1785. Beban Berat Pembukaan UUD 1945
25-09-2025
Kalau ada pengelola republik bilang bahwa ia ‘tanpa beban’ dalam mengelola negara maka itu menunjukkan bahwa ia tidak paham republik yang dikelolanya. Ia sama sekali tidak paham bahwa dalam Pembukaan UUD 1945 itu ada beban sungguh berat di pundak para pengelola negara. Kalimat pertama saja sungguh sebuah tantangan besar: melawan penjajahan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Penjajahan di atas dunia harus dihapus.
Penjajahan di atas dunia itu mempunyai beberapa dimensinya, dimensi ‘dalam negeri’ dan ‘luar negeri’. Dimensi ‘dalam negeri’ tidak hanya bebasnya republik dari penjajahan ‘dari luar’ tetapi juga dihapuskannya penjajahan terhadap sesama anak bangsa oleh bangsa sendiri. Banyak contoh dalam hal ini. Dimensi ‘luar negeri’ adalah sikap politik menolak penjajahan yang dialami bangsa lain. Bahkan jika itu dilakukan republik terhadap bangsa lain, misalnya terkait Timor Timur di jaman old. Semestinya itu juga melanggar semangat Pembukaan UUD 1945.
Dan sejarah menunjukkan bahwa melawan penjajahan itu selalu ada resikonya. Dimanapun, karena yang dilawan adalah juga segala kenikmatan tanpa batas. Yang dilawan adalah orang-orang atau pihak-pihak penikmat kenikmatan tanpa batas itu, dan tentu tidak mau segala kenikmatan itu berhenti begitu saja. Apapun bentuk kenikmatan itu. Terutama memang kenikmatan akan uang, dan juga tentu kenikmatan akan kuasa. Itulah mengapa bahkan penjajahan atas sesama bangsa sendiri menjadi juga tidak mudah dihapus di atas dunia. Di atas ibu pertiwi. Karena sekali lagi, apapun akan dijalani, akan dilakukan demi langgengnya kenikmatan. Kenikmatan dalam menguasai kekayaan alam, misalnya. Atau lainnya.
Dalam salah satu unggahan di YouTube,[1] Anthony Budiman menggambarkan bagaimana saat harga batu bara di pasar dunia naik, justru harga pertalite naik, pajak naik, dan seterusnya yang mencekik-cekik khalayak kebanyakan itu, pada jaman presidennya sik-J. Nampaknya ini tidak hanya soal keserakahan tanpa batas, atau kemaruk yang gila-gilaan, tetapi adalah juga soal pengendalian ‘massa’, dengan terus ‘dicekik’ dan ‘dicekik’. Juga terus saja ‘ditantang-tantang’[2] seakan khalayak kebanyakan itu adalah entitas tak berdaya. Atau dibuat tidak berdaya. Semua adalah demi segala kenikmatan tanpa batas itu. Belum lagi pengerahan aparat bersenjata untuk menekan warga sekitar pertambangan, misalnya. Atau yang berhak atas tanah adat.
‘Watak’ penjajah(an)’ ini bisa juga dibaca ‘lain’ dari beberapa hal di atas, kenikmatan yang diperoleh dari terkonsentrasinya modal. Lenin mengatakan bahwa imperialisme adalah tahap tertinggi dari kapitalisme. Dan jangan pernah dilupakan asal-usulnya: konsentrasi modal. Hal yang sebenarnya merupakan inti dari bukunya Thomas Piketty Capitalism in 21st Century (2013): ketimpangan ugal-ugalan yang bahkan dibayangkan tidak jauh berbeda saat kapitalisme liberal dominan di abad 18-19. Dan apa reaksi dari situasi tersebut lebih dari se-abad lalu? Pada abad-19 bagian awal di sana-sini muncul yang kemudian disebut sebagai sosialisme utopia. Apapun itu paling tidak ini mengindikasikan ada yang salah dalam situasi seperti itu. Tetapi ada ‘reaksi’ yang betul-betul mempunyai daya koreksi terhadap situasi tersebut, sosialisme-ilmiahnya Karl Marx dan gerakan-gerakan lanjutannya, dan munculnya nasionalisme di banyak negara terjajah pada abad-20.
Dengan masa lalu telah memberikan banyak pelajarannya, maka sebenarnya situasi sekarang ini adalah waktu yang tepat untuk memberikan ‘nafas baru’ terhadap apa yang disebut si-Bung sebagai sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi itu. Nasionalisme yang jelas tidak berangasan, demokrasi yang tidak menjadi mudah dibajak oleh surveiRp dan buzzerRp, tetapi yang tanpa henti berpihak pada (kemanusiaan, keadilan) terhadap yang serba kecil-kecil. Atau kalau memakai kata-kata dalam Pembukaan UUD 1945, membebaskan ‘yang serba kecil-kecil’ itu dari situasi terjajah. Dan terlebih karena kita sudah masuk pada Abad Pengetahuan, maka ‘nafas baru’ dari sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi ini mestilah harus bersekutu dengan ‘kekuatan pengetahuan’. Dan apa ‘syarat mutlak’ untuk menjadi mampu bersekutu dengan ‘kekuatan pengetahuan’? Itulah yang sering kita sebut sebagai: etika. Dan tidak ada kata terlambat untuk melatih diri, berlatih dan berlatih dalam hal etika ini. Bahkan dalam diri kaum teknokrat sekalipun. Pengalaman paling tidak sepuluh tahun terakhir kita bisa melihat dengan telanjangnya bagaimana yang digadang-gadang sebagai kaum teknokrat itu telah kehilangan nuansa etisnya, dengan segala akibatnya. Maka jadilah ia sekedar kasir saja daripada seorang menteri keuangan, misalnya. *** (25-09-2025)
1786. Beban (Paling) Berat Pembukaan UUD 1945
26-09-2025
Apa yang disebut si-Bung sebagai romantika, dinamika, dialektika (rodinda) bisa dibayangkan pula sebagai tesis, anti-tesis, sintesis. Romatika adalah ‘sintesis’ yang umurnya sebenarnya ‘sekejap’ saja karena ia dengan serta merta menjadi ‘tesis’, dan dengan serta merta pula akan dihadapkan pada dinamika realitas obyektif yang terus berkembang. Segera pula ia akan masuk dalam ‘mekanisme umpan balik’ yang paling minimal dalam pengertian ‘biologis’ dimana tubuh kita misalnya, penuh dengan feedback mechanism itu. Tetapi jelas dialektika lebih dari yang ‘minimal’ itu, karena manusia mempunyai kemampuan dalam berlogika bahkan bisa dibayangkan tak terbatas dalam potensinya. Bisa dikatakan, rodinda di atas tidak jauh-jauh amat dari apa yang disebut Tan Malaka sebagai madilog, materialisme-dialektika-logika.
Suka atau tidak, hidup memang perlu romantika itu, dalam arti apapun. Romantika akan bisa bertransformasi menjadi elan vital, energi hidup seperti pernah disinggung oleh Henry Bergson (1859-1941), yang mana ini akan mendorong berkembangnya sebuah creative evolution. Tetapi sebenarnya kita tidak bisa membayangkan munculnya creative evolution jika tidak ada tantangan, realitas obyektif di depan hidung. Maka jika mengikuti pendapat Arnold J. Toynbee (1889-1975), berkembangnya (evolusi) peradaban itu memang adalah soal tantangan dan respon. Respon yang merupakan juga sebuah creative evolution itu. Tetapi jangan sampai terjebak dalam romantika ini. Jaman old adalah pelajaran berharga bagaimana ‘jebakan’ romantika ini perlahan meminggirkan olah dinamika dan dialektika, yaitu romantika tinggal landas. Dan terus diganti dengan ‘logika garis lurus’, yang tiba-tiba saja term stabilitas perlahan (dalam praktek) menggantikan romantika tinggal landas. Karena ‘logika garis lurus’ itu seakan mensyaratkan ‘gangguan nol’ dalam menapak ‘jalan lurusnya’. Kaizen yang mampu mengantarkan Toyota menjadi terbesar di dunia adalah soal bagaimana rodinda diimplementasikan dalam manufaktur. Dimana romantika yang menampakkan diri dalam rantai produksi itu tetap memberikan peluang bagi proses dinamika dan dialektika melalui ruang perbaikan terus-menerus dalam proses produksinya. Yang bahkan itu tidak hanya monopoli dari ‘politbiro’ R&D misalnya, tetapi juga semua lapis atau jenjang produksi.
David Hume (1711-1776) seorang filsuf dari Skotlandia pernah menulis bahwa "reason is, and ought only to be, the slave of the passions and can never pretend to any other office than to serve and obey them". Passions, atau juga hasrat, emosi, dan juga bisa kita bayangkan dalam kesempatan ini, romantika, telah ‘diperhalus’ oleh Henry Bergson sebagai elan vital itu. Tetapi bisa juga -‘tanpa tèdèng aling-aling’, tanpa basa-basi, masuk dalam situasi ‘perbudakan’. Dan bagaimana jika romantikanya adalah soal uang? Atau soal kebesaran diri? Atau hasrat gelap lainnya? Dan di sinilah kita bisa membayangkan beban paling berat dari Pembukaan UUD 1945.
Jika hari-hari ini ada ‘plesetan’ Indonesia Emas menjadi Indonesia Cemas, itulah satu contoh dari dinamika dan dialektika. Romantika tentang Indonesia Emas itu kemudian dibentur-benturkan dengan realitas faktual dan potensial yang berkembang, dan ‘sintesisnya’ adalah ‘Indonesia cemas’ itu. Tentu kemudian akan ada pertanyaan selanjutnya, jadi what is to be done? Dan seterusnya. Atau di jaman old, tinggal landas menjadi lha ndas-mu. Tetapi bagaimana jika romantika-nya ‘diganti’ dengan uang dan segala kenikmatannya? Bukan lagi ‘penjajahan yang harus dihapus di atas dunia’? Bahkan karena itu kemudian bersekutu dengan penjajah demi uang dan segala kenikmatannya? Dan kemudian segala rasio-pun kemudian diperbudak demi akumulasi uang dan segala kenikmatannya? Bahkan tidak hanya diperbudak, tetapi di sana-sini ‘dimatikan’. Atau bayangkan ketika ada yang lantang bersuara keras menantang segala bentuk penjajahan di PBB misalnya, ada yang justru diam-diam bersekutu dengan pihak-pihak (luar-dalam) yang demen menjajah untuk minta bantuan menikamnya dari belakang! Lihat hari-hari ini persidangan mantan presiden Perancis Nicolas Zarkozy dimana figur Mohammad Khadafy ikut nongol juga. Apakah itu hanyalah teori konspirasi belaka? Tidaklah, nyatanya terbukti di pengadilan dan Zarkozy-pun diputus untuk masuk penjara. *** (26-09-2025)
1787. The Banality of 'Poisoning'
27-09-2025
Judul adalah plèsètan dari ungkapan Hannah Arendt dalam laporannya terkait pengadilan Adolf Eichmann di sekitar tahun 1960-an, banality of evil. Yang dimaksud dengan judul di atas adalah bagaimana respon dari pengelola negara menghadapi kasus keracunan program MBG (makan bergizi gratis) bagi anak-anak sekolah seakan telah menjadikan peristiwa-peristiwa keracunan itu sebagai yang biasa-biasa saja. Seakan sudah menjadi banal saja. Apalagi jika kita lihat dari ‘gambar besarmya’, peristiwa keracunan program MBG itu seakan memang menampakkan diri sebagai puncak gunung es. Di bawah permukaan begitu besar peristiwa-peristiwa ‘keracunan’ terjadi di republik, dan seakan memang kemudian menjadi banal saja.
‘Racun’ terkuat adalah korupsi. Korupsi yang sepuluh tahun terakhir telah merebak dalam keluasan dan jumlah tak terbayangkan sebelumnya. Termasuk racun perburuan rentenya. Racun lain: asal mangap, asal njeplak. Bahkan dalam kasus keracunan makan MBG di ataspun respon asal mangap, asal njeplak keluar tanpa beban lagi. Tanpa sungkan lagi, padahal akibat dari keracunan itu langsung saja nampak di depan mata. Racun lagi: pamer-pamer kemewahan, kenikmatan dari para pejabat. Juga racun suka-suka semaunya saja seakan aturan bisa ditekak-tekuk sesuai selera. Semau-maunya. Atau juga pejabat jogat-joget di depan publik dengan tidak tahu tempat dan waktu lagi. Ada juga racun mbudeg, menulikan diri. Komplit dengan racun nantang-nantangnya. Semau-maunya, sok-sok-an. Rasa-rasanya tidaklah berlebihan jika ada yang melihat sepuluh tahun terakhir ini, tutup Kotak Pandora telah dibuka dengan tanpa beban. Segala kejahatanpun keluar dengan riang gembira. Dan menjadi banal, atau mengalami banalisasi.
Maka apa yang disinggung di atas itu sebenarnya memang kita sedang bicara soal banality of evil. Termasuk bagaimana sik-evil-evil itu menanggapi peristiwa-peristiwa kerancunan yang menimpa anak-anak kita terkait program MBG. Dan apa yang membuat evil menjadi banal? Ketidak-berpikiran! Tentu ini tidak berdiri sendiri. Percobaan Milgram yang dilakukan sejak awal-awal 1960-an dan dipublikasikan sekitar 1970-an, menunjukkan bahwa banality of evil itu memang dimungkinkan, ketidak-berpikiran yang lekat dalam ‘pengawasan’ suatu otoritas tertentu. Sedikit gambaran kongkret di republik, terkait dengan ‘sandera kasus’. Dalam percobaan Milgram, meski ini agak spekulatif tetapi ketidak-bebasan peserta eksperimen tetap ada, yaitu bahwa ia terikat dengan sebuah ‘tujuan mulia’, dikatakan sebelum percobaan dimulai. Bahkan mulai dari proses rekrutmen ‘relawan’ percobaan. Sama-sama terikatnya, atau katakanlah sama-sama ‘tersandera’nya, meski memang lain karena satunya ‘tersandera kasus’. Maka meski hati nurani menolak untuk asal njeplak atau asal mangap misalnya, ia toh akhirnya tetap melakukan itu karena ada otoritas yang selalu akan siap menggertaknya. Tetapi apakah hanya ketiga faktor itu, ‘ketersanderaan’, ‘ketidak-berpikiran’ dan adanya ‘otoritas’ sehingga banality of evil menjadi merebak?
Jika memakai istilah George Lakoff, semua di atas masihlah ada dalam dataran ‘surface frame’. Lalu dimana ‘deep frame’-nya? Itulah sebenarnya evil-nya, yang sudah tidak terasa lagi sebagai evil karena sudah mengalami ‘banalisasi’, dan itu tidak lepas dari eksploitasi ‘ketidak-sadaran’ jika memakai pendapat Wilhelm Reich, seorang Freudian, yang berpendapat bahwa fasisme akan dimulai dengan eksploitasi bermacam hasrat yang ngendon di ‘ketidak-sadaran’, atau id. Jika dalam percobaan Milgram di atas adalah ‘menyetrum murid’ sampai voltase tertinggi, di republik ya menebar racun-racun dengan tanpa beban lagi. Seakan sudah menjadi ‘orkes amoral penyebar racun’.[1]
Mengapa itu dilakukan? Fasisme, dengan segala kenikmatannya. Atau tepatnya, fasisme ‘tahap pertama’. Yaitu bangunan pondasi fasisme yang ada di internal kekuasaan lebih dahulu. Mengapa? Karena bagaimanapun juga ketika Hitler naik ke puncak kekuasaan itu ada di tengah-tengah merebaknya modus komunikasi man-to-mass, melalui jaringan elektronik terutama radio, termasuk penemuan-penemuan pengeras suara yang memungkinkan pelipat-gandaan sihir dalam sebuah rapat umum, dan tentu juga hasil cetakan. Kemudian masuklah juga televisi. Sedangkan sekarang sudah merebak modus komunikasi mass-to-mass via jaringan digital internet. Propaganda sekuat apapun bisa-bisa ‘berumur pendek’ saja khasiatnya, sebab dengan semakin meningkatnya inter-subyektifitas kebenaran dibalik propaganda itu semakin mudah tersingkap saja selubung faktanya. Yang bahkan ini sudah dilihat oleh Noam Chomsky jauh sebelum internet mulai masuk ruang publik.
Selain itu ada keyakinan bahwa yang dihadapi itu adalah komunitas dengan power distance tinggi (Hofstede) dimana khalayak kebanyakan akan melihat kuasa di atasnya itu ‘serba putih’ dan tidak rèsèh, tidak terbiasa mempermasalhkan keputusan atau perilaku kuasa di atasnya. Benarkah? Penelitian Hofstede bagaimanapun juga dilaksanakan di sekitar tahun 1970-an, di puncak modus komunikasi man-to-mass, dan juga di puncak Perang Dingin. Ataukah ‘mereka’ begitu yakin bahwa khalayak kebanyakan akan banyak yang ‘meniru’ kelakuannya dengan rute mirror neuron systems yang memang berkembang pesat di bagian akhir abad-20 itu? Benarkah? Sebab dalam modus komunikasi mass-to-mass bagaimanapun juga dimungkinkan munculnya ‘model’ lain di luar penguasa!
Jika memang banality of evil itu telah begitu merasuk dalam diri penguasa bertahun terakhir, maka memang mereka akan menjadi brutal. Semau-maunya, brutal tanpa merasa bersalah sedikitpun Tanpa beban. Bagaimana ini dilawan? Hal utama, pertama-tama: potong ketidak-berpikiran itu! *** (27-09-2025)
[1] Mohon maaf bagi anggota Orkes Moral Pengantar Minum Racun, https://www.youtube.com/watch?v=t4QuTuMUxhY
1788. Para Pembunuh Karakter
28-09-2025
Menurut Ortega y Gasset, pusat gravitasi politik adalah ‘opini publik’. Jika ini benar maka ‘spektrum’nya bisa sangat lebar. Politik bisa mulai dari soal kebebasan dan kesetaraan dalam bicara di ranah publik, sampai dengan soal pembunuhan karakter dalam konteks untuk mempengaruhi ‘opini publik’. Atau bahkan pembungkaman terhadap banyak hal yang mampu menggeser ‘opini publik’. Atau berkembangnya kaum Sofis dalam banyak bentuknya, entah itu dalam wujud buzzerRp atau surveiRp. Atau tiada henti para spin doctor itu berkeliaran dari sudut ke sudut. Propaganda, cuci otak bahkan dengan berkembangnya modus komunikasi mass-to-mass seperti sekarang ini, sudah bisa masuk ke ruang-ruang yang sungguh privat. Selama smart-phone di pegang bahkan ketika di kamar mandipun tetap bisa jadi sasaran.
Sebagai cerita lanjutan dari hadirnya ‘matahari kembar’, hampir setahun terakhir kita bisa melihat dengan telanjangnya bagaimana para pembunuh karakter itu diorkestrasi. Rejim demokrasi semestinya akan akrab dengan ‘matinya rejim’, artinya pergantian kekuasaan itu adalah hal wajar saja, sesuai dengan bagaimana keinginan sik-demos yang menampakkan diri dalam hasil pemilihan. Tetapi jika ‘matinya rejim’ kemudian diingkari dan ujung bermacam upaya pengingkaran itu akhirnya menampakkan diri sebagai ‘matahari kembar’ itu maka tak terelakkan masalah ‘opini publik’-pun bisa-bisa terjadi dengan sangat keras dalam pertarungannya. Bahkan brutal. Tak mengherankan, sekali lagi, akhirnya para pembunuh karakter itupun gentayangan dimana-mana menunggu kesempatan atau perintah: “ada hantu gentayangan di atas pemerintahan baru, hantu pembunuh karakter”.
Bahkan sekali dayung dua pulau dilalui. Pulau pertama adalah hasrat semau-maunya yang seakan sudah terdidik-terbiasa selama sepuluh tahun terakhir ini. Hasrat yang tidak pernah surut itu tiba-tiba saja mendapat ‘rejeki nomplok’, yaitu ada yang ‘siap’ untuk disalahkan atas keserakahan mereka. Ada kambing hitamnya. Sekaligus sik-kambing hitam itu memang yang sedang jadi sasaran pembunuhan karakter: sekali dayung dua pulau dilalui. Karena ‘matahari kembar’ itu semestinya tidak muncul, hanya ada satu matahari dan itulah maunya sik-penguasa masa lalu itu. Maunya ingin saja terus jadi matahari demi segala kenikmatan yang sudah ditumpuknya.
‘Tema’ setahun pembunuhan karakter ini bisa dikatakan dalam satu kata: monsterisasi. Hai publik, lihatlah ada monster di depan kalian, dan bagaimana opini anda dalam hal ini? Kira-kira itulah pembuka kata ketika ritual penyembelihan kambing hitam akan dilakukan. Seakan publik kemudian diminta menilai dua matahari itu, satu matahari yang monster, dan satunya matahari yang baik hati dan lugu. Sayangnya, ternyata publik atau khalayak kebanyakan tidaklah bodoh-bodoh amat seperti yang selama ini diasumsikan oleh ‘mereka’ itu. Contoh, banyak yang dulu pendukung die hard dari ‘yang baik hati dan sederhana’ itu menjadi bertobat setelah segala selubung fakta mulai tersingkap lapis demi lapis: the truth of disclosure, demikian kata Fenomenologi.[1]
Di tengah-tengah ganasnya pembunuhan karakter itu, di kalangan khalayak kebanyakan perlahan muncul harapan, yang bahkan sebenarnya tak terduga sama sekali asal usul munculnya, yaitu terkait umur, usia. Usia tua memang kadang membuat was-was, tetapi juga harapan bahwa di dalam usia tua itu diharapkan muncul kemampuan dan kemauan untuk mengambil langkah ‘otentik’ ketika dihadapkan pada kematian yang semakin dekat. Ketika kemungkinan datangnya kematian dimana (kematian) itu membuat kemungkinan-kemungkinan menjadi tidak mungkin lagi. Kematian yang harus dihadapi sendiri dan tidak mungkin diwakilkan. Datangnyapun tidak bisa dipastikan, ditambah di seberang sana juga tidak jelas ada apa. Tiba-tiba langgam kehidupan keseharian itu bisa-bisa diliputi kecemasan. Kecemasan yang akan mendorong untuk membuat keputusan-keputusan di antara banyak kemungkinan yang ada di ruang antara sekarang berdiri dengan kematian sebagai (batas) horizon. Tiba-tiba saja hidup seakan diinterupsi untuk tidak taken for granted saja. Sebenarnya peristiwa di atas tidaklah harus terjadi pada usia tua, tetapi apa boleh buat ternyata faktanya begitu hari-hari ini.
Nampaknya bagi banyak pihak, harapan lebih berangkat dari hal di atas. Tentu ini mempunyai resiko tersendiri karena bagaimanapun juga apa yang akan dilakukan oleh ‘sik-usia tua’ itu sungguh tidak tergantung kita. Apa yang tergantung pada kita? Nampaknya itu adalah ‘kesabaran’. Dan tentu kesabaran ini bukanlah ada di ruang hampa tanpa batas, dan kemudian tidak melakukan apapun di tengah-tengah ‘ranah sabar’ itu. Apapun yang bisa dilakukan pastilah sudah banyak dilakukan, banyak bukti terkait dengan itu. Juga segala ‘persiapan’ ketika kesabaran sudah sampai batasnya, ketika sampai pada kesimpulan bahwa keputusan-tindakan ‘otentik’ yang ditunggu-tunggu ternyata tidak pernah muncul dan ternyata pula, terbukti memang hanyalah ‘kambing hitam’ saja. *** (28-09-2025)
[1] Lihat misalnya penyingkapan satu lapis lain dari selubung fakta, dalam: https://www.youtube.com/watch?v=TFTN35usfWI
1789. Beda 'Cemas' dan 'Takut'
29-09-2025
Beberapa pemikir mengatakan bahwa cemas itu obyeknya tidak jelas, sedangkan takut obyeknya jelas. Maka muncullah beberapa istilah melekat dengan kata phobia, ia takut terhadap hal jelas: ---phobia. Atau kalau kita meminjam gambaran lingkaran untuk membedakan tahap mitis, ontologis, dan fungsionil dari Van Peursen dalam Strategi Kebudayaan, ‘takut’ lebih mendekat pada sebuah ‘lingkaran tertutup’ tetapi ‘cemas’ meski bisa digambarkan sebagai ‘lingkaran tertutup’ juga, ia sudah rapuh sehingga mampu mengambil jarak. Artinya secara potensial, ‘takut’ lebih sebagai ‘tahap mitis’ dan bahkan bisa jadi bablas menjadi ‘magis’, sedangkan ‘cemas’ mempunyai potensi lebih besar untuk melangkah ke ‘tahap ontologis’, meski bisa saja ceritanya tidak jadi begitu dan malah masuk ke mode takut.
Sebagian besar hidup kita, ‘langgam’ hidup kita, memang dijalani dengan modus taken for granted saja. Kita bangun, mandi, makan, berangkat kerja atau sekolah, pulang, nonton televisi sebentar, terus tidur. Macam-macam bagaimana ke-taken for granted itu sudah tidak dipertanyakan lagi. Dan bukankah memang sungguh merepotkan ketika banyak hal selalu saja dipertanyakan lebih dahulu? Dalam Fenomenologi, bisa dikatakan ke-taken for granted itu sebagai juga ‘sikap alamiah’, natural attitude. Dibedakan dengan ‘sikap fenomenologis’ dimana itu dimulai dengan ‘penundaan’ atau bracketing/epoche, dan kemudian kita seakan berlaku sebagai ‘pemula’ saja. Sebagai ‘pemula’ kita kemudian ‘kembali ke hal itu sendiri’, back to the things themselves sebagai yang sungguh dialami. Sebagai ‘pemula’ kita dekati hal tersebut dari berbagai sisi, aspek dan profilnya, misalnya. ‘Asumsi’ tentang hal tersebut yang sudah ada dalam otak kita misalnya, seperti sudah dikatakan sebagai langkah pertama di atas, kita ‘tunda’ lebih dulu, diberi ‘tanda kurung’ lebih dahulu. Dan dengan bermacam langkah-langkah itu, diharapkan kita bisa meraba apa yang menjadi esensi dari hal tersebut, yang akhirnya bisa saja tersingkap lapis demi lapis.
Sesuatu yang sungguh dialami itu bisa akan memberikan perbedaan dalam penghayatan akan waktu. Kita ngobrol heboh dengan sahabat, waktu 10 menit serasa cepat berlalu, tetapi bagaimana ketika menunggu sahabat sedang ditangani di ruang rawat UGD? Waktu bisa dibedakan menjadi waktu obyektif, waktu subyektif, dan internal time-consciousness. Contoh di atas, 10 menit adalah ‘waktu obyektif’, bersifat ‘publik’ dan semua bisa mengukur lamanya, kadang disebut juga ‘waktu kalender’. Waktu yang terasa mulur atau mungkret, contoh di atas sama-sama 10 menit tapi terasa cepat saat ngobrol gayeng tetapi terasa lama saat nunggu di ruang tunggu UGD, itulah ‘waktu subyektif’. Internal time-consciousness adalah ‘waktu subyektif’ yang lebih mendasar, waktu dalam arti paling primordialnya. Bayangkan kita mendengarkan nada 1-2-3, sekarang kita mendengar nada 2, itu bukan berarti nada 1 terus menghilang, tetapi mengalami ‘retensi’. Nada 3 meski belum hadir, seakan sudah kita antisipasi kedatangannya. Maka memang tidak mudah untuk ‘menunda’ atau memberikan ‘tanda kurung’ dulu terhadap nada 1, dan sekaligus berdiri sebagai ‘pemula’ dengan pula sekaligus ‘menunda’ dulu antisipasi ‘serta merta’ terhadap nada 3. Sebagian besar hidup tidaklah dijalani dengan ‘kerepotan’ seperti itu. Tetapi hidup seperti apa jika tidak sekalipun langkah-langkah itu pernah dilakukan? Bahkan ketika ‘nada-nada kehidupan’ itu dihadapkan pada kematian, misalnya?
Naomi Klein dalam The Shock Doctrine (2007) mengajukan contoh yang menggelitik, tiba-tiba saja bencana dahsyat bisa saja membuat nada 1 dan nada 3 serasa menghilang dengan tiba-tiba. Digambarkan tiba-tiba saja kesadaran menjadi seperti kanvas putih. Atau juga bisa dikatakan, tiba-tiba saja ‘waktu’ serasa berhenti. Dan saat itulah dikatakan oleh Naomi Klein, agen-agen neolib menuliskan atau melukis di atas kanvas kosong itu, atau katakanlah nada 1 dan nada 3 perlahan disusupkan. Maka pasca bencana, sekolah-sekolah publik menyusut jumlahnya, mengalami privatisasi ugal-ugalan, misalnya: ‘disaster capitalism’. Atau juga ‘program monsterisasi’[1] dari para termul setahun ini, mencoba mengotak-atik-membangkitkan-sesuatu dalam nada 1 untuk mempengaruhi penghayatan ketika sampai nada 2, sehingga antisipasi terhadap nada 3-pun bisa diharapkan seperti yang direncanakan: ada monster di depan anda, hai publik.
Atau kasus keracunan MBG pada anak-anak sekolah, sebenarnya ada krisis yang sungguh besar. Respon yang terlalu banyak ‘berlindung’ di belakang segala yang serba ‘terukur’, tentang jumlah misalnya, dan melupakan apa yang sungguh dialami oleh anak-anak yang keracunan. Juga orang tua mereka, guru-guru mereka. Dan juga khalayak kebanyakan yang seakan menjadi bagian dari peristiwa keracunan itu melalui bermacam informasi. Artinya, lupa bahwa selain ada ‘waktu obyektif’ ada juga ‘waktu subyektif’ dan lebih penting lagi internal time-consciousness. Pelupaan inilah sebenarnya yang akan menjadi pintu masuk sebuah krisis. Lihat misalnya bagaimana krisis demokrasi seperti sekarang ini, mulainya bisa dikatakan dari ‘keterjebakan’ terkait yang serba terukur itu, misalnya hasil-hasil survey. Bisa dikatakan di sini, kemewaktuan manusialah sebenarnya yang sedang dipermainkan.
Bahkan di tingkat (konflik) global-pun kita bisa melihat dengan telanjangnya bagaimana kemewaktuan manusia itu sungguh sedang dipermainkan. Berapa kali Trump misalnya, mengatakan bahwa konflik Gaza atau Ukraina terkait dengan perdamaian: pretty close. Secara ‘waktu obyektif’: sebentar lagi (damai) -katanya, tetapi pada saat yang sama sebenarnya ia tidak peduli apa yang sungguh dialami oleh bangsa Palestina atau warga Ukraina yang terus digempur. Demikian juga kasus ijazah palsu itu. Ini bukan soal sekedar permainan ‘membeli waktu’ tetapi pada dasarnya sudah tidak peduli lagi terhadap apa-apa yang sungguh dialami khalayak kebanyakan. Mungkin agak melebar, tetapi dari kasus ijazah palsu ini kita bisa belajar terkait dengan dua ‘kebenaran’, yang satu ‘kebenaran saintifik’ dan satunya ‘the truth of disclosure’. Yang pertama akan melibatkan misalnya, koherensi, konsistensi dan seterusnya, sedang yang kedua adalah soal ‘ketersingkapan’. Kita bisa melihat dari waktu ke waktu, bagaimana kedua ‘kebenaran’ itu bahu membahu untuk semakin mempertegas bagaimana palsunya ijazah tersebut.
Ketika A dirasa-rasa mirip dengan B, dan juga mirip dengan C atau D, maka muncullah imajinasi bahwa semuanya adalah sama. Imajinasi yang bisa-bisa didorong oleh kepenasaran. Tetapi karena imajinasi bisa begitu liarnya, maka ada baiknya itu dikomunikasikan dengan imajinasi lain dari pihak lain, dan itu dimungkinkan -sekali lagi, karena kita punya bahasa. Atau kita mendekat dan melihat dari bermacam sisi, aspek, profilnya untuk menegaskan bahwa itu memang sama. Cek ricek lagi. Maka kepenasaran menjadi penting dalam hal ini, dan itu sering pula didahului dengan ‘kecemasan’. Kecemasan yang melanjut pada kepenasaran, dan bukannya mengambil kemungkinan lain: malah menjadi takut. Ketika berubah menjadi mode takut, maka kepenasaran akan sulit muncul, atau seperti disinggung di awal tulisan, ‘lingkaran’ tidak pernah atau mampu menjadi retak untuk berani mengambil jarak. Apa yang disebut sebagai minoritas kreatif oleh Arnold J. Toynbee nampaknya bekerja tak jauh-jauh amat dari ini. Tantangan-tantangan yang bisa saja membuat cemas (karena serba tidak jelas), ada sebagian dari komunitas yang justru penasaran. Apa yang dibayangkan Toynbee adalah ‘peradaban komunitas’, hal-hal di atas sebenarnya juga terjadi ketika membayangkan ‘peradaban individu’. Suatu saat pastilah kita dihinggapi dengan kecemasan, yang membedakan satu dengan yang lain adalah ‘respon’ kita. Termasuk ketika kematian memberikan ‘tantangan’ yang serba tidak jelas itu -dan membuat kita cemas: kapan datangnya, ada apa setelahnya, dan banyak lagi. *** (29-09-2025)