1180. Norma Jeane Mortenson

1181. DLM Di Era Revolusi Informasi

01-07-2023

Martin Luther King Jr. adalah pejuang hak-hak sipil, terutama untuk kaum kulit hitam Amerika, antara tahun 1950-an sampai ketika ia mati ditembak di tahun 1968, pada umur 39 tahun. Apakah ada beda dengan BLM, Black Lives Matter? Sekitar 12 tahun sebelum BLM, kita mengenal apa yang disebut sebagai Arab Spring. Dua-duanya merebak ketika modus mass-to-mass sudah begitu meluasnya melalui jaringan internet. Sedangkan Martin Luther King Jr. berjuang di tengah-tengah puncak modus komunikasi man-to-mass, melalui surat kabar, radio, film, dan terutama jaringan televisi. Bicara soal demokrasi, kita mengenal juga bagaimana ‘democracy lives matter’ begitu terasa di rentang waktu tertentu, baik di era old-old maupun (apalagi) jaman old. Dan keduanya ada di puncak kejayaan modus komunikasi man-to-mass. Tetapi ada yang mengatakan, jaman old berakhir karena juga ada bantuan dari modus komunikasi mass-to-mass melalui e-mail-e-mail-an. E-mail mulai dirasakan oleh beberapa orang Indonesia sejak tahun 1992, demikian diceritakan oleh Onno W. Purba.

Yang membuat was-was banyak orang adalah ketika ‘kisah sukses’ mengotak-atik demokrasi secara ugal-ugalan itu kemudian menjadi ‘referensi utama’ dan sekaligus melupakan bergeraknya jaman. ‘Sukses’ di jaman modus komunikasi man-to-mass belum tentu ‘sukses’ di jaman modus komunikasi mass-to-mass. DLM-nya bisa-bisa memberikan respon yang tak terduga. Apa yang terjadi di Perancis hari-hari ini ketika seorang remaja ditembak polisi, bisa kita lihat di pemberitaan bagaimana bakar-bakar-an kemudian terjadi, dengan cepat merebak di berbagai kota. Hati-hati, cuk. *** (01-07-2023)

1182. Rusuh di PDP

04-07-2023

Presiden Perancis Emmanuel Macron akan mengumpulkan lebih dari 200 walikota membahas kerusuhan akhir-akhir ini. Kerusuhan akibat ditembaknya seorang remaja 17 tahun oleh polisi saat mengendarai mobil yang malah akan ‘melarikan diri’ saat ada pemeriksaan rutin, sekitar 5 hari sebelumnya. Benar kata Macron, tidak ada satupun pembenaran untuk penghilangan nyawa seorang anak muda. Dan kemarahanpun meledak hampir merata di seluruh Perancis. Dari berita-berita bisa kita lihat bagaimana bakar-bakaran itu merembet kemana-mana. Mobil terbakar, bus transportasi umum terbakar, dan terakhir ada yang menabrakkan mobil ke rumah salah satu walikota. Lebih dari 30 ribu polisi dikerahkan, dan beratus perusuh sudah ditangkap.

Meledak dan menyebarnya kerusuhan bukanlah terjadi di ruang kosong. Pertama-tama adalah pemicunya, kekerasan negara terhadap seorang anak muda. Apapun itu latar belakang penyebabnya. Beberapa tahun lalu di AS sono merebak gerakan Black Live Matters yang dipicu oleh meninggalnya seorang kulit hitam karena kebrutalan polisi dalam penangkapan. Karena itu terjadi di AS maka menjadi berita dunia tak terelakkan lagi. Maka endapan-endapan ingatan seperti inipun akan menjadi bagian ketidak-sadaran bagi orang banyak. Dengan satu-dua pemicu bisa-bisa kemudian menjadi seakan nyata di depan mata. Belum lagi beberapa bulan lalu jutaan warga Perancis turun ke jalan menolak rencana pengunduran usia pensiun. Ditambah lagi suasana panas-dingin regional dengan sudah dua tahun lebih ada perang Ukraina. Belum lagi adanya potensi ‘infiltrasi’ asing yang mungkin saja ikut bermain. Tetapi bagaimana akhir ceritanya nanti, ketika itu terjadi di salah satu ‘pakta dominasi primer’ –istilah Cardoso menunjuk pada dinamikanya kapitalisme? Dalam konteks ini, salah satu kekuatan besar dari ‘negara kapitalis’ itu -Perancis? Atau kita juga bisa membayangkan, bagaimana jika terjadi di negara dalam posisi hanya sebagai ‘pakta dominasi sekunder’? Déjà vu? *** (04-07-2023)

1183. Powerful dan Powerless

06-07-2023

Soal kuasa sudah menarik sejak manusia semakin lengkap dalam evolusinya. Bahkan ada yang mengatakan bahwa will to power itu merupakan hasrat terdepan dari seorang manusia. Mangunwijaya dalam tulisan Kini Kita Semua Perantau (1989) berpendapat juga bahwa “sifat, watak, wajah, dan suasana suatu bangsa ditentukan langsung oleh derajat kemampuan, seni, dan efektivitas bangsa itu dalam mengendalikan kekuasaan.”[1] Bahkan jika ada yang mengkaitkan ‘kualitas bangsa’ dengan ‘tertib lalu-lintas’ itupun sebenarnya tidak jauh-jauh amat dari soal kuasa. Meski nampak ‘idealis’, tetapi pendapat Platon soal perlunya kelas ‘filsuf raja’ dalam mengurus polis dari bermacam peristiwa masa lalu dan bahkan sekarang juga, bagaimanapun itu tetaplah mempunyai alasan kuatnya. Paling tidak meyakinkan kita juga bahwa (pengelola) kuasa di ranah negara sangat perlu diperhatikan soal masukan-nya, soal input-nya. Karena bagaimanapun juga, suka atau tidak, negara seakan ‘dirancang’ memang untuk ‘powerful’.

Lima hari kerusuhan di Perancis memberikan pelajaran bagaimana ‘powerful’-nya yang namanya “Leviathan” itu bekerja. Meski sejak hari pertama kerusuhan pimpinan tertinggi-nya sudah menjamin bahwa polisi yang menembak mati remaja –sosok lugu tak-berdosa dengan masa depan masih panjang, itu akan diproses sesuai dengan hukum yang ada, kerusuhan-pun tetap meledak dan menyebar kemana-mana. Massa tetap tak terkendali. Maka diterjunkanlah secara massif lebih dari 30.000 polisi, dan berangsur situasi menjadi terkendali. Tetapi ada yang mesti diperhatikan, yaitu berkumpulnya ‘massa tandingan’ –para walikota dari lebih 200 kota terdampak, yang diundang presiden Emmanuel Macron untuk ‘membahas’ kerusuhan yang menyebar sampai kota-kota mereka. ‘Massa tandingan’ itu kompak menyerukan penghentian semua bentuk kekerasan. Dan perlahan bermacam bentuk kekerasan-kerusuhan itupun mulai menyurut. Ketika ‘bangunan atas’ –dalam hal ini dimainkan oleh Macron bersama lebih dari 200 walikota itu, dan ‘basis’- dalam hal ini tindakan polisi, ‘dimainkan’ secara simultan, kekerasan yang mengancam ‘kesepakatan’ dalam menegara itupun bisa diredam. Jika ini masih belum bisa meredam, bisa dibayangkan akan diterjunkan pula tentara yang sebenarnya dipersiapkan untuk perang. Maka perlahan kekerasan-kerusuhan kemudian menjadi kekerasan-kerusuhan yang ‘tak terdukung’ lagi. Tentu ini bukan akhir cerita. Janji dalam penuntasan kasus yang melibatkan polisi itu akan menjadi ‘titik kritis’ lagi. Dan masih untung lagi, di Perancis tidak banyak yang bicara bahasa Rusia. Coba jika banyak, bisa-bisa Putin kemudian merasa gatal dan punya ‘kewajiban’ untuk melindungi, dan siap-siap menginvasi Perancis. Tambah runyam.

Maka mengelola negara memang tidak boleh main-main, tidak boleh semau-maunya sendiri, karena –terutama, bayang-bayang ke-powerful-an negara. Tentu hadirnya oposisi dalam bermacam bentuknya adalah sebuah kemutlakan dalam ‘mengendalikan’ ke-powerful-an negara. Tetapi untuk tidak ‘membuang’ energi terlalu banyak dalam pengendalian ke-powerful-an negara, sekali lagi kualitas si-pengelola negara jelas merupakan hal sangat perlu untuk mendukung ‘syarat mutlak’ di atas, adanya oposisi. Maka calon-calon pengelola negara, apalagi yang punya ‘potensi’ ada di nomer satu atau nomer dua, jika kelasnya ternyata kelas medioker sebaiknya pagi-pagi sudah dieliminasi saja. Bayangkan, untuk menapak menuju nomer satu atau dua, rumput lapangan-pun di-‘politisir’ sedemikian rupa. Rumput lapangan sepakbola di JIS baru-baru ini. Kurang kerjaan, tak tahu malu, tak tahu batas, dan sungguh menjijikkan-memuakkan. Jenis seperti ini akan mengelola negara yang ‘powerful’ itu? Amit-amit-lah. Jenis seperti ini dapat dipastikan hanya akan merusak saja. Dan semakin rusak-rusakan. Ujungnya adalah semakin tertekannya si-powerless, faktanya: khalayak kebanyakan. *** (06-07-2023)

[1] Y.B. Mangunwijaya, Pasca-Indonesia Pasca-Einstein, Kanisius, 1999, hlm. 302

1184. Puncak Kerusuhan

07-07-2023

Ketika kerusuhan di Perancis baru-baru ini menunjukkan ‘pelandaian’-nya, Macron menggunakan istilah sudah sampai ‘puncak’-nya. Judul lebih tepatnya adalah ‘puncak kemarahan’. Kemarahan akibat kekerasan oleh negara, yang sebelumnya bagi kebanyakan rakyat Perancis merasa tak berdaya ketika negara memutuskan pengunduran usia pensiun beberapa waktu lalu. Dan juga ketika melihat bagaimana gerakan BLM (Black Live Matters) itu membesar di AS sono, beberapa tahun sebelumnya. Atau mungkin juga diam-diam jengkel bagaimana ranah negara, Rusia, merasa berhak untuk menembaki rakyat sipil, menembaki dengan rudal-rudalnya apartemen tempat rakyat sipil hidup di Ukraina sana. Dengan kemajuan teknologi komunikasi sekarang ini bermacam hal bahkan peristiwa di luar negeri-pun bisa-bisa dihayati seakan di depan mata saja. Ditambah lagi dengan biaya hidup semakin mahal akibat pandemi dan perang Ukraina. Gejolak (hasrat) kemarahan itupun seakan naik ke permukaan menuntut untuk dipuaskan. Kerusuhan, amuk, adalah penampakan setelah hadirnya mekanisme pelatuk-nya. Atau katakanlah, ada katalisnya.

Tetapi hasrat pada dirinya itu meski selalu saja minta dipuaskan ia laksana hasrat akan seks, kadang bisa ditunda bahkan ‘dimatikan’, tetapi kadang pula ‘permainan’ sampai pada titik menuntut pada klimaksnya, orgasmus. Yang jadi masalah adalah ketika tuntutan akan klimaks itu seakan kemudian ada-menelusup tuntutan untuk merasakan ‘multipel orgasmus’, karena ada variabel-variabel lain yang seakan menjadi mekanisme pelatuk ke-dua, ke-tiga, dan seterusnya. Artinya ada ‘campur tangan’ di luar mekanisme pelatuk pertama. Maka ‘fase-puncak’-pun seakan tidak diikuti dengan ‘fase-melandai’, tetapi terus saja merangkak mencari ‘puncak’ baru. Para pekerja marketing, salesman misalnya, oleh para motivator akan diyakinkan berulang dan berulang bahwa soal komisi itu batasnya adalah langit. Target penjualan tahun ini jika tercapai atau melampaui target, memang adalah ‘puncak’ yang membuat orgasmus, tetapi si-motivator akan menunjukkan ada puncak-puncak lain yang perlu didaki. Salah satu caranya adalah bercerita tentang ‘cerita sukses’ dari seorang agen. Itu kemudian dijadikan ‘model’.

Demikian juga kerusuhan karena kemarahan itu, jika tidak ada ‘variabel’ lain maka yang disebut Macron sudah sampai ke ‘puncak’-nya itu memang akan masuk ‘fase-pelandaian’-nya. Kerusakan jelas ada, dan banyak, tetapi mulai terkendali dan tidak menjadi semakin rusak-rusakan. Tentu soal ‘kontra-hasrat-kemarahan’ akan memegang peran penting, tetapi bagaimana jika dalam pengendalian-kerusuhan itu juga memakan korban jiwa? Bisa-bisa ini akan menjadi ‘mekanisme-pelatuk’ ke dua. Atau jika kerusuhan itu ‘ditunggangi’ oleh pihak-pihak yang sungguh paham akan psikologi massa ‘di tingkat rusuh’ itu, dan ‘memprovokasi’ di sana-sini, dan meyakinkan massa bahwa batas rusuh itu adalah langit? Dan pihak-pihak itu tiba-tiba saja menjadi ‘model’ bagi massa yang sudah beringas, dan ditiru dalam penyaluran akan hasrat kemarahannya?

Dari beberapa hal di atas dapat kita lihat pentingnya soal ‘kontra-hasrat’. Dari peristiwa di Perancis baru-bari ini, kontra-hasrat kemarahan massa adalah polisi, tindakan polisi –bukan tentara, dan juga Macron dan para walikota yang dikumpulkannya: sebagai ‘model’ alternatif. Baik polisi dan jajaran pejabat publik itu, dasar paling penting adalah soal kepercayaan, trust. ‘Infiltrasi’ jelas sudah merupakan hal di ‘luar kendali’, seperti misalnya hadirnya bermacam hoaks –misal diambil dari potongan film: untuk memanaskan suasana, atau agen-agen intelijen asing yang ikut bermain. Maka pula peran kontra-intelijen akan penting pula. Bagaimana jika kepercayaan publik terhadap polisi, kepercayaan publik terhadap pejabat publik-nya ternyata sudah begitu rendahnya –karena merebaknya korupsi misalnya? Ditambah badan telik-sandinya tidak mampu bekerja dengan optimal? Maka bisa-bisa ini sudah bukan lagi soal hasrat-akan-amarah, tetapi sudah soal hasrat kuasa. Kuasa yang selalu saja akan menuntut ‘multipel orgasmus’, bahkan jika tidak ada ‘variabel’ luar lainnya. *** (07-07-2023)