1830. Nasionalis Sontoloyo

20-12-2025

Nasionalis sontoloyo adalah yang menempatkan narasi nasionalisme di atas persoalan kemanausiaan. Lupa bahwa yang disebut dengan nasion itu adalah juga (kumpulan) manusia. Nasionalis sontoloyo adalah demen-nya bernarasi nasionalisme yang pada saat sama meminggirkan keberpikiran. Lupa bahwa hal mendasar mengapa manusia menjadi berbeda dengan binatang misalnya, adalah berpikir. Nasionalis sontoloyo adalah narasi nasionalisme yang menjauh dari etika, lupa bahwa ketidakberpikiran itu akan menipiskan rasa merasa soal etika. Nasionalis sontoloyo adalah narasi nasionalisme yang akhirnya hadir cuma sebagai tirai tebal dari keserakahan segelintir orang saja. Menjadi tirai tebal bagi kesenjangan yang menganga dan terus saja melebar. Nasionalis sontoloyo adalah narasi nasionalisme sok-sok-an, gegayaan, yang demen tepuk tangan saja.

Hal-hal di atas membuat para nasionalis sontoloyo itu mempunyai potensi besar terjerembab pada apa yang disebut Hannah Arendt dengan banality of evil. Ketidak-berpikiran selama lebih dari 10 tahun terakhir, ketika masuk dalam narasi gegap gempitanya nasionalisme, akhirnya menampakkan diri menjadi begitu gagap ketika masalah kemanusiaan hadir di depan mata. Nge-bacot tidak karu-karuan, semau-maunya. Dengan ketidak-berpikirannya yang nyaris menjadi ‘paradigma’ itu dan dapat rejeki nomplok! Sebuah lapangan bermain baru baru: lapangan yang dibangun dengan narasi nasionalisme. Akhirnya, muncul dan bermunculan dengan tanpa beban bahkan dengan serta merta: sik-nasionalis sontoloyo itu. Yang gagap dalam merespon masalah kemanusiaan, yang gagap dalam berpikir, yang menjauh dari etika, yang tetap asal mangap asal njeplak. Yang (tetap) tidak peduli nasib warga negara miskin dan tertinggal, dan bahkan seakan menemukan tirai baru nan tebal yang akan menyembunyikan keserakahan paripurna tanpa ujung itu.

Senyawa ketidak-berpikiran yang sudah merebak selama sepuluh tahun terakhir ini dengan narasi nasionalisme bisa-bisa akan menjerumuskan republik seperti digambarkan C.P. Snow di sekitar tahun 1960-an: "When you think of the long and gloomy history of man, you will find that far more, and far more hideous, crimes have been committed in the name of obedience than have ever been committed in the name of rebellion". Jelasnya: fasisme. *** (20-12-2025)

1831. Hal Besar dan Para Cecunguk

21-12-2025

Maksud baik itu akan selalu butuh prasarana. Bahkan dalam ranah negara, maksud baik dalam sebuah keputusan politik atau narasi politik tidak hanya butuh prasarana atau prakondisi teknis, ia perlu juga prakondisi sosial. Menyampaikan dengan segala ketulusan -apapun itu, katakanlah ia memang bermaksud demikian, itu baru separuh napas saja. Napas berikutnya adalah soal prasarana, atau hal teknis. Makanya juga istilah teknokrasi itu ada. Jika maksud baik ternyata berhasil juga membangun prasarananya, atau hal teknis terbangun dengan mak-nyus, prakondisi sosial akan semakin terbangun juga. Bisa dikatakan kemudian, maksud baik itu akan menjadi maksud baik yang terdukung.

Prakondisi teknis akan selalu melibatkan ‘sistem’ dan ‘aktor’. Para cecunguk seperti dalam judul adalah soal ‘aktor’. Sebenarnya dalam satu tahun (lebih) pemerintahan baru ini siapa cecunguk-nya sudah bergantian muncul. Tanpa beban, tanpa sungkan, memang dasar cecunguk. Jika ada istilah ‘matahari kembar’, satu matahari (masih) berjanji besar, matahari lainnya adalah matahari cecunguk itu. Hasilnya? Janji tetap janji, bahkan harapan terhadap janji itu semakin lama semakin menipis. Kata-kata dari penulis Swedia Henning Mankell (1948-2015) sedikit banyak menggambarkan situasi itu: “the evil always comes from details.” Detail-detail, pernak-pernik eksekusi atau bahkan kebijakan sectoral yang banyak masih di tangan para cecunguk membuat penampakan rejim lebih sebagai rejim evil saja. Bahkan cecunguk-cecunguk semakin ‘berani’ semau-maunya, lebih berani asal mangap asal njeplak, karena toh semua akibat akan ditanggung oleh ‘pemberi janji’, matahari satunya itu. Dan kemudian cecunguk-cecunguk itu berharap ‘matahari janji’ itu akan bilang pada khalayak kebanyakan bahwa ia tidak bisa sim-sa-la-bim, karena tidak punya ‘tongkat Nabi Musa’. Dan minta kesabaran (lagi) dan per-maklum-annya. Lupa bahwa ‘matahari janji’ atau siapapun itu, memang tidak punya ‘tongkat Nabi Musa’ -semua orang tahu itu, tetapi ia kan punya ‘tongkat hak prerogatif’. Hak atau ‘tongkat’ yang sebenarnya bisa digunakan untuk menyingkirkan cecunguk-cecunguk itu. Maka, berani tidak? *** (21-12-2025)

1832. Berburu Iblis

22-12-2025

Dua tahun lagi kita merayakan ulang tahun ke-30 lukisan Djoko Pekik: Berburu Celeng. Lukisan yang bercerita tentang masa lalu yang sering bernuansa perilaku layaknya seekor cèlèng (KBBI: babi hutan, babi liar). Akankah Gen-Z di masa depan, atau bahkan beberapa tahun ke depan akan membuat lukisan berjudul: Memburu Iblis? Atau membuat novel-fiksi dengan judul sama? Atau sebuah ‘game’? Dengan prolog ‘perburuan’ ijazah palsu dan surat keterangan kesetaraan abal-abal itu? Iblis karena jika orang-orang itu memang benar-benar manusia -dan bukan iblis, maka ia dengan riang gembira dan dengan serta-merta akan menunjukkan ijazah yang dipunyainya (jika ada) dan mempersilahkan semua saja untuk mengujinya. Demikian juga surat keterangan kesetaraan abal-abal itu. Tidak seperti iblis yang sering tidak mau menampakkan diri, dan seringnya berbuat jahat melalui tangan-tangan orang-orang lemah -misalnya karena sandera kasus, atau orang-orang serakah. Atau dengan orang-orang yang mau masuk dalam sebuah faustian bargain. Bagi para pendahulu yang mau berkorban bahkan nyawa sekalipun demi terwujudnya sebuah proklamasi, iblis adalah yang mau saja menggadaikan kedaulatan, menjual republik, merampas kekayaan republik sambil meninggalkan kemiskinan kronis tanpa ujung. Bahkan karena pada dasarnya memang adalah iblis, republik dijual dengan tanpa beban lagi, sambil pecingas-pecingis, sambil glécénan, sambil jogetan.

Iblis tentu tidak akan mau atau mampu melihat sisi kemanusiaan, bahkan dalam sebuah bencana sekalipun. Dia -sik-iblis, akan menyuruh orang lemah itu untuk ngebacot bahwa bencana hanya mencekam di media sosial saja. Ia akan menyuruh orang lemah itu untuk bergaya memanggul beras untuk difoto, untuk gegayaan sok-sok-an. Bahkan jika perlu pamer makan enak nan berlimpah di tengah daerah bencana, sambil menghisap cerutu mahalnya! Iblis akan menyuruh seorang pejabat berteriak-teriak mendukung presiden seumur hidup di tengah-tengah kelamnya bencana. Iblis akan menyuruh seorang pejabat untuk dengan tanpa beban justru meninggalkan rakyatnya dalam bencana, dia sendiri malah pergi ke luar negeri. Dan iblis pula yang akan menyuruh pejabat seperti ini jangan dipecat. Kesayangan iblis tentu harus terus beredar. Iblis akan menyuruh juga seorang pejabat tinggi untuk ngebacot bahwa bantuan kemanusiaan dari negara tetangga itu tidaklah seberapa. Iblis akan menyuruh pejabat yang ngurus makan gratis itu main golf di tengah-tengah banyak masalah muncul di makan gratis termasuk ketika simpang-siur apakah ketika sekolah libur dana makan gratis masih terus dipakai juga? Sekaligus itu dinampakkan saat saudara-saudara jauhnya sedang ditimpa bencana. Emang loe siapa, demikian mantra ajaib yang selalu dibisikkan iblis pada orang-orang lemah itu. Iblis yang menyuruh seorang petinggi untuk ngebacot pada khalayak kebanyakan supaya mengunggah di dunia maya hal-hal baik saja. Dan bermacam lagi banyaaak penampakan yang jika ditelisik lebih jauh, itu adalah bagian dari sebuah orkes dengan dirigennya: sik-iblis. *** (22-12-2025)

1833. Web of Words

24-12-2025

Bagaimana jika dibayangkan bahwa dalam web of life-nya Capra itu ada web of words juga? Bermacam peran sentral kata, peran bahasa dalam hidup manusia sudah banyak dibahas. Bahkan George Orwell dalam novel 1984 juga memperkenalkan apa yang disebutnya sebagai newspeak. Jika kita membayangkan adanya pembedaan antara negara, pasar, dan masyarakat sipil apakah ada ‘jaringan kata’ yang berbeda? Ataukah ada bermacam ‘jembatan’ yang saling menghubungkan antar ‘jaringan kata’ itu? Ataukah sebaiknya meski ada pembedaan ‘ranah’ seperti di atas, ‘jaringan kata-kata’-nya sama? Tetapi apapun itu ada hal menarik terkait dengan bencana banjir di Sumatera sebulan ini, banyak lontaran kata-kata dari pemegang otoritas perlahan semakin menampakkan diri bagaimana ‘jaringan kata-kata’-nya itu bisa menggambarkan ‘sesuatu’ memang betul-betul ada. Meminjam istilah dalam korupsi misalnya: ikuti uangnya, maka kita bisa berangkat juga dengan telisik: ikuti kata-katanya. Sejak kata-kata itu ‘diproduksi’, keluar dan dilempar ke ranah publik. Baik kata-kata verbal maupun keluar dari bahasa tubuh.

Ada kata-kata sungguh sontoloyo dalam arti apapun, keluar dari bacot beberapa (banyak) pemegang otoritas dalam berbagai tingkatan dan fungsinya,[1] dan bagaimana jika itu kemudian dipetakan dan dihubungkan satu sama lain? Dan dilihat dengan ‘berjarak’? Akankah kita sedang menggambar sebuah ‘jaringan kata-kata’? Dan bagaimana ketika ‘jaringan-sontoloyo’ itu tercangkokkan dalam nuansa keseluruhan dari web of life dalam peristiwa bencana dalam hal ini? Yang bahkan ‘struktur jaringan’ tersisa bagi yang terdampak langsung bencana sangat mungkin hanyalah ‘jaringan kata-kata’?

Dalam pendidikan klasik sejak jaman Yunani Kuno, dikenal adanya trivium dan dilanjutkan dengan quadrivium. Trivium terdiri dari grammar, logika, dan retorika. Quadrivium terdiri dari aritmetika, geometri, musik, dan astronomi. Bisa dikatakan, trivium titik beratnya pada kata, bahasa, sedangkan quadrivium pada angka. Musik misalnya, itu adalah juga soal angka dalam ‘aliran’-nya. Pendidikan klasik yang terdiri dari trivium dan quadrivium ini sering disebut juga sebagai liberal arts, dalam arti: pendidikan yang membebaskan. Dengan bahasa akan lebih mampu menjadi manusia merdeka, dan dengan angka lebih mampu untuk tidak terkungkung oleh alam. Apalagi ketika bahasa juga ikut dikembangkan dan mengembangkan logika, dan mampu mengungkapnya dengan retorika yang baik.

Maka betapa jahatnya beberapa petinggi yang tega-teganya mengeluarkan kata-kata (verbal maupun bahasa tubuh) sontoloyo, bahkan juga tipu-tipu di tengah-tengah bencana. Ini bukanlah soal omon-omon atau tidak, tetapi lebih dari itu web of words seperti itu akan mengubah rasa-merasa soal web of life dalam hidup bersama. Ataukah sebenarnya mereka-mereka itu adalah bagian dari web of evil? Semakin ‘diikuti kata-kata’-nya semakin tersingkap saja wujud iblisnya. Demikian juga para petinggi program makan gratis bergizi itu, terlebih ketika ditempatkan dengan latar belakangnya: bencana. Iblis yang demen-nya pada uang. Uang, uang, uang. Baru lainnya, seks misalnya. Atau gila hormat. *** (24-12-2024)


[1] Lihat Sebagian di: https://pergerakankebangsaan.org/tulsn-152, no. 1832: Berburu Iblis

1834. Tidak Boleh Lebih Baik Dari Mukidi!

25-12-2025

When small men attempt great enterprises, they always end by reducing them to the level of their mediocrity, demikian pernah dikatakan Napoleon. Dalam ranah kuasa, bagaimana small men bisa-bisanya attempt great enterprises? Machiavelli menunjukkan bahwa factor keberuntungan bisa memainkan peran pentingnya. Bahkan termasuk pula keberuntungan dari sik-small men dalam hal ini. Dalam rejim apapun, termasuk rejim demokrasi, hal ini adalah salah satu kemungkinannya. Tetapi kita bisa membayangkan pula berangkat dari pemikiran Machiavelli di tempat lain, bahwa keberuntungan itu lebih lekat saat ‘merebut kuasa’, dan jika tidak hati-hati saat ‘penggunaan kuasa’ factor keberuntungan justru bisa-bisa akan mengantarkan kuasa di bibir jurang kehancurannya. Kutipan ungkapan Napoleon di ataspun bisa kita bayangkan terbagi dua, yaitu saat merebut kekuasan yang memungkinkan small men attempt great enterprises: karena adanya factor ‘keberuntungan’ itu misalnya, bagian kedua: kegagalan dalam menghayati ‘keberuntungan’ saat ‘merebut kuasa’, padahal ia sekarang sudah ada dalam rentang ‘penggunaan kuasa’, akibat di ujung: they always end by reducing them to the level of their mediocrity. Semestinya saat ‘penggunaan kuasa’ factor keberuntungan jangan sekali-kali ditempatkan di depan lagi, ia diganti dengan apa yang disebut sebagai virtue, dalam hal ini adalah respon tepat terkait dengan situasi terus berkembang. Pada suatu saat Machiavelli memang pernah bertanya pada Sang Pangeran, anda itu sedang merebut kekuasaan atau menggunakannya? Karena Machiavelli saat itu membayangkan bahwa soal merebut kuasa dan saat menggunakan kuasa itu memang bisa sangat berbeda.

Bayangkan ketika ‘semangat jaman’ seakan menempatkan lagi ‘propaganda’ di pusat gravitasi politik? Apa yang terjadi ketika mesin cetak massal ditemukan? Ketika radio, film, televisi merebak? Ketika pengeras suara bisa mencapai pendengar di sudut terjauh dari sebuah lapangan? Bahkan pada tahun 1967 Guy Debord melansir istilah the society of the spectacle. Tiga-puluh sembilan tahun kemudian kata post truth dibaptis sebagai word of the year oleh Oxford Dictionaries. Atau lihat, 50 tahun sebelum Guy Debord melansir istilah the society of the spectacle, Woodrow Wilson membentuk Komite Creel yang tugasnya mencari dukungan warga AS untuk terlibat dalam Perang Dunia I. Dan itu adalah cikal-bakal berkembangnya ‘propaganda modern’. Bagaimana ketika ‘keberuntungan’ itu berjalan beriringan dengan propaganda? Ada small men yang ‘dipompa, dipompa, dan dipompa’ terus menerus sehingga seakan-akan memang mak-nyus adanya. Seakan sedang berselancar dengan ringan dan gampangnya di atas gelombang ‘semangat jaman’: propaganda. Propaganda yang seakan kemudian membentuk realitas baru terutama bagi sik-small men. Dan tentu juga bagi khalayak kebanyakan sik-sasaran bidik utamanya. Tetapi apakah sejarah atau perjalanan hidup bersama akan (selalu) ditulis seperti itu?

Richard Robinson dua tahun (2016) setelah segala euphoria akibat segala propaganda di atas, justru berpendapat sebaliknya. Republik tidak akan menjadi besar atau kuat seperti dibayangkan saat itu, demikian pendapat kontranya. Mengapa? Persis karena tidak sadarnya bahwa soal merebut kuasa itu bisa berbeda dengan saat penggunaan kuasa. Robinson menunjuk kegagalan pengelola negara (yang dielu-elukan itu) dalam merefleksikan kepentingan nasionalnya pada kepentingan internasional (yang terus berubah). Artinya, gagal masuk dalam ruang-ruang dialektis kongkret. Mengapa sampai segitunya? Bahkan sampai sekarang-pun, yang dielu-elukan dulu itu masih saja pakai resep (keberuntungan) sama: maunya tetap berselancar di atas gelombang propaganda. Semua masalah pilihan pertama pemecahannya adalah: propaganda. Lihat bagaimana isu ijazah palsu itu direspon misalnya, dengan telanjang bagaimana prinsip-prinsip propaganda maju pertama kali. Diulang dan diulang. Maka tidak mengherankan perlahan sik-small men itu berkembang tidak hanya merasa diri sebagai yang mak-nyus, tetapi juga ‘yang maha benar’. Bahwa itu melibatkan propaganda, tebaran uang, tebaran jabatan, ancam sana ancam sini dengan sandera kasus, tetap saja ia merasa tidak hanya ‘yang maha besar’ tetapi bahkan juga ‘sumber realitas’. Realitas favoritnya adalah yang mau merawat dan menjaga keberuntungannya. Dan siapa itu? Kesayangannya adalah para relawan-relawan yang tidak bubar-bubar juga setelah pemilihan selesai. Bahkan terus dipelihara untuk merawat dan menjaga keberuntungannya itu. Lainnya adalah yang pegang senjata, dan yang pegang uang.

Adanya relawan-relawan baik yang ‘terorganisir’ atau sporadic muncul saat diperlukan dengan segala aksi histerisnya, itulah juga yang membuat sik-small men ini gagal masuk dalam ruang-ruang dialektis tempat dimana masalah-masalah kongkret akan menampakkan diri. Dimana itu juga adalah tempat politik sebenarnya diharapkan berkembang. Dimana dalam ruang-ruang dialektis itu juga muncul dinamika yang memungkinkan sebuah ‘kelahiran baru’ ketika manusia-manusia kongkret mampu mengeluarkan segala kapasitas diri, dan dengan itu ia berinteraksi satu sama lain. Dan persis dalam hal inilah republik menjadi compang-camping, gagal memperbesar potensinya dalam menyongsong ‘kelahiran-kelahiran baru’-nya. Karena sik-small men itu lebih memilih reducing them to the level of their mediocrity.

Maka segala dinamika isu ijazah palsu dan surat keterangan kesetaraan abal-abal, dan bahkan juga bagaimana bencana banjir itu ditangani, adalah bagian dari upaya republik dalam merawat potensi ‘kelahiran-kelahiran’ baru. Upaya republik untuk meloloskan diri dari ‘perangkap kemediokeran’, yang jika itu diterus-teruskan maka sangat mungkin akan terjadi spiral ke bawah, seperti sedang masuk dalam perlombaan menuju dasar (kehancuran). Judul tulisan adalah dalam konteks ini, seakan segala kegilaan sik-small men itu telah membunuh potensi republik ‘dilahirkan kembali’ untuk masuk dalam situasi yang lebih baik. Maka jika sekali-dua-tiga-kali muncul kata-kata people power, itu sah-sah saja. Kata orang, salah satu insting dasar makluk hidup adalah mempertahankan hidup: siapa mau hidup bersama ini meluncur dalam kehancurannya? Dan, memangnya republik ini milik mbah-mu?! Tidak-lah. Selamat Natal, cuk *** (25-12-2025)