1810. Hikayat Sik-Tuan dan Ijazah Palsunya
16-11-2025
Berapa rupiah mesti dikeluarkan demi tepuk tangan berulang? Berapa bingkisan dilempar sehingga kerumunan akan berebut? Berapa perlu ditransfer sehingga ada orang mau pasang badan di depan? Perlahan bertahun-tahun itu semua membentuk keyakinan bahwa semua bisa dibeli dengan uang. Uang akan membentuk bermacam ‘pengakuan’ terhadap dirinya, apapun pengakuan yang dimintanya. Bahkan pengakuan bahwa dirinya adalah raja! Raja yang selalu benar dalam segala ucapan dan perilaku. Ucapan bohong, palsu-pun akan selalu mendapat tepuk tangan. Bahkan ijazah yang palsu itupun akan dilupakan, karena ia adalah raja! Karena ia adalah sik-tuan. Kesadaran akan diri perlahan pula dibentuk oleh hadirnya budak-budak yang terus mengelilinginya. Dan perlahan pula sebenarnya ia menjadi tidak bebas lagi, ‘karena aku punya budak maka aku ada’. Jika budak-budak itu tiba-tiba menjauh? Maka gelisahlah sik-tuan. Maka pula perlahan apa yang diminta budak-budak itupun akan dipenuhinya. Mau uang? Diberi. Mau jabatan? Diberi. Mau korupsi? Silahkan. Mau tambang? Diberi. Mau menang di pengadilan? Diwujudkan. Tetapi perlahan pula, sebenarnya ia sudah bukan 100% sik-tuan lagi, ia telah pula menjadi seorang budak! Orang-orang yang dulu membela atau pasang badan menutupi segala kepalsuannya itu, sekarang bukanlah seorang budak lagi, tetapi juga sik-tuan! Tuan yang akan minta apa saja kepada sik-budak, dan harus dipenuhi. Itulah hikayat sik-tuan dan ijazah palsunya. Dari sik-tuan kemudian bergeser menjadi sik-budak. Budak yang jika pada suatu saat diminta menjual kedaulatanpun akan dilakukannya. Apa saja akan diberikan jika diminta, bahkan jika itu berakibat hancurnya peradaban sekalipun, Tanpa beban. Pesan moralnya adalah, jangan sampai republik dipimpin (lagi) oleh orang dengan ijazah palsu atau surat keterangan ‘kesetaraan’ abal-abal. Sungguh nantinya, republik langsung atau tidak langsung akan diperbudak oleh sik-tuan-tuan dengan nafsu gelap tanpa batas itu. Hancur-hancuran. *** (16-11-2025)
1811. Sepuluh Tahun dalam Gua, Paling Tidak ...
18-11-2025
Sepuluh tahun republik ‘dipaksa’ hidup dalam gua, dan ‘dirantai’ sehingga tidak hanya tidak bisa bergerak, tetapi kepala hanya mungkin melihat ke depan saja. Dan di depannya, di permukaan dinding gua bergantian bermacam bayangan silih berganti datang. Termasuk paling awal adalah bayangan mobil nasional, misalnya. Dan republik yang dirantaipun kemudian meyakini itu sebagai kebenaran. Bersoraklah mereka. Horééé …. Tetapi ternyata ada sedikit yang berhasil melepaskan diri dari rantai, menjadi mampu berdiri dan menengok ke belakang, dan baru sadar bahwa bayangan itu hanyalah mobil-mobilan bahan praktek anak-anak SMK otomotif yang digerakkan maju-mundur dengan cahaya dari belakang, bayangan dari itulah yang jatuh di dinding gua. Cahaya dari api unggun. Segera saja setelah mengetahui yang ‘lebih benar’ dari bayangan di dinding gua itu ia memberitahu lainnya yang masih dirantai. Sayangnya hampir semua tidak percaya pemberitahuannya, dan memilih tetap mempercayai bayangan mobil nasional yang ada di dinding gua itu. Cerita di atas adalah pengembangan bebas dari Alegori Gua dari Platon, lebih dari dua ribu tahun lalu.
Dan kita bisa membayangkan apa yang terjadi dengan peristiwa Kebangkitan Nasional itu? Mungkinkah itu adalah benih-benih dimana mulai ada yang mampu melepas rantai (penjajahan) sehingga ia bisa melihat hal yang lebih benar dari sekedar bayangan di dinding gua? Semakin lama semakin banyak yang mampu melepaskan diri dari rantai, dan tidak hanya mampu melihat hal lebih benar tetapi dengan tanpa lelah memberitahu siapa saja yang masih dirantai. Kadang berhasil, tetapi seringnya tidak. Menyerah? Tidak, bahkan masuk penjarapun terus dilakukan. Maka memang perlu waktu panjang, perlu banyak pengorbanan sehingga tiga-puluh-tujuh tahun kemudian setelah bangkit baru bisa bicara soal proklamasi kemerdekaan. Itupun belum selesai-selesai juga. Judul ‘sepuluh tahun dalam gua’ lebih menunjuk pada sebuah pelajaran berharga bagi republik ketika propaganda menjadi begitu massif dan terstrukturnya. Ketika ideological apparatus dalam bermacam bentuknya dimainken dalam satu orkestrasi dengan repressive apparatus, dan menyihir-mengurung seakan kita terus saja meng-iya-kan bermacam ‘fakta alternatif’ yang terus saja disodorkan.
Maka tidak berlebihan jika kemudian dirasakan bahwa sepuluh-tahun dalam gua itu sebenarnya tidak jauh-jauh amat dengan situasi terjajah. Tentu sudah banyak yang melakukan perlawanan terhadap penjajahan ini, dengan siap pula menanggung resikonya. Banyak, dan juga tanpa henti terus menerus ‘memberitahukan’ lainnya tentang sesuatu lebih benar yang sedang dihadapi. Ketika trio RRT tanpa henti dan tanpa takut mempermasalahkan dugaan palsunya sebuah ijazah dan surat keterangan ‘kesetaraan’ abal-abal, republik beruntung tidak hanya semakin tersingkapnya sebuah ‘misteri’, tetapi juga pendekatan yang dipakai: ilmu pengetahuan atau sains. Sepertihalnya dulu saat perjuangan kemerdekaan, bagaimana ilmu pengetahuan digunakan untuk membangunkan kesadaran khalayak kebanyakan. Tanpa henti. Kita bisa melihat dengan telanjangnya, bagaimana sepuluh tahun itu tidak hanya korupsi, kong-ka-li-kong, pat-gu-li-pat, mafia ini mafia itu, oplos ini oplos itu, perampokan kekayaan sumber daya alam habis-habisan, tetapi juga terjadi pembodohan luar biasa. Bagaimana ilmu pengetahuan atau sains dipinggirkan dengan brutalnya. Dunia pendidikan juga dirusak. Perguruan tinggi dijerumuskan pada lumpur kehinaan. Rusak-rusakan.
Maka isu ijazah palsu dan surat keterangan ‘kesetaraan’ abal-abal itu bukan hanya soal penyingkapan ‘misteri’ tetapi juga sedikit demi sedikit bagaimana hasrat akan ilmu pengetahuan dan sains kembali ditumbuh-kembangkan. Tidak mudah, karena bagi ‘mereka’ yang dipertaruhkan adalah ribuan triliunan rupiah yang sudah, sedang, dan akan dinikmati. Tidak hanya triliuan, puluhan, ratusan, tetapi ribuan triliun rupiah! Gila. Dari RRT dan orang-orang sekitarnya, kita sedikit bisa menyaksikan bahwa tidaklah terlalu benar bahwa kepakaran telah mati. Sayangnya, yang dihadapi adalah orang-orang yang telah mati kehormatannya. Dan ‘mereka’ yang ikut menikmati adanya ijazah palsu dan surat keterangan ‘kesetaraan’ abal-abal ini akan melakukan apa saja untuk bertahan, untuk bisa terus menikmati kenikmatan merampok republik. Jika kehormatan sudah tidak ada, memang terus apa bedanya dengan binatang? *** (18-11-2025)
1812. UGM Salah Kostum
19-11-2025
Ha … ha … ha …
Pecas ndhé, dab …
Klik, salah satunya:


1813. Menyelamatkan Klaster-klaster
22-11-2025
Kerusakan republik selama paling tidak sepuluh tahun terakhir ini bisa dilihat dari bagaimana hampir semua klaster hidup bersama menjadi compang-camping. Tentu banyak pendapat apa yang semestinya dilakukan sehingga kerusakan yang hampir paripurna ini akan diperbaiki. Mana yang berdaya ungkit terbesar mungkin saja menunggu untuk terindentifikasi, tetapi apapun itu upaya memperbaiki di klaster-klaster tertentu perlu didukung. Tidak perlu memaksakan untuk ‘berjejaring’ demi kuatnya ‘gerakan perbaikan’ karena pada dasarnya ‘jaringan’ itu sudah ‘tersedia’ paling tidak ‘pintu masuknya’ melalui berkembangnya modus komunikasi via jaringan digital-internet. Yang perlu diperhatikan adalah stamina untuk terus maju, bahkan jika itu harus diulang dan diulang. “Repetitio est mater studiorum", pengulangan adalah ibu dari pembelajaran.
Mengapa hal di atas perlu dilakukan? Jika kita lihat bermacam penampakan paling tidak dalam sepuluh tahun terakhir, nampak bahwa ‘membuat tidak berdaya’ adalah salah satu taktik andalan dari rejim terdahulu. Serangan (tertuju pada khalayak kebanyakan) datang dari berbagai penjuru, dengan sudah tanpa beban lagi. Akibatnya? Salah satunya adalah hampir semua klaster hidup bersama menjadi compang-camping seperti sudah disinggung di atas. Tidak hanya itu, ‘prakondisi teknis’ bagi tegak dan berkembangnya republikpun ikut-ikutan rusak, compang-camping. Tulisan ini adalah dukungan penuh terhadap apa yang terus diupayakan oleg trio RRT terkait dengan isu ijazah palsu dan surat keterangan ‘kesetaraan’ abal-abal yang semakin ‘memuncak’ hari-hari ini. Dukungan terhadap upaya ‘menghidupkan’ kembali peran penting (klaster) sains dan ilmu pengetahuan dalam hidup bersama. Sepertihalnya ketika klaster yang digarap melalui sekuel Dirty Vote dari Dandhy Laksono dkk. Atau yang tanpa lelah melibati klaster-klaster lainnya. Semua perlu didukung untuk melawan taktik ‘membuat tidak berdaya’ atau bahkan upaya membuat bodoh warga-negara para pembayar pajak yang terhormat.[*]
Perlawanan-perlawanan dari bermacam klaster itulah yang juga dibayangkan Negri dan Hardt dalam bermacam tulisannya di sekitar pergantian abad ini, untuk melawan Empire yang pasti akan ugal-ugalan dalam merampok kesejahteraan umum. Yang dipotret juga oleh Thomas Piketty dalam Capital in the Twenty-First Century (2013) terutama data ketimpangan ugal-ugalan, seakan kembali lagi ke abad 18-an. Dan apa syarat utama supaya perlawanan ini akan lebih berdaya? Jika memakai istilah jaman pergerakan doeloe: non-kooperasi! Mengapa? Karena sebenarnya, sana mau ke sana, sini mau ke sini! *** (22-11-2025)
1814. Lenyapnya Negara Hukum
24-11-2025
Pasal 1 UUD 1945 hampir 25 tahun lalu mengalami perubahan, salah satunya ditambahkan satu ayat: (3) Negara Indonesia adalah negara hukum. Konteksnya atau nuansa kebatinannya adalah pengalaman lebih dari 25 tahun sebelumnya, ketika negara lebih berjalan berdasarkan kekuasaan. Semau-maunya. ‘Mantra’ penambahan ayat ke-tiga pasal 1 UUD 1945 itu nampaknya menghilang setelah 15 tahun kemudian, dan seterusnya. Negara kembali menjadi semau-maunya. Para ‘penjaga’ hukum itu banyak yang berkembang dengan hilang kehormatan. Ketika kehormatan melenyap, apapun rutenya sampai ke sana, maka dapat dilihat secara telanjang kuasapun kemudian menjadi semau-maunya, dengan tanpa beban lagi.
Kehormatan bagi ‘penjaga’ hukum bisa dibaca juga sebagai hal etika. Bahkan bisa dikatakan etika akan mendahului bagaimana kehormatan ‘penjaga’ hukum ini akan menjalankan peran pentingnya. Juga terkait dengan kehormatan ini adalah ‘keutamaan’ tahu batas. Kehormatan akan selalu mengandaikan ke-tahu-an-akan-batas juga. Terutama 10 tahun terakhir, soal ‘tahu batas’ ini sungguh seakan melenyap di ruang-ruang publik, terutama di ranah negara. Mengapa ‘tahu batas’ ini begitu mudah melenyap? Menjadi ‘tahu batas’ itu perlu upaya lebih dibandingkan ‘tidak tahu batas’. ‘Tidak tahu batas’ akan lebih mudah ‘diserap’ oleh kebanyakan orang, seperti dibayangkan Toynbee tentang psikologi pertukaran budaya dimana sinar budaya dengan ‘nilai’ rendah justru akan lebih mudah diserap. Yang kedua, ‘jalan gampang’ seperti halnya sikap’tidak tahu batas’, sama-sama menggiurkan. Dan bagaimana jika seorang ‘pemimpin’ begitu dalam serta berulang dan berulang terdidik dengan ‘jalan gampang’? Hanya dengan persekutuan dari dua hal di atas saja maka carut-marutnya dalam membangun respon terhadap bermacam tantangan yang muncul sudah bisa dibayangkan amburadulnya. Apalagi jika diiringi oleh nafsu ke-megalomania-an. Komplit. Ketika produksi kuasa berjalan seperti di atas maka bisa dibayangkan bagaimana ‘basis’ yang sudah lama berjalan dalam modus ‘kapitalisme kroni’ itu akan semakin menggila saja. Yang terjadi adalah spiral saling menguatkan, naik terus sampai pada dataran kegilaannya. ‘Gila di ruang publik’ karena semakin tidak mengenal lagi apa itu publik. Tidak ada lagi apa itu common good.
Ketika hukum dalam bermacam penampakkannya dipermainkan habis-habisan, masih adakah itu ‘negara hukum’? Dan ketika Pasal 1 ayat (2) “Kedaulatan berada di tangan rakyat” juga telah disekaratkan sambil pecingas-pecingis dan jogetan, masih adakah republik? Bukankah kita sebenarnya sedang menghadapi ancaman serius terkait ‘bentuk dan kedaulatan’ republik seperti ditulis di Bab I Pasal 1 UUD 1945? Dan apa di balik soal ‘bentuk dan kedaulatan’ itu? Bukankah pada awalnya adalah juga soal ‘batas’?
Di awal decade 1970-an, Hofstede membedakan komunitas dengan power distance tinggi dan rendah, sebagai salah satu kesimpulan dari penelitian di cabang-cabang IBM di seluruh dunia antara tahun 1963-1973. Power distance tinggi berarti perbedaan distribusi kekuasaan diterima komunitas sebagai biasa-biasa saja, sedangkan pada yang rendah, perbedaan distribusi itu akan mengusik, lebih mudah untuk mempertanyakan. Rata-rata komunitas di Asia dimasukkan dalam komunitas dengan power distance tinggi, termasuk republik. Apapun itu mau dijelaskan apa yang melatarbelakangi kesimpulan tersebut, kita bisa membayangkan bahwa itu juga bisa berarti potensi ugal-ugalannya penguasa bisa akan membesar pula. Mungkinkah ini yang menyebabkan ‘jalan amok’ bisa muncul ketika ugal-ugalannya penguasa itu semakin tidak bisa ditelorir? Mungkin saja. Maka pertanyaannya adalah, bagaimana jalan sebelum ‘jalan amok’ itu? Apakah kita bisa mulai dari pertanyaan Spivak: can subaltern speak?
Maka dasar dari segala pendidikan sebenarnya adalah: bicara, bicara, bicara. Bahkan dalam ‘pendidikan klasik’, retorika yang merupakan salah satu bagian dari trivium bisa dikatakan adalah ‘axis mundi’ dari dua lainnya, grammar dan logika. Bahkan menurut Mangunwijaya, poros dari peradaban Barat (kita suka atau tidak) bertumpu pada retorika ini. Dan trivium ini yang akan memberikan pondasi terhadap quadrivium dalam pendidikan selanjutnya. Maka salah satu ‘pendidikan berkelanjutan’ penting bagi siapa saja yang terlibat dalam PAUD, TK, dan juga SD adalah ‘seni bercerita’. Tentu dengan disiapkan pendukungnya, buku-buku cerita yang berkualitas dan juga alat-alat peraga lainnya. Mengapa bercerita bisa menjadi pintu masuk penting? Karena rute meniru. Anak-anak melihat, mendengar cerita yang dibacakan dari buku bisa saja mulai tumbuh kepenasarannya terhadap ‘kata-kata’. Dan selanjutnya, biasakan anak-anak berani bicara, dan tidak hanya itu, teman lainnya dibiasakan untuk memberikan apresiasi ketika temannya bicara. Apa ‘kurikulum tersembunyi’ dari ‘pembiasaan’ ini? Salah satunya belajar akan ‘batas’. ‘Batas’ yang terus dimajukan dengan semakin bertambahnya pengetahuan melalui ‘kata-kata’, dan tentu juga pengalaman keseharian bersama teman-temannya. Itupun akan lekat dengan kata-kata untuk membagikan pengalamannya itu. Bahkan kata-kata itu adalah soal ‘batas’ juga. Dalam quadrium, ‘kata-kata’ ini akan menemukan ‘jembatan’ pada angka-angka salah satunya melalui musik.
Beberapa hal di atas disinggung karena ‘negara hukum’ untuk pelembagaannya perlu ‘prakondisi sosial’ juga. Tanpa ada prakondisi sosial, kuasa yang sudah 'berasumsi' bahwa dirinya akan dilihat ‘lebih sebagai yang putih’ (akibat ada dalam komunitas dengan power distance tinggi) oleh khalayak kebanyakan dengan akibat lanjutnya: ugal-ugalan dengan tanpa beban lagi, termasuk juga di sini: merecoki soal hukum, maka ‘negara hukum’ akan selalu dalam resikonya. Apapun itu, termasuk hukum justru digunakan untuk membungkam. *** (24-11-2025)
