terlalu besar bisa-bisa akan menghambat berkembangnya bakat atau potensi. Seorang pengusaha, dengan segala potensi dan ketekunannya, bagaimana jika ia dihajar oleh barang-barang dumping dari luar? Banyak contoh di negara-negara berkembang, bagaimana usaha sekitar pertekstilan menjadi mengecil dan bahkan tutup karena banjir pakaian bekas dari luar yang sudah tak terkontrol lagi. Atau sudah dumping, diselundupkan lagi. Atau lihat bagaimana salah satu yang alot di meja perundingan tariff antara Jepang dan AS itu, salah satunya adalah soal beras. Meski bahkan saat produksi beras turun dan pembelian beras dibatasi ditambah lagi harga melambung tinggi, Jepang tetap ngotot untuk tidak mau membuka keran impor beras dari AS. Demi melindungi ‘dunia perberasan’ dalam negeri, terutama (bakat atau potensi) petani berasnya.
Apa yang mendasar dari hal-hal di atas? Jika dilihat lebih jauh: satunya kata dan perbuatan. Dan tepat pada inilah kita bisa bicara soal space of places di atas. Bagaimana keberakaran itu dibangun dalam ‘dunia kongkret’, dan itu terutama melalui: bahasa. Places tidak hanya tempat fisik saja, tetapi melalui bahasa kita menjadi mampu ‘menemukan’ keberakaran kita. Maka tak mengherankan bahwa Heidegger bahkan menyebut bahasa adalah rumah being, katakanlah manusia. Dengan bahasa manusia membangun ‘keberakaran’-nya. Dan dengan adanya ‘rumah’ itulah bakat atau potensi yang digendong tidak hanya mempunyai ‘akses’ tetapi juga ‘habitat’ untuk berkembang. Sebuah ‘rumah’ yang ramah bakat dan atau potensi.
Maka rejim ‘pembunuh bakat (atau potensi)’ pertama-tama adalah yang ‘mempermainkan bahasa’. Entah atas nama ‘bahasa baku’, atau bahasa yang sudah dikerdilkan maknanya. Sebagian besar bahasa dalam hidup kita seakan sudah ready-to-hand. Seperti sebuah palu yang akan digunakan untuk menghantam paku supaya menancap pada kayu. Palu yang sudah ready-to-hand. Tetapi bagaimana jika palu itu rusak? Bagaimana jika bahasa menjadi rusak-rusakan? Yang banyak dihilangkan dari makna yang melekat pada dirinya? Yang kemudian sulit ditemukan adanya ‘satunya kata dan tindakan’ itu? ‘Kepakan bibir’ yang katakanlah, asal mangap, asal njeplak itu akhirnya membuat banyak keretakan dalam ‘rumah’ hidup bersama bertahun kemudian. Termasuk ‘bahasa tubuh’ yang asal joget, asal pethakilan itu. Rusak-rusakan. Bagi banyak bakat atau potensi, situasi rusak-rusakan ini bisa-bisa merupakan tantangan yang ‘terlalu besar’. Belum lagi bermacam ‘akses’ menjadi tidak jelas lagi. Maka bisa dikatakan, salah satu kejahatan terbesar rejim bertahun terakhir, ia telah banyak membunuh bakat-bakat dan atau potensi-potensi terbaik bangsa. *** (10-09-2025)
[1] https://www.youtube.com/watch?v=_JM0Up30rSY , https://www.youtube.com/watch?v=Gd2-AZKuChg, https://www.youtube.com/watch?v=Bz0DR3WOBXA, https://www.youtube.com/watch?v=hdrL_3iBoX8, dll
1774. The Good, The Bad, and The Ugly

