1790. Watak Sabot dan Pecah Belah
02-10-2025
Sabot dalam judul adalah kata ringkas dari sabotase. Sabotase merupakan serapan bahasa asing, berasal dari kata sabot (Perancis): ‘sepatu kayu’, sehingga: berjalan dengan berisiknya. Keberisikan yang bisa-bisa sungguh mengganggu, menyabot ‘rantai ketenangan’. Maka sering memang sabotase itu berujung pada ‘keberisikan’, apapun itu bentuk luarnya. Atau bahkan sebaliknya, tiba-tiba saja senyap. Maka jangan heran jika sabotase bisa-bisa jadi mata kuliah wajib dalam kurikulum intelejen atau kontra-intelejen. Jika Alvin Toffler dalam Power Shift (1990) menyinggung soal ‘invisible party’: ‘partai birokrasi’ dalam hal ini, bisa dibayangkan jika ada partai sejenis sama-sama invisible-nya, par-in, ‘partai intelejen’. Menyusup dimana-mana, termasuk dalam partai politik, dan tugas utamanya bisa-bisa: sabotase. Tentu harus dikatakan di sini, ketrampilan sabotase bukanlah monopoli dunia intelijen.
Tetapi bukankah kemiskinan republik 50 tahun terakhir terutama adalah karena sabotase? Terlebih sabotase pasal 33 ayat (3) UUD 1945: “Bumi dan air dan kekayaan alam …… dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”? Rute kekayaan alam yang semestinya menuju pada kemakmuran rakyat itu telah mengalami bermacam sabotase habis-habisan di tengah jalan. Bagai pipa gas bawah laut itu kemudian disabot sehingga bocor kemana-mana, terkait dengan gelapnya perang Ukraina itu. Atau semestinya konsumen mendapat bensin RON 98 atau 92 misalnya, tetapi ternyata sudah disabotase dengan oplosan. Demikian juga beras premium, dioplos juga. Atau triliunan bansos, di-embat juga, disabot juga. Bahkan Keputusan MK, atau ketika khalayakan kebanyakan ingin mendapatkan keadilan di ruang-ruang pengadilan. Atau pejabat korup semestinya masuk jalan pengadilan, disabot juga akhirnya menjadi ‘sandera kasus’. Juga harapan untuk melihat asli atau palsunya ijazah petinggi. Atau tentang masa lalu. Bahkan program MBG dan Koperasi Desa itu. Bahkan (hasil) pemilihanpun disabot mulai dari input, proses, dan outputnya. Maka memang ada yang wataknya tukang sabotase, atau katakanlah, spesialisnya memang sabotase. Hidup tahunya ya sabotase itu. Pecah belah atau adu domba adalah juga salah satu bentuk sabotase terhadap persatuan, atau apapun itu mau disebut.
Maka jika mau nakal, ada ‘logika garis lurus’ dan ‘logika dielektis’, tetapi ada juga ‘logika sabot’. Bukan ‘kebenaran’ yang dicari dalam ‘logika sabot’, tetapi sungguh hanya satu: kekuasaan dan kenikmatan. Atau ‘kemenangan’ dengan segala caranya. Maka ‘habitat’ yang bisa dibayangkan dalam ’logika sabot’ adalah imajinasi Hobbes soal state of nature. Tidak ada kesepakatan yang ada, jika ada kesepakatan-pun akan disabot juga jika perlu. Bahkan bisa dikatakan, tidak ada kesepakatan di luar ‘kekuasaan dan kenikmatan’ yang sudah di tangan, emang loe siapa? Sabotase kemudian menjadi pilar utama untuk menjadi paling fit dalam lapangan survival of the fittest. Dan apa alat utama sabotase? Jika memakai pembedaan kekuatan menurut Toffler, terutama adalah kekuatan uang, dan kemudian kekerasan dan pengetahuan. Pengetahuan? Lihat misalnya jaman demen pembredelan itu, atau juga ulah buzzerRp, surveiRp. Distorsi, misinformasi, bahkan juga hoaks bisa dikatakan ada dalam ranah sabotase. Juga tentu ngibul, tipu-tipu yang sudah tanpa batas. Termasuk juga masa lalu-pun disabot pula. Hak atas informasi? Tidak ada dalam kamus ‘logika sabot’ mereka! Bahkan dunia pendidikan-pun kalau perlu disabot. Diacak-acak, diobok-obok. Kekuatan kekerasan bisa soft power, apalagi hard power. Soft power, terkait dengan hukum, misalnya.
Tak mengherankan dalam ‘logika sabot’ ini tidak akan mengenal apa itu kehormatan, atau komitmen. ‘Hal-hal baik’ akan disabot juga jika mengganggu ‘kekuasaan dan kenikmatan’. Common good? Sama sekali tidak dikenal terjemahannya. *** (02-10-2025)
1791. Republik Tanpa Kehormatan?
03-10-2025
Dalam Pikiran Ra’jat (1933) si-Bung menulis artikel Azas; Azas Perjoangan; Taktik.[1] Azas adalah dasar atau “pegangan” kita, yang “walau sampai lebur kiamat” terus menentukan “sikap” kita, terus menentukan “duduknya nyawa kita”, demikian ditulis si-Bung. Dan bagi kita Marhaen Indonesia, azas kita adalah kebangsaan dan kemarhaenan -sosionasionalisme dan sosiodemokrasi, demikian ditegaskan si-Bung. Kemudian dilemparlah pertanyaan: “Bagaimanakah kita bisa mencapai Indonesia Merdeka dan kemudian bisa melaksanakan azas kita?” Jawab hanyalah satu: kita harus menjalankan perjoangan. Tetapi perjuangan seperti apa? Si-Bung kemudian mengajukan beberapa kemungkinan: “Perjoangan dengan cara minta-minta? Dengan cara dewan-dewanan? Dengan cara kecil-kecilan, cara salon-salonan, cara warung-warungan?” Kemungkinan atau pertanyaan-pertanyaan ini akan dijawab, menurut si-Bung: dengan azas perjuangan. Azas perjuangan adalah menentukan hukum-hukum daripada perjoangan itu, menentukan strategie daripada perjoangan itu. Azas perjoangan menentukan karakternya perjoangan itu, sifat wataknya perjoangan itu, garis-garis besar daripada perjoangan itu -bagaimananya perjoangan itu. Ditegaskan si-Bung bahwa azas perjoangan Marhaen adalah nonkooperasi, machtsvorming, massa-aksi, dan lain-lain. Lalu apa itu taktik? Taktik adalah segala perbuatan apa sahaja yang perlu untuk memelihara perjoangan. Taktik kita jalankan, kita robah, kita belokkan, kita putarkan, kita candrakan menurut keperluan sehari-hari.
Tetapi bagaimana kita menghayati sebuah ‘azas’? Apakah dari tulisan-tulisan dalam sebuah buku tebal? Dan kemudian buku itu dibanting di atas meja saat rapat partai seperti dilakukan oleh Thatcher sambil berseru: “Ini yang kita percayai!” Buku yang dibanting Thatcher saat itu adalah karya Hayek. Memang bukan buku tebal kumpulan tulisan si-Bung: Di Bawah Bendera Revolusi, misalnya. Thatcher -suka atau tidak, tahu persis bahwa ‘azas’ yang ada dalam buku itu baru akan menampakkan diri dalam tindakan, keputusan dan perilaku, tidak cukup hanya membanting buku saja. Meski saat itu diiringi dengan kata-kata berapi-api. Ia butuh juga ‘azas perjuangan’. Salah satu ‘azas perjuangan’ dari sayap kanan (jauh) atau dalam hal ini Partai Republik Amerika itu, seperti dikatakan David C. Korten adalah terkait membangun story telling. Dan salah satu ‘taktik’ yang muncul saat era Nixon, Reagan, dan sekarang Trump misalnya adalah yang disebut sebagai madman theory itu.
Azas dalam hal ini akan lekat dengan nilai-nilai atau value. Nilai adalah sesuatu yang pantas untuk ‘dikejar’ atau diupayakan perwujudannya karena memang baik. Baik menurut siapa? Tentu akan berbeda satu sama lainnya, salah satunya tergantung dari ‘pandangan dunia’-nya, misalnya. Apa yang menjadi bahan bakar utama dari ‘azas’ sehingga dapat menjadi “pegangan” kita, yang “walau sampai lebur kiamat” dan terus menentukan “sikap” kita? Kehormatan! Kehormatanlah yang membuat pintu menjadi terbuka terhadap makna di balik ‘azas’. Kehormatanlah yang membuat ‘azas’ kemudian menjadi komitmen. Dengan kehormatan pula kita menjadi terdorong untuk ‘tahu batas’. Kehormatan yang ‘mengatasi’ loyalitas, sehingga mampu mengambil jarak terhadap loyalitas jika satu saat diperlukan. Kehormatan, dan bukan ‘gila hormat’. Itulah mengapa dalam Alegori Kereta-nya Platon, kuda putih yang menggambarkan kehormatan itu lebih mudah ‘dikendalikan’ sais (nalar) dibanding dengan kuda hitam yang menggambarkan hasrat perut ke bawah, makan, minum, seks, dan terutama hasrat akan uang. Sais, nalar: hal yang juga akan lekat dengan ‘azas’, masih perlu dukungan kehormatan sehingga lebih mampu ‘mengendalikan’ liarnya kuda hitam.
Apa ‘musuh’ terberat dari ‘azas-azas perjuangan-taktik’? Selain tentu potensi pembusukan dari dalam, ia akan menghadapi juga ‘azas-azas perjuangan-taktik’ dari yang ‘hasrat gelap’. Siapa bilang ‘hasrat gelap’ tidak mampu melakukan itu? Passion, hasrat, emosi, dikatakan David Hume bisa saja memperbudak rasio, bahkan dengan telanjangnya. Termasuk di sini misalnya, ‘azas’: tetap atau ikut berkuasa. Sedangkan ‘azas perjuangan’: sabotase dalam bermacam bentuknya -terutama sabotase terhadap ‘kehormatan’, devide et impera, dan lain-lain, ‘taktik’: sesuai dengan situasi. Sabotase yang semestinya bagi banyak perjuangan ada di taktik saja, bisa-bisa telah berubah menjadi ‘variabel tetap’ dan masuk dalam ‘azas perjuangan’.
Ketika tulisan ‘Azas; Azas Perjoangan; Taktik’ dimuat di Pikiran Ra’jat (tahun 1933) republik masih terjajah. Dimana penjajah-pun akan punya ‘azas-azas perjuangan-taktik’-nya sendiri seperti disinggung di atas. Ataukah republik bisa dijajah lama karena lama juga tidak mampu membangun ‘azas-azas perjuangan-taktik’ sendiri? Sedangkan sik-penjajah sudah punya peta ‘azas-azas perjuangan-taktik’-nya dalam waktu lama?
Politik Etis yang dibawa penjajah menurut YB. Mangunwijaya memberikan dampak tak terduga, dampak yang tidak dimaksud pada awalnya, yaitu ketika guru-guru Barat yang penuh dedikasi itu (dalam waktu luangnya, saat-saat ‘bertemu bebas’) telah menjadi salah satu inspirasi bagi beberapa tokoh pergerakan terkait dengan ‘kehormatan’ dan sekitar-sekitarnya. Bertahun kemudian dengan berubahnya ‘kehormatan’ menjadi ‘fakta faktual’-nya perlahan ‘‘azas-azas perjuangan-taktik’ mulai semakin menampakkan diri bentuk kongkret dan prakteknya.
Paling tidak sepuluh tahun terakhir kita bisa merasakan bagaimana perlahan tapi pasti kehormatan telah dibunuh. Diolok-olok. Paling anyar dikatakan oleh Hasan Nasbi yang baru saja diangkat sebagai komisaris Pertamina (!), dengan mem-banal-kan soal penjilat-an itu. Juga misalnya, jogat-joget di tempat upacara kemerdekaan (!) atau ruang rapat wakil rakyat. Belum lagi asal mangap, asal njeplak, asal ancam, ngibal-ngibul dari pejabat. Dan banyak lagi. Kehormatan yang ‘mengatasi’ loyalitas itu kemudian digeser menjadi sekedar loyalitas saja. Akibatnya? ‘Azas’ yang semestinya akan lekat dengan nilai-nilai itu akhirnya banyak tergeser, dan lebih dikuasai oleh ‘hasrat gelap’. Kehormatan, dan sekali lagi bukan ‘gila hormat’, seperti misalnya, ultra-nasionalisme, atau lainnya. Terkait tergesernya ‘kehormatan’ dengan ‘loyalitas’ ini, ada baiknya kita ingat kata-kata C.P. Snow, “When you think of the long and gloomy history of man, you will find that far more hideous crimes have been committed in the name of obedience than have been committed in the name of rebellion." *** (03-10-2025)
[1] Ir. Sukarno, Di Bawah Bendera Revolusi, Jilid I, Yayasan Bung Karno, 2005, hlm. 249-251
1792. Semua Digadaikan
04-10-2025
Bertahun terakhir, ‘rejim gadai’ ini terus menggoda banyak pihak. Semua aset republik siap terlibat dalam dunia pergadaian ini. Dari tambang, pasir laut, infrastruktur, jabatan, komisaris BUMN, bahkan kedaulatan-pun siap terlibat. Penguasa rejim kemudian berperan sebagai pegawai ‘pawn stars’ saja. Republik gadai ini sebenarnya hanya menerima satu ‘barang’ yang akan digadaikan: jiwa. Persis seperti lakon drama yang ditulis Goethe: Faust. Tidak hanya ‘gadis muda cantik’ seperti dalam Faust, tetapi juga jabatan, dan terutama uang yang ditawarkan republik gadai. Dan bahkan kedaulatan seperti sudah disinggung di atas. Jika tidak mau menyerahkan ‘jiwa’-nya, atau mungkin saja sebagian jiwa, ada konsekuensinya, dan jika itu dilakukan: menyerahkan jiwa atau sebagian jiwa, harus siap jika diminta bantuannya. Kapan saja.
Maka ‘republik gadai’ ini lekat dengan transaksi faustian. Jauh lebih dari sekedar terbangunnya ‘koalisi’ yang melibatkan pertukaran give-and-take yang ada dalam bayang-bayang ‘saling menguntungkan’ kepentingan masing-masing, tetapi sungguh ini soal ‘menjual jiwa’. Soal ‘jiwa’ yang digadaikan. Bahkan yang tidak mau menggadaikan ‘jiwa’nya, bisa-bisa tidak dipakai. Atau bahkan pula akan dirasakan mengganggu ‘langgam rejim’. Apa nama lain dari ‘republik gadai’ model faustian ini? Mafia, ‘republik mafia’. Kesetiaanlah nomer satunya, dan jaminan kesetiaan adalah ‘jiwa’ yang sudah digadaikan itu. Tak jauh-jauh amat dari operasionalnya sebuah mafia, republik gadai-mafia ini pastilah punya debt-collector sendiri. Sekelompok ‘pasukan’ yang akan tidak segan mencabut ‘jiwa’ -dalam bermacam bentuknya, jika ‘pengutang’ menunjukkan gejala tidak setia lagi. Atau tidak mau bertindak jika tiba waktunya dimintai bantuannya.
Sebagai ‘republik mafia’ maka salah satu bisnis utamanya adalah ‘bisnis perlindungan’. Macam-macam perlindungan yang ditawarkan, pasca ‘jiwa’ digadaikan itu, dari soal ‘keterpilihan dalam pemilihan’ sampai pada masalah hukum. Maka jangan kaget jika tangan-tangan ‘mafia’ ini akan masuk juga ke KPU, lembaga-lembaga penegak hukum, bahkan juga aparat pemegang senjata. Juga tentu di lembaga-lembaga legislative, apalagi eksekutif. Dan jangan kaget pula jika tangan-tangan mafia ini akan terhubung pula dengan ‘mafia-internasional’ dengan tawaran sebagian kedaulatan republik. Sebagian, sebagian, sebagian, dan jangan kaget pula jika makin lama makin besar porsi kedaulatan yang diserahkan-digadaikan.
Cardoso di awal dekade 1970-an membedakan pakta dominasi primer dan pakta dominasi sekunder, terutama dalam ‘logika’ kapitalisme global. Pakta dominasi sekunder terutama di ‘negara-negara berkembang’, akan menjadi (selalu) ada dalam bayang-bayang lekat dari kapitalisme yang berkembang di pakta dominasi primer di ‘negara-negara maju’. Dalam ‘hukum pertukaran kebudayaan’ Toynbee mengajukan salah satu pendapat, yaitu sinar budaya dengan ‘nilai rendah’ justru akan mudah masuk, akan sedikit resistensinya. Tentu ‘kapitalisme rente’ misalnya, tidak hanya soal ‘kultural’ saja, tetapi juga masalah ‘struktural’ juga. Tak mengherankan ketika ‘struktural’ menjanjikan akan ada ‘revolusi mental’ lebih dari 10 tahun lalu, sambutannya begitu gagap-gempita. Meski ternyata itu adalah tipu-tipu total, apa yang mau disampaikan di sini adalah jauh di bawah sadar khalayak kebanyakan itu akan mendukung siapa saja yang ada di ‘struktur’ untuk mulai membangun perbaikan-perbaikan ke arah lebih baik.
Seperti disinggung di atas, sebenarnya muncul juga ‘toko gadai global’ -di ‘pakta dominasi primer’, yang bekerja tidak jauh-jauh amat dari ‘republik gadai’ terutama terkait dengan apa-apa yang digadaikan: ‘the soul of nation’, meminjam bidikan kampanye Joe Biden beberapa waktu lalu. Dan yang ada dalam lemari ‘gadai global’ itu tak jauh-jauh amat pula: perlindungan. Maka bisa dikatakan bahwa mafia di republik -pakta dominasi sekunder, entah dengan rute apa, nampaknya dalam beberapa halnya akan terkait dengan ‘mafia global’, yang ‘berpusat’ di pakta dominasi primer. Lihat sebagai contoh, soal ‘ijazah palsu’ itu semakin nampak tidak hanya soal duduk perkara, tetapi juga duduk-nyawa republik. Kebenaran juga sudah digadaikan pada ‘toko gadai global’, atau juga akhirnya ‘the soul of nation’ itu sudah digadaikan dengan segala konsekuensinya. Kekayaan alam, pasir laut, ketahanan energi, bahkan kedaulatan republik akhirnya akan dijual pula ketika sik-‘tukang gadai global’ itu ‘minta jatah’. Pintu masuknya? Salah satunya dalam hal ini: ijazah palsu! Dan banyak lagi. Bahkan impor bus bekas bobrok-pun bisa jadi pintu masuk juga.
Maka memang tidak mudah melawan ‘republik mafia’ ini, apalagi menghapusnya. Lihat saja bagaimana keras dan brutalnya film-film terkait dengan mafia itu. Yang dihadapi adalah orang-orang yang ‘sudah menjual jiwanya’, dengan tanpa beban. Hanya dengan kekuatan yang mampu ‘mengambil jiwa’-lah maka ‘republik mafia’ menjadi bisa dikendalikan. Itulah mengapa ada yang berharap itu akan (lebih) terjadi setelah 5 Oktober nanti. Apakah kemudian nanti setelah 5 Oktober itu yang terjadi ternyata hanya ‘ganti mafioso’ saja? Kita lihat saja nanti, terus terang sulit diprediksi. Karena bagaimanapun juga ‘5 Oktober’ itu lebih merupakan ‘prakondisi politis’ (baca juga: gertak), sama sekali belum berurusan dengan ‘prakondisi teknis’ yang sungguh sudah rusak-rusakan itu. *** (04-10-2025)
1793. Jebakan Propaganda
07-10-2025
Bagaimana ketika ‘kapitalisme informasional’ berubah menjadi ‘kapitalisme propaganda’? Apakah ia juga akan mengalami ‘siklus’ naik-turunnya kapitalisme? Suatu saat akan pecah juga, misalnya. Tetapi bukankah kapitalisme itu juga lekat dengan ‘propaganda’? Dan bagaimana ketika politik sebagai bagian dari ‘bangunan atas’ itu juga kemudian lebih berbasis pada propaganda? Jangan-jangan itupun akan menemui batas-batasnya.
Paling tidak selama lebih dari sepuluh tahun politik di republik sungguh telah menikmati ‘keuntungan’ dari bermacam propaganda itu. Propaganda ‘pertama’ dalam kurun waktu tersebut, dan telah memberikan keuntungan besar-besaran adalah propaganda ‘mobil esemka’ itu. Gila-gilaan keuntungannya. ‘Modal hanya sekian’ tetapi keuntungannya berlipat-lipat tak terbayangkan. Tak terasa, ‘nilai lebih’ dalam relasi politik itu telah dirampas habis-habisan, ‘nilai lebih’ dalam hal ini adalah soal ‘kepercayaan’. Dan selama bertahun kemudian bermacam propaganda terus berlanjut dalam bermacam bentuknya. Politik kemudian seakan bergeser menjadi semata hanya propaganda saja. Atau bahkan tahunya dalam berpolitik, ya hanya propaganda itu. Bahkan dalam bentuk paling rendahannya: tipu-tipu.
Lebih dari sepuluh tahun ini memberikan pelajaran berharga bagi republik terkait batas-batas ketika politik lebih berbasis propaganda. Bagaimanapun juga propaganda itu adalah soal romantika: tak jauh-jauh amat dari hikayat heroism. Padahal khalayak kebanyakan tidak hanya perlu tebaran hikayat, tetapi juga perlu makan dan minum. Juga berpakaian, tempat tinggal, pendidikan, pekerjaan, dan seterusnya, Hal-hal kongkret yang pasti tidak akan selesai karena penuhnya udara republik dengan hikayat penuh romantika. Itulah yang terjadi, dinamika yang terus berkembang di hadapan khalayak kebanyakan menjadi terlupakan. Bahkan untuk masuk dinamika-pun terasa ogah-ogahan, bagaimana kemudian mau masuk ke dataran dialektis?
Bagaimana hal di atas bisa terjadi begitu terstruktur, sistematis, dan massif? Salah satunya karena pemimpinnya jarang ‘ke luar negeri’. Kemampuan pemimpin dalam menghadapi dinamika dalam negeri akan diasah ketika ia mampu melihat bermacam ‘patok-duga’ dari bermacam belahan dunia. Atau dalam kata-kata Richard Robinson, Indonesia akan gagal menjadi kuat karena tidak mampu memproyeksikan kekuatannya di pentas global. Pendapat itu disampaikan oleh Robinson saat memberikan kuliah umum dengan topik: Why Indonesia Will Not Be the Next Rising Power in Asia” di kampus Universitas Melbourne, 5/7/2016.[1] Dua tahun setelah bermacam euphoria naiknya Joko Widodo ke puncak kekuasaan. Dan Robinson terbukti benar sekali, republik malah jadi rusak-rusakan.
‘Keterjebakan terhadap propaganda’ semakin dalam tidak hanya karena kemungkinan keretakan dengan mengambil jarak seperti disinggung di atas tidak terjadi, tetapi juga karena terlalu banyak ‘relawan’ yang tidak dibubarkan setelah kampanye selesai. Relawan yang tidak hanya ‘setia buta’ tetapi juga asal ada uang maka akan mau melakukan apa saja. Akhirnya propaganda itu telah menjadi ‘lingkaran tertutup’ yang mengurungnya. Menjadi tidak mampu meraba apa yang menjadi esensi di depan hidungnya sebagai pemimpin. ‘Ketertutupan’ itulah kemudian ia menjadi enteng-enteng saja untuk mbudeg, menulikan diri terhadap berbagai kritik.
Bahkan kasus ‘ijazah palsu’-pun dihadapi dengan logika propaganda juga. Gagal menangkap dinamika yang berkembang ‘di luar’ sana, dinamika sains dan intersubyektifitas. Dan bayang-bayang kegagalan ini membuat potensi kelamnya sejarah republik semakin menampakkan diri, ketika jalan ‘kekerasan’ kemudian diambil, waton suloyo. Apa yang mau disampaikan di sini adalah soal propaganda ketika ia sampai pada batas-batasnya, bisa-bisa hidup bersama akan masuk pada situasi gelap total. Jepang dalam mengelola system demokrasinya pantas menjadi contoh, terutama dalam ‘pembatasan’ aktifitas politik terutama lagi dalam rentang waktu pemilihan. Bukan soal kebebasan dalam berpolitik, tetapi bagaimana propaganda tidak kemudian membunuh ‘akal sehat’. Dan ini nampaknya menjadi penting dalam komunitas dengan power distance tinggi (Hofstede). Tentu ini tidak berdiri sendiri, ‘syarat mutlaknya’ adalah adanya partai politik yang benar-benar jalan sebagaimana mestinya. Misalnya, bagaimana partai mampu melakukan ‘pendidikan politik’ sampai akar rumput.
‘Logika propaganda’ dalam politik ini memang sangat menggoda, siapa saja yang sedang berkuasa. Maka orang-orang sekitar kekuasaan memang harus pilihan, dalam arti jangan sampai justru menjurumuskan masuk secara buta dalam logika propaganda ini. Contoh kecil, ketika rejim terus nyelonong saja ke biosko-bioskop beberapa waktu lalu, misalnya. Siapapun yang mengusulkan itu, jelas itu adalah ‘penjerumusan’. Termasuk tidak didengarnya kritik, masukan, terkait program MBG dan Koperasi Desa itu. Seperti disebut di atas, salah satu akibat dari ‘logika propaganda’ ini adalah mbudeg, menulikan diri. Hati-hati. *** (07-10-2025)
[1] http://internasional.kompas.com/read/2016/07/08/13300091/profesor.australia.indonesia.tak.punya.kapasitas.untuk.jadi.kekuatan.baru.di.dunia
1794. Empati Yang Tak Terlatih
08-10-2025
Secara ‘natur’ manusia, bahkan juga binatang, mempunyai ‘bakat’ untuk ber-empati. Memang empati masih perlu dilatih dan dilatih, bahkan sejak usia-usia dini. Tentu dengan pendekatan berbeda antara usia tertentu dengan usia lainnya. Intinya, empati adalah salah satu hal yang sadar atau tidak, menjadi pilar hidup bersama. Empati lebih dari simpati, ia seakan ikut merasakan penderitaan yang lain, misalnya. Yang membedakan antara politisi biasa dan negarawan salah satunya adalah soal empati ini. Negarawan adalah seorang politisi yang terlatih secara terus menerus dalam hal empati. Sayangnya, dalam politik riil justru yang nir-empati inilah sering malah ‘menang’. Tak mengherankan karena ia seakan berpolitik dengan ‘tanpa beban’ lagi. Dan siapa yang sebenarnya menjadi korbannya? Korban nir-empati dari para ‘politisi biasa’ itu? Dari masa lalu kita bisa belajar bahwa itu sebagian besarnya adalah khalayak kebanyakan.
Maka tidak mengherankan jika ada yang meyakini bahwa politik itu pada dasarnya adalah sebuah dialog dalam kebebasan dan kesetaraan. Dalam dialog atau adu argumentasi seperti itu, pastilah ada kemauan untuk memahami apa yang menjadi argumentasi lawan bicara. Dari hal tersebut saja maka nuansa empati-pun bisa dikatakan juga ikut dilatih. Empati dalam beberapa halnya adalah juga sebuah komitmen. Karena adanya komitmen maka pada satu titik kita bisa menunda kepentingan diri kita untuk sesuatu yang ‘lebih besar’. Seakan kita menjadi mau dan mampu merasakan ‘yang lebih besar’ itu, dan kemudian diubah menjadi sesuatu yang diperjuangkan. Empati juga memerlukan daya imajinasi tersendiri. Imajinasi untuk menempatkan diri di pihak lain. Ia ada dalam bayang-bayang timbang menimbang juga. Ujungnya? Dengan melatih diri soal empati, kita sebenarnya juga melatih hal etis juga.
Ketika ada ada bencana banjir bandang di Jerman bulan Juli 2021 lalu dan Presiden Jerman saat itu, Frank-Walter Steinmeier memberikan keterangan pers dengan beberapa rombongan ada di belakangnya, calon terkuat pengganti Angela Merkel -Armin Laschet, juga ikut. Tetapi di tengah Steinmeier memberikan keterangan pers dengan penuh rasa empati terhadap korban, tertangkap kamera di belakangnya bagaimana Laschet justru bersedau gurau dengan sebelahnya. Malah jegègèsan sendiri.[1] Sontak perilaku ini mengundang kritik luas. Meski akhirnya Laschet minta maaf, popularitasnya sudah menjadi jatuh. Beberapa hari lalu ketika menyerahkan beberapa smelter timah illegal ke PT Timah, Presiden Prabowo dengan serius memberikan keterangan pers tentang upaya pemerintah menertibkan tambang-tambang illegal, tetapi justru Bahlil yang ada di belakangnya ‘iseng-iseng’ mencolek paha Rosan Roslani yang ada di sampingnya.[2] Dan tertangkap kamera. Juga akhirnya dipermasalahkan netizen terkait laku tidak pada tempatnya itu.
Bertahun-tahun kita seakan memang ‘dibiasakan’ untuk melihat para petinggi nir-empati. Paling telanjang justru saat ada peristiwa bencana, bahkan ketika sudah tersingkap bagaimana ‘skenario’ tampil-sendiri di tengah bencana dipersiapkan. Bagaimana itu di atur-atur dan seterusnya. Sungguh, itu adalah kegilaan ke-nir-empati-an paling sontoloyo di dunia. Kalau ada juara-juaraan pemimpin paling sontoloyo dalam kasus kebencanaan, mungkin orang itu akan jadi nomer satu! Tanpa perdebatan lagi. Atau saat 5 Oktober lalu, kita tahu bagaimana persiapan telah dilakukan dengan sangat serius, èh sik-yunior itu malah sibuk mempersiapkan diri untuk tampil bak M. Hatta! Kalau sik-senior suka main ‘raja-raja-an’ maka jangan-jangan sik-yunior sedang coba-coba main ‘hatta-hatta-an’. Kalau ia mempunyai empati terhadap semua yang sudah mempersiapkan gelar parade itu, mestinya ia tidak terlalu bernafsu untuk ‘mencuri panggung’. Mencuri panggung …, salahkah itu? Tentu tidak. Tetapi ini masalah ‘latihan ber-empati’. Juga soal imperfect obligation. *** (08-10-2025)
[1] https://www.youtube.com/shorts/g_5RxD3Q58E
[2] https://www.youtube.com/watch?v=KgvKtMg1ak4, mulai menit ke 15 dst