1780. Wajah Janus 'Stabilitas'
16-09-2025
Pada awalnya memang an-arki, atau kalau memakai imajinasi Thomas Hobbes, state of nature. Yang kecil-kecil dalam state of nature itu tidaklah terus (mau) bernasib kalah terus, tetapi iapun bisa bersiasat, bisa bersekutu dengan yang sama-sama kecil, dan bahkan jika ada kesempatan akan menusuk dari belakang. Apapun akan dilakukan untuk bisa bertahan hidup. Maka hidup bersama terbangun pada dasarnya adalah untuk menghindari atau menjauh dari situasi state of nature itu. Yang memang akan saling menghacurkan. Rusak-rusakan.
Pada sebuah era, menjauh dari state of nature pada suatu titik tertentu kemudian dikatakan sebagai stabilitas. Atau juga ditambah dengan ‘persatuan’. State of nature kemudian bergeser atau digeser menjadi ‘musuh bersama’, lupa bahwa itu adalah juga ‘pada awalnya’. Awal sehingga manusia terdorong untuk membuat kesepakatan-kesepakatan sehingga hidup bersama tidak hancur. Tentu kita boleh tidak setuju dengan lanjutan pemikiran Hobbes terkait Leviathan itu. Makanya ada politik yang mendasarkan diri pada dialog yang (semestinya) bebas-setara. Apa yang menjadi bahan utama dialog? Pertama-tama jelas soal kesepakatan itu. Itulah romantikanya. Kesepakatan-kesepakatan yang akan diuji dalam situasi yang terus berubah. Dibentur-benturkan dengan bermacam tantangan yang bisa saja terus muncul, dinamika. Dan siapa tahu dalam dinamika itu akan muncul kesepakatan-kesepakatan baru, yang akan diuji dan diuji lagi, dialektika. Tentu ada kesepakatan-kesepakatan yang sepakat untuk terus dipertahankan, terutama yang sebagai semacam leitstar, bintang penuntun.
Kata stabilitas merupakan serapan bahasa asing, berasal dari kata stable, dimana asal-asul katanya tak jauh-jauh amat dari asal usul kata stand, berdiri. Masalahnya dalam hidup manusia tidak hanya berurusan dengan berdiri saja, tetapi juga jalan, berlari, menendang, melompat, bahkan juga tersandung. Maka penggunaan kata ‘stabilitas’ dalam hidup bersama semestinya hati-hati, karena jika berhenti dalam ‘romantika’ saja maka akan melupakan bahwa dibalik kata itu sebenarnya ada dinamika dan dialektika. Seperti sebuah atom yang bisa dibayangkan ‘stabil’, tetapi sebenarnya penuh dinamika, dialektika, tarik-menarik antar kutub, dan seterusnya. Pengalaman masa lalu di jaman old yang sebenarnya belumlah lama itu memberikan pelajaran berharga bagaimana penggunaan kata ‘stabilitas’ justru telah mencekik hidup bersama. Terutama khalayak kebanyakan, dan lebih terutama lagi ‘yang kecil-kecil’. ‘Mencekik’ karena kata itu kemudian menjadi dasar kuat bagi yang pegang senjata menjadi semau-maunya misalnya, atas nama ‘stabilitas’. Atau bahkan ada litsus-listus-an itu.
Tulisan ini didorong oleh berita adanya long march dari massa yang mengatasnamakan Gerakan Rakyat Untuk Damai (Garuda) dari Tugu Proklamasi menunju Istana Negara, Senin 15 September 2025.[1] Salah satu tuntutannya adalah ‘mendukung pemerintah dalam upaya menjaga stabilitas nasional dan mendorong pertumbuhan ekonomi’. Sebab dari pengalaman masa lalu, kita mendapat pelajaran berharga terkait ‘wajah Janus’, Janus face dari kata ‘stabilitas’ ini. Jangan sampai tuntutan di atas justru mendorong pemerintah berkembang layaknya seperti Leviathan saja. Jika itu terjadi, pengalaman menunjukkan bahwa yang jadi korban itu selalu saja ‘yang kecil-kecil’. Bahkan sedikit banyak bermacam tuntutan dari aksi (Garuda) kemarin itu seakan menempatkan khalayak kebanyakan sebagai yang ‘anarkis’. Padahal yang an-arki, yang semau-maunya itu bertahun-tahun belakangan ini dan bahkan sampai sekarang, pertama-tama adalah penguasa. Yang mengingkari bermacam kesepakatan dan juga menutup ruang-ruang kesepakatan baru itu -mbudeg, tuli, adalah juga penguasa. *** (16-09-2025)
[1] https://www.metrotvnews.com/read/NgxCDgwB-tokoh-lintas-agama-dan-massa-gelar-long-march-serukan-persatuan-dan-tolak-anarkisme

