1800. Megalomania Sebagai Tantangan Segala Jaman
24-10-2025
Doeloe sekali, sudah ada cerita tentang Menara Babel. Apakah ini hanya cerita tentang ke-megalomaniaan-nya manusia? Tetapi para motivator selalu saja mengatakan pada agen-agen marketing misalnya, bahwa komisi itu batasnya adalah langit, the sky is the limit. Setiap manusia pastilah akan mempunyai bermacam hasrat, masalahnya adalah bagaimana bermacam hasrat itu ditempatkan. Hasrat yang bisa saja menjadi bahan bakar utama dalam berpikir, dan juga akhirnya dalam bertindak. Bagaimana hasrat semestinya ‘ditempatkan’? Salah ‘penempatan’ bisa-bisa yang berkembang justru ‘kejahatan hasrat’. ‘Kejahatan hasrat’ yang akhirnya akan berdampingan dengan ‘kejahatan logika’ seperti ditunjukkan Camus dalam The Rebel.
Menurut Arnold J. Toynbee, peradaban itu akan lekat dengan bagaimana respon terhadap bermacam tantangan. Tantangan terlalu besar akan menghancurkan peradaban, misal bencana alam dahsyat. Atau bagi komunitas tertentu di masa lalu, bahkan flu bisa menghancurkan peradaban. Apakah hasrat manusia itu juga sebuah tantangan? Kita bisa melihat bagaimana peradaban manusia selalu saja lekat dengan gejolak hasrat manusia. Ketika hasrat menjadi ‘kejahatan hasrat’ yang berkembang menjadi begitu pekat, peradaban bisa mundur terpelanting jauh ke belakang. Lalu bagaimana hasrat bisa dikelola, ‘dilatih’ sehingga ‘penempatannya’ tidak meretakkan peradaban, tetapi seperti diharapkan, bisa ikut membangun peradaban?
Hari-hari ini muncul berita terkait ‘dana mengendap’ di banyak daerah, total bisa ratusan triliun rupiah jumlahnya. Beberapa kepala daerah menolak tudingan ini, tetapi Menteri Keuangan Purbaya mengatakan bahwa data itu berasal dari laporan Bank Indonesia, dimana BI memperoleh laporan bulanan dari bank-bank. Dan data-data itu adalah data yang sudah diverifikasi, sehingga kebenarannya bisa dipertanggung-jawabkan. Yang menarik di sini salah satunya adalah kata ‘verifikasi’ tersebut. Apapun (kualitas) verifikasi dalam konteks BI di atas, karena bagaimanapun juga sudah lama kehancuran ‘lembaga verifikasi’ di republik yang sudah menjadi kronis.
Verifikasi adalah serapan dari bahasa asing, dari asal katanya lekat dengan makna “prove to be true, confirm by reality”.[1] Dalam dunia yang semakin sulit diprediksi, dan bahkan juga penuh dengan tidak hanya overload-nya informasi tetapi juga bermacam hoaks-disinformasi misalnya, bermacam upaya verifikasi bisa-bisa menjadi semacam ‘axis-mundi’ dalam mengarungi samudera ketidak-pastian ini. Dan upaya ini akan beriringan dengan apa yang disebut sebagai harapan. Ada yang mengatakan bahwa harapan adalah sebuah ‘pulau kepastian’ di tengah samudera ketidak-pastian. Maka harapan dan kemampuan verifikasi mestinya berjalan berdampingan dalam menghadapi ketidak-pastian.
Masalahnya sering godaan ‘jalan gampang’ atau juga shortcut terus saja menari-menari di depan mata. Termasuk ketika ‘verifikasi’ kemudian mengalami ‘personalisasi’ pada diri ‘orang baik’ misalnya. Ada sebuah pendapat bahwa semakin sederhana sebuah ‘rumus saintifik’ misalnya, maka itu tidak hanya semakin ‘indah’ tetapi juga lebih mendekati kebenaran. Masalahnya yang sering dilupakan bahwa sampainya pada ‘rumus sederhana’ itu pastilah sebagian besarnya akan menapak proses tidak gampang, dan bahkan rumit dalam perhitungan atau argumentasinya. Yang dimaksud dengan ‘jalan gampang’ atau shortcut di atas dalam konotasi ‘negatif’ karena melupakan proses-nya. ‘Jalan gampang’ dalam berproses dari sik-‘orang baik’ itu ternyata menyimpan bom waktu sendiri. Harapan adalah ‘keluaran’ yang dibayangkan, sedangkan verifikasi adalah lebih pada ‘proses’.
Verifikasi sendiri bisa dibayangkan juga sebagai bagian dari dinamika keutamaan prudence. Keutamaan atau virtue bisa dibayangkan sebagai hal utama yang memang sungguh layak untuk dikejar karena baik adanya. Dalam banyak halnya, keutamaan akan membantu bagaimana bermacam hasrat semestinya ‘ditempatkan’. Keutamaan self-control atau ‘tahu batas’ ia akan membantu bagaimana hasrat akan sex, makan-minum, dan juga hasrat akan uang ‘ditempatkan’. Keutamaan prudence akan membantu bagaimana hasrat kebijaksanaan akan ‘ditempatkan’. Demikian juga keutamaan keberanian akan membantu bagaimana hasrat yang digendong oleh ‘kelas serdadu’ itu ‘ditempatkan’. Ada yang mengatakan bahwa keutamaan prudence itu adalah ibu dari keutamaan lainnya.
Apa kaitannya hal-hal di atas dengan ‘megalomania’? Dari apa yang terjadi lebih dari sepuluh tahun terakhir kita bisa melihat dengan telanjang bagaimana ke-megalomania-an itu bisa dengan telak meminggirkan keutamaan prudence. Menghancurkan bermacam kemungkinan rute verifikasi yang sebenarnya itu penting dalam ‘mengawal’ harapan. Verifikasi kemudian masuk ke ‘jalan gampang’-nya: percayalah saja pada sik-’orang baik’, misalnya. Hasilnya? Kita bisa melihat bagaimana rusak-rusakannya republik. Ketika ‘harapan’ tidak dikawal dengan bermacam verifikasi, ke-megalomania-anpun akan semakin menjadi fakta faktualnya. Ketika ‘hal-hal besar’ yang ada menjadi bagian dari ‘harapan’ itu masuk pada tahap kegilaannya. Menjadi ugal-ugalan.
Dan dalam waktu bersamaan, sekaratlah ‘lembaga-lembaga verifikasi’ itu: pengadilan dalam semua bentuknya, KPU, KPK, yang pegang senjata, bahkan juga pers, dan banyak lagi. Lembaga pendidikanpun kemudian terobok-obok juga. Keutamaan prudence sungguh sudah dicampakkan. Timbang-menimbang tiba-tiba saja terlempar di padang tandus, termasuk etika sebagai salah satu ‘produk’-nya. Dan semakin nampak sebenarnya, megalomania itu tidak hanya soal sebab, tetapi juga telah menjadi strategi/taktik penguasaan. Dengan macam-macam rutenya, pemimpin kemudian dijerumuskan dalam ke-megalomania-an. Bahkan jika sangat tipis bakat untuk menjadi megalomania-pun akan bisa ‘dimakan’ pula, apalagi jika memang ada bakatnya. Tidak ada jalan lain melawan megalomania ini selain membangkitkan lagi hal timbang-menimbang. Menempatkan lagi ‘lembaga-lembaga verifikasi’ pada fungsi dan tanggung-jawabnya.
Tetapi apakah cukup ‘penempatan hasrat’ di tempat yang ‘benar’ hanya akan melibatkan ‘maksud baik’ dari keutamaan? Pelajaran di Jepang terkait dengan penyelenggaraan pemilihan bisa menjadi penting dalam hal ini, yaitu ketatnya peraturan dalam kampanye. Bahkan dalam komunitas dengan power distance rendah-pun peristiwa kampanye yang ugal-ugalan bisa mendorong sebuah megalomania. Apalagi dengan power distance tinggi seperti Jepang atau negara Asia lainnya, misalnya. Tidak lebih dari rentang waktu tiga tahun kita melihat bagaimana pemimpin ditembak saat di tengah-tengah kerumunan pendukung, saat kampanye. Shinzo Abe dan Trump. Yang membedakan tidak hanya akhirnya Abe kemudian tak tertolong, tetapi lihat besarnya kerumunan saat kampanye Abe itu. Di Jepang, bendera atau pamphlet penempatannya diatur ketat oleh lembaga pemilihannya. Demikian juga di surat kabar atau TV, misalnya. Nampaknya ada pembatasan serius supaya ‘sihir kerumunan’ dalam masa kampanye tidak menjadi ugal-ugalan. Termasuk kerumunan bendera, atau bermacam pamphlet yang ditebar. Nampaknya ini perlu dipertimbangkan dengan serius, selain akan mengurangi biaya kampanye yang itu justru (biaya kampanye tinggi) bisa membuat ‘kuasa gelap’ menyusup dalam perpolitikan. Pelajaran sepuluh tahun terakhir kita bisa melihat bagaimana ‘sihir kerumunan’ tanpa henti bahkan setelah kampanye selesai, akan membuat prakondisi megalomania semakin menebal saja. Termasuk kerumunan dari para ‘relawan’ yang tidak bubar-bubar setelah masa kampanye selesai. ‘Relawan’ yang hanya mengenal: mendukung atau setia. Atau terus saja menebar puja-puji. Titik, tidak ada logika lain. Megalomania yang ujungnya akan membunuh hal timbang-menimbang itu.
Apakah kata-kata dari pejabat BI bahwa data-data ‘dana mengendap’ di daerah-daerah sebagai data yang sudah diverifikasi sedikit memberikan titik terang atau titik berangkat? Sulit untuk mengatakan itu, dan yang pasti, kita sebagai pembayar pajak sangat berkepentingan untuk mendukung siapapun yang bergelut tanpa henti dalam upaya verifikasi ini. Jika yang mengelola negara masih saja sulit diharapkan, maka segala kekuatan masyarakat sipil yang tanpa lelah mem-verifikasi perilaku negara perlu terus didukung. *** (23-10-2025)
1801. Tiga Revolusi
26-10-2025
Yang dimaksud dengan ‘tiga revolusi’ adalah Revolusi Pertanian, Revolusi Industri, dan Revolusi Informasi. Ketiga revolusi tersebut bagi Alvin Toffler akan menjadi penjelas bagaimana terjadinya pergeseran power. Tetapi bagaimana jika itu dilihat dalam kacamata hirarki kebutuhan dari Maslow? Revolusi Pertanian menyediakan segala kebutuhan dasar atau kebutuhan fisik. Revolusi Industri akan memberikan ‘rasa aman’ karena ketergantungan terhadap alam lebih bisa dikelola. Sedangkan Revolusi Informasi akan lekat dengan pemaksimalan aktualisasi diri. Tetapi jika dilihat lebih jauh, masing-masing revolusi itu sebenarnya ada sisi gelapnya, terutama terkait dengan siapa penikmat ugal-ugalan dari apa yang disebut Marx sebagai ‘nilai lebih’. Maka cukup beralasan jika kemudian Marx melihat bahwa sejarah adalah juga sejarah ‘perjuangan kelas’. Bahkan kita bisa semakin melihat bagaimana itu terjadi juga di jaman Revolusi Informasi sekarang ini. Yang membedakan dari satu revolusi ke revolusi selanjutnya hanyalah cara merampok ‘nilai lebih’ itu. Fokus tulisan ini lebih pada bagaimana kita sebaiknya memandang ketiga revolusi di atas, dan itu kemudian digunakan untuk semakin meningkatkan kualitas hidup bersama.
Dan jika meminjam Maslow, jelas ketiga revolusi tersebut akan saling terkait dalam memenuhi bermacam kebutuhan manusia. Bahkan meski kita sudah di era Revolusi Informasi, melupakan Revolusi Pertanian akan seperti menapak ‘jalan revolusi-revolusi’ tersebut seakan seperti hilang-tanpa pondasi. Jika mamakai kata-kata Bush Jr. -presiden AS 2001-2009, masalah pertanian akan sangat terkait dengan keamanan nasional. Pengalaman di Jepang, bagaimana industrialisasi didukung oleh pertama-tama keterpihakan pemerintah pada petaninya. Lihat dalam perang tarif dengan Amerika, betapa ngototnya Jepang untuk tetap melindungi kepentingan petaninya, dalam hal ini petani berasnya. Atau lihat berapa subsidi digelontorkan oleh Eropa pada petani-peternaknya. Apa yang mau dikatakan di sini adalah jika kita ingin lolos dari bayang-bayang de-industrialisasi hari-hari ini maka itu tidak cukup hanya bicara industri itu sendiri. Tidak cukup hanya soal dunia industri yang ditaruh di bawah mikroskop. Sangat penting dan strategis untuk bicara soal pertanian, yang menurut pengalaman banyak negara, itu akan memberikan dukungan kuat terhadap industrialisasi. Tidak hanya soal berkembangnya konsumen produk-produk industri yang berkembang sebagai efek bola salju perkembangnya pertanian, tetapi keseriusan pemerintah dalam mengelola dunia pertanian ini akan memberikan ‘suasana kebatinan’ tertentu terhadap hidup bersama secara keseluruhan, termasuk dunia industri dalam hal ini.
Tentu masalah teknologi pertanian dalam bermacam bentuknya akan sangat penting diperhatikan, termasuk soal Reforma Agrarianya, tetapi lebih dari itu adalah soal bagaimana menghadapi pihak-pihak yang secara ugal-ugalan merampok ‘nilai lebih’ yang semestinya dinikmati oleh petani dan ‘kaum marhaen’ lainnya. Bagaimana melawan mafia pangan dan atau mafia pertanian, termasuk dalam hal ini ‘mafia pupuk’-nya, misalnya. Mengapa masalah pertanian dengan segala stake holders-nya, terutama kaum petani dan sekitar-sekitarnya tidak masuk dalam Proyek Strategis Nasional? Swasembada pangan harus diletakkan pertama-tama sebagai majunya para petani di republik, bukan pada kaum pemegang modal dengan ilusi food estate-nya. Sistem Informasi Pertanian harus sungguh dikembangkan demi kemajuan petani republik. Fakultas-fakultas pertanian sebaiknya terlibat atau dilibatkan dalam ‘proyek strategis nasional’ ini. Diskursus tentang pertanian ini sebaiknya juga diangkat ke permukaan, bahkan jika itu masuk dalam tahap ‘propaganda’ sekalipun. ‘Propaganda-diskursif’ yang siap untuk segala verifikasi dari segala penjuru. Dan yang tidak boleh dilupakan, jangan sampai kelompok petani atau organisasi petani untuk diberdayakan, dan bukan diperdaya. Bukan dijadikan tunggangan semata. Petani dan ‘kaum marhaen’ lagi harus dipandang sebagai kelas yang sedang berjuang demi kesejahteraannya. Ada prakondisi politis, teknis, dan sosialnya.
Retorika tanpa mau diverifikasi sebaiknya dihindari. Harapan bombastis terlebih yang sudah dekat dengan ke-megalomania-an juga sebaiknya dihindari. Karena yang diperlukan adalah bermacam detail yang mampu terus dimajukan. *** (26-10-2025)
1802. Warga Negara Yang Dilupakan
29-10-2025
Paling tidak sepuluh-sebelas tahun terakhir kita bisa merasakan bagaimana warga-negara sudah dilupakan. Bahkan jika boleh dikatakan: dianggap tidak ada. Mengapa situasi seperti itu bisa mengemuka? Apakah kemajuan ‘teknik manipulasi’ membuat adanya warga-negara menjadi mudah dilupakan, dan katakanlah kemudian diganti dengan angka-angka statistik? Angka-angka statistik yang serba terukur, dan kemudian diklaim sebagai hal yang obyektif?
Tentu nuansa feodalisme sangat wajar untuk diperhitungkan sehingga hal di atas bisa (selalu saja) berkembang. Tetapi apa yang bisa kita lihat sebagai ‘irisan’ feodalisme dan yang berkembang kemudian sehingga masalah bisa lebih jelas? Paling tidak kita bisa melihat dua hal, pertama bablasan terkait dengan ‘hal-hal besar’, dan kedua, tidak terlatih untuk mendengar. Ke-megalomania-an dan laku mbudeg, menulikan diri. Tidak mau mendengar bisa saja karena merasa sudah mengetahui masalah tanpa mendengar, karena seperti disinggung di atas, merasa sudah menggunakan bermacam langkah terukur sehingga hal obyektif sudah diketahui. Kritik yang juga sering ditujukan pada kaum teknokrat. Bahkan tidak hanya itu, hal obyektif, atau katakanlah realitas senyatanya itu ya berasal dari hal-hal yang serba terukur itu. Runyamnya, ketika ini kemudian bersekutu dengan ke-megalomania-an maka ujungnya adalah: manipulasi tanpa henti.
Manipulasi adalah serapan bahasa asing, manus: tangan, dan kemudian berkembang menjadi memper-alat, meng-handle, mengelola orang. Segala sesuatu kemudian dipandang dalam konteks bagaimana itu dapat digunakan untuk ‘mengelola’ orang lain, memanipulasi khalayak kebanyakan. Maka pada titik tertentu warga negara-pun bukan lagi sosok manusia, tetapi telah mengalami ‘reifikasi’, terhayati sebagai benda-benda. ‘Benda-benda’ yang tidak perlu didengar lagi. Benda-benda yang bertahun terakhir bisa dilihat misalnya, dalam bentuk angka-angka statistik terutama dalam hal ini angka-angka dalam survey. Bermacam teknik manipulasi yang berkembang itu seakan menjadi cincin Gyges dalam cerita Yunani Kuno, hanya saja ketika cincin diputar, tiba-tiba saja warga negara yang menghilang.
Kesadaran mestilah sadar akan sesuatu. Sadar adalah keterarahan, intensionalitas. Tetapi tidak hanya berhenti di sini saja, di satu pihak sesuatu itu juga akan ‘memberikan’ dirinya. Dalam ‘memberikan’ dirinya itu tidak pernah memberikan diri secara lengkap. Ada yang memang menampakkan diri, tetapi ada yang ‘tersembunyi’. Kubus misalnya, menampakkan diri pada kesadaran kita mungkin saja dalam bentuk jajaran genjang, atau lainnya. Keterahan kita pada kubus tersebut bisa kemudian langsung saja berkesimpulan bahwa itu kubus, berdasarkan pengalaman masa lalu atau pengetahuan kita. Dan sebagian besar ‘rute’ inilah yang bekerja sehari-hari, disebut sebagai ‘sikap alamiah’. Tetapi bagaimana saat kesadaran terarah pada sebuah bangunan yang memberikan dirinya pada kita ada pintu, jendela, teras, atap? Mungkin saja kita langsung menyimpulkan bahwa itu adalah rumah, tetapi bagaimana jika itu ternyata adalah property pembuatan film yang hanya tampak depannya saja seperti itu, tetapi belakangnya kosong? Maka kadang kita perlu ‘berhenti’ sejenak, dan ‘menunda’ atau memberikan ‘tanda kurung’ lebih dahulu terhadap pengalaman masa lalu, atau pengetahuan kita, dan kita kemudian mengambil posisi sebagai seorang ‘pemula’ -pemula yang sedang mengalami. Kita dekati bangunan itu, kita lihat dari bermacam sudut, aspek, atau profilnya, dan akhirnya semakin tersingkap bahwa itu hanyalah property film, misalnya. ‘Rute’ ini disebut sebagai ‘sikap fenomenologis’.
Tetapi memang sebagian besar hidup kita akan dijalani sebagai ‘biasa-biasa’ saja, taken for granted atau dalam rute ‘sikap alamiah’ di atas. Repot sekali jika hidup sebagian besarnya dijalani dengan ‘sikap fenomenologis’, misalnya. Masalahnya, apa iya selama hidup kita tidak pernah menemui peristiwa atau sesuatu yang semestinya tidak disikapi dengan modus taken for granted saja? Tidak semua mau atau mampu jadi pemimpin karena salah satunya terkait ini, banyak waktu yang mesti dijalani tidak taken for granted saja, semestinya. Apalagi dalam dunia yang semakin sulit diprediksi ini. Terlebih lagi jika ini menyangkut kuasa di ranah negara. Ketika kosupsi menjadi gila-gilaan, ugal-ugalan, dalam semua bentuknya, terutama dalam dua hal, uang dan ke-megalomania-an, maka bisa-bisa keterarahan kesadaran hanya pada satu hal: mempertahankan kekuasaan. Tak jauh seperti dikatakan Thomas Hobbes bahwa hasrat akan kuasa itu tidak hanya dibawa sampai mati, tetapi juga untuk mengamankan apa-apa yang sudah diperolehnya. Bagaimana jika itu korupsi yang sudah sungguh gila-gilaan?
Apa yang dilihat ketika banyak orang melihat Gunung Merapi? Petani sekitar, atau pelukis, atau seorang geolog? Bahkan sama-sama pelukisnya, bisa berbeda-beda hasil lukisannya. Tetapi bagaimana jika Gunung Merapi ‘memberikan’ dirinya dengan tremor dan gulungan awan panas-beracun meluncur ke bawah? Bagaimana jika ‘gunung kapital’ itu misalnya, menjadi sewenang-wenang. Dan menjadi sungguh ugal-ugalan dalam merebut ‘nilai lebih’ kaum buruh? Bagaimana jika ‘gunung kekuasaan’ itu menjadi sewenang-wenang menggusur tanah-tanah warga negara dengan segala paksaannya? Merampas potensi petani untuk memperoleh harga wajar bagi hasil-hasil pertanian yang diproduksinya? Atau bagaimana jika gunung itu adalah khalayak kebanyakan, yang sebenarnya telah menampakkan diri juga ketimpangan ugal-ugalan. Atau di sana-sini dipenjara karena mempertahankan hak atas tanahnya. Bahkan kadang sudah menampakkan diri dalam ‘tremor’-nya, dalam bentuk unjuk rasa atau lainnya. Akankah masih perlu menampakkan diri dalam ‘letusan’ dan luncuran ‘awan panas’-nya? *** (29-10-2025)
1803. Eichmann dari Solo
31-10-2025
Menurut Hannah Arendt setelah mengikuti persidangan Adolf Eichmann di awal tahun 1960-an, ketidak-berpikiranlah yang membuat Eichmann menjadi begitu kejamnya di era Nazi, termasuk berdiri paling depan dalam holocaust. Karena ketidak-berpikiran segala kegelapan evil kemudian menjadi banal: banality of evil. Mengapa bahkan juga dari kaum terdidik bisa jatuh dalam situasi ‘ketidak-berpikiran’ ini? Freud telah menunjukkan bahwa alam ketidak-sadaran manusia justru akan menempati bagian terbesar, mengalahkan bagian sadar atau ‘bawah-sadar’-nya. Hermann Broch kemudian menegaskan pula bahwa sekuat-kuatnya manusia sebagai ‘binatang rasional’, tetap saja bagian terbesarnya adalah yang ‘irasional’. Maka tak mengherankan jika Wilhelm Reich -pengikut Freud, mengatakan bahwa fasisme itu mempunyai pintu masuknya: ekspoitasi bagian tidak sadar, atau kalau kita memakai istilah Freud, bagian id. Id yang mendasarkan diri pada prinsip kesenangan.
Eksperimen Stanley Milgram di decade 1960-an juga memperkuat tesis Hannah Arendt terkait banality of evil di atas. Ada dua ‘kekuatan’ yang bertemu dalam eksperimen, adanya ‘tugas mulia’ dari peserta eksperimen yang dikatakan bahkan sejak rekrutmen, dan adanya otoritas atau pengawas yang selalu akan ‘berteriak’ ketika peserta eksperimen ragu-ragu. Akhirnya peserta yang berasal dari beragam latar belakang itupun menjadi mau saja memberikan ‘sengatan listrik’ dengan voltase tertinggi meski ‘murid’ (diperankan actor) sudah memohon-mohon untuk tidak disetrum karena jawaban salah. Baik Eichmann maupun percobaan Milgram terjadi sama-sama masih ada dalam era yang modus komunikasinya dominan man-to-mass, terutama melalui hasil cetak, radio, film, dan televisi. Bagaimana dengan era digital-internet dalam modus komunikasi mass-to-mass seperti sekarang ini?
Atau kita juga bisa bertanya, bagaimana jika tidak hanya Eichmann yang diikuti persidangannya oleh Arendt, tetapi Hitler sendiri? Tentu ini berandai-andai sebab Hitler sudah bunuh diri. Jika ada kesempatan untuk diadili, apakah akan menjadi jelas bagaimana Hitler menjadi Hitler-Nazi? Tentu banyak jalan untuk memahami mengapa Hitler menjadi seperti itu tanpa rute pengadilan, termasuk juga misalnya terkait ‘Trump-isme’ hari-hari ini. Atau lainnya. Dalam banyak berita, ‘Trump-isme’ di AS sono mendapat penyeimbangnya sehingga tidak terlalu (cepat) menghancurkan hidup bersama, paling tidak itu berasal dari klaster pengadilan, perguruan tinggi, pers, juga tentunya dari Partai Demokrat.
Bagaimana jika perguruan tinggipun sudah loyo karena terus diobok-obok, bahkan dengan ‘biaya’ tidak lebih dari 30 milyar rupiah sebuah perguruan tinggi ternama dengan sejarah panjang terjerumus dalam lumpur kehinaan? Murah sekali. Gampang sekali. Bagaimana jika pengadilan dalam bermacam bentuknya sudah hilang martabat dan kehormatannya? Partai-partai sebagian besar dalam kendali? Dari pengalaman, itu akan menjadikan kuasa begitu ugal-ugalan. Otoritas dalam banyak tingkatannya bisa menjadi ugal-ugalan, semau-maunya. Tidak hanya korupsi yang merebak, tetapi dengan tanpa beban akan melakukan pembunuhan akal sehat, berulang dan berulang, pembunuhan harapan warga-negara, pembunuhan hak-hak warga negara, perampasan kekayaan republik. Hal-hal baik sebagian besarnya menjadi sekarat karena berulang dan berulang terus digampar dan ditendang, bahkan sambil pecingas-pecingis. Tanpa beban, tanpa berpikir lagi. Apakah itu Hitler atau Eichmann tidak penting lagi, karena faktanya ada yang sudah keranjingan membunuh hal-hal baik. Keutamaan dibunuh dengan tanpa beban lagi. Anak-anak seakan sedang diberi contoh bagaimana hidup tanpa keutamaan ‘tahu batas’, tanpa keutamaan ‘keberanian’, tanpa keutamaan prudence. Anak-anak generasi mendatang yang sedang dirusak bahkan sudah dengan membabi-buta. Dan adakah sebuah komunitas akan bertahan atau mempertahankan diri jika hal-hal baik terus saja dibunuh satu per satu? Jika sudah sedemikian rapuhnya, siapa yang akan diuntungkan? *** (31-10-2025)
