1140. Ada Hantu Gentayangan Di Republik

25-04-2023

Ada hantu gentayangan di seluruh republik, hantu uang-uang-uang,” demikian Manifesto Oligarki dibuka. “Semua kekuatan di Republik akan masuk dalam unholy-alliance ini, untuk menyembah sang-hantu, uang-uang-uang,” demikian Manifesto kemudian berlanjut. Entah itu partai, atau organisasi buruh, bahkan ada juga petinggi agama, atau lainnya, akan menyembah sang-hantu: uang. Demikian maksud jelasnya, tanpa tedeng aling-aling lagi. Lugas, percaya diri: semua itu ada harganya, dalam bentuk tumpukan uang. Tidak ada itu ideologi-ideologi-an, atau pro-ini-pro-itu, yang ada hampir semua adalah: wani piro. Trisakti hanya berhenti di mulut. Marhaenisme hanya ada di awan-awan, menjadi sekedar ideologi kenang-kenangan saja. Yang buku kenangannya akan dibuka lagi saat butuh suara dari Kang Marhaen. Setelah pemilihan: buku cepat-cepat ditutup rapat-rapat. Romantika-nya saja yang dipompa terus menerus, tanpa dinamika, apalagi dialektika. Kang Marhaen tetap miskin, dan ‘mereka’ itu sangat paham betul bahwa di kalangan Kang Marhaen, menyitir Iwan Fals muda, “hanya mimpi yang terbeli”. Maka jualan mimpi-lah yang kemudian dilakukan. Supaya mimpi-mimpi itu bisa begitu mudah masuk dan menyihir, maka diberikanlah latar belakang bermacam ancaman, bermacam kegentingan, demi eksploitasi apa-apa yang disebut Amy Chua sebagai ‘an instinct to exclude’ itu. Ujung akhirnya sudah jelas, si-elit akan semakin kaya saja, dan Kang Marhaen tetaplah miskin. Tetap hanya mimpi yang terbeli. Tidak berubah. *** (25-04-2023)

1141. Lapar Rèsèk, Kenyang Bégo

25-04-2023

Pramono Anung: SBY Harus Netral di Pilpres

Sabtu 05 Jul 2014 21:11 WIB

Red: Taufik Rachman

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Politisi senior PDI Perjuangan Pramono Anung meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tetap netral dalam Pemilu Presiden 2014 sehingga keamanan dan kenyamanan akan terjamin.

"Apabila itu dilakukan (netralitas Presiden), maka keamanan dan kenyamanan akan terjamin dan Pilpres 2014 berjalan aman," kata Pramono di Gelora Bung Karno, Jakarta, Sabtu.

Pramono yang juga Wakil Ketua DPR mengatakan Presiden bertugas sebagai kepala negara dan pemerintahan, sehingga menjaga keamanan bangsa serta negara. Karena itu dia menilai pelaksanaan Pilpres 2014 menjadi pertaruhan bagi seluruh rakya Indonesia untuk bisa tercapai keamanan dan kenyamanan.

"Kita punya pengalaman Pemilu Presiden secara langsung di 2004 dan 2009 yang semuanya berjalan baik," ujarnya.

Dia menegaskan, Presiden Yudhoyono harus bertindak adil dan netral dalam Pilpres 2014 meskipun partainya (Partai Demokrat) memberi dukungan pada salah satu pasangan capres-cawapres.

Selain itu menurut dia, Presiden harus memastikan netralitas TNI dan Polri dalam Pilpres karena netralitas tidak bisa ditawar.

"Netralitas TNI dan Polri adalah harga mari. Ketika TNI dan Polri 'main-main' dengan netralitas maka rusak demokrasi Indonesia," tegasnya.

Menurut dia, apabila ada anggota TNI dan Polri yang terlibat politik praktis maka atasannya harus memberikan sanksi tegas. Dalam hal tersebut menurut dia, Presiden pun harus tegas, jangan seolah-olah tidak terjadi sesuatu.

Sebelumnya Presiden Yudhoyono memberikan tujuh instruksi untuk mengantisipasi kekacauan pemilu yang mungkin terjadi saat pemungutan suara pada 9 Juli mendatang atau proses rekapitulasi suara.

Instruksi itu ditekankan pada kesiapsiagaan dan netralitas TNI serta Polri sebagai garda terdepan dalam menjaga keamanan di masyarakat.

Pilpres 2014 diikuti dua pasangan capres-cawapres yaitu Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla.

Prabowo Subianto-Hatta Rajasa didukung enam partai seperti Partai Gerindra, Partai Golkar, PAN, PKS, PPP, dan PBB. Sedangkan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla didukung lima partai, seperti PDI Perjuangan, PKB, Partai Nasional Demokrat, Partai Hanura, dan PKP Indonesia.

Sumber:

https://republika.co.id/berita/pemilu/berita-pemilu/14/07/05/n88srz-pramono-anung-sby-harus-netral-di-pilpres

1142. Mengapa Oligarki Bisa Menjadi Kejam

26-04-2023

Jika kita bayangkan beberapa bentuk rejim, maka paling tidak kita mengenal adanya rejim monarki, aristokrasi, dan demokrasi. Masing-masing bisa berubah bentuk karena membusuk. Monarki yang membusuk akan berubah menjadi tirani, aristokrasi berubah menjadi oligarki, dan demokrasi menjadi mob-rule. Jika mengambil dari pemikiran Levinas, segera nampak bahwa kebusukan itu karena kuasa semakin menghilang ‘wajah’-nya.

Bagi Levinas, pertemuan face-to-face, tatap muka itu menguak sebuah tuntutan etis, katakanlah, ‘yang lain’ itu seakan ‘menuntut’ kita untuk ‘tidak membunuhnya’. Ketika kita berhadapan dengan ‘yang lain’ seakan menelusup dalam perstiwa itu sebuah peristiwa etis juga, kita juga betanggung-jawab atas ‘yang lain’ itu. Wajah yang hadir di depan kita, bukan soal hidung, mata, warna kulit, kumis-jenggot, dan lainnya, tetapi wajah sebagai yang tak terpisahkan dari ‘totalitas’ tubuh. Segala tarikan wajah seakan menampilkan keseluruhan denyut tubuh. Kalau kita ingat pendapat Albert Mehrabian, bahasa tubuh itu akan mendominasi bagaimana sebuah komunikasi bisa berhasil, baru soal intonasi dan terakhir bahkan baru ke isi-nya. Dan wajah dalam komunikasi akan menampilkan diri sebagai bahasa tubuh, body language yang penting. Kadang dalam film-film, ketika pembunuh bayaran melaksanakan ‘tugas’ ia minta supaya target membalikkan badan sebelum ‘dimatikan’ dengan pistol. Atau ketika kita mendengar bayi menangis karena terlantar, dan mendekat, kemudian melihat wajah si-bayi, tiba-tiba saja menelusup perasaan yang sulit digambarkan, seakan kita menjadi ‘tertarik’ untuk ikut bertanggung jawab atas bayi itu.

Judul adalah soal potensi oligarki bisa menjadi kejam, bahkan sangat kejam. Karena sangat mungkin kuasa de facto-nya tidak pernah menampilkan diri secara langsung, atau jelasnya, kuasa hadir di depan khalayak sebagai ‘kuasa-tanpa-wajah-‘ melalui sosok ‘boneka’-nya. Itulah mengapa rejim oligarki ini bisa menjadi kejam, bahkan sangat kejam, karena kuasa de facto tidak pernah mengalami relasi face-to-face dengan khalayak. Tetapi faktanya, apapun bentuk dari rejim bukankah tidak akan lepas dari nuansa oligarki? Maka memang ini adalah soal kepemimpinan, terutamanya. Atau dalam konteks tulisan ini, bagaimana pemimpin dalam rekam jejaknya terkait dengan relasi face-to-face ini. Jika dalam relasi tatap-muka itu ia mampu ‘menemukan’ peristiwa etisnya, maka mau-maunya oligarki, termasuk juga ‘kekejamannya’ akan menjadi –diharapkan, tidak semau-maunya. Kuasa yang hadir di depan khalayak menjadi kuasa-dengan-wajah, dan ketika ada peristiwa tatap-muka, ia menjadi tidak sewenang-wenang pula. Omong ini-itu seakan ia tidak-bertanggung jawab atas perasaan ‘yang lain’, misalnya. Tidak mudah memang, apalagi jika diingat pula apa-apa yang pernah ditulis oleh Machiavelli.

Tetapi kita bisa belajar dari banyak komunitas yang mampu menapak jalan kesejahteraan bagi kebanyakan warganya, segera nampak bahwa sebagian besarnya pemimpinnya adalah yang sangat paham akan peristiwa etis dalam relasi-relasi tatap muka itu. Ketika ‘kehilangan-muka’ saat melakukan kesalahan, besar atau kecil, ia akan dengan suka rela mengundurkan diri. Naif? Tidaklah, mereka-mereka itu sangat paham dengan apa-apa yang sedang dipertaruhkan. Dan jangan dikira di sana itu tidak ada yang namanya oligarki. Ada, tetapi kualitas pemimpinnyalah, terutama dalam hal etika yang membuat oligarki tidak terus semau-maunya. Tentu soal kualitas pemimpin ini belumlah cukup, tetapi jelas juga ia menjadi syarat mutlaknya. *** (26-04-2023)

1143. Diasuh Oleh Zombie

27-04-2023

Sifat, watak, wajah, dan suasana suatu bangsa ditentukan langsung oleh derajat kemampuan, seni, dan efektivitas bangsa itu dalam mengendalikan kekuasaan,” demikian Mangunwijaya pernah menandaskan.[1] Atau kalau kita ubah pernyataan itu, bisa menjadi: “kemampuan, seni, dan efektivitas suatu bangsa dalam mengendalikan kekuasaan akan secara langsung menentukan sifat, watak, dan suasana bangsa itu.” Maka ternyata soal will to power itu bukan semata soal nature, tetapi juga nurture. Nurturing bagaimanapun akan menciptakan suatu lingkungan tertentu bagi yang sedang berkembang, langsung atau tidak. Dan dalam studi epigenitik, faktor lingkungan bisa-bisa berkemampuan untuk ikut mempengaruhi gen, dan akan diturunkan pula. Sudah banyak studi tentang ini, dan terus berkembang.

Maka soal olah-kuasa dalam praktek ini bukanlah semata soal perebutan-mempertahankan kuasa. Lebih dari itu, ini adalah juga soal nurture hidup bersama. Politik adalah soal hidup bersama, bahkan jika itu ditelisik dari asal katanya. Dinamika politik akan juga menentukan sifat, watak, dan suasana bangsa. Sering kita dengar argument bahwa seorang petinggi menjadi keranjingan lempar-lempar bingkisan pada khalayak karena memang toh khalayak (masih) senang digituin, maka argument ini lebih berangkat dari ‘nature’ saja, dan soal nurture total diabaikan. Atau petinggi itu justru sedang bermain-main dengan nurture? Khalayak sedang diasuh-dikembangkan untuk menjadi sesuatu dengan lempar-lempar bingkisan itu? ‘Komunitas terbayang’seperti apa yang mau diwujudkan, atau sedang dibayangkan saat itu dengan lempar-lempar bingkisan?

Dari bermacam penampakan, terlalu telanjang bagaimana soal nurture ini lebih diarahkan pada ‘pembusukan’. Pembusukan hidup bersama. Sekali dayung dua tiga pulau dilampaui. Soal merebut-mempertahankan kuasa, sekaligus merusak hidup bersama. Mengapa politik bisa sedemikan merusaknya? Karena sebagian besar para ‘pemain’ utama politik praktis itu bukanlah zoon politikon seperti digambarkan oleh Aristoteles, tetapi telah berubah menjadi zombie politikon. Zombie politikon yang tidak pernah peduli lagi dari sekitar-nya. Zombie politikon yang bahkan sudah masuk terlalu dalam di jurang voodoo politik, dengan yang ada di nun jauh sana sedang memegang boneka voodoo-nya. Apakah kita hanya diam saja ketika republik sedang diubah menjadi zombie-land? *** (27-04-2023)

[1] Y.B. Mangunwijaya, Pasca-Indonesia Pasca-Einstein, Kanisius, 1999, hlm. 302

1144. Ruang Viral

27-04-2023

Apakah hidup itu layaknya seperti masuk ke satu ruang, dan kemudian ke ruang lain, dan seterusnya? Dari satu panggung ke panggung lain? Ketika masuk ke ruang ibadah, tentu kita akan bersikap lain ketika masuk ke mall. Atau pasar. Atau sekolah. Atau tempat kerja. Kita sebagai ‘story-telling animal’, ketika masuk ke tempat ibadah misalnya, ‘dongeng’ yang ada tidak hanya menuntut saya bersikap lain seperti saat saya ada di pesta, tidak hanya itu, tetapi adalah soal saya akan ‘memainkan’ peran seperti apa dalam ‘dongeng’ itu? Sebagai umat? Umat yang saleh, atau misalnya ke gereja hanya Natal dan Paskah saja? Sebagai petugas yang membantu kelancaran ibadah? Atau tiba-tiba saja memori sebagai ‘putra altar’ muncul lagi? Dari McIntyre kita bisa membayangkan diri kita sebagai si-‘story-telling animal’, komplit dengan kegelisahan ada dimana kita dalam story-telling itu. Dari Erving Goffman kita bisa menjadi lebih bisa membayangkan rentetan ‘panggung-panggung’ yang kita masuki itu –dengan story-telling-nya masing-masing, demikian juga ‘dinamika internal’-nya melalui Bourdieu kita bisa lebih menghayati. Bahkan di tingkat yang lebih luas, Geertz bisa membantu kita.

Tetapi nama-nama di atas menulis pemikirannya sebelum modus komunikasi mass-to-mass merebak seperti sekarang ini, misal melalui sosial media itu. Dan kita sekarang ini masuk dalam ‘ranah’ tertentu melalui media sosial misalnya, kadang kita masuk dengan tidak usah repot-repot ‘menjaga-penampilan-diri’ dalam ‘panggung’. Atau tiba-tiba saja kita sudah ‘dipaksa’ masuk ‘ranah’ tertentu komplit dengan seliweran pembicaraan yang tidak karu-karuan juntrungannya. Tetapi benarkah modus komunikasi man-to-mass seperti media cetak, atau terutama televisi menjadi terpinggirkan? Baru-baru ini mengemuka gugatan pengembang Dominion Voting System terhadap Fox News Channel, dimana Fox News dituding menyebar berita bohong, yaitu terkait ‘pencurian’ suara Trump dalam sistem informasi penghitungan suara yang dibuat oleh Dominion. Apa yang mau disampaikan di sini adalah masih hidup dan diperhitungkannya media komunikasi televisi itu. Seperti kita ketahui bersama hal tersebut kemudian menggelinding terus pasca pemilihan, dan berujung pada kerusuhan di Capitol Hill sana di bulan Januari 2021 lalu. Sementara itu kita bisa juga melihat lagi bermacam catatan bagaimana Arab Spring di sekitar tahun 2010-an itu menggeliat dengan didorong oleh merebaknya sosial media. Monopoli informasi melalui modus komunikasi man-to-mass oleh negara itu diretakkan oleh merebaknya informasi melalui sosial media. Enam tahun setelah Facebook mulai aktif, 4 tahun setelah Twitter ada. Bagaimana setelah 2016, setelah post-truth ‘dibaptis’ sebagai ‘word of the year’? Setelah skandal Cambridge Analytica terbongkar dalam pilpres di AS sono tahun 2016?

Pada tahun 1971, di puncak kejayaan modus komunikasi man-to-mass, Gil Scott-Heron, seorang aktivis gerakan hak-hak asasi, penyair, dan musikus itu menulis sebuah puisi: “The Revolution Will Not Be Televised”. Yang 30 tahun kemudian juga menjadi judul laporan documenter soal Hugo Chaves di Venezuela pada awal abad ini. Akankah 50 tahun kemudian setelah Gil Scott-Heron merilis puisinya akan ada yang menulis ‘the revolution will not be viral’? Apakah penghayatan akan hadirnya sosial media misalnya, menjadi berbeda saat menggeliatnya Arab Spring dan katakanlah, 10 tahun kemudian? Apakah ada beda outcome dari sesuatu menjadi viral saat Arab Spring misalnya, dengan sekarang ini? Ataukah ‘produk baru’ modus komunikasi seperti sosial-media ini akan megikuti juga siklus dalam kapitalisme seperti ditunjukkan oleh salah satunya, Kondratieff? Ataukah, apapun modus komunikasi yang berkembang selalu saja bisa dilihat sebagai sebuah ‘proses-proses molekuler’, dengan pembeda adalah soal kecepatannya saja? Jika ya, apa yang akan menjadi katalis-nya sehingga perubahan atau revolusi, apapun itu, menjadi mewujud? *** (27-04-2023)