1350. Kepala Dingin Di Tengah Gejolak

16-01-2024

Fakta hari-hari ini, dan sangat potensial ke depannya, geopolitik internasional sedang penuh gejolak. Bagi republik yang ‘kekuatan kekerasan’ dan ‘kekuatan uang’-nya terbatas, maka mutlak bagi republik dalam menghadapi, dalam merespons bermacam gejolak yang seakan ada di luar kendali-nya itu dengan ‘kepala dingin’. Yang dimaksud dengan ‘kepala dingin’ itu bukanlah sekedar tidak grusa-grusu, tidak emosional-an, atau sejenisnya, tetapi juga mampu ‘menunda’ bermacam ‘asumsi’ yang tiada habisnya terus seliweran, bermacam informasi-disinformasi yang terus saja hadir di depan mata, untuk mulai melihat situasi sebagai ‘pemula’, dan kemudian melihat bermacam aspeknya, dari bermacam sudut pandang, dari bermacam profilnya, tidak hanya situasi luar yang terus saja bergejolak, tetapi juga situasi dalam negeri. Banyak ‘ruang antara’ yang musti diselami lebih dalam, ‘ruang antara’ yang terbentuk dari yang seharusnya ada dan yang senyatanya ada.

Jika kita memakai istilah Cardoso di sekitar dekade 1970-an, maka suka-tidak-suka, kita akan ada dalam bayang-bayang si-pemegang ‘pakta dominasi primer’, yang dalam kapitalisme, si-raksasa-raksasa pemegang ‘capital’ terbesar. Yang bahkan menurut Antonio Negri dan Michael Hardt dalam Empire (2000) sudah terjadi persekutuan dengan ‘kekuatan kekerasan’ untuk membangun sebuah kekaisaran-dunia, melalui daur-ulang apa yang disebut Polybius lebih dari 2000 tahun lalu sebagai ‘rejim campuran’, campuran antara rejim monarki/tirani-aristokrasi/oligarki-demokrasi. Tidak akan ada yang mengatakan bahwa itu adalah soal biasa-biasa saja. Tidak, itu adalah soal serius dengan pertaruhan seluruh kehidupan republik, dan akan lebih berat jika yang berdiri di depan adalah si-‘kuda’, baik ‘kuda hitam’ maupun ‘kuda putih’ seperti dalam gambaran ‘alegori kereta’-nya Platon.[1]

Kita bisa sungguh belajar bertahun terakhir bagaimana kehidupan republik ketika yang memimpin adalah si-‘kuda hitam’, apa yang digambarkan Platon soal karakter ‘kuda hitam’ ini sungguh tidak meleset-meleset amat. Kita bisa melihat sendiri dengan mata telanjang. Juga ketika para teknokrat sudah dijauhkan dari lingkaran inti ketika si-‘kuda putih’ memimpin, di jaman old. Yang terjadi adalah semakin dalam saja republik bernapas dalam kubangan ‘pakta dominasi sekunder’.

Menjadi ber-‘kepala dingin’ adalah tahu apa yang masih ada dalam kendali dan yang tidak. Menjadi ber-‘kepala dingin’ bukan berarti menggendong otak yang beku dan dengan itu justru ‘menutup diri’. Kepala dingin adalah salah satu bentuk dari ‘latihan’ panjang, terutama lewat rute hasrat vs hasrat, yang dalam konteks hidup bersama adalah justru melalui latihan mendengar. Latihan berpikir terbuka. Latihan panjang untuk melakukan dialog. *** (16-01-2024)

[1] https://pergerakankebangsaan.org/tulisan-49, No. 1316

1351. Republik Yang Sedang Butuh 'Model'

17-01-2024

Apalagi dalam komunitas dengan power distance (Hofstede) tinggi, seorang pemimpin adalah juga seorang ‘model’. Yang dimaksud dengan ‘model’ di sini adalah dalam konteks ‘teori segitiga hasrat’-nya Rene Girard. Subyek (S) akan menghasrati Obyek (O) karena ia meniru (mimesis) Model (M) yang juga menghasrati O. Dan O di era Revolusi Informasi ini, menurut Alvin Toffler, sebaiknya adalah ‘pengetahuan’. Di era Revolusi Informasi ini, the power of knowledge-lah yang akan ‘memimpin’, menurut Alvin Toffler. Apa yang terjadi ketika dinamika kekuatan pengetahuan ini semakin menyeruak dan meluas? Suka atau tidak maka tuntutan akan bermacam hal etis-pun akan menjadi semakin dalam pula. Hal etika yang akan lekat dengan hal timbang-menimbang. Dan dengan merebaknya jaringan komunikasi dalam era Revolusi Informasi ini, hal timbang-menimbang bisa berlangsung dengan lebih mudah, terutama dalam ke-salingan-nya, inter-subyektifitas. Inter-subyektifitas yang pelan atau cepat akan membahas soal baik-buruk, meski dalam praktek, hal etika itu bisa lebih dari soal baik-buruk, benar-salah. Menurut Sidney Hook, “masalah etis yang sesungguhnya … dirumuskan tidak sebagai pertetangan antara baik dan buruk, melainkan sebagai pertentangan antara baik dan baik, antara benar dan benar, serta antara yang baik dan yang benar.”[1] Seorang dokter misalnya, pada titik tertentu bisa-bisa akan dihadapkan pada satu situasi, menyelamatkan ibu atau anak yang sedang dikandungnya?

Kalau ingin mencari contoh, siapa ‘model’ yang mampu mentransformasikan ratusan juta, bahkan hampir mendekati 1 Milyar manusia dalam kurun waktu tertentu? Kita bisa menyebut: Deng Xiaoping (1904-1997), suka atau tidak. Salah satu peristiwa yang sering dicatat adalah ‘perjalanan ke selatan’ yang dilakukan Deng Xiaoping, sekitar 32 tahun lalu. Selama perjalanan tersebut Deng Xiaoping memberikan hal-hal mendasar bagaimana China harus berubah. Tentu ‘kerumitan’ dan ‘komplikasi’ dari perubahan yang diusung oleh Deng Xiaoping saat itu tidaklah kecil-kecil saja. Katakanlah ‘pro-status quo’ masih begitu kuatnya. Tetapi akhirnya Deng Xiaoping berhasil membawa ‘gerbong-raksasa’ itu memang sungguh berubah, menjadi lebih terbuka. Dan bagaimana jika 1 milyar manusia itu kemudian menggeliat bersama-sama?

Apa yang dilakukan oleh Anies Baswedan dengan Desak Anies itu seakan mirip dengan ‘perjalanan ke selatan’-nya Deng Xiaoping. Memang ‘TKP”-nya sangat berbeda, tetapi isu utamanya mirip-mirip: perubahan. Perubahan tentang bagaimana sebaiknya hidup bersama sebagai satu bangsa ‘dihayati’. Dan sebenarnya Desak Anies itu menjadi daya tarik bukan hanya soal substansinya, tetapi ia hadir dalam ‘gerakannya’, memang tidak tergambarkan sebagai ‘perjalanan ke selatan’, tetapi adalah sebuah ‘perjalanan ke seluruh sudut republik’. Terakhir saat tulisan ini dibuat, Desak Anies sudah sampai di Papua.

Perubahan yang diusung-pun juga mirip-mirip seperti yang dimaksudkan oleh Deng Xiaoping, supaya China lebih ‘membuka diri’. Dan …. siapa bilang kita tidak sedang melakoni sebuah ‘rejim tertutup’? Apakah kita sungguh bisa ‘menikmati’ adanya wakil-wakil kita di DPR itu? Apakah presiden yang dipilih itu mau mendengarkan suara-suara atau kritik-kritik dari warganya? Belum lagi bermacam ‘pasal karet’ dalam UU ITE itu. Maka tidak mengherankan ketika dalam ‘perjalanan ke sudut-sudut republik’ itu kemudian ditawarkan supaya negara lebih terbuka terhadap bermacam rasa-ketidak-adil-an yang dialami warganya, segera saja hal tersebut mendapatkan dukungannya. Juga keinginan supaya negara lebih terbuka terhadap kepentingan publik. Dan yang mengejutkan, tawaran untuk lebih terbuka dalam menggunakan akal sehat, menggunakan data-sain dalam menjalankan tata kelola negara-pun ternyata disambut hangat. *** (17-01-2024)

[1] Harsja W. Bachtiar (ed.), Percakapan Dengan Sidney Hook, Penerbit Djambatan, 1986 cet-3, hlm. 9

1352. Here Is A Strange and Bitter Crop

18-01-2024

Mendengar bagaimana Billie Holiday menyanyikan Strange Fruit[1] tidak hanya mendengar bagaimana olah suara seorang maestro yang genuine, tetapi juga bagaimana kegelapan sejarah sedang diteriakkan. Bagaimana kegeraman dinyanyikan dalam nuansa keindahan jazz. Judul adalah bagian akhir dari lirik Strange Fruit. Yang tiba-tiba saat mendengarnya, kegeraman seakan menyeruak ke permukaan. Geram, marah, ketika pajak-pajak yang dibayarkan pada negara seakan yang muncul adalah ‘a strange and bitter crop’.

Mengapa soal pajak tiba-tiba menyeruak ke permukaan? Karena, sadar atau tidak, republik menjadi res-publika itu dalam keseharian menjadi betul-betul urusan publik salah satunya adalah lewat pajak-pajak yang kita bayarkan. Kita makan di restoran, bayar pajak juga. Saat beli rokok, beli buku, pakaian perhisan, kaset game, jual ini-itu, atau bagaimana 3 bulan lagi kita akan ditagih soal laporan pajak penghasilan. Atau pajak korporasi, atau lain-lainnya. Maka tidak berlebih jika ada yang mengatakan bahwa bagaimana pajak-pajak itu dikelola adalah salah satu ‘deteksi dini’ terkait baik-buruk-sontoloyo-nya pajak dikelola.

Mungkin ketika kita bayar biaya makan di restoran, dapat resi-bukti pembayaran dan di bawahnya tertulis: “Pajak-pajak yang anda bayarkan untuk pembangunan”, sedikit banyak akan memberikan kebanggaan tersendiri, atau dorongan akan sebuah keikhlasan, misalnya. Paling tidak kita diberitahu mengapa harus membayar lebih dari apa-apa yang sudah kita makan. Atau misalnya suatu saat ditulis: “Pajak-pajak yang anda bayarkan untuk membantu yang kurang beruntung.” Tetapi bagaimana ketika pajak-pajak kita yang salah satunya digunakan untuk membantu sesama warga yang masih kurang beruntung itu, dalam bentuk bantuan sosial, atau bantuan tunai langsung, kemudian di-klaim sebagai bantuan personal dari satu pihak pemungut dan pengelola pajak? Demi ‘nama baik’-nya, demi meningkatkan ‘citra-diri’-nya? Belum lagi jika digunakan secara ugal-ugalan, serampangan membangun bermacam mercusuar demi ‘nama-baik’, demi ‘kegilaan-hormat’-nya. Jika itu yang terjadi maka sebenarnya ‘pemimpin’ seperti itu tidaklah paham soal republik, soal res-publika itu. Mungkin tahunya ia sedang mengelola ‘res-mono’, yang dalam penampakaannya akan banyak menampakkan diri sebagai yang: semau-maunya.

Maka ‘pemimpin’ yang dengan enteng-enteng saja mempermainkan pajak-pajak yang keluar dari keringat warganya itu sebaiknya saja segera di-akhiri. Dia sama sekali tidak tahu bagaimana menaruh respek terhadap si-pembayar pajak, dan mengapa kita harus respek terhadap ‘pemimpin’ semacam itu? Sudah tidak tahu malu, tak tahu adat pula. Menjadi muak sebenarnya masih terlalu halus terhadap orang semacam itu. *** (18-01-2024)

[1] https://www.youtube.com/watch?v=bckob0AyKCA

1353. Yang Ada Dalam Kendali dan Yang Tidak

18-01-2024

Mengapa ketika seorang tentara ketangkap musuh, dan kemudian disiksa untuk membocorkan dimana sisa pasukan ia mungkin saja bisa tahan akan siksaannya? Salah satunya karena ia mampu menghayati soal ‘apa yang ada dalam kendali’ dan ‘yang tidak’. Tidak hanya datangnya siksaan yang ia hayati sebagai hal ‘yang tidak dalam kendali’-nya, tetapi juga ketika tubuh mengalami rasa sakit yang luar biasa. Ia menghayati bahwa ‘yang ada dalam kendali’-nya adalah pikiran-pikirannya, jiwa-nya.

Terlebih dalam diri seorang pemimpin, yang kadang diibaratkan ada dalam situasi ‘semakin tinggi, semakin kencang pula angin menerpa’, ia semestinya paham pula ‘apa yang masih ada dalam kendali’ dan ‘apa yang di luar kendali’-nya. Tentu dalam praktek akan banyak ‘tumpang-tindih’-nya sehingga kadang memang tidak mudah untuk membedakan, dan memang pula hal ini perlu latihan panjang. Latihan panjang yang salah satu akan di-‘panen’ nantinya adalah kemampuan untuk ‘kontrol-diri’.

Tetapi kemampuan ‘kontrol-diri’ ini sebaiknya juga diimbangi dengan kemampuan lainnya, terutama kemampuan dalam hal ‘timbang-menimbang’. Karena kemampuan ‘kontrol-diri’ di ujung ekstremnya bisa-bisa justru akan banyak kehilangan dari sisi kemanusiaannya. Juga sebaiknya diimbangi dengan berkembangnya ‘sifat-keberanian’ dan kemampuan dalam meraba soal ‘adil-dan-tidak adil’. Mengapa ‘kontrol-diri’ di ujung ekstrem-nya akan beresiko kehilangan banyak sisi manusia-nya? Karena ‘hasrat’ akan ikut-ikut-an ditekan habis-habisan pula, padahal banyak yang bilang, manusia itu pada dasarnya ya hasrat itu sendiri. Atau paling tidak, hasrat merupakan hal yang sungguh esensial bagi manusia.

Maka adanya hasrat mestinya diterima saja sebagai ‘apa adanya manusia’ itu. Kontrol-diri dalam olah hasrat ini memang penting, tetapi seperti ditulis di depan, jangan sampai hasrat terus ‘dimatikan’. Itulah mengapa kemampuan hal ‘timbang-menimbang’ perlu dikembangkan. Dan juga ‘keberanian’ untuk bertindak ketika ada ‘ke-tidak-adil-an’ hadir di depan mata, misalnya.

Dalam sebuah kontestasi, seorang calon bisa-bisa akan mendapat dukungan luas dari bermacam pihak, dengan alasan-alasan yang sungguh bisa berbeda-beda. Seakan itu ada di luar kendalinya. Yang ada dalam kendali-nya adalah pikiran-pikirannya, ‘jiwa’-nya, yang menampakkan diri pada apa-apa yang ditawarkan pada khalayak kebanyakan untuk mendapatkan dukungan. Ia seakan sedang menawarkan sebuah ‘axis-mundi’ dimana khalayak kebanyakan akan hidup di sekitarnya. Tentu ini akan ada dalam ‘paradigma proses’, sehingga dialog kemudian menjadi hal yang tak terelakkan. Maka keterbukaan sebagai bagian penting dalam hal ‘timbang-menimbang’ akan menjadi salah satu ‘indikator’ penting bagaimana hal ‘timbang-menimbang’ ini sungguh ditempatkan pada tempat yang semestinya. Menjadi ‘terbuka’ itu salah satunya akan membutuhkan keberanian tersendiri, terlebih untuk lebih terbuka ketika situasi ke-tidak-adil-an hadir di depan mata. *** (18-01-2024)

1354. Kekerasan Yang Membayang

20-01-2024

Bagaimana jika ada yang sedang berimajinasi mengulang ‘sukses’ pemilihan umum tahun 1971? Dengan segala kuasa di tangan, yang sedang pegang kuasa itu melakukan intervensi –cawé-cawé, dengan sungguh sangat luas, sistematis, terstruktur, dan dalam, saat itu. Ada banyak faktor yang melandasi ‘kesuksesan’ saat itu, tetapi dalam tulisan ini akan ditekankan soal konteks Perang Dingin, ratusan ribu jiwa melayang dengan sungguh mengenaskan –enam tahun sebelum pemilihan, dan modus komunikasi dominan saat itu: man-to-mass, baik melalui radio, televisi, film, maupun media cetak.

Naomi Klein dalam The Shock Doctrine (2007) menjelaskan bagaimana sebuah shock, dicontohkan: badai dahsyat Katrina yang menghantam New Orleans (2005) tidak hanya membuat syok kebanyakan korban, tetapi kesadaran seakan menjadi seperti ‘kanvas putih’. Dan segeralah, menurut Klein, agen-agen neoliberal menulis ‘cerita’ di atas kanvas itu prinsip-prinsip neoliberalisme. Maka pasca badai, ‘tiba-tiba’ saja misalnya, banyak sekolah-sekolah publik mengalami privatisasi. Itulah yang disebut Klein sebagai ‘disaster capitalism’. Atau jauh sebelum Klein, Carl Schmitt mengintrodusir terkait siapa yang berdaulat. Katanya dalam Political Theology (1922), “the sovereign is the one who decides on the state of exception’. Apa yang mau disampaikan di sini adalah pemilihan umum 1971 tidaklah di ruang kosong, ia ada dalam bayang-bayang sebuah ‘state of exception’ –dan bahkan dipelihara berpuluh tahun kemudian, yang berangkat dari sebuah peristiwa yang sungguh membuat shock kebanyakan, bahkan ketika itu terjadi 6 tahun sebelum 1971. Dari mulut-ke-mulut, bahkan jika itu diceritakan oleh saksi mata yang masih hidup, kengerian itu bisa-bisa masih mampu membuat merinding, sampai sekarang. Korban di semua pihak.

Dalam sebuah wawancara, Panda Nababan memberikan pengalaman saat meliput bagaimana cawé-cawé penguasa saat itu terkait pemilu 1971, di sebuah desa: Losari. Bagaimana kekuatan represif penguasa saat itu dengan penuh kekerasan menekan penduduk supaya mencoblos sesuai dengan kehendak pemerintah. Ketika laporan dari Losari itu sudah siap cetak, dan bahkan sudah dicetak –Sinar Harapan waktu itu, segera saja ia diminta oleh aparat untuk membatalkan distribusi laporan yang dibuatnya. Dengan dominannya modus man-to-mass saat itu, hal-hal terkait distribusi informasi memang bisa dikatakan lebih mudah dikontrol. Ketika radio, televisi, film, dan surat kabar atau majalah selalu dalam pengawasan ketat.

Tetapi hari-hari ini ‘the state of exception’ itu bisa dikatakan tidak ada. Narasi radikalisme itu semakin lama semakin mampu dihayati kebanyakan orang secara kepala dingin. Apapun sumber atau titik berangkatnya, radikalisme selalu saja akan ada dalam bermacam komunitas. Yang mengambil tempat di ujung itu akan selalu ada, dalam jumlah kecil-nya. Selalu akan ada. Maka jika soal radikalisme itu dimaui sementara pihak untuk memberikan nuansa ‘the state of exception’, itu sudah gagal total. Juga meski sudah ada UU ITE yang bersembunyi di dalamnya bermacam pasal karet itu, tetaplah tidak mampu mencegah meningkatnya intensitas ‘inter-subyektifitas’ melalui jaringan internet-digital. Modus komunikasi man-to-mass yang dominan saat 1971 itu mendapat tantangan sungguh berat dari modus komunikasi mass-to-mass via digital-internet. Menurut Noam Chomsky yang disampaikan bahkan ketika internet belum muncul di publik, ketika orang tahu sentimen tentang suatu hal dari yang lainnya, maka status quo akan mengalami keretakan besarnya. Dan hari-hari ini kita bisa menjadi begitu mudahnya untuk (saling) tahu sentimen dari yang lain itu, dan bagaimana itu kemudian membangun suatu respon. Lihat misalnya berkembangnya #nazarpemilu itu.

Maka jika ada yang berangan-angan mengulang ‘kesuksesan’ pemilihan umum 1971 dengan cara-caranya yang ‘khas’ itu, sungguh sangat besar yang dipertaruhkan. Bagaimana jika ia tiba-tiba sadar bahwa pemilu 1971 itu ada dalam bayang-bayang kekerasan yang sungguh mengerikan itu, dan kemudian ingin ‘melengkapi’ apa yang menjadi ‘syarat’-nya? Atau tiba-tiba saja ia menghadapi perlawanan yang sungguh besar ketika ‘monopoli tafsir’ itu sudah tidak bisa dilakukan lagi? Apalagi sudah tidak dalam nuansa ‘the state of exception’ lagi? Faktor Perang Dingin juga sangat perlu diperhaikan di sini, sebab apa yang sering disebut sebagai ‘Perang Dingin Baru’ itu bisa-bisa akan mendorong lebih pada kegelapan. Wajah-wajah kuasa itu akan menghilang ketika ia dikerjakan oleh yang sekedar kacung. Dan ketika wajah itu melenyap, ia bisa menjadi begitu bengis-nya. Tanpa beban.

Maka tidak mengherankan ketika banyak tokoh bangsa yang sudah teruji integritasnya itu secara bersama-sama atau perseorangan menyatakan keprihatinannya. Terlebih yang sudah berumur, yang sangat bisa ia menjadi saksi hidup ketika kekerasan itu bisa-bisa berkembang sampai ke ujung ekstrem-nya. Beratus-ribu nyawa melayang, mengerikan. *** (20-01-2024)