1130. Rejim dan Waktu

6-04-2023

Judul adalah plesetan dari karya Heidegger, Being and Time (1927). Being and Time sendiri secara garis beras, menurut Simon Critchley, “the basic idea of Being and Time is extremely simple: being is time. That is, what it means for a human being to be is to exist temporally in the stretch between birth and death. Being is time and time is finite, it comes to an end with our death. Therefore, if we want to understand what it means to be an authentic human being, then it is essential that we constantly project our lives onto the horizon of our death, what Heidegger calls "being-towards-death".”[1]

***

Malaikat masuk ke sistem Indonesia pun bisa jadi iblis,” demikian Mahfud MD pernah mengatakan sekitar 10 tahun lalu. Itu kalau ‘malaikat’-nya tidak-otentik. Dan memang menjadi tidak-otentik itu sebenarnya biasa-biasa saja. Tidak kemudian seakan menjadi ‘turun kelas’. Dan bahkan mungkin kebanyakan dari kita menjalani hidup ini dengan banyak ke-tidak-otentik-an. Bagaimanapun juga ‘keterlemparan’ kita, dan menjadikan kita seakan ‘tergeletak’ saja ‘di sana’, tiba-tiba saja kita ada dalam dunia tertentu. Dan kita tidak bisa memilih, tiba-tiba saja kita ‘tergeletak’ saja di kota kecil di Indonesia, misalnya. Komplit dengan lingkungan sekitar, apapun itu. Lingkungan kongkret, bukan lingkungan yang di-definisikan oleh bermacam teori pengetahuan. Kongkret, apa-adanya, dan dengan itu pula kita besar, kita hidup, mengembangkan ‘cita-rasa’. Lingkungan sekitar yang seakan ‘siap digunakan’ tanpa banyak berpikir lagi. Dalam segala keseharian kita, being-in-the-world. Kita ‘terhubung’ dengan dunia sekitar pertama-tama tidak melalui ‘pengetahuan rasional’ kita, tetapi katakanlah dengan ‘rasa-merasa’, dengan mood kita. Dalam bermacam mood kita. Tetapi apakah hidup antara kelahiran dan kematian itu hanya akan dijalani sekedar ‘menggelinding’ begitu saja? Bukankah diantara hidup dan mati itu terbentang bermacam kemungkinan? Kita ‘terlempar’ dalam dunia tidak hanya kemudian tenggelam dan berelasi dalam segala yang sudah ada, tetapi juga sebenarnya segala kemungkinan hadir pula, dengan segala potensi berelasinya. Maka ‘diam-diam’ sebenarnya mulai menelusup apa itu kebebasan.[2] ‘Ruang’ untuk berelasi, ‘ruang’ untuk sebuah aktifitas, ‘ruang’ untuk sebuah antisipasi, terlebih ketika bermacam kemungkinan itu juga menjadi ‘dunia sekitar’ kita. Dan dengan itu pula jalan untuk menapak ke-otentik-an mulai terbuka.

Dari sekian macam mood –seperti sudah disinggung di depan, rasa cemas-lah yang menjadikan kita ‘berjarak’ dan tidak ‘tenggelam’ dalam dunia sekitar. Rasa cemas berbeda dengan takut, dimana takut lebih menunjuk pada hal lebih spesifik, sedang cemas bisa-bisa sesuatu yang di-cemas-i itu tidak spesifik, tidak jelas. Tiba-tiba saja dunia sekitar menjadi ‘tidak akrab’ lagi dalam kecemasan itu. Seakan ‘zona aman’ menjadi ‘melenyap’, dan diri kemudian seakan dalam kondisi ‘siaga satu’. Dan dalam kecemasan itulah juga ‘pengalaman pertama’ akan kebebasan dirasakan. Kebebasan untuk mulai ‘menegaskan diri’.

‘Di-atas’ hal-hal aktual, sebenarnya ada itu soal kemungkinan-kemungkinan. Termasuk juga soal kematian. Kematian yang sudah menjadi kepastian. Maka ada suatu yang ‘aneh’ di sini, kebebasan ternyata ada di dalamnya sebuah kepastian, kematian. Jadi, menghadapi kematian itu dengan mood cemas atau takut? Jika ketakutan menjadi mood dominan maka sebenarnya kematian lebih dihayati sebagai yang aktual, sebagai ‘yang jelas’ apa yang sedang ditakuti. Tetapi dengan menempatkan kematian sebagai kemungkinan, yaitu kemungkinan akan hadirnya ke-tidak-mungkinan –karena hidup sudah berakhir, maka mood rasa cemas-lah yang akan maju di depan. Dan ini akan pula mendorong adanya kebebasan. *** (16-04-2023)

[1] https://www.theguardian.com/commentisfree/belief/2009/jun/05/heidegger-philosophy

[2] Bayangkan jika ada ‘sandera kasus’!

1131. Papua dan Spiral Kekerasan-nya

17-04-2023

Masalah Papua yang sering masuk dalam pemberitaan itu bukanlah soal kekerasan saja, dan bukan soal keadilan saja, tetapi sudah masuk dalam apa yang disebut Uskup Dom Helder Camara sebagai spiral kekerasan. Dan memang akar masalah adalah soal ke(tidak)adilan. Ke-tidak-adilan yang dikelola dengan serampangan, dan kemudian menimbulkan aksi, bahkan sampai aksi kekerasan. Aksi kekerasan itu kemudian direspon dengan kekerasan yang lebih besar, dan ketidak-adilanpun semakin membesar pula, ini menimbulkan aksi yang lebih besar pula, dan seterusnya. Ke-tidak-adil-an yang sebenarnya juga membayang lekat dengan yang sering dikenal sebagai ‘kutukan sumber daya’ itu. Kekayaan sumber daya alam itu justru malah memberikan ‘kutukan’ dengan merebaknya kemiskinan dan segala ikutannya.

Tentu ada hal-hal lain yang memberikan latar belakang masalah menjadi tidak tunggal, tetapi apapun itu, ke-tidak-adil-an merupakan poros utama masalah. Pendapat Platon soal keadilan sebenarnya bisa menjadi titik berangkat mengurai masalah ke-tidak-adil-an ini, yaitu ketika masing-masing mampu dan mau melaksanakan ‘tugas’-nya dengan sebaik-baiknya. Baik itu di ranah ‘soft-power’ maupun ‘hard-power’. ‘Masing-masing mampu melaksanakan tugas-nya’ sebenarnya adalah hal yang masih dalam ‘kendali’. Termasuk juga dalam kendali untuk mengendalikan diri, terutama terkait dengan ‘hard-power’. ‘Pengendalian diri’ terkait dengan ‘hard-power’ ini diharapkan akan semakin membuka kemungkinan penyelesaian di ranah ‘soft-power’. Dan apa yang utama dalam soft-power itu? Nampaknya adalah soal kepercayaan, soal trust. Jika kita membayangkan bahwa sebuah tindakan akan dipengaruhi oleh ‘modal, ranah, dan habit’ seperti disampaikan oleh Bourdieu, maka si-pemegang ‘modal tertinggi’ akan berperan penting. Yang dimaksud dengan ‘modal’ di sini adalah jauh dari pengertian ‘uang’. Tetapi lebih pada ‘modal-sosial’, misalnya. Terungkapnya bermacam korupsi merupakan juga indikasi kuat akan retaknya ‘modal sosial’ tertinggi, dan jelas akan berpengaruh pula terhadap ‘tindakan’ yang sebenarnya dimaksudkan untuk semakin mendekatan diri pada keadilan. Dan sebenarnya korupsilah –dimana-mana, pintu masuk dari ‘kutukan sumber daya’ itu. Terlebih ketika korupsi sudah menjadi bagian dari ‘trickle-down effect’, dengan hanya sebagian kecil saja –ala kadarnya, yang ‘menetes’ ke bawah –terutama melalui para ‘pendukung’, dan banyak lainnya justru lari kembali ke Jakarta –beli apartemen di Jakarta, atau ‘bagi-hasil’ dengan pejabat lainnya di Jakarta, misalnya. Atau untuk pembelian barang-barang mewah dari luaran. Korupsi yang sudah menjadi pilar utama dari sebuah rejim. Soal habit tentu kita tidak boleh melupakan pendidikan, tetapi untuk membangun kepercayaan, kesungguhan dalam pengendalian peredaran minuman keras kiranya bisa sebagai pintu masuk-nya. Sungguh serius, dalam arti siap juga berhadapan dengan soal korupsi ini, soal backing-backing-an, kong-ka-li-kong, dan sejenisnya. Lalu bagaimana soal ranah, atau field itu?

Soal ranah ini harus diperhitungkan bahwa ini tidak hanya ranah dari bermacam hal yang masih dalam kendali, tetapi juga hadirnya bayang-bayang lekat dari bermacam hal ‘di luar kendali’. Konteks Perang Dingin misalnya, jaman dulu akan melekat erat dalam permasalahan. Jaman now? Tentu soal ‘pakta dominasi primer’, yang menurut Cardoso adalah kapitalisme, atau katakanlah: keserakahan global, masih tetap membayang selama ‘kutukan sumber daya’ belum hilang dalam kamus. Terkait dengan Perang Dingin, bagaimana dengan jaman now? Lihat misalnya Pakta Pertahanan baru AUKUS itu, antara Australia, Amerika, dan Inggris -disepakati di tahun 2021, yang salah satunya akan dibangun kapal selam bertenaga nuklir. Belum lagi bermacam berita dari negara-negara ‘kecil’ yang tersebar di Pasifik. Bisa kita bayangkan maka pulau Papua, termasuk juga Papua Nugini itu, akan menjadi sangat strategis jika kita bicara soal Pasifik. Akankah ‘spiral kekerasan’ itu akan semakin keras? Maka jika untuk yang masih ‘dalam kendali’ saja kita tergagap-gagap, ‘tidak-mutu’ dalam mengelolanya, akan semakin besar saja yang dipertaruhkan. *** (17-04-2023)

1132. Pandora Milenial

18-04-2023

‘Kotak’ Pandora adalah mitos jaman Yunani Kuno, lebih dari 2500 tahun lalu. Republik semakin lama semakin nampak ada yang sedang membuka ‘kotak’ Pandora, sadar atau tidak. Bahkan membuka ‘kotak’ –sebenarnya berbentuk oval-memanjang, Pandora sambil cengèngèsan, gegayaan, sok-sok-an, dan juga ngibul tiada habis-habisnya. Tak tahu batas, tanpa beban. Republik seakan sedang di tangan rejim pembuka ‘kotak’ Pandora. Cardoso membedakan antara negara dan rejim. Yang kita bicarakan di sini adalah rejim : rejim pembuka ‘kotak’ Pandora. Rejim yang seakan ‘mempersilahkan’ bermacam ‘iblis’ keluar kotak. Dan tidak hanya itu, harapan, ekspektasi-pun bahkan dikunci pula ketika ia sebenarnya mau ikut keluar dari ‘kotak’ Pandora itu. Ketika ekspektasi mau ikut nongol keluar ‘kotak’, tutup ‘kotak’ segera ditutupnya. Maka republik-pun seakan kemudian disesaki oleh bermacam ‘iblis’ dalam bermacam pula bentuknya. Dengan sekaligus menipisnya bermacam harapan.

Dalam hidup bersama, dimanakah harapan itu ‘ditemukan’? Dalam kesepakatan-kesepakatan! Kesepakatan dalam hidup bersama adalah juga sebuah harapan. Sebuah ‘pulau kepastian’ di tengah-tengah gejolak samudera, katakanlah, state-of-nature-nya Hobbes itu. State-of-nature yag disesaki oleh ‘iblis-iblis’ yang dikurung dalam ‘kotak’ Pandora. Bahkan jika harapan itu ada dalam sebuah kesepakatan ‘terbatas’, misal untuk 5 tahun ke depan, misalnya. Maka dalam manajemen ada istilah misi dan visi itu. Ketika ‘ekspektasi’ tidak boleh ikut keluar dari 'kotak’ dan malah dikurung dalam kotak, ditutup rapat-rapat, bermacam ‘kesepakatan’-pun seakan melenyap. Orang menjadi mudah ingkar janji, lupa ‘semangat’ Reformasi, peraturan dengan mudahnya diganti sesuai dengan kepentingan, intinya: semau-maunya. Lalu apa yang begitu berpengaruh sehingga si-Pandora Milenial itu tidak dengan mudah membuka ‘kotak’ Pandora?

Jika dalam mitos ‘kotak’ Pandora ini melibatkan Prometheus, si-pembawa api dan (juga) pengetahuan pada manusia, maka terlebih di abad milenial ini, kita bisa membayangkan bahwa perlulah pegetahuan dalam bermacam bentuknya untuk menjaga sehingga tutup ‘kotak’ Pandora itu tidak mudah dibuka. Perlulah sebuah rejim yang ‘prudence’ sehingga republik tidak mudah diacak-acak ‘iblis-iblis’ yang ngendon dalam ‘kotak’ Pandora itu. Atau bisa dikatakan, kembali ke atas, rejim yang ugal-ugalam akan cenderung dengan mudah membuka tutup ‘kotak’ Pandora itu, dengan meninggalkan ekspektasi di dalamnya. Tetapi apakah hanya dengan mengharapkan hadirnya rejim ‘prudence’ saja, atau katakanlah ‘orang baik’ sehingga ‘kotak’ Pandora itu tidak dibuka?

Maka diperlukanlah pula ‘desakan’ dari ‘yang banyak’. Tetapi adakah ‘kecerdasan’ dari yang banyak itu? Baru-baru ini TV DW menayangkan sebuah tayangan dokumenter tentang ‘kecerdasan yang banyak’ ini. Di sekitar tahun 1950-an ada pecobaan untuk melihat adakah kecerdasan dari ‘yang banyak’ ini. Lebih dari 500 orang diminta menaksir berat sapi. Dan tak ada satupun yang benar dalam jawaban. Tetapi setelah digabungkan dan dirata-rata, ternyata hasilnya hanya selisih 2 kg saja. Atau ketika main catur, Gary Kasparov atau juga super-komputer, melawan ‘yang banyak’ ini. Langkah ‘yang banyak’ adalah merupakan hasil dari yang paling banyak disarankan. Meski Gary Kasparov ataupun super-komputer itu yang menang, ternyata itu dicapai dengan sangat tidak mudah. Maka disimpulkan bahwa bagaimanapun, ‘yang banyak’ itu-pun mempunyai kecerdasan juga. Tetapi apakah ‘kecerdasan kolektif’ ini dapat dihayati tanpa adanya yang ‘menyimpul-kan’ –membantu sehingga menjadi sebuah simpul? Siapa-apa yang menyimpulkan? Para pollsterRp kelas binatang itu? *** (18-04-2023)

1133. Standing Ovation

20-04-2023

Sedèyèk-sedèyèk, niku mboten mung waton omong lho …. Mboten asal ngécap. Mboten mung tekan glenikan thok, ngalor-ngidul ora ono juntrungané … Nggih mboten bapak-ibu?” Lurahé Mukidi mbukak pidato.

“Nggiiiih …,” hadirin kompak jawab. Langsung disambung keplok meriah, plok … plok … plok …

Soal ‘kedaruratan-iklim’ kuwi wis podho kakèhan cangkem thok. Omong ngéné, omong ngono, o-ra –je-las …. NATO, not action talk only ….. Nggih mboten bapak-ibu?” Lurahé stèl yakin karo manthuk-manthuk alon. Gèdhèg kiwo-tengen, yo alon-alon.

“Nggiiiih …,” hadirin kompak jawab, tambah banter. Langsung disambung keplok meriah, plok … plok … plok …

Opo kuwi, NATO thok waé … sok-sok-an! NATO kuwi pancèn gombal tenan. Bédo karo nang Déso kéné …. Nggih mboten bapak-ibu?”

“Nggiiiih ….,” hadirin kompak jawab, tambah banter, tambah kenceng. Langsung disambung keplok meriah, plok … plok … plok …

Soal ‘kedaruratan iklim’ niku, déso wis jelas, ora koyo NATO, ning wis jeee-lasss, mulai minggu ngarep sing mlebu Déso kabèh wis kudu listrik-listrik-an, ora bensin-bensin-an manèh …. Nggih mboten bapak-ibu …?”

“Nggiiiih ….,” hadirin kompak jawab, tambah banter, tambah kenceng, saiki kompak tambah karo ngadeg siap-grak. Ugo langsung disambung keplok meriah, plok … plok … plok … Ora rampung-rampung cuk …

Mergo keplok karo ngadeg kuwi ora rampung-rampung, Lurahé maju sithik ngadoh seko mik, terus driji telunjuk tangan tengen nang ngarep cangkem, kode kon meneng dhisik. Bar wis ora ramé manèh Lurahé nganggo tangan kiwo-tengen rodo ndepaplang, munggah-medhun, kasih kode ben podho lungguh. “Silahkan duduk … silahkan duduk lagi ….,” Lurahé nganggo boso Indonesia, cuk. Ciamik tenan.

Ujug-ujug waé Pak El nyedhak, bisik-bisik nang Lurahé. Lurahé kètok manggut-manggut sajak wis dong karo bisikan Pak El. Lurahé terus nyedhak manèh nang mik. Totok nang Kang Yos: “Kètoké arep di-ralat kaé Kang ...”

Ngono yo Tok …”

“Ya’é.”

Lurahé wis nang ngarep mik manèh. Gèdhèg kiwo tengen, terus mulai omong. “Ralat bapak itu …”

Lha tenan to Kang …,” Totok omong nang Kang Yos. Kang Yos ora njawab blas. EGP.

Mboten minggu ngarep Déso wis mulai listrik-listrik-an, ning mulai sesuk niku! Nggih mboten bapak-ibu ….?”

“Nggiiiih ….,” hadirin kompak jawab, tambah banter, tambah kenceng, tambah ono sing suit-suit barang. Héboh, cuk. Isih kompak tambah karo ngadeg siap-grak. Ugo langsung disambung keplok meriah, plok … plok … plok … Ora rampung-rampung cuk …

Ujug-ujug waé Pak El nyedhak, bisik-bisik nang Lurahé. Tambah kasih cathetan. Lurahé kètok manggut-manggut sajak wis dong, terus cathetan dibuka, diwoco. Mergo hadirin isih héboh, Lurahé maju sithik ngadoh seko mik, terus driji telunjuk tangan tengen nang ngarep cangkem, kode kon meneng dhisik. Bar wis ora ramé manèh Lurahé nganggo tangan kiwo-tengen rodo ndepaplang, munggah-medhun, kasih kode ben podho lungguh. “Silahkan duduk … silahkan duduk lagi ….,” Lurahe nganggo boso Indonesia, cuk. Jos tenan.

Lurahe terus nyedhak manèh nang mik. Totok nang Kang Yos: “Ketoké arep di-ralat manèh Kang ...”

“Raaa-laaat bapak-ibu. Listrik-listrik-an nang Déso mboten mulai sesuk, menopo minggu ngarep. Ning mulai saiki niki bapak ibu. Pit motor, mobil sing isih ngagem bensin-bensin-an, ditinggal nang Balé Déso mriki. Mangké wangsul mlampah menopo boncèngan numpak pit onthèl. Niki jelas mboten NATO-NATO-an bapak ibu …. Nggih mboten bapak-ibu …?” Lurahé semangat banget, saiki karo tangan kiwo bareng munggah dhuwur-dhuwur.

“Nggiiiih ….,” hadirin kompak jawab, tambah banter, tambah kenceng, tambah ono sing suit-suit barang. Malah sing nggowo panci saiki dithuthuk-thuthuk nganggo pipo ledeng sing gemlethak nang pojok. Kursi kayu yo dithuthuk-thuthuk. Héboh tenan, cuk. Isih kompak tambah karo ngadeg siap-grak. Ugo langsung disambung keplok meriah, plok … plok … plok … Ora rampung-rampung cuk

Mergo keplok karo ngadeg kuwi ora rampung-rampung, Lurahé maju sithik ngadoh seko mik, kasih kode kon meneng dhisik. Bar wis ora ramé manèh Lurahé nganggo tangan kiwo-tengen rodo ndepaplang, munggah-medhun, kasih kode bèn podho lungguh. “Silahkan duduk … silahkan duduk lagi ….,” Lurahe nganggo boso Indonesia, cuk.

Lurahé terus nyedhak nang mik manèh, mbengok sak-kayangé: “Nggih mboten bapak-ibu …!”

Hadirin ngadeg manèh: “Nggiiiiih ….” Héboh manèh.

Lurahé maju, kasih kode diam, dan: “Silahkan duduk … Silahkan duduk lagi …” Balik nyedhak nang mik manèh, Lurahé mbengok kenceng karo tangan loro kiwo-tengen munggah dhuwur-dhuwur: “Nggih mboten bapak ibu ….!”

Hadirin ngadeg manèh: “Nggih …..” Tambah héboh.

Totok nang Kang Yos: “Kang ono sing ora bèrès iki …”

“Hè’èh Tok …” Kompak sak gerombolan maju nyedaki Lurahé. Koh Bos sing awaké gedhé dhéwé ngangkat Lurahé seko mburi. Totok lan Cuk Bowo nggejengi tangan tengen lan kiwoné Lurahé, bareng-bareng Lurahé dianggkat digotong nang mburi panggung. Ngono waé Lurahé isih iso mbengok: “Nggih mboten bapak-ibu …”

Hadirin ngadeg manèh: “Nggih …..” Sak kayangé mbengoké. Likwan sing wis gregetan, ngetoké lakban, disuwèk sithik terus cangkemé Lurahé di-lakban. Likwan ugo kadang disebut mister lakban, mergo nang ngendi-ngendi waé mesti nyangking lakban. Mbuh karepé opo kuwi, ora jelas.*** (20-04-2023)

1134. Pada Awalnya Adalah Kata

21-04-2023

The man who wants to act virtuously in every way necessarily comes to grief among so many who are not virtuous. Therefore if a prince wants to maintain his rule he must learn how not to be virtuous, demikian ditulis Machiavelli dalam The Prince. Dari sudut pandang tertentu, ada yang mengatakan bahwa bagaimanapun Machiavelli tidak sedang mengajari untuk menjadi ‘iblis’, tetapi justru ingin secara gamblang tanpa tedeng aling-aling menunjukkan bagaimana ‘iblis’ bekerja. Dan dengan itu pula dapat dibangun bermacam upaya untuk ‘menjinakkan’ bermacam ‘iblis’ itu. Dalam kutipan di atas disinggung soal virtue, keutamaan. Apakah dalam politik ada keutamaan? Akan sangat membantu jika kita membuka-buka lagi bermacam literatur, tetapi bertahun terakhir sebenarnya mengajari kita secara telanjang bagaimana jika politik berkembang dengan meninggalkan keutamaan itu. Keutamaan prudence, ‘ibu’ dari segala keutamaan itu sudah dicampakkan, dan hasilnya? Itulah pelajaran yang tidak boleh dilupakan, pelajaran ketika politik mencampakkan keutamaan, terutama keutamaan prudence. Aristoteles mendefinisikan prudence sebagai recta ratio agibilium: “right reason applied to practice”. Maka keutamaan prudence akan sangat lekat dengan hal timbang-menimbang. Dan tidak usahlah ditabrakkan dengan hal ragu-meragu. Tidak ada hubungan langsungnya.

Dari hal-hal di atas, nampak bahwa keutamaan prudence itu hanya akan bisa dihayati dalam praktek-nya. Keutamaan prudence sering dikatakan sebagai ‘ibu’ dari keutamaan-keutamaan lain. Tetapi meski begitu, ia belumlah mencukupi. Seorang godfather mafia bisa-bisa juga mempunyai keutamaan prudence ini. Tetapi punyakah ia keutamaan keadilan? Atau keutamaan kendali-diri? Maka memang bisa dikatakan, adanya keutamaan prudence ini adalah ‘kondisi mutlak’, tetapi belumlah mencukupi. Termasuk juga dalam politik.

Dari penampakan bermacam tindakan kita bisa perlahan bisa menghayati adanya keutamaan prudence ini atau tidak. Tetapi ada satu tindakan yang nampaknya bisa sebagai ‘deteksi dini’ adanya keutamaan prudence atau tidak, yaitu tindakan dalam berkata-kata. Terutama ketika kata-kata terhayati sebagai ‘satu nada’ dengan outcome-nya. Ketika juga kata-kata ada dalam bayang-bayang tindakan-lanjutnya. Atau juga ketika ada yang berpendapat bahwa orang itu berpikir dulu baru berkata-kata. Maka ketika presiden Joko Widodo berpidato membuka pavilion Indonesia di pameran industri dan teknologi di Hannover Jerman baru-baru ini, dan mengatakan bahwa PLTU yang pakai batu-bara itu di Indonesia akan ditutup pada tahun 2025 –dengan bahasa tubuh dan intonasi meyakinkan, dan sehari kemudian diralat oleh bawahannya bukan 2025 tetapi yang betul adalah 2050, maka itu bukan hal sederhana saja. Itu seakan segera saja menjadi bagian dari sebuah kesimpulan besar bahwa selama ini memang keutamaan prudence telah ditinggalkan dalam mengelola negara. *** (21-04-2023)