1795. Republik vs Kerajaan Iblis
09-10-2025
Kerajaan iblis adalah semau-maunya. Sama sekali tidak mau mendengar ‘suara Tuhan’ yang menampakkan diri pada ‘suara rakyat’, vox populi vox dei. Bahkan vox populi-pun akan dibolak-balik, dijungkir-balikkan melalui surveiRp dari ‘survei-survei’ yang dilakukan oleh para anak-anak iblis. Ijazah meragukan atau tidak punya? Palsukan! Butuh tanah? Gusur paksa! Hasil pemilu? Curang habis-habisan! Dialog? Datang untuk lebih memaki! Argumentasi dangkal, yang kuat tudang-tudingnya. Janji kampanye? Diingkari habis-habisan, penuh dengan tipu-tipu! Ngibul-tipu-tipu yang sudah tak tahu batas. Data-data statistic diubah dengan semau-maunya, disesuaikan dengan selera. Aturan-perundang-undangan diubah semau-maunya. Pengadilan diatur-atur semau-maunya. Bahkan dijual sebagai asset perlindungan. Pendidikan diobok-obok, bahkan diolok-olok habis-habisan. Akal sehat? Dikubur dalam-dalam! Butuh uang? Korupsi, korupsi, korupsi! Jika perlu: jual kedaulatan! Kong-ka-li-kong, pat-gu-li-pat telah menjadi praktek standar. Juga perburuan rente gila-gilaan. Kebocoran anggaran tidak tanggung-tanggung lagi. Terhadap para pembayar pajak? Asal mangap, asal njeplak, bahkan asal ancam! Sama sekali tidak punya empati lagi. Bahkan pembayar pajak yang terhormat terus saja dicekik dengan bermacam pajak! Pamer-pamer kemewahan di depan publik sudah tanpa beban lagi. Jogat-joget tak tahu tempat lagi. Bahkan di tengah bencana-pun justru malah ‘main-solo’ demi citra diri. Ada bencana karena pandemi? Kesempatan korupsi besar-besaran! Badan usaha milik negara dibuat merugi! Tumpukan utang terus menggunung tanpa dirasakan hasilnya oleh khalayak kebanyakan. Bagian besarnya entah kemana. Suka lempar-lempar bingkisan pada khalayak dari mobil yang berjalan pelan, sambil pecingas-pecingis. Ditanya soal meninggalnya seratus lebih penonton saat nonton sepakbola, dijawab: nanti, lain kali. Juga sambil pecingas-pecingis. Belum ratusan petugas pemilihan yang meninggal, tidak ada pertanggung-jawaban yang kokoh terhadapnya. Yang pegang senjata-pun dirusak mentalnya habis-habisan. Menjadi enteng-enteng saja melawan-merepresi-menggusur-bahkan membunuh pembayar pajak yang membelikan senjata itu. Banyak cerdik-pandai justru kemudian terjerumus dalam ‘pengkhianatan kaum intelektual’. Karena iming-iming uang atau terjerat sandera kasus. BBM dioplos, beras premium dioplos. Judi on-line dibiarkan merebak tak terkendali. Subsidi dikemplang, bahkan juga bansos. Tambang illegal merebak tak terkendali. Belum illegal fishing. Juga hutan digunduli semena-mena. Keindahan alam yang sungguh anugerah semesta banyak yang rusak karena keserakahan tambang. Barang-barang selundupan dengan riang gembira masuk menggempur industry dalam negeri. Dibiarkan saja sambil pecingas-pecingis. Penjilat-penjilat berjaya, dan penjilatan-pun menjadi banal. Kehormatan menghilang entah kemana. Dan kemarin, sik-iblis-yunior sedang asyik coba-coba main ‘hatta-hatta’-an. Sok-sok-an, gegayaan, padahal kopong isi kepalanya. Tak jauh beda dari sik-iblis-senior yang suka main ‘raja-raja-an’ itu. *** (09-10-2025)
1796. "Negara Pembelajar"
11-10-2025
Menurut Harold J.Laski (1893-1950, Ketua Partai Buruh Inggris 1945-1946) dalam The State in Theory and Practice (1935), karakter sebuah negara hanya bisa dihayati melalui karakter pemerintahannya. Maka ‘negara pembelajar’-pun hanya bisa dihayati melalui perilaku pengelola negara. Tetapi apakah ada negara yang mendadak saja menjadi ‘negara pembelajar’? Atau bagaimana supaya ‘negara pembelajar’ itu semakin ‘terlembagakan’? Apakah pendapat Toynbee bahwa peradaban berkembang karena adanya tantangan dan respon itu bisa dipakai untuk membayangkan bagaimana ‘negara pembelajar’ bisa semakin terbentuk? Tetapi bagaimana jika sik-penguasa sudah mapan dan begitu menikmati kekuasaannya? Mungkin satu-satunya mata pelajaran pembelajaran yang serius ditekuni adalah soal mempertahankan kekuasaan saja. Tak peduli lagi apakah ada tantangan baru di luar mempertahankan kekuasaan yang bisa saja itu juga merupakan tantangan bagi rakyat yang dipimpinnya.
Maka ‘negara pembelajar’ paling tidak perlu prakondisi politis, teknis, dan sosial. Kapitalisme liberal a la abad 18-19 telah membangkitkan reaksi yang paling tidak muncul dari ‘gerakan’ yang di kemudian hari sering disebut sebagai ‘sosialisme utopia’. ‘Prakondisi sosial’ perlahan mulai menggeliat. Tetapi belum menemukan ‘prakondisi teknis’ yang efektif dalam mendukung ‘perjuangan’: “tanpa teori revolusioner, tidak akan pernah ada gerakan revolusioner”. Ditegaskan lagi oleh Abraham J. Heschel dalam Who Is Man? (1965): “Teori tentang bintang tidak akan mengubah esensi tentang bintang, tetapi teori tentang manusia bisa mengubah manusia secara eksistensial.” Titik berangkat Marx pada dasarnya tidak jauh berbeda dari para pejuang ‘sosialisme utopia’: berangkat dari perspektif korban, dalam hal ini korban dari sik-pemilik kapital saat itu. Korban jelas adalah pihak yang kurang atau bahkan tidak berdaya. Atau dibuat tidak berdaya. Atau kalau dalam istilah si-Bung, yang serba kecil-kecil. Jika itu ‘ditempatkan’ setelah Revolusi Perancis (1789-1799), itu semua ada di sebelah kiri. Jadi salah besar jika ‘yang kiri’ itu isinya hanya komunisme saja.
Dari hal-hal di atas paling tidak bisa mulai dibayangkan bahwa ‘prakondisi politis’ di ranah negara bukanlah soal ‘maksud baik’. Pengalaman ‘fatal’ bertahun terakhir ketika propaganda ‘orang baik’ begitu masifnya, ternyata justru menjerumuskan republik habis-habisan. Faktanya malah jadi rusak-rusakan. Karena bagaimanapun juga ia -kekuasaan, begitu dipengaruhi oleh hasrat menumpuk, hasrat untuk akumulasi. Terutama akumulasi kekayaan, dan juga akumulasi kekuasaan, kenikmatan, segala ke-megalo-mania-an. Mengandalkan ‘maksud baik’ dalam arti mampu mengendalikan hasrat secara sendiri-mandiri menjadi terlalu riskan bagi hidup bersama. Ia mesti ‘dipaksa’ masuk ranah ‘hasrat vs hasrat’ (‘agere contra’), atau tegasnya harus ada control. Harus ada yang menjadi ‘lawannya’ sehingga tidak menjadi ugal-ugalan. Harus ada yang berperan sebagai ‘devil’s advocate’ sehingga tidak ada yang merasa sebagai satu-satunya sik-‘advocatus dei’. Adanya ‘lawan’ itulah yang akan menjadi ‘prakondisi politis’ untuk terbangunnya ‘lembaga negara pembelajar’.
Bertahun terakhir khalayak kebanyakan menjadi saksi betapa telanjang hancurnya ‘negara pembelajar’. Tidak hanya justru menjadi aktif-agresif menyingkirkan ‘lawan’ tetapi sekaligus juga menutup telinga, mbudeg, terhadap bermacam kritik masukan: sebuah ‘amuk elit’ dalam membunuh ‘negara pembelajar’.[1] Bukan ‘negara pembelajar’ yang terbangun tetapi justru ‘negara toksik’, bahkan tidak hanya toksik dalam pengelolaan negara, tetapi juga aktif-agresif dalam menyebarkan ‘toxic culture’ terutama melalui tangan-tangan pihak-pihak yang ‘tersandera kasus’ atau ‘tersihir-termakan’ nikmatnya uang. Ya, ada dalam bagian sadar bahwa ‘mereka-mereka’ memang dengan sengaja merusak peradaban dengan menebar bermacam ‘toxic culture’ itu. Mengapa ini semua dilakukan? Penguasaan! Penguasaan terhadap alam semesta, dalam hal ini republik dengan segala isinya, dan juga tentu: manusia-manusianya.
Krisis modernitas gelombang ketiga menurut Leo Strauss adalah fasisme. Dan fasisme dalam hal ini adalah hasrat tidak terbendung lagi untuk menguasai manusia lain dan alam semesta. Penguasaan atas manusia dan alam semesta. Se-abad lalu, fasisme seperti ini akhirnya mendorong pecahnya Perang Dunia II, dengan segala akibat mengerikan.
Maka kita harus hati-hati dengan banyak ditampilkannya ‘model-model’ yang jauh dari keberpikiran dan lebih menampilkan diri sebagai ‘yang berangasan’. Bukan soal ‘sok-pintar’ atau sekitar-sekitarnya, bukan juga ‘sok-intelek’ atau sekitar-sekitarnya, tetapi dengan terbunuhnya akal sehat maka fasisme akan mempunyai kesempatan lebih untuk berkembang. Termasuk juga ketika ‘negara pembelajar’ itu semakin sekarat. Banality of evil yang disebut Hannah Arendt itu mempunyai ‘syarat mutlaknya’: ketidak-berpikiran.[2] *** (11-10-2025)
[1] Hari-hari ini, terkait dengan pelaksanaan program MBG dan Kopdes itu bisa menjadi salah dua ‘patok duga’ apakah ‘negara pembelajar’ sudah mulai menampakkan diri atau sama saja, business as usual.
[2] Ketidak-berpikran yang dalam banyak hal adalah juga soal etika. Etika yang akan selalu lekat dengan hal timbang-menimbang itu. Termasuk tidak mbudeg, mau mendengar, sebagai bagian dari hal timbang-menimbang.