1775. Empire dan Culture Shock-nya
12-09-2025
Ketika ditanya soal bukunya bersama Antonio Negri, Empire (2000), Michael Hardt menjawab dalam sebuah wawancara (2018) bahwa ada “three hypotheses constitute the foundation of the book: (1) that no single nation-state is able today to determine global order, (2) that, instead, a mixed constitution is emerging, and (3) that global capital and the world market are determining factors in shaping the global order.”[1] Fokus tulisan ini pada yang kedua, terkait mixed constitution.
Mengambil pendapat Polybius (200 SM - 118 SM) sejarawan Yunani Kuno yang menulis sejarah Kekaisaran Roma dengan waktu tinjaunya sekitar 264-146 SM, mengapa Roma bisa menjadi kuat waktu itu? Salah satu pendapat Polybius karena saat itu Roma mengembangkan mixed constitution, rejim campuran antara monarki, aristokrasi, dan demokrasi. Bagaimana ini bisa dibayangkan? Mungkin struktur ‘Little Empire’ jaman old di republik bisa membantu, siapa yang duduk di puncak ‘monarki’ sudah jelas, Pak H. Kelas aristokrasinya? Apakah yang disebut sekarang ini sebagai kaum oligarki itu? Bukan, tetapi rekrutan melalui jalur ABG itu. Sedang demokrasi? Demokrasi lebih sebagai alat legalitas saja, maka yang berkembang ‘demokrasi seolah-olah’ saja. Selain sebagai alat legalitas, demokrasi saat itu juga sebagai alat penjinak sik-demos. Maka setiap tahun digelarlah pesta itu: ‘pesta demokrasi’.
Seperti dibayangkan oleh Negri dan Hardt terkait dengan ‘kelas monarki’, Pak H saat itu bukanlah sekedar pribadi yang suka senyum saja, tetapi adalah sosok pemegang kendali penuh atas ABRI (saat itu kepolisian termasuk di dalamnya). Pada awalnya, melalui jalur ABG itulah kelas aristokrat lebih dibangun, tetapi perlahan kemudian semakin diisi oleh apa yang dibayangkan oleh Negri dan Hardt, disesaki oleh kekuatan kaum pemegang modal besar, termasuk kaum oligark itu. ‘Aristokrasi’ yang perlahan mengalami pembusukan. Ranah demokrasi selain digelar dalam nuansa seolah-olah, juga mengalami pukulan cukup telak melalui rute depolitisasi. Aktor-aktor non-state, media massa, dan lain-lain juga dalam nuansa represi hebat.
Maka di jaman old, hegemoni ‘little empire’ sebenarnya ‘dirancang’ dengan bekerjanya secara simultan antara repressive state apparatus dan ideological state apparatus. Dalam bagian akhir perjalanannya, kedua ‘apparatus’ itu mengalami keretakannya. Ideological state apparatus mengalami keretakan ketika terutama jalur B dimana kaum teknokrat bisa dikatakan ikut ada di dalamnya, semakin terdesak oleh ‘kekuatan uang’. Yang ternyata juga ikut merambah pada penyangga utama dari repressive state apparatus. Akhirnya ‘little empire’ itupun menjadi kedodoran, dan ketika para aristokrat Empire (global) itu menggedor-gedor pintu gerbang -‘politik pintu terbuka’, minta supaya dibuka lebar-lebar demi masuknya modal mereka, segera saja ‘little empire’ itu runtuh.
Apa yang membedakan Empire dan ‘little empire’? Jika kita bicara ‘rejim campuran’ maka dalam ‘little empire’ itu jarak antara demos dan ‘kaum aristokrat’ plus ‘monarki’ itu lebih dekat dari yang ada di Empire. Di depan hidung. Jika kita memakai teori segitiga hasrat atau teori mimetic-nya Girard, maka dalam ‘little empire’ akan lebih mudah tumbuh ‘rivalitas’ antara demos dan aristokrat/monarki (yang sebelum terjadi ‘rivalitas’ seakan berposisi sebagai ‘model internal’ bagi demos). Menurut Girard, rivalitas itu bisa ‘dikelola’ dengan menghadirkan ‘kambing hitam’. Tetapi sebenarnya ada pilihan lain, menghadirkan ‘pihak ketiga’ yang dimaui baik oleh demos atau juga kaum aristokrat/monarki, sama-sama mengejar ‘kesejahteraan’, misalnya. Di sinilah peran kaum ‘teknokrat’ diperlukan, dari pada ‘tukang jagal’ sik-kambing hitam. Apalagi dalam modus komunikasi mass-to-mass via jaringan digital-internet seperti sekarang ini, khasiat rute per-kambing-hitam-an ini bisa-bisa berumur pendek saja. Selubung fakta per-kambing-hitam-an itu bisa-bisa akan semakin mudah terkuak saja.
Dimana culture shock-nya? Ada yang merasa sebagai bagian dari kaum aristokrat-nya Empire, padahal ia hidup dalam ‘little empire’. Dimana khalayak kebanyakan itu, sik-demos ada di depan mata. Thomas Piketty dalam Capital in the 21st Century (2014) menyampaikan data bagaimana kesenjangan atau ketimpangan global bahkan sudah tak jauh beda pada abad 18-19 ketika kapitalisme liberal merebak. Termasuk dalam banyak masing-masing negara. Dan itu juga yang akan hadir di depan hidung ‘little empire’. Dalam situasi obyektif seperti itulah ketika ada yang merasa sebagai bagian dari ‘aristokrat global’ dan kemudian pecicilan dengan tanpa beban lagi di tengah ketimpangan yang memang sudah ugal-ugalan, tiba-tiba sik-demos yang ada di depan hidungnya itupun akan bereaksi. Dalam bermacam bentuknya. Dalam nada-nada yang semakin mengeras.
Maka baik rejim Empire maupun ‘little empire’ ini mesti dilawan. Karena pasti pertama-tama yang menjadi korban adalah sik-demos komplit dengan demokrasinya. Yang kedua, jangan sampai yang pegang senjata itu kemudian menjadi alat represi bagi khalayak kebanyakan. Kembali menjadi ‘yang profesional’. Dan tidak ada lagi ‘logika jalur ABG’ atau apapun itu, tetapi bangun sistem yang mendasarkan diri pada meritokrasi. Aktor-aktor non-state seperti disinggung di atas perlu diperkuat secara terus menerus, tetapi jangan dilupakan: ‘revolusi’ partai politik (baca juga: jalur G). Faktanya, terlalu banyak partai politik sekarang ini telah menjadi partai sontoloyo. Dan jangan pernah bermimpi ‘rejim campuran’ ini akan membawa pada kesejahteraan bersama. *** (12-09-2025)
[1] https://greattransition.org/publication/empire-and-multitude
1776. Doppelganger?
13-09-2025
Doppelganger?[1] Tidaklah. Janganlah, dalam hal berikut. Enam tahun lalu para tokoh menemui presiden J di istana negara, terutama terkait masalah ‘pelemahan KPK’. Penuh harapan supaya presiden mau ‘mengurus’ pelemahan KPK ini melalui langkah-langkah yang dimungkinkan. Melalui penerbitan perppu, misalnya. Juga soal demokrasi. Dan lain-lainnya. Pokoknya hal-hal baik terkait penyelenggaraan negara.[2] Hari-hari ini terberitakan para tokoh bertemu dengan presiden P, terutama terkait reformasi kepolisian. Dan juga soal penegakan hukum. Intinya, hal-hal baik terkait penyelenggaraan negara. Sebagai pengingat, kami link tulisan enam tahun lalu, klik: https://www.pergerakankebangsaan.com/405-Ayo-Komit-nang-Kebon/
Terimakasih. Semoga berguna. *** (13-09-2025)
[1] Juga buku terbaru Naomi Klein
[2] https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190926150821-20-434330/jokowi-bersuara-jangan-ragukan-komitmen-saya-jaga-demokrasi, misalnya. Dan banyak berita lagi.
1777. Bangsaaat ...
13-09-2025
Keputusan Komisi Pemilihan Umum
Nomor 731 Tahun 2025
tentang
Penetapan Dokumen Persyaratan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Sebagai Informasi Publik yang Dikecualikan Komisi Pemilihan Umum
Tanggal Penetapan:
21 Agustus 2025


1778. Reformasi KPU!
14-09-2025
Keputusan PKU No. 731 Th. 2025 tentang Penetapan Dokumen Persyaratan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Sebagai Informasi Publik Yang Dikecualikan KPU, ditetapkan 21 Agustus 2025 mempertegas mengapa ‘prahara’ Agustus-September baru-baru ini terjadi. Siapa yang menjadi ‘sasaran kemarahan’ khalayak kebanyakan kemarin-kemarin itu? Atau yang terjadi di Nepal sana? Semakin nampak yang jadi sasaran kemarahan adalah ‘kaum semau-maunya’ itu. Itulah ‘deep frame’ yang semakin lama semakin kuat. Maka jika tiba-tiba ada ‘surface frame’ seperti jogat-joget pethakilan sok-sok-an itu menyeruak di depan hidung, tiba-tiba saja itu dapat cantholannya, mendapat tempat bergantungnya dalam ‘kemarahan terhadap kaum semau-maunya’ itu. Mengapa ‘bangunan atas’ menampakkan diri dalam kemarahan terhadap ‘kaum semau-maunya’? Karena ‘basis’ lebih bernuansa chrematistics dari pada oikos-nomos.[1]
Maka apakah itu ada penunggang gelap, penunggang terang, itu tidaklah menghapus kemarahan terhadap kaum semau-maunya sebagai deep frame. Bahkan jika ada yang ‘merancang’ jauh sebelumnya, mereka (yang merancang itu) salah perhitungan soal deep frame ini, yang sebenarnya sudah sangat berakar dan sulit ‘dibelokkan’, yaitu ‘kemarahan terhadap kaum semau-maunya’. Kemarahan yang mempunyai ‘basis’ terusiknya akibat polah-tingkah kaum chrematisticos itu sudah menjadi begitu ugal-ugalan, dan menghempaskan dengan tanpa beban lagi sik-oikos nomos. Keputusan KPU di atas sungguh dengan telanjang menampakkan diri bahwa yang ada di KPU itu adalah bagian dari ‘kaum semau-maunya’. Mau dibantah sambil kayang atau koprol-pun, dari keputusan KPU di atas saja telah menunjukkan bahwa mereka-mereka yang di KPU itu telah bersekutu dengan ‘kaum semau-maunya’. Bahkan telah menjadi salah satu tendo achilles dari sepak terjang ‘kaum semau-maunya’ itu.[2]
Maka bahkan tidak hanya ‘reformasi KPU’, tetapi ‘revolusi KPU’ diperlukan. KPU (dan Bawaslu) yang telah dibiayai warga negara (triliunan rupiah) melalui pajak-pajaknya, sungguh perlu dilakukan ‘patahan sejarah’. Jika dilakukan audit total termasuk Sirekap-nya itu maka sungguh ada alasan kuat mengapa perlu ‘patahan sejarah’ KPU itu. Terutama aktor-aktor di dalamnya, karena ini bukan saja soal per-KPUan, tetapi juga soal ‘reformasi birokrasi’, paling tidak jika secretariat KPU masuk dalam imajinasi kita. Momentum prakondisi sosial, dan bagaimana prakondisi politik sudah sedikit menampakkan gejala positif -semoga saja terus berlanjut, maka tinggal bagaimana prakondisi teknis ini dibangun (baru) sehingga mampu melawan ‘kaum semau-maunya’ itu. Revolusi KPU (dan Bawaslu) harus menjadi refleksi dari keinginan menegakkan ‘oikos-nomos’. *** (14-09-2025)
[1] https://pergerakankebangsaan.org/tulsn-138, no. 1761, 1762