1090. Republik Di Tangan Kaum Krematistikos

20-02-2023

Aristoteles membedakan antara oikos-nomos, ekonomi, dan chrematistics. Chrematistics merupakan upaya pencarian uang demi uang itu sendiri, dan lebih untuk kepentingan diri sendiri. Contoh paling ‘radikal’ adalah mekanisme ‘uang-uang’, tanpa melibatkan barang. Yang melibatkan ‘barang’ contoh di depan mata, mafia impor pangan itu. Apa yang mau ditekankan di sini adalah, ekonomi di ranah negara, apakah nuansanya semakin ke arah oikos-nomos atau chrematistics ini? Apakah kita sekarang sedang melihat dengan terang-benderang matinya oikos-nomos itu? Biden yang berupaya membangun ekonominya untuk lebih ke arah ‘greater goods’, ke arah semakin banyak yang bisa menikmatinya, pada dasarnya juga ingin menghidupkan lagi ekonomi ke arah oikos-nomos itu.

Jika kita membayangkan ‘politik pintu terbuka’, paling tidak kita sudah merasakan sebanyak 3 kali, pertama saat UU Agraria mulai berlaku di jaman Hindia Belanda dulu, di bagian akhir abad 19. Kedua di tahun 1965, dan ketiga tahun 1998. Politik pintu terbuka adalah ketika modal yang dibawa kaum krematistikos itu sudah sampai di depan pintu gerbang dan menggedor-gedor pintu dengan kerasnya. Supaya dibuka lebar-lebar. Dan sebagian besar pintu menjadi terbuka dengan tidak mudahnya, dan bahkan sejarah mencatat dengan korban manusia yang tidak sedikit. Di belakang para krematistikos ini tidak hanya ‘modal tanpa nyawa’, tetapi juga hasrat gelap manusia yang bisa-bisa buta terhadap bermacam hal, buta terhadap bermacam sisi kehidupan manusia, baik dalam hidup bersamanya maupun hidup individunya. Kita bisa melihat misalnya, bagaimana mafia impor pangan ini bisa begitu menghambatnya oikos-nomos ‘keluarga besar’ bangsa. Mereka menjadi buta terhadap nasib petani yang ada dalam ‘keluarga besar’ bangsa. Dan sekarang misalnya juga, rencana ‘menjual’ bandara Soekarno-Hatta dan bandara Ngurah Rai itu. Mereka sudah menjadi buta terhadap nasib seluruh ‘keluarga besar’ bangsa. Akankah ini semua bisa dihentikan hanya dengan darah mengalir dan nyawa-nyawa harus dipertaruhkan? *** (20-02-2023)

1091. Mangan Ora Mangan Asal Ngibul

20-02-2023

Yang benar adalah ‘mangan ora mangan asal kumpul’ (Jw.), itu kalau situasi ‘normal’. Dalam situasi ‘an-arki’, ‘mangan ora mangan asal ngibul’ dimaksudkan: tidak peduli yang lain-lainnya, bahkan soal khalayak kebanyakan masih bisa makan atau tidak, asal (masih bisa) ngibul, no problem. Tidak peduli apakah martabat-kehormatan sedang dibantai, asal bisa terus ngibul. Tidak peduli ‘ekosistem’ sain-ilmu pengetahuan sedang dibantai juga, asal (masih bisa) ngibul. Maka ‘mangan ora mangan asal ngibul’ adalah ngibul yang sudah tak tahu batas lagi. Sudah tidak lucu lagi. Dalam ranah kuasa, tipu-muslihat, ngibul adalah salah satu kekuatan kuno yang dahsyat. Taktik-teknis olah kuasa efektif, pada saat-saat tertentu. Pada titik tertentu bahkan isi dari tipu-tipu ini bisa menjadi semacam mitos, maka bisa dikatakan, katakanlah, ia sudah masuk dalam ‘fase stabilisasi’ rejim ngibul-nya. Jika sudah jadi semacam mitos memang tipu-tipu itu akan menjadi tidak mudah untuk ‘digulingkan’. Tetapi mau menjadi semacam mitos atau tidak akan sangat tergantung dari situasi ‘basis’-nya. Karena mitos tidak akan menjadi mitos jika tidak ‘dihidupi’. Jika tidak ada ‘kecerdasan’ yang menghayatinya sebagai mitos. Dan memang itu akan melibatkan ibu dari segala pengetahuan, pengulangan. Masalahnya, pengulangan imajinasi itu pada saat-saat tertentu akan bertemu juga dengan imajinasi-imajinasi lainnya. Cek-ricek akan semakin intens, termasuk juga cek-ricek dengan realitas yang ada. Cek-ricek akan terhambat ketika ada ‘otoritas’ menghalang-halanginya, entah otoritas berasal dari si-tetua, atau aturan-aturan mbèlgèdès dengan ancaman ini-itu jika cek-ricek tetap akan dilangsungkan, atau juga dari yang pegang senjata. Jelasnya. Ketika ada ‘monopoli’ narasi.

Maka akan timbul pertanyaan besar, bagaimana jika tipu-tipu-ngibul itu sudah masuk fase ‘mangan ora mangan asal ngibul’? Yang salah satunya adalah sudah tidak peduli lagi seperti apa ‘basis’ sudah berkembang? Menutup mata terhadap dinamika-perkembangan ‘basis’. Mengapa mereka tidak belajar bagaimana rejim monarki-oligarki itu harus berhadapan dengan naiknya rejim demokrasi? Apakah mereka tidak pernah membuka catatan-catatan sejarah berapa ‘biaya’ yang muncul dalam pergeseran itu? Selain sudah tenggelam dalam ‘dunia teknis’, nampaknya nekad-nya mereka hanya bisa dijelaskan dengan adanya plan-B: pecah belah -balkanisasi. Tidak yang lainnya. Maka jangan bicara soal patriotisme dengan yang semacam itu, tidak ada itu yang namanya patriotisme di otak-jiwanya. Tidak ada, sama sekali tidak ada. Karena pada dasarnya mereka itu tidak peduli lagi, kecuali soal dirinya dan orang-orang dekatnya. *** (20-02-2023)

1092. ET

21-02-2023

ET adalah singkatan dari enggak tahu batas, dan dari mana datangnya batas itu? Jika Spinoza benar bahwa manusia itu secara esensial adalah ‘gumpalan’ hasrat, maka dari mana datangnya batas sehingga gejolak hasrat tidak terus menghancurkan hidup bersama? Terutama hasrat akan kuasa itu –will to power, dalam bermacam bentuknya? Bagi kaum neolib ketika bicara soal pasar, manusia sebaiknya tidak usah ikut campur tangan dan berusaha membatasi pasar karena pasar akan ‘mengatur dirinya sendiri’. Tetapi bukankah ‘gumpalan’ modal maha besar yang diperoleh dari pasar itu pada titik tertentu akan mempunyai power dahsyat dan akan gatal juga ingin mengatur pasar?

Ketika kekuasaan itu akan selalu ada di tangan ‘yang sedikit’ pada dasarnya ‘yang banyak’ kemudian menjadi ‘batas’ dari polah-tingkah ‘yang sedikit’ itu. Dalam rejim monarki-aristokrasi, ‘yang banyak’ berhasil dikendalikan melalui bermacam ‘sihir’, maka godaan untuk berlaku sewenang-wenang-pun secara potensial akan membesar pula. Batas-batas itu menjadi begitu lemahnya, bahkan bisa dikatakan ‘tanpa batas’. Rejim demokrasi pada dasarnya adalah ketika ‘yang banyak’ menjadi mampu untuk membangun batas bagi polah tingkah ‘yang sedikit’ saat ada di ranah kekuasaan, melalui bermacam kesepakatan, termasuk lamanya berkuasa. Atau kontrol saat pelaksanaan kesepakatan. Yang jadi masalah adalah ketika terjadi proses massifikasi [1] seperti disebut Paulo Freire sekitar 50 tahun lalu.

Dari hal-hal di atas kita bisa membayangkan apa yang mesti ditapak dalam menghayati soal patriotisme misalnya, dalam jalan evolusinya. Patriotisme abad 18-19 sangat kental dengan slogan ‘right or wrong my country’, yang pada abad-20 kita juga bisa melihat ‘evolusi-gelap’-nya. Menebar angin menuai badai. Meski kita bisa melihat juga bagaimana ia mendorong lahirnya negara-negara merdeka. Maka ada yang menyebut abad-20 adalah abad nasionalisme. Patriotisme, nasionalisme, seperti ‘isme-isme’ lainnya, seperti gejolak-gejolak hasrat lainnya, selalu saja mempunya ‘sisi gelap’-nya, dan itu sekali lagi, adalah soal batas. Ketika masuk dalam situasi ‘enggak tahu batas’ lagi.

Dalam era Revolusi Industri dengan modus komunikasi dominannya masih man-to-mass, melalui media cetak, televisi, radio, massifikasi nampaknya masuk dalam ‘golden period’-nya. Tetapi apakah di era Revolusi Informasi dengan merebaknya modus komunikasi mass-to-mass melalui jaringan internet seperti sekarang ini massifikasi menjadi meredup? Coba misalnya kita lihat soal skandal Cambridge Analytica saat Trump memenangkan pilpres di tahun 2016 lalu, dan banyak kegundahan soal keterbelahan-nya. Massifikasi ternyata masih mampu berkibar juga. Massifikasi memang akan selalu ‘seksi’ bagi kaum elit, di sepanjang masa, apapun modus komunikasi yang tersedia. Masalahnya adalah yang ‘seksi’ itu sekarang mendapat lawan yang tidak mudah, perlawanan terhadap proses massifikasi melalui modus komunikasi mass-to-mass yang semakin dimungkinkan. Dalam situasi yang seperti inilah mestinya penghayatan akan patriotisme menapak jalan evolusinya. Tidak hanya right or wrong my country itu sudah usang, dan diganti dengan right is right, wrong is wrong, tetapi adalah soal meminggirkan proses massifikasi ini. Pemimpin yang masih saja meng-endorse proses massifikasi jelas ia pada dasarnya tidak mencintai yang dipimpinnya, bahkan mendorong yang dipimpinnya itu menjadi ‘tidak kompatibel’ dengan jaman yang sudah sedemikian bergerak. Asyik-masyuk tenggelam dalam soal ‘teknis’ lupa akan ‘esensi’. Tidak punya jiwa patriotisme sama sekali. *** (21-02-2023)

[1] A massified society is one in which the people, after entering into the historical process, have been manipulated by elite into unthinking, manageable agglomeration; this process is called massification. It stands in contrast to conscientizacao, which is the process of achieving a critical consciousness

1094. Bola Salju Jalan Gampang

25-02-2023

Kata Toynbee, peradaban berkembang karena adanya tantangan dan respon. Tantangan yang terlalu besar akan mematikan peradaban, misal pada suatu waktu wabah influenza yang tak dikenal suku pedalaman di Amerika Selatan sana, virus yang dibawa oleh orang-orang Eropa dulu sekali itu. Ditambah dengan dibawanya mesiu dalam senapan-senapan mereka. Tantangan terlalu kecil ya jadinya biasa-biasa saja. Dalam respon akan melibatkan si-minoritas kreatif. Khalayak kebanyakan sebagian besarnya akan meniru saja respon dari si-minoritas kreatif. Masalahnya, dalam komunitas dengan power distance tinggi (Hofstede), pemegang otoritas bisa-bisa akan terhayati sebagai si-minoritas kreatif. Dan ditirulah dia. Apalagi jika si-pemegang otoritas itu begitu demennya memproses yang dipimpinnya itu dalam proses massifikasi. ‘Bakat purba’ yang akan terus membayangi siapa saja yang duduk sebagai pemimpin, dan sekaligus juga bagaimana ia ‘mengelola bakat purba’ ini sebenarnya juga akan menentukan apa sebenarnya kualitas diri sebagai pemimpin dalam relasinya dengan yang dipimpin. Apakah ia tahu batas atau enggak. Batas massifikasi jika kita memakai istilah Van Peursen dalam Strategi Kebudayaan, adalah penghayatan ontologis. Batas penghayatan ontologis adalah fungsionil. Dan ketika kemudian jatuh pada operasionalisme, sebenarnya juga masuk ke penghayatan mitis, dan potensi proses massifikasi-pun akan membesar lagi.

Terjebak dalam rute massifikasi dalam olah-kuasa sebenarnya juga terjebak dalam ‘jalan gampang’. Dalam rute massifikasi, suasana kebatinan yang terbangun akan menjauh dari olah-keberpikiran. Akibatnya, hidup bersama-pun akan menjauh pula dari olah-etika, sebab bagaimanapun etika akan melibatkan soal timbang-menimbang. Menurut Sidney Hook, pilihan etis sering bukan soal benar atau salah, bukan soal hitam dan putih, tetapi soal baik dan benar, misalnya. Maka memang akan melibatkan soal timbang-menimbang secara intens. Pragmatisme merupakan salah satu bentuknya. Apa yang mesti harus dilaksanakan (pragma, that which has been done) jika tiba-tiba api mengancam menjadi kebakaran? Tanpa pikir panjang, tanpa harus berdebat, jika ada ember isi air maka langsung saja diguyurkan. Menjadi pragmatisme jika terus saja berkotbah, kerja, kerja, kerja, dan meminggirkan secara telak hal timbang-menimbang. Dibungkus dalam situasi ‘terancam kebakaran’, misal terancam terbakar oleh ‘ideologi terlarang’ atau ‘radikal-radikul’ itu. Menurut banyak pendapat, di balik pragmatisme ini sebenarnya juga bersembunyi kepentingan-kepentingan lainnya. Dalam bahasa Van Peursen seperti di atas, bablasan pramatisme ini adalah juga operasionalisme. Hal esensi kemudian ditinggalkan juga secara telak.

Ketika bermacam jalan gampang ditapak oleh otoritas dalam komunitas dengan power-distance tinggi, dan sebagai akibatnya etika semakin menjauh, di kalangan khalayak kebanyakan ini bisa-bisa akan menggelinding seperti bola salju. Sebab menurut Toynbee dalam ‘hukum’ pertukaran kebudayaan, justru nilai budaya yang ‘rendah’-lah yang akan mudah diserap. Akan lebih sedikit resistensinya. Maka memang benar apa yang ditulis oleh Cicero, ikan busuk mulai dari kepala. *** (25-02-2023)

1093. Republik Macam Apa Yang Kami Miliki?

22-02-2023

Mensos Tri Rismaharini Sujud Saat Berkunjung ke SLB di Bandung, Pengajar: Hanya Pencitraan, Setelah Sujud Emosi Lagi

SuaraCianjur.id– Menteri Sosial Tri Rismaharini telah melakukan kunjungan kerja ke Balai Wyata Guna, Bandung untuk memberikan bantuan kepada masyarakat kurang mampu, Selasa (21/2/2023).

Namun, terdapat salah satu momen yang menarik perhatian adalah ketika Risma tiba-tiba sujud di kaki salah satu guru penyandang tunanetra, usai berdebat soal janjia hibah dan perbaikan bangunan Sekolah Luar Biasa (SLB) A Padjadjaran, di Balai Wyata Guna, Kota Bandung.

Risma memberikan keterangan bahwa pemberian hibah tersebut tidak dapat dilakukan. Sebagai gantinya, akan ada perbaikan terhadap gedung sekolah dan penambahan ruang kelas. Namun, usulan Risma ini ditolak oleh pengelola dan guru SLB tersebut. Pihak sekolah menekankan bahwa hibah dan perbaikan bangunan adalah demi kepentingan bersama, bukan untuk pribadi.

“Terkait itu, waktu itu ibu pernah janji menghibahkan ini (lahan). Kita juga bukan untuk kepentingan pribadi, Bu, tolong direalisasikan,” ujar Tri, salah satu pengajar SLB.

Selanjutnya, Risma menimpal bahwa pemberian hibah sulit dilakukan karena posisi tanahnya yang tidak ideal. “Ini susah karena tanahnya ada di tengah gini, saya enggak bisa. Masalahnya apa? Sama-sama (milik) negaranya, makanya tadi yang penting saya bisa perbaiki. Ini kafe juga kami bangun untuk disabilitas,” jawab Risma.

Alasan dari Risma pun masih ditolak, hingga politisi PDIP tersebut langsung sujud ke kaki pengajar tersebut.

“Saya sujud,” ucap Risma.

Menanggapi aksi sujud tersebut, Yuniarti, salah satu pengajar SLB, menilai bahwa aksi tersebut hanya pencitraan semata.

“Tapi menurut saya itu pencitraan ya, karena sujudnya tuh enggak jelas, terus setelah sujud dia emosi lagi, kalau sujud itu kan harusnya memohon maaf saya akan berusaha, kan itu tidak ada pernyataan itu, malah habis itu ngomel-ngomel lagi Bu Mensos itu,” ujar Yuniarti. ***

https://cianjur.suara.com/read/2023/02/21/201154/mensos-tri-rismaharini-sujud-saat-berkunjung-ke-slb-di-bandung-pengajar-hanya-pencitraan-setelah-sujud-emosi-lagi