1165. Fasisme yang Begitu Menggoda

02-06-2023

Justice is a power; and if it cannot create, it will at least destroy. So that the question for the future is not, shall there be revolution, but shall it beneficent or disastrous?” demikian ditulis oleh G. Lowes Dickinson dalam Justice and Liberty, A Political Dialogue, sembilan tahun sebelum Revolusi Bolshevik meletus. Atau tahun yang sama ketika 20 Mei 1908 kemudian menjadi Hari Kebangkitan Nasional di republik. Yang 115 tahun kemudian nampaknya ada yang sedang bermimpi menjadi ‘diktator-yang-baik-hati’. ‘Baik-hati’ untuk siapa? Keadilan buat siapa?

Lebih dari 2000 tahun lalu di jaman Yunani Kuno memang ada pendapat soal keadilan dikaitkan dengan power, kata Thrasymachus keadilan salah satunya adalah soal siapa yang lebih kuat. Tentu saat itu, atau di kemudian hari banyak pendapat lain soal keadilan, tetapi jika dikaitkan dengan segala gejolak hasrat, tidak sedikit pula pengikut Thrasymachus seperti di atas, keadilan adalah soal yang lebih kuat, atau ketika monoteisme berkembang, keadilan itu kemudian seakan keluar dari ‘yang-maha-kuasa’ –seakan sudah seperti Tuhan saja. Menjadi si-pusat-nya kuasa kemudian menjadi hal yang sungguh menggetarkan. Jika dibiarkan tanpa hadirnya si-‘advocatus diaboli’ maka selangkah lagi ia akan merasa sebagai si-‘advocatus Dei’. Yang misalnya, bahkan mantan koruptor-pun akan diangkatnya sebagai ‘martir-suci’-nya. Semau-maunya.

Sekitar 44 tahun sebelum Justice and Liberty, A Political Dialogue-nya Lowes Dickinson terbit, Maurice Joly –orang Perancis, menulis buku ringkas dengan judul (Bhs. Inggris-nya) The Dialogue in Hell between Machiavelli and Montesquieu. Ada yang mengatakan bahwa buku ini adalah bahan utama dari penulisan Protocols of the Elders of Zion yang kontroversial itu. Tetapi lepas dari ini, beberapa buku disinggung di atas adalah untuk menunjukkan bagaimana soal despotisme –terkait dengan absolute power, itu selalu saja mengiringi sejarah (gelap) manusia. Entah itu ‘atas nama’ keadilan, ‘atas nama’ ini atau itu, atau yang lainnya, seperti ditulis Laski dalam The State in Theory and Practice (1935). Menurut Laski, fasisme bisa-bisa menjadi ‘solusi’ dari ‘dilema’ antara demokrasi dan profit, aksi ambil untung. Buruh melalui demokrasi mengajukan tuntutan peningkatan upah misalnya, tetapi jelas itu bisa-bisa akan mengurangi profit. Dan bisa dibayangkan bagaimana godaan menempuh jalan fasisme itu bisa begitu ‘mengusik-menggetarkan’ ketika akumulasi ‘profit’ lebih menapak jalan pemburuan-rente yang gila-gilaan, kapitalisme-kroni dengan pat-gu-li-pat kong-ka-li-kong sudah begitu ugal-ugalan, atau korupsi yang sudah begitu luas dan dalamnya. *** (02-06-2023)

1166. Politisi dan Umur Psikologis-nya

04-06-2023

Pada dasarnya para politisi itu adalah para penelikung. Yang ditelikung adalah ‘celah-kesadaran’ yang muncul karena kesibukan khalayak dalam urusan kesehariannya masing-masing. Sebagian besar orang itu akan sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri, terutama kaitannya dengan bertahan hidup dan mengembangkan hidup. Soal politik, terutama politik praktis hampir tidak pernah menjadi per-hati-annya. Dan itu wajar-wajar saja. Maka ‘mainan’ kaum politisi ini memang ‘mengasyikkan’, main telikung di kubangan penuh orang-orang yang siap ditelikung. Bahkan ‘suka’ ditelikung. Atau dalam kata-kata Khrushchev: “Politicians are the same all over. They promise to build a bridge where there is no river. If the people believe there's an imaginary river out there, you don't tell them there's no river. You build an imaginary bridge over the imaginary river.

Tetapi benarkah ungkapan Khrushchev itu adalah ‘satu-satunya’ kebenaran tentang politisi? Angela Merkel adalah wanita pertama Kanselir Jerman, dan yang pertama pula lahir setelah Perang Dunia II. Dan uniknya lagi, asal-usul Merkel adalah dari Jerman Timur, ketika Tembok Berlin masih kokoh. Sempat Merkel mengutarakan keinginan yang terus menggodanya saat masih di Jerman Timur, makan malam di Hotel Kempinski yang ada di balik tembok. Dan terbayang pula lezatnya lobster.

Setelah Tembok Berlin runtuh, Merkel perlahan mulai aktif di politik, dan masuklah ia ke CDU (Christian Democratic Union). Clifford W. Mills dalam biografi Merkel menulis sepak terjang Merkel di CDU: “She was smarter and worked harder than almost everyone in the party. She said what she did and did what she said. She was a rarity in politics. She didn’t tell people what they wanted to hear; she told them what she thought she could do to solve political problems. She listened, and she tried to get people to finds areas of agreement and work from there. Her years in East Germany taught her how powerful government could be, and she was determined to use that power to serve others and not to control them”.[i]

Maka memang ada, katakanlah, ‘spektrum-politisi’. Jika memakai kutipan-kutipan di atas, bermacam ‘jenis’ politisi itu akan ada dalam rentang ‘khrushchevian’ dan ‘merkelian’. Dan keduanya sama-sama berurusan dengan ‘politik riil’: politik yang ada dalam ruang apa-apa yang masih bisa dicapai. Masalahnya, masih bisa dicapai buat siapa? Kata Lasswell politik adalah ‘who gets what, when and how’. Belum lagi kita bicara ‘ruang’-nya. Lain ladang lain belalang, katanya. ‘Ruang-bermain’ telikungan itu akan berbeda dalam komunitas dengan power distance (Hofstede) tinggi dan power distance rendah, misalnya. Tetapi fakta bahwa penelitian Hofstede itu adalah saat puncaknya modus komunikasi man-to mass (televisi, surat kabar, misalnya) apakah perlu diperhitungkan lagi ketika modus komunikasi mass-to-mass melalui jaringan internet merebak?

Humo ludens, manusia si-pemain permainan, demikian Johan Huizinga ‘urun rembug’ soal manusia, terlebih manusia dan kebudayaannya. Tidak hanya manusia sebenarnya, binatang-pun lekat dengan permainan pula. Tetapi nampaknya dalam dunia binatang, semakin menginjak ‘remaja’ ini sudah bukan lagi soal berlatih bertahan hidup, tetapi juga untuk menegaskan siapa yang lebih kuat. Siapa yang ada di-‘puncak’ piramida. Bermain permainan bagi manusia dewasa-pun bisa tidak selalu sama dalam penghayatan. Meski ini juga berlaku bagi anak-anak, tetapi bagi manusia dewasa apa yang diungkap oleh Driyarkara ada baiknya untuk selalu diingat –mengingat ‘konsekuensi’-nya, dalam permainan bermainlah dengan sungguh-sungguh, tetapi permainan jangan dipersungguh. Jangan juga mempermainkan permainan. Bagaimana dengan ‘permainan’ merebut-mempertahankan kekuasaan?

Bermain merupakan bagian tak terpisahkan dari sebuah kebudayaan, dan jika kita lihat lebih jauh salah satu hal utama adalah soal batas. Sebuah permainan tentu akan ada batas-batasnya, dan dengan bermain pula kita juga perlahan mengenal-menghayati soal batas ini. Sebuah permainan ada batas-batas yang mewujud dalam aturan-aturan permainannya. Juga kapan batas-akhir permainan, yang mungkin saja akan dimainkan lagi besoknya. ‘Permainan’ politik sebenarnya juga mengenal batas-batas ini, terlebih politik dalam res-publika. Hal publik dan hal privat adalah batas utamanya, meski kadang kabur juga. Yang mau ditekankan di sini, politisi yang mau bermain di ranah res-publika itu pertama-tama sebaiknya paham akan batas-batas hal publik dan hal privat. Dan di ranah res-publika, respon terhadap hal-hal publik-lah semestinya yang akan maju lebih dahulu. Atau kalau meminjam Berger, eksternalisasi soal ke-publik-an adalah yang utama, respon yang ter-eksternalisasi terkait masalah-masalah publik. Termasuk di sini misalnya, ketika ada yang mengulik-ulik masalah privatnya –dan itu pasti di luar kendalinya, respon yang sebenarnya ada dalam kendalinya akan ikut menentukan ‘kualitas’ diri dalam soal ke-publik-an. Contoh misal sebagai ‘orang dewasa’, mungkin saja ia punya hobi nonton film porno. Sebagai pejabat publik tidak semestinya itu diumbar ke publik, istilah Jawa-nya, empan-papan. Tetapi lebih dari itu, hobi seperti itu semestinyalah dihayati sebagai hal privat. Bagaimana jika ditanya apakah bobi nonton film porno? Cukup dijawab, itu masalah pribadi. Dan itu bukanlah jawaban munafik atau apa mau dikata, tetapi jawaban itu adalah ‘pertanggung-jawaban publik’ sebagai pajabat publik. Bayangkan jika hal hobi ‘menonton film porno’ itu ter-esternalisasi dan menjadi ‘hal obyektif’ yang akan di-internalisasi publik-nya. Tentu ini akan membuat gelisah ibu-ibu atau orang tua yang masih punya anak kecil, di bawah umur dewasa. Atau kakek-nenek yang mempunyai cucu masih di bawah umur. Atau guru-guru bagi anak-anak masih usia wajib belajar. Di tengah-tengah mudahnya akses untuk bermacam hal, pejabat publik yang mengumbar hobi nonton film porno di depan publik dengan tanpa beban, justru akan menjadi beban publik. Maka tidak salah-salah amat jika pejabat publik seperti ini kemudian mencalonkan diri, entah sebagai si-nomer satu atau nomer dua, mereka, para orang tua, kakek-nenek, pendidik yang masih terkait erat dengan dunia anak-anak di bawah umur, kemudian sepakat untuk tidak memilih calon seperti itu. Jika terpilih, yang jenis seperti ini nantinya hanya akan merepotkan saja. Jenis seperti ini adalah jenis yang tidak tahu batas-batas permainan. Rambut boleh sudah putih, tetapi ‘umur-psikologis’ sebagai politisi atau katakanlah juga sebagai pejabat publik, ternyata masih ‘anak-anak’ –yang sering memang belum tahu batas.

Hal kedua setelah soal batas hal publik dan hal privat adalah soal khrushchevian dan merkelian seperti disinggung di atas. Dan jika kita lihat dari sisi lain, ‘spektrum’ antara khrushchevian dan merkelian dan memakai ‘spektrum’ Strategi Kebudayaan-nya Van Peursen, khrushchevian itu lebih dekat dengan modus mitis, dan merkelian lebih pada modus fungsionil. Atau jika kita memakai istilah si-Bung, katakanlah, di-‘kanan-kiri’ dinamika ada romantika-dialektika. Khrushchevian itu lebih pada romantika, sedang merkelian itu lebih pada dialektika. Maka ini adalah soal batas. Terlalu banyak romantika bisa-bisa jatuh pada modus mitis, dan dinamika di depan mata akan berlalu saja tanpa kita ‘sadari’. Terlalu banyak dialektika akan serasa ‘kering’, bagaimanapun juga manusia itu butuh romantika. Romantika dalam bayang-bayang dialektika akan menjadi ‘elan vital’ dalam menghadapi dinamika yang terus berkembang. Terlalu banyak romantika bisa-bisa jatuh pada modus mitis, dan tidak hanya dinamika di depan mata akan berlalu saja tanpa kita ‘sadari’, tetapi ke-berpikiran-pun akan terpinggirkan ketika justru mitos yang terbangun dengan dominannya. Kata John F. Kennedy, The great enemy of truth is very often not the lie--deliberate, contrived and dishonest--but the myth--persistent, persuasive and unrealistic. Too often we hold fast to the cliches of our forebears. We subject all facts to a prefabricated set of interpretations. We enjoy the comfort of opinion without the discomfort of thought.” Jadi malas berpikir. Maka merebaklah asal njeplak, asal mangap itu. Semau-maunya. *** (04-06-2023)


[i] Clifford W. Mills, Angela Merkel, Chelsea House, New York, 2008, hlm. 20

1167. "Memojokkan" Imajinasi

06-06-2023

Kutipan pernyataan Einstein, imagination is more important than knowledge bukan berarti knowledge menjadi tidak berarti. Jika melihat pernyataan Einstein dalam konteks-nya di awal-awal abad 20, maka akan nampak bahwa justru karena knowledge-lah imajinasi berkembang. Mungkin bermacam pengetahuan yang berkembang itu kemudian mendorong berkembangnya bermacam imajinasi, bermacam fakta-fakta potensial yang mungkin saja siap diuji di kemudian hari. Tetapi mari berandai-andai, bagaimana jika pengikut fanatik ajaran gravitasi Newton pada saat itu melarang kemungkinan berkembangnya teori di luar yang sudah ditemukan Newton? Jika itu terjadi maka mungkin saja kita tidak akan mengenal teori grativasi-nya Einstein itu. Pemahaman akan semesta kemudian akan terendat-sendat.

Tidak semua pengetahuan itu didapat dari menapak jalan ‘metode ilmiah’ yang baku. Dari pengalaman dan kemudian dari pengamatan sehari-hari misalnya, menemukan bermacam kemiripan-kemiripan. Dari kemiripan-kemiripan itu maka berkembanglah imajinasi bahwa itu tidak sekedar hal mirip, tetapi adalah hal sama. Pengetahun ini untuk menjadi pengetahuan yang bisa ‘dipertanggung-jawabkan’ maka bisa juga kemudian dikronfontir dengan realitas lagi. Atau juga dikomunikasikan dengan imajinasi-imajinasi lain. Dengan langkah-langkah tersebut paling tidak ‘keliaran’ imajinasi bisa dikurangi, dan perlahan ‘kebenaran’ bisa lebih didekati, semakin terbuka sedikit demi sedikit. The truth of disclosure-pun akan semakin tajam. Di samping tentu upaya keras dalam ranah the truth of correctness.

Dalam ranah demokrasi, kedaulatan di tangan rakyat itu bukanlah ‘cek-kosong’, tetapi rakyat komplit dengan imajinasi-imajinasinya. ‘Memojokkan’ imajinasi di sudut sana akan sama saja mengingkari nafas kedaulatan rakyat. ‘Memojokkan’ imajinasi rakyat di sudut sehingga ruang gerak menjadi sempit, dan akhirnya rakyat diminta untuk setuju saja dengan imajinasi si-penguasa. Bermacam upaya ‘memojokkan’ imajinasi khalayak, bisa melalui the truth of correctness yang sudah dijungkir-balikkan secara ‘tidak manusiawi’ –karena yang melakukan adalah binatang, seperti dilakukan oleh pollsterRp itu. Sampai upaya ‘puncak’-nya: monopoli tafsir, monopoli imajinasi. Tak jauh-jauh amat dari jaman old, adanya monopoli tafsir terhadap Pancasila. Tak mengherankan karena yang dibicarakan adalah masa depan. Imajinasi tentang masa depan. Atas nama ini, atas nama itu. Bagaimana jika ini masih kurang berkhasiat? Sejarah memberikan pelajaran pada kita, main kayu kemudian menjadi pilihan. Kayu soft-power sampai dengan puncaknya: hard power. Rusak-rusakan.*** (06-06-2023)

1168. Brutalisme di PDS

07-06-2023

Cardoso dan Faletto di 1979-an menulis adanya ‘pakta dominasi primer’ dan ‘pakta dominasi sekunder’ atau PDS. Menurutnya, yang menjadi ‘pakta dominasi primer’ adalah kapitalisme, dan bermacam apparatus negara itu pada dasarnya merupakan ‘pakta dominasi sekunder’, dimana dalam banyak hal akan sangat dipengaruhi oleh ‘pakta dominasi primer’. Sebenarnya tak jauh-jauh amat dari tesis Marx, bangunan atas termasuk politik akan ditentukan oleh dinamika di basis. Masalahnya adalah ‘pesan’ dari ‘pakta dominasi primer’ ke ‘pakta dominasi sekunder’ itu dalam praktek bukanlah rute jalan tol, bebas hambatan. Ia melalui jalan berliku dan penuh dengan pernak-perniknya. Kapitalisme bukan soal hanya keserakahan saja, tetapi seperti digambarkan oleh Max Weber dalam The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, -terlebih dari para Calvinis, ia juga soal mau kerja keras misalnya. Surga itu bisa ditemukan di dunia dengan kerja keras, begitu pada awalnya. Atau kalau kita bayangkan kegelisahan Koentjaraningrat di awal-awal tahun 1970-an, tentang mentalitas yang tidak sesuai dengan pembangunan, bisa kita lihat juga bahwa Koentjaraningrat sedang bicara juga soal kapitalisme. Mentalitas suka menerabas, tidak menghargai mutu, tidak berdisiplin, tidak mempunyai tanggung jawab (individu) yang kokoh adalah mentalitas yang sebenarnya ‘tidak-disukai’ oleh kapitalisme.

Maka juga tidak salah-salah amat jika buku Koentjaraningrat di atas berjudul Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Dari soal kebudayaan kita bisa berangkat dari Toynbee terkait dengan ‘hukum pertukaran budaya-budaya’. Menurut Toynbee, sinar budaya dengan nilai ‘rendah’ akan lebih mudah diserap dibanding dengan sinar budaya yang bernilai ‘tinggi’. Maka dalam konteks bahasan kapitalisme ini, bisa-bisa keserakahan-lah yang lebih dulu diserap. Dengan segala kekurangannya, bagaimanapun kaum teknokrat sangat dibutuhkan paling tidak untuk menempatkan keserakahan itu dalam sebuah ‘parade kapitalisme’ dengan tetap memasukkan soal kerja keras –tidak suka menerabas, soal disiplin, soal penghargaan akan mutu, dan juga soal tanggung jawab yang kokoh. Dan itu sebenarnya –suka atau tidak, jaman old di 10 tahun pertamanya bisa dikatakan peran kaum teknokrat itu cukup berhasil.

Bagaimana jika secara telanjang ‘suka menerabas’, tidak menghargai mutu ternyata justru seakan sedang di-biasa-kan? Juga soal ‘jangan-tanya-saya-karena-saya-ndak-tahu’: soal menghindar dari tanggung jawab yang kokoh itu seakan juga sedang di-biasa-kan? Juga soal disiplin, misal kesukaan mengubah aturan semau-maunya, bukannya berusaha disiplin untuk menaatinya? Maka ‘sinar-budaya’ kapitalisme yang sedang lebih diserap-pun bisa dibayangkan: keserakahannya. Brutal. *** (07-06-2023)

1169. Aksi Politik di Era Revolusi (Dis) Informasi

15-06-2023

Pada dasarnya ‘aksi politik’ itu adalah soal bicara, omong. Bicara untuk mempengaruhi, bicara untuk berdebat, bicara untuk meyakinkan bermacam pihak. Bahkan jika itu disuarakan oleh kerumunan. Apakah ini juga menegaskan bahwa bahasa adalah ‘rumah’ manusia –kata Heidegger? Mungkin juga. Tetapi lepas dari itu jika kita melihat pendidikan-nya Platon yang tak pernah lepas dari masalah polis itu –lebih 2000 tahun lalu, ketrampilan dialektika -berdebat, barulah diajarkan pada akhir pendidikan. Dan itu bisa-bisa baru diajarkan di-tahun-tahun usia 30-an. Bicara terkait dengan polis diharapkan tidak asal bicara saja, atau berperilaku seperti kaum Sofis, berdebat untuk berdebat saja. Kalau bicara ekonomi, betul-betul titik berangkatnya adalah oikos(nomos), tidak hanya berhenti sebagai ‘chrematisticos’ misalnya.

Apa yang dibayangkan Platon itu sebenarnya tidak jauh dari pendidikan-pendidikan profesi seperti sekarang ini. Atau pengakuan khalayak akan ‘ke-master-an’ seorang tukang bangunan misalnya, setelah ia menapak jalan panjang-keras dengan terus memperbaiki diri. Dalam ranah aksi politik, bicara utamanya. Dalam ranah kedokteran, dokter dengan segala pengetahuan dan aksi-ketrampilan medis utamanya. Demikian juga ranah-ranah lainnya. Tentu ada pernak-pernik lain mengapa aksi politik menjadi tidak sebangun sama dengan aksi medik seorang dokter, atau lainnya. Tetapi sebenarnya mempunyai dasar sama, tak jauh seperti digambarkan Platon, jika ingin hidup bersama ini terus berkembang-maju, maka mempersiapkan masukan, input, adalah mutlak.

Bagaimana jika kita berandai-andai, sosial-media melalui jaringan digital itu sudah ada di jaman Platon? Akankah Platon kemudian memilih jalan ‘bunuh diri’? Terlalu banyak orang tak mau susah-susah lagi menapak jalan keras-panjang sehingga dialektika, dalam hal ini ilmu berdebat, menjadi berbobot. Bahkan kaum Sofis-pun akan gundah juga, sebab bagaimanapun kaum Sofis itu mampu membangun alur-pikir yang sering sulit dipatahkan. Maka ranah polis-pun kemudian bisa-bisa menjadi begitu ‘berisik’-nya. Setiap yang pegang smartphone atau alat digital lain bisa dengan tanpa batas masuk ke ruang-ruang publik, bahkan ruang privat juga, menerobos masuk tanpa sungkan-sungkan lagi. Tetapi bukankah itu juga partisipasi dari khalayak terkait dengan soal ‘habitat’ hidupnya? Res-publika, katanya. Siapapun itu boleh ikut mengurus republik.

Bagaimana jika kita juga berandai-andai modus komunikasi seperti sekarang ini sudah ada di jaman Hobbes hidup? Akankah merebaknya bermacam hoaks, dis-informasi dan sejenisnya itu oleh Hobbes akan dimasukkan sebagai bagian dari state of nature? Keadaan alamiah dengan segala dimensi chaotic-nya. Dengan kecenderungan yang kuat akan menang. Tetapi benarkah ia akan bisa menikmati ‘kemenangan’-nya itu? Sebab yang ‘kecil-kecil’ itupun bisa bersekutu dan terus melancarkan gangguannya. Terus-menerus tanpa henti. Bagi penganut garis keras survival of the fittest akan melihat situasi seperti ini sebagai: mengapa tidak? Mari kita mainken! Maka bukan adu domba antara A dan B, atau dengan C yang akan dimainken –meski akan tetap juga dimainken disana-sini sebagai pernak-perniknya perang, tetapi terutamanyalah adalah soal ‘kesepakatan-kesepakatan’. Menurut Hobbes, untuk menghindarkan jatuh dalam situasi state of nature maka manusia harus bersepakat. Tetapi bagi penganut garis keras survival of the fittest, bahkan situasi state of nature, atau kadang diperhalus sebagai krisis, bahkan situasi itu bisa memperkuat kedudukannya ketika menjadi ‘yang besar-kuat’. Atau dalam kata-kata Carl Schmitt: “Sovereign is he who decides on the exception.” Katanya ada riak-riak yang membahayakan negara-bangsa, misalnya.

Atau lihat akhir-akhir ini, bagian akhir dari hikayat presiden kucluk itu, Donald Trump di AS sono. Ketika ia tanpa sungkan, diulang-dan-diulang, sebagai presiden ia berhak untuk menyimpan dokumen-dokumen (rahasia) negara di rumah pribadinya Florida. Bahkan ada yang disimpan di kamar mandi saat digrebek FBI. Kesepakatan yang mewujud undang-undang kepresiden itu dibaca dengan semau-maunya. Jelas dalam undang-undang itu hanya yang menyangkut ‘data’ pribadi-lah yang boleh dibawa pulang. Ketidak-mampuan membedakan antara hal privat dan hal publik ini bisa-bisa berujung pada bencana bagi hidup bersama. Salah satu dokumen yang dibawa pulang ke rumah pribadi di Florida itu juga terkait dengan nuklir, senjata nuklir. Bagaimana ini jika jatuh ke tangan, katakanlah, musuh? Trump adalah contoh ‘klasik’ kelas pedagang yang tidak mau menapak jalan-panjang pendidikannya Platon, dalam ranah urusan polis. Rusak-rusakan, terutama terkait dengan bagaimana menghayati ‘kesepakatan-kesepakatan’ dan membedakan soal hal publik-hal privat. Maka, jangan ditiru itu Trump! Kayak nggak ada orang mak-nyus saja di planet ini yang jauh lebih berkualitas dibandingkan dengan sik-Trump itu. *** (15-06-2023)