1155. Sandera Kasus, Pelajaran Sangat Berharga

09-05-2023

Dibalik pendapat Toynbee bahwa peradaban berkembang karena adanya tantangan dan respon, nampaknya bisa kita bayangkan bahwa itu juga mengandaikan adanya kebebasan. Potensi untuk menjadi si-minoritas kreatif itu akan mengerut jika tidak ada kebebasan. Layaknya seorang seniman yang tidak mempunyai kebebasan untuk mewujudkan ‘keberanian’-nya melangkahkan kaki menembus horison. Bertahun terakhir adalah pelajaran sungguh berharga, ketika bermacam ‘sandera kasus’ itu ujungnya adalah retaknya peradaban. Orang menjadi mau melakukan apa saja asal kasus-kasus yang melilitnya tidak dilanjutkan. Apa saja. Juga bermacam perundangan-peraturan yang ujung-ujungnya adalah dikekangnya kebebasan. Kemungkinan-kemungkinan dipersempit, pilihan-pilihanpun kemudian menjadi terbatas. Dan akhirnya tantangan-tantangan terlihat semakin menjadi kabur, tak jelas. Respon-nya pun bisa-bisa salah arah. Bukan ideologi, doktrin, atau ajaran yang membuat peradaban berkembang, tetapi tahap-demi-tahap yang mewujud dalam tantangan-respon. ‘Bintang penuntun’ itu, leitstar, memang diperlukan, bahkan bisa dikatakan sebagai ‘syarat mutlak’ supaya tahap-demi-tahap itu, meski tantangan terus berubah-berkembang, respon terbangun tetaplah ‘mengacu’ pada ‘bintang penuntun’. Sikap pragmatis –bukan pragmatisme, tetap diperlukan dengan selalu ada ruang kebebasan untuk memperdebatkannya. Bagaimana kebebasan akan hadir jika kaki diikat erat oleh ‘sandera kasus’?

Di era Revolusi Informasi ini, menurut Manuel Castells akan semakin muncul ke permukaan apa yang disebutnya ‘politik skandal’. Apakah ini juga seiring dimana ia, Castells, di bagian lain juga menandaskan bahwa di era Revolusi Informasi ini identitas bisa-bisa menjadi sumber utama dalam pencarian makna? Makna kemudian lebih dihayati di ‘ranah’ siapa aku, bukan pada apa yang saya kerjakan, misalnya. Maka dengan itu, apakah ini kemudian juga yang mendorong laku flexing –to show off, di sosial-media, misalnya? Tetapi ‘siapa aku’ itu? Ada banyak hal akan terkait dalam bahasan ‘siapa aku’ itu. Dari Jung kita akan mengenal istilah arketipe, akankah ini juga akan berpengaruh terhadap ‘siapa aku’ itu? Ataukah ada hubungannya dengan habit dalam konteks bourdieuan? Atau juga tidak akan lepas dari ‘yang lain’? Ataukah ini soal bermacam ‘pengalaman hidup’ yang sudah dijalani? Bagaimana dengan ‘semangat jaman’? Atau bermacam ‘ranah-teater’ yang kita masuki, akankah ikut ‘memodifikasi’ identitas kita dari waktu ke waktu? Apakah identitas itu tidak lekang dari waktu? Ataukah tidak lepas dari DNA kita? Tetapi studi epigenetic memberitahu kita bahwa faktor lingkungan akan bisa mempengaruhi DNA dan akan diturunkan pula pada anak-anak kita. Mengapa ketika mendengar komposisi Ave Maria karya Schubert, dimanapun itu, kapanpun, kadang kita serasa ingin ‘menangis’? Ketika waktu kecil dulu kita mendengar misalnya, di gereja? Apakah ‘pengalaman’ seperti itu kemudian menjadi bagian dari identitas kita? Bagaimana jika bukan Ave Maria, misalnya, tetapi bermacam laku mbèlgèdès dari orang-orang yang tersandera kasus? Petakhilan, pecicilan, semau-maunya, asal njeplak, asal mangap, dengan sudah tanpa beban lagi. *** (09-05-2023)

1156. Memang Harus Diganggu

11-05-2023

Sistem kapitalis itu baik kalau selalu diancam oleh sistem lain, sedangkan sistem sosialis itu baik kalau tidak diancam oleh sistem lain,” demikian ditulis Ignas Kleden mengutip obrolan dengan salah satu dosen dari ex-Jerman Timur, saat ngobrol santai di tepi Sungai Elbe.[1] Atau misalnya –suka atau tidak, meski sama-sama kapitalisnya bisa kita lihat bagaimana Partai Demokrat di AS sana akan selalu mengambil posisi lebih ‘kiri’ dibanding Partai Republik. Mengapa dalam konteks kapitalisme dan sosialisme seperti di atas tersinggungkan dengan ‘diancam atau tidak oleh sistem lain’? Karena nampaknya yang dibicarakan adalah soal hidup bersama. Ketika manusia-manusia berkumpul dan membangun hidup bersamanya. Tetapi manusia seperti apa yang hidup bersama itu? Apakah yang pada dasarnya baik atau yang pada dasarnya buruk? Ataukah dalam konteks ini kita sebaiknya berangkat dari pendapat Spinoza (1632-1677), desire is the very essence of man. Spinoza yang hidup di era merebaknya keinginan kuat untuk mencari penjelasan umum terhadap bermacam hal, termasuk juga yang dicari oleh Isaac Newton (1642-1726) yang akhirnya ‘berjumpa’ dengan Hukum Gravitasi itu? Atau juga hampir seabad kemudian, Adam Smith (1723-1790). Dan banyak lainnya juga.

Jika kita berangkat dari soal hasrat, maka masa lalu memberikan pelajaran berharga, tidaklah cukup soal hasrat ini hanya soal ‘baik-buruk’-nya orang. Atau ‘terkendalinya’ hasrat dalam hidup bersama hanya mengandalkan ‘kehendak baik’ saja. Hasrat nampaknya perlu ‘ditabrakkan’ dengan hasrat lain, tidak hanya dimungkinkan pada hidup individu, tetapi juga dalam ‘tata-kelola’ hidup bersama. Apakah capaian era SBY itu juga harus dilihat adanya keras-galaknya ‘oposisi’ saat itu? Atau rusak-rusakannya era sesudahnya karena ‘oposisi’ yang lemah –dengan bermacam sebabnya?

Maka kritik Anies Baswedan sebagai calon presiden yang sudah dideklarasikan soal pemberian subsidi kepada produsen/pembeli mobil listrik perlulah diapresiasi.[2] Yang dimasalahkan Anies selain terkait masalah lingkungan adalah juga soal ‘state redistributions’. Salah satu ujung ‘perdebatan’ soal kapitalisme dan sosialisme adalah ‘pembagian kekayaan’. Soal bagaimana kekayaan di-akumulasi. Soal kebebasan akumulasi kekayaan memang ada di jantung kapitalisme. Sedangkan soal ‘redistribusi’ bisa dikatakan ada di jantung sosialisme. ‘Kebebasan akumulasi’ ini bisa-bisa akan ‘menghitamkan’ hidup bersama, seperti ditulis Kleden: “Tanpa tekanan dari sistem sosialis, maka kapitalisme hanya akan menjadi sangat kasar, buas, dan memangsa manusia.”[3]

Tidak hanya memangsa manusia, David Harvey menunjukkan ‘peningkatan level’-nya, memangsa negara melalui yang disebutnya sebagai accumulation by dispossession itu. Maka gangguan yang berasal dari ‘sistem sosialisme’ terhadap kapitalisme hari-hari ini akan sangat terkait dengan, salah satunya sudah disebut di atas: state redistributions. Juga fitur-fitur lain dari accumulation by dispossession, privatisasi, finansialisasi, dan manajemen-manipulasi krisis. Privatisasi harus dilawan langsung di jantung asumsinya: bahwa orang itu tidak akan sunggung-sungguh ‘merawat’ –sering ditunjukkan dengan kata ‘efisiensi’, jika bukan miliknya. Bukan milik privat-nya. Benarkah? Bukankah ada kata ‘komitmen’? Satunya kata dan tindakan itu? Atau yang diproblematisir oleh Amartya Sen sebagai argument kontra yang meng-klaim bahwa kepentingan diri, self-interest adalah satu-satunya hal rasional dalam ekonomi? Soal fitur finansialisasi dalam accumulation by dispossession, terlalu banyak contoh bagaimana instrumen keuangan bisa menjadi alat perampokan negara. Belum lagi soal manajeman dan manipulasi krisis. Tentu kita bisa bicara soal moral misalnya, sebab bagaimanapun soal moral, soal etika, akan juga mempengaruhui sikap-tindakan kita dalam proses perampokan negara itu. Tetapi tetaplah isu utama adalah soal perampokan negara. Jika kita bicara pilihan dalam ‘ranah’ minus malum, maka ini adalah soal mana yang potensi merampok negara-nya yang (jauh) lebih kecil. *** (11-05-2023)

[1] Ignas Kleden, Sosialisme Di Tepi Sungai Elbe, Kompas, 6 uli 1996

[2] Utas menarik soal ini lihat: https://twitter.com/AnggaPutraF/status/1655985971639513088

[3] Ingnas Kleden, Sosialisme Di Tepi Sungai Elbe

1157. Politik dan "An-estetik"-nya

14-05-2023

Bagi saya ciri artistik manusia Indonesia adalah yang paling menarik dan mempesonakan, dan merupakan sumber dan tumpuan harapan bagi hari depan manusia Indonesia,” demikian ditulis Mochtar Lubis dalam Manusia Indonesia,[1] terbit pertama kali 1977, satu dekade setelah era old-old tumbang. Mengapa ‘ciri artistik’ ini bisa menjadi tumpuan harapan?

Menurut Nietzsche (1844-1900) hidup manusia itu tidak jauh-jauh amat dari ‘rasa sakit’ dan situasi chaotic. Dan dalam seni, art, rasa sakit itu bisa ‘tertahankan’. Ada dua jalan artistik dalam seni menurut Nietzhche, jalan Apolonian dan Dionisian.[2] Yang keduanya sangat lekat dengan bagaimana ‘dunia’ sekitar di-persepsikan. Mungkin soal apollonian dan dionisian ini dalam terminologi Ferdinand Tonnies (1855-1936), dekat-dekat dengan pengertian gesellschaft dan gemeinschaft. Apolonian sering dikaitkan dengan ketenangan dan akal, keberpikiran. Dan lebih pada penguatan individu. Dionisian lebih berangkat dari insting dan cenderung emosional-irrasional, ‘obsesi’ akan persatuan tidak hilang-hilang juga. Pesta-pora dan ‘mabuk-mabukan’, misal dalam suatu festival, dan memang dalam dionisian individu cenderung ‘melebur’ dalam kelompok. Apolonian dan dionisian ini akan selalu hadir dalam ‘ketegangan’, dan menurut Nietzsche keduanya hanya ‘berkolaborasi’ dalam teater tragedi jaman Yunani Kuno dulu.

Meminjam pendapat Van Peursen dalam Strategi Kebudayaan (terbit pertamakali sekitar 1970-an), soal apolonian dan dionisian ini mungkin saja kita baca sebagai hal lebih dinamis, dalam pengertian fungsional, ontologis, dan mitis. Jika dilihat dari kacamata Van Peursen ini, maka meski ada yang diposisi ‘apolonian abis’, tetaplah hal mitis dan ontologis masih ada dalam batas-batas tertentunya. Orang bisa sedemikian rasional, tetapi dalam waktu tertentu ia masih percaya pada tahayul, misalnya. Hanya saja memang dalam ‘tahap-tahap’ mitis, ontologis, dan fungsionil itu tetap ada sisi ‘kegilaan’-nya.

Jika kita kembali ke masalah awal, pendapat Mochtar Lubis, “ciri artistik manusia Indonesia adalah yang paling menarik dan mempesonakan, dan merupakan sumber dan tumpuan harapan bagi hari depan manusia Indonesia,” apakah memang bisa menjadi tumpuan hari depan? Kita tidak perlu melangkah sampai soal apollonian dan dionisian, tetapi kita ambil pendapat Nietzsche soal bagaimana seni mampu memberikan ‘daya tahan’ akan ‘rasa sakit’, maka kita bisa juga membayangkan bahwa ‘rasa sakit’ itu bisa juga hadir karena ada keterbatasan pada diri, sedang pada saat sama kita berhadapan dengan ketidak-terbatasan. Seni bisa memberikan inspirasi bahwa ‘batas-batas’ itu ternyata bisa ditembus. Horison itu bisa terus ‘dimajukan’ di tengah-tengah ketidak-terbatasan.

Bagaimana dengan politik? Ketika politik tidak hanya semakin jauh dari etika, tetapi bahkan juga nyaris tanpa estetika? Atau bahkan bermacam ‘estetika’ dipolitisir dalam bentuk vulgar-nya, tanpa melihat rekam jejak sebagai politisi, berapa banyak artis yang maju jadi caleg? Nampaknya politik tidak hanya semakin jauh dari estetika, tetapi bahkan sudah menjadi an-estetik, dalam arti sungguh seperti para spesialis anastesi itu sedang bekerja. Sedang membuat ‘pasien’ tidak sadar atau tidak merasakan apa-apa, mau-mau saja, pasrah saja ketika dokter bedah mengotak-atik badannya. Bahkan bisa lebih kucluk lagi, pasien masih sadar dan masih merasakan, semau-maunya saja ‘dibedah’. Politik sudah menjadi tidak peduli lagi dengan apa-apa yang dirasakan khalayak. Dalam jangka panjang, jika kita setuju dengan Nietzzsche dan Mochtar Lubis, politik seperti ini akan sungguh sedang mempertaruhkan masa depan di bibir jurang. *** (14-05-2023)

[1] Mocthar Lubis, Manusia Indonesia, hlm. 38

[2] Antonis Chaliakopoulos, What Is the Apollonian and Dionysian in Nietzsche’s Philosophy, https://www.thecollector.com/nietzsche-philosophy-apollonian-dionysian/

1158. Hitler's Presidential Campaign of 1932

17-05-2023

February 14, 2021 European History, History, Modern History, World History

By Thomas Childers, Ph.D., University of Pennsylvania

The Nazis knew that campaigning against Paul Von Hindenburg, the then President of Germany, won’t be an easy task. They had to think out of the box to get a breakthrough. So, they introduced different techniques. How successful were these techniques in attracting the public’s attention?

Nazi Campaign for Hitler

The Nazis executed a well-planned presidential campaign for Hitler in 1932. They paid attention to detail which they called kleinarbeit. During the campaign, the Nazis mulled over a number of details: What posters worked? What colors were best? Did the posters of Hitler with the profile-shot work best? What sort of images did farmers respond to or the civil servants respond to?

Each week, they would get their people out in the field to write a report about which poster worked best or which slogan really struck a chord. These reports were later shared with the propaganda leadership in Munich who would then send out directives accordingly.

Nazis: The Pioneers of Direct Mailing

Not every German had a telephone; most did. But every town, every neighborhood had an address book, which listed the head of the household and his occupation. The Nazis would go through these address books, and they would ask a civil servant to write a letter to all the civil servants in that town or in that neighborhood. This was the method of direct mailing that they introduced in 1932.

A different Nazi, a farmer, would write a letter that seemed to be a personal letter to all the farmers. They didn’t care so much about the content. There was no party line to be toed. The Nazis made lots of different appeals. They tried to offer something for everybody; an appeal to everybody.

The Runoff between Hitler and Hindenburg

In order to win the presidential election, you had to have 50 percent of the vote. At the end of that campaign, Hindenburg received 49.6 percent of the vote. What that meant was there had to be a runoff, which was basically between Hitler and Hindenburg; Hitler had received 30 percent of the votes.

In the runoff, Hitler confronted Hindenburg, and Joseph Goebbels and his staff geared up again. They tried to associate Hindenburg with Heinrich Brüning’s ill-fated policies, never attacking Hindenburg himself—a great field marshal who had served his country.

They also considered another factor. Most of the Nazi leaders were much younger than most German politicians—Hitler was 42—so they tried to emphasize that it was the time for a new generation to take the reins of the country.

Deutschlandflug: A Dramatic Stroke

The Nazis adopted a populist sort of approach to politics, which no one had witnessed earlier in Germany. It was called a Deutschlandflug. Hitler took to the skies, flying from city to city in an airplane. He was a manvonvolk, a man from the people. They created an image of a peripatetic, all-powerful man who could be at all places at all times.

All of his appearances were carefully orchestrated. One of the things the propaganda people always did was to rent a hall that was too small. They never rented a big space because it didn’t look good to have empty chairs in a big place.

On the day of an event, the Nazis would put loudspeakers on the outside for the standing-room-only crowd that gathered out front. During the course of the day, Nazis from all around would be bussed in to the city for Hitler’s appearance.

Hitler’s Grand Entry

Before Hitler’s actual appearance, there would be warm-up acts. The local Nazis would speak, or maybe one of the top Nazi speakers. Meanwhile, people would be hawking autographed photographs of Hitler, phonograph records, and little copies of Mein Kampf. Then someone would race into the auditorium and announce that the Führer’s plane had landed, and that he was making his way to the auditorium. This is how the crowd was whipped up into a frenzy.

And then 20 minutes, 30 minutes later—Hitler was always late—someone would race in and say the Führer’s motorcade has arrived out front. There would be more hysteria, and then finally Hitler would make his appearance.

Final Results of the Runoff

Nonetheless, when the final results were in from this runoff, Hitler received 36 percent of the vote. He had not beaten Hindenburg; nobody expected him to. But what he had done was to separate himself from the pack of other anti-system candidates—people unhappy with Weimar.

This was a tremendous infusion of prestige for him and people who had not taken the Nazis or Hitler seriously till then began to notice him.

It was at this point, and only at this point, that the Nazis began receiving certain monies from big business, but not much, and not as much as some other parties.

The Triumph of the Nazis

The presidential elections of 1932 were just the beginning. There would be four national campaigns in 1932: the two rounds of the presidential election; there would be a Reichstag campaign in June–July; and then another one in November.

And in between, there were elections in every German state so that in April, the Nazis won 36 percent of the vote in Prussia, 32 percent of the vote in Bavaria, 36 percent of the vote in Wuerttemberg, 31 percent of the vote in Hamburg.

It looked very much like this picture that the Nazis were trying to create of a dynamic leader, a dynamic movement. The Nazis, indeed, seemed on the verge of something that had never happened in German political life—a majority vote for one party. ***

Common Questions about Hitler’s Presidential Campaign of 1932

Q: What was the direct mailing system during the presidential campaign of 1932?

The Nazis would go through address books, and ask a civil servant to write a letter to all the civil servants in that town or in that neighborhood. This was the method of direct mailing that they introduced in 1932.

Q: Did the Nazis directly attack Hindenburg during the presidential campaign of 1932?

No, the Nazis didn’t directly attack Hindenburg during the presidential campaign of 1932.

Q: What was the approach of the Nazis during the presidential campaign of 1932?

The Nazis adopted a populist approach to politics, which no one had witnessed earlier in Germany. Hitler took to the skies, flying from city to city in an airplane. He was a manvonvolk, a man from the people. ***

https://www.wondriumdaily.com/hitlers-presidential-campaign-of-1932/

1159. "Kambing Hitam", Sebagai Ritual dan Yang Tidak

19-05-2023

‘Penyembelihan kambing hitam’ sebagai ritual sudah dikenal sejak dulu. Dengan bermacam bentuk ‘kambing hitam’-nya, tidak selalu ‘kambing’, dan tidak selalu ‘hitam’. Dalam bermacam agama dan kepercayaan kadang itu dilakukan, bahkan secara periodik dalam rentang waktu tertentu. ‘Kambing hitam’ di ranah agama atau kepercayaan dilakukan secara ‘terbatas’, hanya pengikut-pengikutnya yang bisa menghayatinya. Sebagai bagian dari ‘tertib-tatanan’ dalam komunitas itu. Bayang-bayang siapa paling ‘berkuasa’ dalam komunitas agama atau kepercayaan itu sudah jelas, Yang Maha Kuasa. Nampaknya ini yang membuat ritual ‘kambing hitam’ ini menjadi lebih mampu berkontribusi dalam membangun ‘tertib-tatanan’ dalam batas-batas komunitasnya. Ia ditempatkan tidak dalam perebutan terkait siapa Yang Maha Kuasa itu. Karena sekali lagi, sudah jelas. Tetapi menurut Nietzsche, will to power itu adalah hasrat utama manusia. Bahkan masa lalu memberikan pelajaran pada kita, manusia kadang tidak berhenti untuk menjadi superman, tetapi bahkan jika ada kesempatan ia mau saja menjadi Yang Maha Kuasa. Maka ‘dongeng’-pun bisa berubah, dan pergeseran ‘dongeng’ itu bisa-bisa berdampak dahsyat, karena bagaimanapun juga kita adalah a storytelling animal, demikian menurut Alasdair MacIntyre. Kambing hitam kemudian bisa-bisa masuk ‘ranah’ perebutan kuasa, atau soal mempertahankan kuasa. Kambing hitam yang dalam ranah ritual agama atau kepercayaan itu ada dalam ‘logika sakral’, sekarang bisa-bisa menjadi bagian kelam dari ‘kejahatan logika’, ‘logika’ yang justru mendorong atau mengeksploitasi ‘an instinct to exclude’, meminjam istilah Amy Chua dalam Political Tribes (2019).

Fakta adanya gunung berapi, Gunung Merapi misalnya, sangat mungkin dipersepsi secara lain-lain oleh bermacam pihak. Banyak faktor mengapa penghayatan akan adanya fakta Gunung Merapi ini bisa berbeda-beda. Dalam Strategi Kebudayaan, Van Peursen memberikan contoh gamblang. Sama-sama sebuah pemandangan gunung dan di depannya ada danau, seniman dengan ‘modus’ mitis, ontologis, dan fungsional, masing-masing akan melukisnya secara berbeda. Nietzsche juga berusaha menunjukkan bahwa ‘kaum’ Apollonian dan Dionysian[1] itu akan menghayati dan ‘memproduksi’ seni berbeda. Dalam konteks tulisan ini, kita bisa mengajukan pertanyaan, bagaimana ‘kaum’ Apollonian dan Dionysian akan menghayati soal ‘kambing hitam’?

Pada suatu waktu kita pernah dengar ada massa berjalan berkelompok sambil menyanyi: “Gantung … gantung … gantung [A--] di Monas, gantung [A --) di Monas … sekarang juga!” Atau ketika ada isu DIY akan dihilangkan ke-istimewaannya, massa turun ke jalan dan bernyanyi “Jogja … Jogja, Jogja tetap istimewa … Jogja istimewa … Untuk Indonesia…,” diulang dan diulang. Dan dengan lagu-lagu semacam itu yang diulang dan diulang, individu-individu semakin melebur dalam massa, dalam ‘kemabukan’-nya. Ketika sedang menapak jalan Dionysian, menurut Nietzsche memang lagu-lagu seperti ini yang akan akrab. Jika dilihat lebih jauh lagi, jalan ‘dionysian’ ini memang nampak banyak di ranah agama dan kepercayaan. Atau juga sebenarnya ranah di luar agama dan kepercayaan, tetapi dalam praktek di sana-sini lekat dalam bayang-bayang ‘praktek’ keagamaan dan kepercayaan. Yaitu ketika ‘propaganda-tiada-henti’ dipraktekkan. Contoh paling telanjang, di Korea Utara. Apa yang mau dikatakan di sini adalah ketika dalam negara demokrasi tetapi dalam praktek ada ‘propaganda-tiada-henti’ –di luar masa kampanye, maka sebenarnya sedang ada praktek ‘keagamaan atau kepercayaan’ –sadar atau tidak. Jika dikaitkan dengan ‘kambing-hitam’, ada ‘lompatan’ yang bisa-bisa berujung tidak terduga. Dalam ranah agama atau kepercayaan, seperti disebut di atas, ‘kambing-hitam’ sebagai bagian dari ‘ritual’ menemui batas-batasnya, dan tidak kemudian menjadi tidak terkendali. Tetapi ketika ia ada di luar agama dan kepercayaan, maka bisa-bisa bukan ‘logika sakral’ yang mendasarinya, tetapi bisa jatuh menjadi bagian dari ‘logika kejahatan’, the crimes of logic. Dan bisa-bisa tak terkendali, terlebih ketika the crimes of passions itu kemudian mendapatkan tempat bergantungnya.

Baru-baru ini ada upacara pemahkotaan Pangeran Charles menjadi raja, di layar TV bisa kita lihat komplit alur prosesinya. Juga nyanyian-nyanyiannya. Tetapi kita juga tahu bahwa kekuasaan Raja sudah ‘dikandangi’ oleh bermacam perundangan melalui ‘jalur si-apollonian’. Hal-hal yang mirip-mirip ketika ada jabatan presiden dan perdana menteri, atau kepala negara dan kepala pemerintahan. Melalui pendapat Van Peursen kita bisa memahami bagaimana kemungkinan itu bisa terjadi. Orang bisa masuk ke tahap fungsionil, tetapi tetaplah saja tahap mitis itu kemudian tidak serta merta menjadi hilang. Tetapi Nietzsche nampaknya juga benar, jalur apollonian dan dionysian hanya akan ‘berkolaborasi’ bersama di panggung teater tragedi jaman Yunani Kuno dulu. “Kerajaan konstitusional’, raja yang sudah dibatasi oleh perundangan, meski nampak bisa ‘berkolaborasi’ tetapi sebenarnya itu ada di panggung yang berbeda. Jika sudah jelas ada pemisahan panggung tetapi dalam praktek ‘dilupakan’ dan dipaksa-paksa ada dalam ‘satu panggung’ maka berangkat dari Nietzsche kita bisa membayangkan bahwa sebenarnya, sadar atau tidak, sedang mempersiapkan sebuah panggung ‘teater tragedi’. Jika ini terjadi maka janganlah bicara soal ‘kemajuan’, soal ‘memajukan horison’, apalagi mau ‘menyelesaikan’ tragedi masa lalu. Yang akan muncul adalah pura-pura saja. *** (19-05-2023)

[1] https://pergerakankebangsaan.org/tulisan-17, No. 1157