1805. Monster, Fakta Potensial dan Fakta Faktual

04-11-2025

Monster adalah serapan bahasa asing, yang pada tahun 1550-an berarti juga sebagai "person of inhuman cruelty or wickedness, person regarded with horror because of moral deformity".[1] Dari berbagai aspek, profil, sudut, dan banyak lagi, bisa dikatakan setiap manusia pastilah akan menggendong potensi untuk menjadi monster. Siapapun itu. Hannah Arendt dengan konsep banality of evil dan percobaan Stanley Milgram setelah itu menunjukkan bahwa siapa saja dapat menjadi seorang monster. Maka masalahnya, apa ‘syarat-syarat kemungkinan’ sehingga fakta potensial monster dalam diri itu bisa berkembang menjadi fakta faktualnya? Dari hanya melihat berbagai perkembangan dalam perkembangan penggunaan bahasa, kita bisa melihat bahasa bisa menjadi salah satu factor penting dalam memberikan ‘syarat kemungkinan’ monster dalam diri sebagai fakta potensial itu, apakah nantinya akan berkembang menjadi fakta factual atau tidak, Atau menjadi terkendali dalam bermacam tingkatannya.

Atau kalau kita memakai istilah George Lakoff, pada dasarnya dalam diri sudah ngendon sebuah deep frame terkait dengan ‘monsterisasi’ diri itu. Surface frame adalah frame yang akan mendapat tempat digantungkannya dalam deep frame. Menurut Kant, syarat-syarat kemungkinan pengetahuan adalah ketika adanya interaksi antara data inderawi dari luar dan kerangka konseptual yang sudah dimiliki subyek dalam dirinya. Kesadaran dalam Fenomenologi berarti juga adalah soal keterarahan (intensinoalitas) dan juga soal bagaimana sesuatu itu menampakkan atau memberikan diri, yang mungkin saja itu merupakan data-data inderawi yang sampai atau bertemu dengan (keterarahan) kita. Masalahnya, sesuatu itu tidak akan pernah memberikan dirinya secara lengkap. Sebuah kubus misalnya, tidak akan pernah memberikan data-data inderawi penglihatan pada kita secara utuh sebagai kubus, mungkin saja sebagai jajaran genjang. Di satu sisi, keterarahan kita itupun tidak lepas dari ‘kerangka konseptual’ tentang kubus yang mungkin saja sudah lama ngendon dalam kesadaran kita. Dan dengan keserta-mertaan, sesuatu yang memberikan dirinya sebagai jajaran genjang itu dapat segera saja kita hayati sebagai kubus.

Fokus tulisan ini adalah soal peran ‘relawan’ yang paling tidak selama lebih dari 10 tahun terakhir terus saja tanpa henti mewarnai dinamika perpolitikan repubilk. ‘Relawan’ yang tidak hanya seliweran dalam rentang waktu ‘merebut kuasa’ tetapi juga ternyata saat ‘penggunaan kuasa’, yang menurut Machiavelli soal ‘merebut kuasa’ itu bisa saja sangat berbeda dengan saat ‘penggunaan kuasa’. ‘Relawan’ yang lebih dari 10 tahun terakhir ini lebih menampakkan diri sebagai yang tanpa henti melantunkan puja-puji dan melakukan pembelaan membabi-buta. Pertanyaannya, apa akibat dari bombardier ‘data-data inderawi’ berupa puja-puji dan pembelaan membabi-buta ini, terutama bagi penguasa? Atau sosok yang sedang memegang kekuasaan (ter)tinggi? Jadi, tidak hanya soal dampak pada khalayak kebanyakan. Hal yang sungguh sebaiknya kita perhatikan terlebih dengan semakin terkuaknya penyelidikan sains terkait mirror neuron system. Bahkan Machiavellipun memperingatkan soal penjilat-penjilat di sekitar kekuasaan.

Apakah Hitler menjadi Hitler ‘seperti itu’ adalah salah satunya akibat adanya ‘relawan’ yang berperan sebagai petugas tata tertib ketika rapat umum dilakukan saat itu, dan dikemudian hari berkembang menjadi sayap polisi rahasia Nazi? Dan menjadi kekuatan utama Nazi? Dengan penuh puja-puji tidak hanya secara verbal dan bahasa tubuh di depan hidung Hitler, tetapi juga melakukan pembelaan membabi-buta terhadap Hitler? ‘Relawan’ yang juga bisa berarti ‘rela berkerumun’ di sekitar Hitler? Apalagi telah berkembang dalam diri Hitler terkait konsep Ubermensch dari Nietzsche yang mungkin saja salah penghayatan itu? ‘Monsterisasi merangkak’ yang ujungnya menjadikan Hitler ‘seperti itu’? Bermacam hal tentu ikut menambahkan pengaruh termasuk pengalaman ikut Perang Dunia I komplit dengan segala dimensi kekalahannya, dan beban ekonomi ikutan akibat kekalahan itu. Di satu pihak seperti sudah disinggung di atas, setiap manusia memang sudah ada juga ‘bakat’ untuk menjadi monster.

Dari pengalaman bertahun terakhir ini, adanya ‘relawan’ saat penggunaan kuasa sungguh bisa dilihat ‘kontribusinya’ dalam mendorong segala carut-marut perpolitikan republik. Juga termasuk bermacam kerumunan yang diorkestrasi di sekitar pemimpin. Seakan pemimpin dihampiri stimulus puja-puji tiada henti, dan juga stimulus tertentu dari bermacam pembelaan membabi-buta. Termasuk survei-survei bayaran untuk menjungkir-balikkan realitas. Atau sulapan angka-angka statistik. Akhirnya kenyataan dari kerja-kerja-kerja itu dalam praktek menjadi uang-uang-uang. Semua bisa dibeli dengan uang, termasuk ‘relawan’. Tak mengherankan pula soal aliran puja-puji ini terus saja mengalir, tanpa beban lagi. Termasuk pembelaan membabi-buta. Demi uang maka banyak pihak mau melakukan apa saja.

Puja-puji atau pembelaan membabi-buta bagaimanapun juga hadirnya tidaklah tergantung kita, pada umumnya. Dan jika itu yang terjadi maka menjadi penting untuk melihat lagi apa-apa yang tergantung kita. Dan itu adalah respon atau sikap kita terhadap sesuatu itu, dalam hal ini puja-puji atau pembelaan membabi-buta. Kita melihat misalnya semakin banyak saja puja-puji atau pembelaan terhadap Menteri Purbaya, misalnya. Tidak masalah apakah itu tulus-ikhlas, atau sudah sampai pada ‘tahap membabi-buta’, masalahnya apa respon atau sikap Purbaya dalam hal ini? Apa yang mau dikatakan di sini, tetaplah: focus, focus, focus. Tentu pujian boleh didengar, tetapi harus selalu diingat bahwa kritik atau masukan jelas lebih perlu untuk didengar. Menjadi focus dalam satu hal tentu tidak berarti menjadi tidak mau mendengar, apapun itu yang menghampiri atau memberikan dirinya. Tetapi juga hati-hati jika tiba-tiba saja ada massa berkerumun dan mengelu-elukan, bahkan sampai minta tanda tangan segala. Bukan soal paranoid, tetapi sebagai pejabat publik, janganlah sampai ‘dididik’ oleh kerumunan. Bahkan lebih buruk lagi, segala kerumunan di sekitar itu justru sedang ‘membunuh’-nya, dan itu bukan karena ia tidak tepat dalam merespon misalnya, tetapi ‘glorifikasi’-nya bisa-bisa akan dihayati oleh pihak lain sebagai ‘ancaman’, termasuk atasannya. Bagaimana itu kemudian bisa-bisa dimainken dan ‘dijungkir-balikkan’ di depan atasannya, misalnya. Atasan yang seperti manusia lainnya, menggendong potensi juga berkembang menjadi sosok monster. Repot memang. *** (04-11-2025)

[1] https://www.etymonline.com/word/monster

1806. Bumi Makin Panas

05-11-2025

Sekitar dua puluh tahun lalu, keluhan tentang panas muncul di titik 32 derajat celcius. Sekarang? Hari-hari ini 35 derajat rasanya sudah sehari-hari. Bumi makin panas bukan sekedar judul film, tetapi sudah menghampiri diri sehari-hari. Dan tidak hanya soal manusia, tetapi perilaku alampun sudah berubah. Kedaruratan iklim bukanlah isapan jempol belaka. Nyata, baik hadir dalam berita atau langsung masuk lewat pori-pori kulit. Atau terjangan banjir. Apakah kita sedang masuk dalam ‘keseimbangan baru’? Keseimbangan siapa? Apakah alam tidak dimasukkan sebagai variable ‘penyeimbang’ juga? Ada geopolitik, geoekonomi, dan mestinya ada geoekologi.

Bumi makin panas akan dihadapi oleh semua saja, di republik dari Sabang sampai Merauke. Dan semestinya itu menjadi perhatian semua saja, terlebih para pemangku kebijakan. Terlalu banyak ketidak-pastian di depan mata yang semua itu menunggu respon tepat dari para pemangku kebijakan. Maka sangat wajar di tengah segala ketidak pastian yang dihadapi para pembayar pajak mereka menjadi ‘mudah marah’ ketika siapa saja yang terlibat dalam pembuatan kebijakan malah jogat-joget sambil pecingas-pecingis di depan publik. Di tempat dimana kebijakan publik ikut diputuskan. Juga laku asal mangap, asal njeplak, asal ancam, gegayaan main citra di tengah kerumunan, dan laku-laku medioker lainnya. Maka tidak salah jika pembayar pajak membayangkan, para pemangku kebijakan itu betul-betul serius dalam menghadapi tantangan. Cari penghasilan susah, cari pekerjaan susah, eh para pembuat kebijakan pethakilan tanpa empati, tanpa beban. Lupa bahwa saat ini sedang dalam ruang diantara cita-cita republik dan bermacam tantangan di depan mata. Konyolnya, dalam waktu bersamaan lupa bahwa bermacam keterbatasan sedang melilit republik.

Dari hal-hal di atas, dapat dipahami bagaimana semakin merebak kemuakan terhadap mantan presiden Joko Widodo yang secara telanjang masih menampakkan diri banyak ikut campur dalam pemerintahan baru. Juga terhadap Gibran yang justru sering menampakkan diri sebagai bagian pemangku kebijakan yang tidak kompatibel terhadap perkembangan situasi. Maka banyak kalangan yang merasakan bagaimana ugal-ugalannya rejim terdahulu itu seakan terus saja melanjut meski sudah ganti pemerintahan. Ketidak prudence-an seakan masih menggelayuti langkah republik dalam mengantisipasi bermacam tantangan yang terus saja semakin sulit diprediksi. Padahal dalam bayangan khalayak kebanyakan, pemerintahan baru itu berarti juga harapan baru. Apakah republik nantinya tidak hanya merasakan bumi yang semakin panas, tetapi justru malapetaka ketika ‘bumi sungguh menjadi terbakar’? Apalagi berbagai ‘kesepakatan global’ tentang ‘hal-hal baik’ kita bisa melihat dari bermacam berita telah banyak dilanggar. Bahkan dicampakkan. Crimea dan bagian timur Ukraina sudah dicaplok Rusia dengan segala kehancurannya. Demikian juga Gaza. Akankah hal serupa bisa terjadi di republik?

Sebenarnya tulisan ini direncanakan ditutup pada titik ini, tetapi berita soal sikap presiden terkait dengan carut marut kereta api cepat membuat tulisan ini dilanjutkan dengan permainan. Permainan ‘jika aku presiden’. Apa yang mesti aku lakukan pada titik sekarang ini? Tetapi sebelumnya ada yang ingin aku sampaikan: apa mesti aku jelaskan secara terang benderang mengapa perlu diperkuat angkatan perang kita? Bukan karena aku mantan serdadu, tetapi jelas mata ‘awam’-pun akan atau bahkan telah melihat ujung penyelesaian konflik hari-hari ini, perang telah menjadi salah satu pilihan favorit. Sayang memang, tetapi faktanya begitu, apapun alasan pilihan perang dipilih. Putin memakai alasan ‘alasan kesamaan bahasa’ untuk menyerang Ukraina. Gombal memang, tetapi tetap saja dilakukan. Dan tetap merasa sah-sah saja. Maka suka atau tidak, memperkuat angkatan perang adalah salah satu ‘gertak’ yang mesti dilakukan.

Aku tahu persis bagaimana pemerintah yang ada dalam komandanku sekarang ini tidak hanya terlalu gemuk tetapi juga banyak menteri yang tanpa sungkan seakan mempunyai ‘dua tuan’. Menjengkelkan memang, tetapi tidak mudah melawan jaringan kuasa yang terbangun selama 10 tahun. Tidak mudah, terlebih ini adalah ‘jaringan kacung’ dari salah satu kekuatan besar geopolitik global yang ada sekarang ini. Perkacungan ini membuat orang-orang seperti itu mau melakukan apa saja. Apa saja karena mereka sudah tidak punya kehormatan lagi. Bahkan menusuk dari belakang jika itu diperintahkan oleh tuan yang lain maka itu akan segera dilaksanakan, dengan tanpa beban lagi. Mereka-mereka itu tidak peduli lagi jika apa yang sedang diperankan sekarang itu akan menghancurkan republik atau tidak. SUDAH TIDAK PEDULI. Dasar pengkhianat republik, saudara-saudaraku.

Tidak mudah melawan orang-orang sekitar, para pengkhianat republik yang sudah nekad karena jika mereka kalah maka nyawa atau masa depan mereka akan gelap total. Maka saudara-saudaraku, mengapa aku memutuskan carut-marut kereta api cepat itu menjadi tanggung jawabku? Tidak mudah melawan komplotan perkacungan ini, dan hanya waktu sekarang harapanku. Aku sungguh berharap kasus ijazah palsu dan surat keterangan kesetaraan abal-abal itu dapat diselesaikan dan mampu memotong kepala local jaringan perkacungan ini. Dan sayangnya saudara-saudaraku, semakin lama penyelesaian dua kasus itu maka waktu bisa-bisa tidak berpihak lagi padaku. Belum lagi yang pegang senjata belum seratus persen kendali ada padaku. Repot memang.

Saudara-saudaraku, kalau aku mengambil alih tanggung jawab kereta api cepat itu lebih pada soal keuangannya. Tentu ini akan memancing kontroversi, tetapi yang sudah terjadi harus tetap dihadapi dengan segala pertimbangannya. Dan resikonya. Tetapi aku tidak pernah mengatakan bahwa tanggung jawab hukum karena adanya penyelewengan wewenang, aku ambil alih juga. Tidak pernah aku mengatakan itu. Silahkan jika ada temuan, mari kita basmi bersama. Demikian saudara-saudaraku. Merdeka! *** (05-11-2025)

1807. Yang Nampak dan Tidak dalam

Rejim Epthumia

11-11-2025

Epithumia dalam Alegori Kereta-nya Platon digambarkan sebagai kuda hitam, segala hasrat perut ke bawah, makan, minum, seks, dan terutama hasrat akan uang. Segala gejolak hasrat yang bisa saja dibayangkan tidak jauh apa yang dimaksud Freud sebagai bagian id yang ngendon di alam tidak sadar, dan berdasarkan ‘prinsip kesenangan’. Sayangnya, justru bagian id ini atau bagian tidak sadar inilah merupakan bagian terbesar dari hidup manusia. Selain itu, kuda hitam dalam Alegori Kereta di atas, digambarkan Platon cenderung meledak-ledak, punya energi besar, dan cenderung semau-maunya. Selain itu, meski kereta dimaksudkan untuk ‘naik ke atas’ untuk semakin mendekati ‘kebaikan dewa-dewa’, kuda hitam malah cenderung maunya meluncur ‘ke bawah’. Tetapi apapun itu, hasrat perut ke bawah itu bukanlah sesuatu yang harus dikutuk. Faktanya setiap manusia akan menggendong hal itu, suka atau tidak, mau menolak atau tidak. Adanya ‘karakter kuda hitam’ dalam diri itu seakan tidak tergantung kita lagi, yang tergantung dari kita adalah sikap kita terhadapnya. Dan bukankah dalam diri kuda hitam itu ada energi besar meledak-ledak? Ungkapan Deng Xiao Ping, menjadi kaya itu mulia, sedikit banyak bisa dilihat tidak hanya soal pergeseran strategi, tetapi juga memberi ruang bagi energi besar ini.

Lima bulan lalu Setyo Wibowo menyampaikan soal ‘rejim epithumia’ dalam suatu unggahan di YouTube.[1] Meski Deng Xiao Ping mengatakan bahwa ‘menjadi kaya itu mulia’ tetapi ia tidak memaksudkan sedang membangun ‘rejim epithumia’, bahkan ia dan penerusnya sangat peduli terhadap pemberantasan korupsi, misalnya. Paling tidak sampai sekarang. Dengan dukungan ‘kuda putih’ yang dalam Alegori Kereta Platon bisa menunjuk ‘kelas serdadu’, ia menjadi mampu untuk mengendalikan ‘liarnya’ kuda hitam ketika dilepas dari kerangkengnya. Hasilnya? China mampu mengentaskan kemiskinan ratusan juta warganya keluar dari kemiskinan. Hasrat dalam diri sik-kuda hitam itu sampai sekarang, sekali lagi: paling tidak, tidak terus menjadi kekuatan pengatur dalam penyelenggaraan negara, atau berubah menjadi suatu ‘rejim’. Sebagai gambaran (pembanding), bertahun terakhir -paling tidak sepuluh tahun rejim terdahulu, semakin nampak saja bahwa itu adalah ‘rejim epithumia’. Bahkan pimpinan tertingginya saat itu pernah masuk dalam ‘jajaran elit’ pemimpin terkorup nomer dua di planet ini.

Bermacam hasrat dalam diri kuda hitam, dari pamer-pamer kemewahan dan terutama hasrat akan uang, sungguh secara telanjang menampakkan diri karena sudah tidak tahu batas lagi. Ugal-ugalan, gila-gilaan. Dari korupsi, kebocoran anggaran, pat gu li pat, kong-ka-li-kong, pemburuan rente, illegal logging, illegal fishing, judi on line, tambang illegal, mafia ini mafia itu, jual konsensi ini dan itu, dan banyaaak lagi. Dan itu semakin menampakkan diri secara telanjang di depan mata. Tetapi ada yang kurang menampakkan diri dibanding segala kegilaan di atas, yaitu soal ‘ketersanderaan’. Pertama jika memakai istilah Van Peursen, kegilaan di atas semakin menjadi gila saja karena segala hasrat perut ke bawah itu, terutama hasrat akan uang sudah masuk dalam ‘tahap magis’, bablasan ‘tahap mitis’. Artinya, kegilaan itu memang sudah sangat sulit untuk diretakkan. Mau diajak melongok pada amanat konstitusi misalnya, sudah tidak mungkin lagi karena sihir akan uang itu sudah sangat kuat. Gila, betul-betul sudah gila.

Kedua adalah ‘sandera kasus’. Bagaimanapun ‘rejim epithumia’ ini akan selalu dalam kegelisahan, karena ia akan ada di ruang antara apa yang semestinya terjadi dan apa yang sedang terjadi. Maka ia perlu ‘habitat’ tersendiri sehingga bisa mengubah rasa-merasa terkait ‘ruang antara’ di atas, dan untuk itulah mengapa ‘sandera kasus’ perlu dimaksimalkan. Orang-orang yang ‘tersandera kasus’ itu diperlukan untuk ‘mengubah aturan’ dalam ‘arena’ yang ada dalam ‘ruang antara’ itu. Maka muncullah asal mangap, asal njeplak, asal ancam, asal joget, dan lainnya. Intinya untuk mengaburkan apa ‘yang semestinya terjadi’. Atau kalau kita pakai istilah ‘hati nurani’, tugasnya adalah mengubur atau menjadikan ‘suara hati nurani’ itu tidak muncul ke permukaan. Yang namanya ‘tersandera kasus’ itu tidak hanya terkait dengan uang, korupsi misalnya, tetapi juga hasrat lainnya yang digendong oleh sik-‘kuda hitam’. Beberapa waktu lalu muncul berita bagaimana Pangeran Andrew -adik dari Raja Charles, dicopot gelar kebangsawanannya karena terlibat skandal sex, dan itu terkait juga dengan Epstein files yang menyeret-nyeret nama Trump juga. Untung saja bukan Raja Charles sendiri yang terjerumus, coba kalau iya, bisa-bisa Kerajaan Inggris panas-dinginnya bisa dimainken karena skandal perkontholan-pertempikan ini. Runyam-lah. *** (11-11-2025)

[1] https://www.youtube.com/watch?v=PzlCzIpjNjc&t=1783s

1808. Robohnya Klaster-klaster

13-11-2025

Apa prasyarat sehingga republik bisa ada dan bertahan? Dan berkembang? Paling tidak bisa diajukan di sini bahwa itu perlu prakondisi politis, teknis, dan sosial. Adanya dukungan dan pengakuan dari luar terkait kemerdekaan, itu salah satu prakondisi politis bagi berdirinya republik. Prakondisi sosial perlahan terbangun terutama mulai dengan adanya Sumpah Pemuda, dan terus membesar melalui jalur-jalur komunikasi yang berkembang saat itu. Meski mungkin saja tidak sebesar yang kita bayangkan sekarang ini, tetapi jelas juga bahwa kemerdekaan saat itu tetap merupakan ‘lembaga’ yang terdukung secara sosial. Bukan semata ‘revolusi istana’. Bagaimana prakondisi teknis? Paling tidak di awal-awal kemerdekaan, bagaimana kemampuan diplomasi saat itu sangat menentukan. Tulisan ini mengajak untuk menghayati republik seakan sebagai ‘pemula’, kita ‘tunda’ lebih dahulu segala ingatan, pengalaman, atau juga endapan pengalaman masa lalu, konsep-konsep yang ada di kepala, itu semua kita beri ‘tanda kurung’ lebih dahulu, dan kita kemudian melihat republik sebagai yang benar-benar kita alami sekarang ini. Sebagai ‘pemula’ dalam menghayati republik hari-hari ini. Bagaimana prakondisi politis, teknis, dan sosialnya?

Tetapi apakah kita bisa secara kaku memisah antara prakondisi teknis dan sosial? Dan juga dengan prakondisi politis? Ataukah kita ‘tunda’ juga lebih dahulu konsep terkait prakondisi-prakondisi itu? Dari bermacam berita yang menampakkan diri, memberikan dirinya pada kita, saya merasakan bahwa republik sedang dalam kondisi rusak-rusakan. Dan jika diteruskan dilihat dari bermacam segi, rusak-rusakannya hampir di setiap sisi. Atau jika republik mempunyai bermacam klaster urusan misalnya, hampir semua mengalami kerusakan parah. Rusak-rusakan. Tidak hanya klaster kemampuan mencukupi kebutuhan sehari-hari, tetapi juga soal mencari pekerjaan. Semakin sulit. Korupsi menampakkan diri dalam pemberitaan seolah sudah menjadi keseharian. Juga klaster pendidikan. Rusak-rusakan. Klaster penegakan hukum? Rusak parah, bahkan bisa dikatakan sebagai hancur. Perampasan kekayaan sumber daya alam? Ugal-ugalan, semau-maunya. Klaster penggunaan ilmu pengetahuan dalam ikut terlibat dalam pembuatan kebijakan? Hancur! Bahkan republik seakan berjalan tanpa kehormatan sama sekali. Apalagi etika. Klaster yudikatif, legislative, eksekutif hancur-hancuran. Rusak-rusakan. Mengapa ini semua bisa terjadi? Seakan semua klaster kehidupan di republik menjadi hancur-hancuran? Rusak total.

Kehancuran total klaster-klaster di atas pastilah tidak terjadi hanya dalam satu-dua tahun saja, tetapi (yang juga mengagetkan) dari banyak hal saya melihat ini paling tidak terjadi (hanya) dalam sepuluh-an tahun terakhir, merangkak menuju kerusakan totalnya. Apa yang menjadi daya ungkit terbesar dari segala rusak-rusakan ini? Nampaknya karena ada pergeseran: dari res-publika ke res-propaganda. Publik yang dalam praktek itu terdiri dari bermacam klaster kemudian ‘disapu bersih’ dengan ‘bom atom’: propaganda. Apa yang kongkret dialami publik kemudian dengan enteng-enteng saja diselesaikan dengan propaganda. Rejim terdahulu bahkan tidak salah-salah amat jika kemudian disebut juga sebagai rejim propaganda.

Tetapi bukankah kekuasaan itu tidak akan pernah steril dari propaganda? Tentu, masalahnya adalah soal ‘tahu batas’. Dari mana asalnya ‘ke-tahu-akan-batas’ itu? Akan riskan jika dalam ranah negara soal ‘tahu batas’ hanya mengandalkan ‘kualitas diri’ sik-penguasa. Sangat riskan. Maka ia perlu ditabrakkan oleh ‘kontra-propaganda (penguasa)’ baik itu berupa kritik, media massa, masyarakat sipil, dan juga dari kampus. Tetapi bagaimana jika kampus misalnya, klaster itu sudah dirusak juga? Juga klaster media massa. Masyarakat sipil terus diadu domba oleh para buzzerRp. Atau ‘dilumpuhkan’ dengan laku asal mangap, asal njeplak, asal ancam, asal joget. Dan yang terakhir, mbudeg, menulikan diri, dengan terus saja tanpa henti tebar propaganda. Akhirnya hampir semua klaster yang menyangga republik-pun sudah dirusak, dan semua itu demi mak-nyus-nya output dari propaganda. Maka memang nampak dengan telanjang segala masalah yang ada dalam republik akan diselesaikan dengan propaganda.

Masalahnya adalah bahkan propaganda itu punya batas-batas (khasiat)-nya sendiri. Sekuat-kuatnya sihir propaganda, terlebih dengan berkembangnya modus komunikasi mass-to-mass via jaringan digital-internet seperti sekarang ini, khalayak kebanyakan yang menjadi sasaran propaganda tetap akan mempunyai kemampuan untuk belajar (bersama). Sayangnya, seperti pengalaman-pengalaman di planet ini, itu akan melanjut pada penggunaan kekuatan kekerasan yang akan maju sebagai perisainya. Baik kekerasan dalam arti ‘soft’ melalui ruang-ruang pengadilan sampai dalam arti ‘hard’, pentungan, gas air mata, sampai dengan senapan akan maju.

Propaganda sebenarnya tidak hanya menyasar pada khalayak kebanyakan, tetapi pada penguasa juga. Dalam arti, berhasilnya propaganda akan mempengaruhi bagaimana ‘jiwa’ dalam diri penguasa juga akan ‘terlatih’. Propaganda tidak hanya akan ‘menyihir’ khalayak, tetapi juga menyihir penguasa. Ujungnya? Ia hanya akan terlatih menapak ‘jalan gampang’, dan akibatnya tidak mau susah-susah berusaha menghayati apa yang sebenarnya sedang dialami yang dipimpinnya. Empati-pun akan mengkerut karena tidak pernah dilatih. Ujungnya? Semau-maunya. Dan tidak hanya itu, satu-satunya ‘sains’ yang dikenalpun hanya ‘sains’ propaganda. Titik.

Hal-hal di atas sebenarnya tidak jauh dari apa yang sering diungkap oleh Ryamizard Ryacudu dalam beberapa diskusi terbatas sebagai ‘perang modern’, yang melibatkan beberapa ‘tahap’: infiltrasi, eksploitasi, politik adu domba, cuci otak, dan terakhir adalah invasi / pencapaian sasaran / penguasaan. Jadi ujungnya adalah: penguasaan. Penguasaan oleh siapa? *** (13-11-2025)

1809. Ijazah Palsu Sebagai Tantangan

15-11-2025

Menurut Arnold J. Toynbee, peradaban adalah juga soal tantangan dan respon. Adanya tantangan dan bagaimana respon komunitas itulah yang akan menentukan peradaban berkembang. Respon akan memerlukan apa yang disebut sebagai ‘minoritas kreatif’. Di sisi lain, tantangan yang begitu besar bisa akan menghancurkan peradaban, misal bencana alam dahsyat. Sedangkan tantangan terlalu kecil relative tidak akan ikut mendorong berkembangnya peradaban. Kasus ijazah palsu (dan surat keterangan ‘kesetaraan’ abal-abal) semakin hari semakin menampakkan diri bukan lagi tantangan kecil bagi republik, tetapi semakin besar dan kemudian apa yang menjadi respon kita terhadapnya semakin terasa bahwa itu akan menentukan juga peradaban republik ke depan.

Dari yang menampakkan diri dalam pemberitaan melalui bermacam kanal informasi, kita bisa melihat bagaimana trio Rismon, Roy Suryo, dan Tifa itu perlahan semakin menampakkan diri sebagai ‘minoritas kreatif’. Sebagai sebuah komunitas, kita seakan dibangunkan lagi terkait peran penting sains dalam hidup bersama. Dengan segala kegeraman, kita dapat melihat dengan sangat telanjang bagaimana sepuluh tahun terakhir sains, ilmu pengetahuan perlahan telah dipinggirkan dalam hidup bersama. Dalam bermacam bentuk dan skalanya, dalam kurun waktu tersebut republik seakan disesaki dengan propaganda tanpa putus. Komplit dengan segala pernak-pernik penyangganya. Dan akibatnya. Ketidak-berpikiran seakan sudah menjadi banal saja, bahkan itu ditebar sambil pecingas-pecingis dengan tanpa beban lagi. Penuh dengan nuansa asal-asalan. Tentu sains atau ilmu pengetahuan bukanlah satu-satunya pendukung dalam bangunan respon, tetapi bayangkan jika dalam sebuah komunitas semakin dijauhkan dari sains dan ilmu pengetahuan?

Maka bisa dikatakan bahwa isu ijazah palsu dan surat keterangan ‘kesetaraan’ abal-abal itu telah menjadi lebih dari sekedar masalah hukum, tetapi sudah terkait erat dengan masa depan peradaban republik. Itulah yang dipertaruhkan sekarang ini. Tentu masih banyak tantangan besar yang menanti bangunan respon kita, tetapi sekali lagi, soal ijazah palsu dan surat keterangan ‘kesetaraan’ abal-abal ini sungguh sudah menjadi salah satu tantangan besar yang menunggu respon tepat dan sebenarnya juga, cepat. Karena jika tidak diselesaikan secara tepat dan cepat maka respon terhadap tantangan (besar) lainnya akan terkendala juga. Dari hal-hal di atas maka sebenarnya kita bisa membayangkan adanya dua kubu, kubu pertama: kumpulan orang-orang yang sudah tidak peduli lagi akan potensi hancurnya peradaban. Kubu kedua, yang cemas akan hancurnya peradaban republik di masa depan. Jika memakai istilah si-Bung, sana mau ke sana, sini mau ke sini. Atau kalau mau terus terang: kubu kacung dan yang tidak. *** (15-11-2025)