1325. 'Yang Terbaik' sebagai Hak Sosial

20-12-2023

Tulisan ini didorong salah satu-nya dari unggahan yang bisa dilihat di: https://twitter.com/5t3v3n_P3g3L/status/1736397335071273253, di-upload 17 Desember 2023. Sampai tulisan ini dibuat sudah ada hampir 800 comment atau reply. Unggahan adalah tentang temu masyarakat di kompleks IKN dari salah satu calon wakil presiden –termuda, yang sungguh menampakkan bagaimana sangat memprihatinkan kualitas-nya. Amit-amit blimbing sayur! Yang seperti itu akan memimpin republik dengan lebih dari 250 juta warga negara-nya? Sekali lagi, amit-amit blimbing sayur! Apakah warga negara republik ini sama sekali tidak punya hak untuk mendapatkan pemimpin terbaiknya? Kalau yang seperti itu dibilang terbaik, maka …. sekali lagi, amit-amit blimbing sayur! Bahkan ketika kita makan di restoran-pun, karena kita bayar, kita akan sangat mengharapkan pelayanan terbaiknya. Lha ini kita sebagai warga negara hampir tiap hari bayar pajak dalam bermacam bentuknya. Mungkinkah ini terjadi karena selama bertahun kita sering melihat bagaimana hak prerogratif itu digunakan semau-maunya. Orang-orang tidak kompeten di bidangnya ditempatkan di pos-pos penting. Dan merasa yang banyak kok diam saja …. Maka semakin menjadi-jadi saja ke-semau-maunya itu. Termasuk kualitas blimbing sayur-pun diajukan untuk ikut memimpin lebih dari 250 juta warga negara, si-pembayar pajak! Maka, jangan sampai kelakuan ini menjadi kebiasaan. Kebiasaan buruk yang bisa-bisa ke depan blimbing sayur busuk-pun akan diajukan pula. Jika masih mencintai republik ini: jangan pilih calon dengan kualitas ndèk-ndèk-an itu. Jangan pilih! Memangnya warga negara - pemilih - pembayar pajak di republik ini manusia-manusia bodoh semua?! Memangnya republik sudah tidak punya lagi kehormatan?! *** (20-12-2023)

1326. Kekuatan Pengetahuan dan Momentum-nya

20-12-2023

Ketika pengalaman terhadap A, dan B, dan C, dirasakan sebagai mirip-mirip maka dibayangkan bahwa A, B, C itu adalah sama. Imajinasi tentang hal yang sama itu kemudian dikomunikasikan dengan imajinasi yang lain, tentang A, B, C juga. Dengan itu pula maka ‘keliaran’ imajinasi bisa ditekan. Atau ‘kesimpulan’ bahwa itu sama dicek-ricek lagi dengan realitas yang ada. Rute di atas adalah salah satu rute ber-pengetahuan juga. Bahkan obyektivitas-pun bisa dicapai pada tingkat tertentunya, dengan selalu terbuka terhadap ‘temuan-temuan baru’. Tidak selalu harus melalui rute ilmiah dengan metode-metodenya yang ketat.

Saluran France24 dalam segmen ‘The Debate’ tayang pagi ini -20 Desember 2023, mengangkat topik menarik: 2024, Year of the Deepfake? Dengan anak judul topiknya disinggung soal politik ke depannya, dikaitkan dengan berkembangnya AI, kecerdasan buatan. Sedikit banyak bisa kita lihat di rentang pemilihan ini, bagaimana soal kemajuan tekhnologi selalu saja berwajah ganda. Bagaimana kemajuan teknologi komunikasi misalnya, bisa dengan mudah seakan mem-booster kegilaan hasrat, tetapi di sisi lain ia memang bisa sungguh ikut mengembangkan kelincahan berpikir. Maka memang di segala jamannya masing-masing, man behind the gun-lah yang akan lebih menentukan apakah kemajuan tekhnologi itu akan sungguh bermanfaat bagi hidup bersama. Rejim yang telah menampakkan diri menggunakan jasa buzzerRp dan pollsterRp sebagai salah satu pilar berjalannya rejim jelas ia tidak akan kompatibel terhadap kemajuan tekhnologi, dalam konteks untuk memajukan hidup bersama.

Pada pilpres 2019 sebenarnya ungkapan versi lain dari ‘kami muak’ sudah merebak melalui bermacam bentuk modus komunikasi via digital-internet, dan paling tidak telah mampu menampakkan bagaimana wajah-wajah menjadi gundah gulana, murung-kusut di sebuah ruangan hotel saat perhitungan suara mendekati akhirnya. Pilpres 2024 ini sebenarnya mempunyai nuansa yang tidak jauh berbeda, ‘kami muak’ seakan juga menemui momentum-nya. Dan bahkan momentum itu seakan menguatkan potensi ‘kekuatan pengetahuan’ untuk memimpin. Joget-joget-an kayak orang kesurupan itu dari hari ke hari semakin nampak sama sekali tidak berkhasiat untuk menggerus ke-muak-an yang sudah meluas dan sudah begitu dalamnya melalui media komunikasi digital-internet ini. Benar kata Noam Chomsky, semakin yang satu tahu sentimen yang lainnya maka status-quo akan mendapat tantangan seriusnya. Maka inilah momentum yang harus diperjuangkan sampai tuntas, sampai pada penghitungan suara selesai. Jangan sampai lengah sedikit-pun. Momentum hidup bersama dalam menyongsong masa depan yang sangat mungkin kemajuan tekhnologi bisa-bisa sudah sampai pada yang tak terbayangkan sebelumnya. Dunia yang semakin tidak mudah diprediksi ini akan mempercepat kehancuran hidup bersama jika gejolak hasrat yang maju di depan dan meminggirkan akal sehat yang semestinya maju di depan. AMIN! *** (20-12-2023)

1327. Jogetan Di Tengah 8 Milyar Manusia

21-12-2023

Pada tahun-tahun awal kuliah jaman dulu, pembangunan keberlanjutan atau sustainable development menjadi salah satu bahan diskusi, di luar jam kuliah tentunya. Salah satu tinjauan mempertanyakan apakah konsep itu pada dasarnya adalah salah satu bentuk kapitalisme dengan baju barunya? Tetapi dari istilah sebenarnya sustainable development ini sudah muncul di akhir dekade 1960-an. Mungkinkah ini dikaitkan dengan era baby boomer ketika paradigma negara kesejahteraan pasca PD II itu memberikan kenaikan kesejahteraan bagi banyak orang, terlebih di belahan sono mestinya, kelahiran menjadi begitu banyaknya. Akankah bumi mampu ‘menyangga’ jumlah populasi yang terus naik itu? Sekitar tahun 1987, sustainable development mengalami ‘pengerasan suara-nya’ melalui Komisi Brundtland PBB. Keberlanjutan kemudian berarti: meeting the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs.”[1] Pada tahun 1987 populasi dunia sekitar 5 milyar.

Berapa populasi dunia di tahun 2023 ini? Delapan milyar! Jadi kita sekarang mengadakan pemilihan umum di tengah-tengah 8 milyar manusia, yang semua membutuhkan pangan, sandang, papan, pendidikan, lapangan kerja, dan lain-lainnya. Sementara itu di lain pihak kita dihadapkan oleh kedaruratan iklim yang menerjang siapapun yang hidup di planet ini. Belum lagi gejolak geopolitik internasional yang seakan terus mengalami eskalasinya. Atau masalah kemiskinan yang masih membelit dan ketidak-adilan yang masih dirasakan di sana-sini. Juga tingginya angka pengangguran, dan tak kalah penting: soal penegakan hukum. Maka jika ada yang berpendapat bahwa perhelatan pemilihan umum dengan biaya puluhan triliun ini semestinya bisa juga menjadi ‘sekolah’ besar-besaran bagi khalayak kebanyakan untuk ‘belajar bersama’ tentang isu-isu di atas, sangat-lah wajar. Keseharian khalayak kebanyakan itu akan lebih banyak disibukan dengan urusannya sendiri-sendiri. Sehari-hari khalayak kebanyakan itu tidak akan menaruh perhatian soal politik lebih besar dari pada rentang waktu pemilihan umum. Jadi, alangkah baiknya kita –melalui dinamika politik pemilihan ini, bersama-sama mempunyai tanggung-jawab dalam mencerdaskan hidup bersama.

Jika ada yang dalam rentang pemilihan ini sukanya joget-joget misalnya, maka sudah menjadi kewajiban kita semua untuk mengatakan kepada kanan-kiri kita bahwa kelakuan seperti itu adalah kelakuan yang tidak bermutu sama sekali. Jika mereka tanpa beban jogetan di tengah-tengah bermacam persoalan kebangsaan dan bahkan juga bermacam persoalan global, jogetan di panggung ‘pajak rakyat’ berbiaya triliunan rupiah ini maka kitapun bisa tanpa sungkan lagi bilang: ngapain sih itu ... Lucu? Sama sekali tidak! Menggemaskan? Juga tidak! Aèng-aèng malah. Jika ‘konsultan’ yang menyuruh untuk joget-an itu merasa bebas-bebas saja mengisi panggung politik ber-biaya triliunan rupiah dari uang pajak rakyat dengan kelakuan seperti itu, maka kita sebagai pembayar pajak-pun bebas-bebas pula berpendapat soal itu. Sama-lah, setara. Selain hal-hal di atas, perlahan muncul pula pertanyaan, mengapa hanya satu yang seakan keranjingan joget-nya? Jika kita kembali ke peristiwa tahunan tujuh-belas agustus-an itu, maka akan ada penampakan rutin, ada yang didandani seakan seperti ‘raja’, duduk manis di atas panggung, manthuk-manthuk sambil pecingas-pecingis lembut, tepuk-tepuk tangan pelan kayak bos mafia di film-film itu, sementara pembantu-pembantu-nya penthalitan joget-an di depannya. Untung saja tidak ada yang bisa kayang. Raja kan harus beda, bahkan dengan para ‘bangsawan’-nya. Sekarang ini ada yang total joget-an, sementara pasangan satunya –karena merasa sebagai ‘putra mahkota’, tidak ikut-ikutan total joget-an. Lain-beda ‘kelas’-nya cuk … tetap saja yang total-joget-an itu posisinya ‘pembantu’-nya si-‘anak raja’. Apes tenan cuk … tiwas gobyos tambah menggèh-menggèhPecas ndahé dab …. *** (21-12-2023)

[1] https://www.un.org/en/academic-impact/sustainability

1328. Lompatan Mematikan

21-12-2023

Bagi Marx, salto mortale, fatal-deadly leap, lompatan mematikan itu bisa-bisa terjadi ketika Uang-Barang-Uang berubah menjadi Uang-Uang: uang menjadi ‘komoditas’ yang diperdagangkan di pasar keuangan. Banyak bukti bagaimana krisis kapitalisme dipicu dari pasar keuangan ini, efek domino dari ugal-ugalan-nya bermacam produk –bermacam ‘derivatives’, yang diperdagangkan. Mengapa menulis soal ‘lompatan mematikan’ ini? Karena ada satu cawapres yang melontarkan soal ‘lompatan’, apa yang dimaksud dengan ’lompatan’ itu? Bagaimana ia bisa sampai pada kesimpulan bahwa nanti akan ada ‘lompatan’? Jangan-jangan yang sedang kita hadapi memang sebuah ‘lompatan’, tetapi ‘lompatan mematikan’!

Bayangkan ada alur Kejahatan-Hukum-Penjara, dan kemudian dalam beberapa penampakannya berubah menjadi Kejahatan-Kejahatan, dalam arti kejahatan menjadi aman-aman saja karena Hukum sedang ‘diperdagangkan’. Contoh, melalui istilah yang sudah sungguh sangat populer: sandera kasus. Ketika ‘sandera kasus’ ini sudah sedemikian merebak dan sudah begitu dalam-nya, maka merebak pula salto mortale itu, lompatan mematikan itu. Terlalu banyak kita melihat penampakan bermacam ‘salto mortale’ ini dari ‘tokoh-tokoh’ –atau ‘elit-elit’, yang sebenarnya mempunyai potensi besar dalam ranah politik. Tiba-tiba saja, dan semakin nampak tanpa beban lagi, omongannya jadi ngawur-ngawur-an, semakin tidak bermutu saja. Apa yang terjadi ketika publik terlalu banyak disajikan bermacam penampakan ‘lompatan kematian’ ini? Salah satunya adalah: de-politisasi. Khalayak kebanyakan semakin dijauhkan dari mengapa politik itu menjadi dimungkinkan ada. Khalayak kebanyakan semakin kesulitan untuk menghayati apa itu the political, ‘yang politikal’.

Jika di banyak kalangan khalayak kemudian muncul ungkapan ‘kami muak’ sebenarnya ini adalah juga salah satu puncak dari gunung es ‘krisis politik’, krisis politik yang didasari oleh melenyapnya ‘yang politikal’ itu. Tentu kita tidak mau (lagi) ‘kami muak’ ini menemukan ‘momentum’-nya dalam bentuk ke-anarki-annya, an-arki, tidak ada satu-pun bentuk penampakan kuasa yang masih mempunyai ‘legitimasi’-nya. Maka kalau toh terjadi ‘lompatan’, bermacam ‘lompatan kematian’ yang didorong oleh bermacam ‘sandera kasus’ itu sebenarnya sudah menjadi bagian dari ‘proses-proses molekuler’ dari bermacam ‘kemuakan’ yang nantinya pada titik tertentu akan bisa menampakkan diri sebagai ‘lompatan’, atau sebenarnya sebuah ‘patahan sejarah’. Sejarah ‘feodalisme’ yang sedang dibangun itu akan mengalami ‘patahan’-nya, dan demokrasi dikembalikan kepada martabatnya lagi. Republik kembali menjadi res-publika, dan bukan lagi res-oligark. Semoga. *** (21-12-2023)

1329. Empat Keutamaan Dalam Alur Keputusan

21-12-2023

Tulisan ini memang soal AB, salah satu calon presiden, dan terlebih lagi terkait bagaimana ia sebagai pejabat publik akan membuat keputusan publik. Ada empat hal terkait bagaimana kebijakan publik akan diputuskan, yaitu pertimbangan akan: keadilan, public interest, akal sehat, dan regulasi.

Jika dilihat lebih dalam lagi maka akan nampak bahwa dalam ke-empat hal di atas lekat dengan apa yang disebut sebagai keutamaan, atau virtue. Jelas soal keadilan, justice, adalah salah satu dari keutamaan penting. Bagaimana dengan mempertimbangkan public interest? Di situ sebenarnya ada ‘syarat mutlak’ yang harus ada, meski sering tidak nampak, yaitu keutamaan keberanian, courage. Lihat saja berapa nyawa dari para aktivis, para pembela keadilan, para pejuang kepentingan umum, harus dipertaruhkan? Menempatkan public interest sebagai salah satu pertimbangan dalam membuat keputusan itu bukannya tanpa resiko. Jika tidak ada keutamaan keberanian maka itu dapat dipastikan tidak akan jalan, terlebih ketika harus berhadapan dengan oligarch interest. Atau kepentingan-kepentingan perampok-perampok lainnya. Mempertimbangkan akal sehat, sains, data-data, masukan-masukan dari berbagai pihak, itu menggambarkan adanya keutamaan kebijaksanaan, wisdom-prudence. Lalu bagaimana dengan aspek regulasi? Bermacam regulasi dalam hidup keseharian kita akan bisa menjadi salah satu latihan dalam mengembangkan keutamaan ‘kontrol diri’, temperance. Tetapi jelas juga pada saat bersamaan, bermacam keutamaan di atas –keadilan, keberanian dalam mempertimbangkan public interest, prudence, akan juga mempengaruhi bagaimana harus bersikap terkait adanya bermacam regulasi itu.

Jadi … kapan lagi kita akan mempunyai presiden seorang ‘stoic’? *** (21-12-2023)