1195. Politik Taèk Kucing

26-07-2023

Soré kiro-kiro jam setengah-limo, nang lapangan bal-balan pinggir déso héboh. Pak Étho omong karo nyenthé-nyenthé blingsatan ora karu-karuan. Cah-cah komplotané ponakané Koh Bos malah podho keplok-keplok, asal keplok waé, pokoké bèn tambah gayeng. Tambah gayeng soalé pak Étho yo dadi tambah nyenthé-nyenthé. “Kayang … kayang …,” ponakané Koh Bos nylethuk, jan-jané yo rodo kurang ajar, kucluk abis. Pak Étho mentheleng, nyedhaki ponakané Koh Bos. Ponakané Koh Bos gesit-lincah langsung waé balik kanan, mundur telung meteran, kompak karo sak komplotané. Terus mandeg-ndodok, malah terus keplok tambah karo suit-suit. Ngècè tenan kuwi, cuk … “Asuuu ….,” kiro-kiro ngono batiné Pak Étho.

Likwan karo sak gerombolané sing gèk nongkrong nang cakruké Nyah Ndut penasaran, terus nyedhaki Pak Étho sing nyenthé-nyenthéné ora rampung-rampung kuwi. “Wonten menopo to Pak …,” Totok takon kanthi alus. Karo nunjuk nang pinggir lapangan, Pak Étho njawab karo isih nyenthé-nyenthé: “Kuwi lho … opo kuwi?”

Likwan nglongok nang sing ditunjuk karo Pak Étho: “Ooo niku coklat Pak …

Pak Étho: “Ngono yo Lik …”

Kang Yos mèlu-mèlu nglongok lan urun rembug: “Mboten Pak, niku taèk kucing …

Pak Étho: “Ngono yo Kang …”

Mas Amir ora gelem kalah, mèlu lempar jawaban: “Kang Yos ki ngawur, bener Likwan, niku coklat …

Pak Étho: “Ngono yo Mas …”

Cak Babo langsung nyahut: “Koyo ngènè kok coklat, bener Kang Yos, niku taèk kucing Pak …

Pak Étho: “Ngono yo Cak ….”

Nyah Ndut sing mèlu nyedhak terus usul kanthi bijak: “Tinambang bingung kalian pendapaté wong kucluk-kucluk niki, cobi nyuwun pendapatipun Pak Fifa mawon Pak Étho ….”

Pak Étho: “Ngono yo Nyah …”

Cuk Bowo setuju: “Nggih ngoten mawon Pak Étho, kan kados biasané tinggal maringi amplop perjalanan lan hotel …”

Pak Étho: “Ngono yo Cuk …”

Totok: “Terserah Pak Fifa mangkéh mutuské menopo di-amini mawon, niku cokelat menopo taèk kucing …”

Pak Étho: “Ngono yo Tok …”

Plok … plok …. Plok … Ujug-ujug waé ponakané Koh Bos karo sak komplotané keplok bareng karo kompak tambah cekaka’an kaé. Ponakane Koh Bos mbengok: “Takon Cak Gombloh ….!” Pak Étho tambah njengat, mlayu nyedhaki cah-cah mbeling kuwi. Cah-cah podho sigap-gesit balik kanan, mlayu karo méngo ndelok Pak Étho. Pak Étho njupuk krikil terus dibalangké nang cah-cah mau kuwi. “Tidak kenaaa …,” jèjèré ponakané Koh Bos mbengok karo loncat. Pak Étho terus njupuk kayu cilik. “Tidak kenaaa …” Pak Étho njupuk krikil manèh, ngoyak cah-cah kucluk kuwi. “Tidak kenaaa …”

Likwan sak gerombolan sing ditinggal Pak Étho ngoyak cah-cah mbeling kuwi, terus balik nang cakruké Nyah Ndut. Koh Bos takon nang Nyah Ndut: “Nyah, Pak Étho krungu-krungu arep nyalon Lurah suk kuwi …”

Kétoké Koh …”

Lha ngko umpamané kepilih terus sing diurusi opo Nyah?”

Lha kuwi mau Koh … ngurusi taèk kucing …”

Ngono yo Nyah …”

Ya’é …” *** (26-07-2023)

1196. Proklamasi Penguasaan

27-07-2023

Dalam Perang Modern yang sering disinggung Ryamizard Ryacudu, penguasaan adalah tahap akhir, setelah tahap-tahap infiltrasi, eksploitasi, adu domba, dan cuci otak. Naomi Klein dalam The Shock Doctrine (2007) menyinggung juga soal ‘penguasaan’ terkait dengan ‘cuci otak’ ini. Dicontohkan ketika badai meluluh-lantakkan New Orleans bertahun lalu, digambarkan bagaimana kesadaran khalayak korban badai seakan sebuah kanvas putih bersih karena shock yang begitu dalamnya. Dan saat itulah tangan-tangan kaum neolib bekerja ‘menulis-menggambar’ di atas kanvas putih itu. Dan merangkaklah bermacam privatisasi, dicontohkan bermacam sekolah-sekolah negri atau publik sudah berubah menjadi sekolah-sekolah swasta pasca badai. Klein menyebut ‘rute’ ini sebagai disaster capitalism, kapitalisme yang mengambil kesempatan dari sebuah bencana. Atau lihat juga apa yang disebut David Harvey sebagai accumulation by dispossession itu, salah satu fiturnya adalah manajemen dan manipulasi krisis. Atau bahkan lebih dari seabad lalu, pendapat Lenin soal rantai terlemah kaum imperialis yang akan mendorong pecahnya revolusi sosialis. Oleh si-Bung kemudian menjadi dasar sebuah prediksi: ketika Perang Pasifik pecah, Indonesia akan merdeka!

Jika Hermann Broch benar, tentang adanya kesadaran temaram, twilight state, maka memang dalam banyak halnya ada ‘kerapuhan’ dalam kesadaran manusia. Begitu ada shock yang begitu dalamnya seakan sebuah sumur tanpa dasar, ia kemudian seperti digambarkan Naomi Klein di atas, karena ‘kerapuhan’-nya ia bisa-bisa jatuh dalam keadaan seperti kanvas putih kosong. Tentu tidak semua orang akan seperti ini, terlebih bagi orang-orang ‘terlatih’ –‘terlatih-mengunci’ kesadaran temaramnya. Twilight state memang sifatnya ‘individual’ saja, tidak ada ‘kesadaran kolektif’ yang disebut sebagai kesadaran temaram itu. Mungkinkah ini juga menunjukkan juga bagaimana Skandal Cambridge Analytica dimungkinkan saat Trump berhasil memenangkan pilpres AS 2016 lalu? Hanya saja memang modus meniru disebut banyak pendapat merupakan salah satu hal utama dalam hidup bersama. Dan kemudian terjadilah bandwagon effect itu. Maka dalam ‘kekacauan’ dan terjadi shock dalam, orang-orang ‘terlatih’ bisa-bisa menjadi ‘model’ yang ditiru kebanyakan orang yang memang masing-masing sudah ‘menggendong’ kesadaran temaram. Atau oke-oke saja, seakan tanpa perlawanan ketika ada ‘orang-orang terlatih’ yang mulai ‘melukis-menggambar’ di atas kanvas kosongnya. Atau dalam plèsètan kata-kata Lenin, jika terjadi ‘rantai terlemah dalam kesadaran’ –akibat shock yang begitu dalam karena bencana, maka itu akan mendorong kesempatan revolusi neoliberalisme. Atau juga kita bandingkan dengan pendapat Carl Schmitt seabad lalu, tentang keberdaulatan. “Sovereign is he who decides on the exception,” demikian Carl Schmitt dalam Political Theology (1922). Pendapat Carl Schmitt tentu tidak wajib diikuti –bisa ‘berbahaya’ (jika diikuti secara membabi-buta), tetapi paling tidak kita menjadi lebih bisa meraba imajinasi apa dibalik orang-orang yang demen-nya konflik itu atau pecah-belah-adu-domba. Termasuk juga beberapa pendapat di atas. Karena pada akhirnya adalah soal imajinasi tentang penguasaan: tahap akhir Perang Modern.

Kita sekarang ini hidup seakan dalam ‘ruang’ digambarkan oleh Manuel Castells di penghujung abad 20, space of flows, dengan ‘fasilitator’-nya adalah kemajuan modus komunikasi via digital-internet yang menggantikan via elektronik. Kita katakanlah makan di warung, di satu ‘ruang’ space of places, tetapi tetap saja dengan bantuan smart-phone kita masih juga tidak meninggalkan space of flows dengan ‘aliran’ informasi terus membayang lekat. Tetapi untuk soal energi misalnya –atau juga pangan, mungkin saja naik-turunnya harga akan nampak dari bermacam instrumen pasar keuangan atau komoditi yang seakan lekat dengan space of flows, tetapi tetap saja isu energi akan lekat juga dengan space of places, tempat bermacam tambang, entah digunakan secara langsung setelah diproses, atau berperan penting dalam penyimpanannya. Artinya adalah, penguasaan tidak hanya soal flows-nya tetapi juga places-nya. Sebenarnya tidak berubah, atau belum berubah meski kita sudah ‘meloncat’ di era digital-internet. Penguasaan places tetap saja masih menjadi salah satu idaman, entah secara langsung atau melalui kacung-kacung-nya. Salam Proklamasi! *** (27-07-2023)

1197. Syahdan ...

29-07-2023

Pada tahun 1839 Gubernur Jenderal Usmani untuk Mesir, Mohamad Ali Pasya yang terkenal itu, sudah tigapuluh dua tahun sibuk memperlengkapi diri dengan persenjataan tepat guna yang mengikuti contoh Barat di masa itu. Kegagalan ekspedisi Napoleon ke Mesir telah membuka mata Mohamad Ali, betapa pentingnya suatu angkatan laut yang tangguh. Ia telah bertekad untuk membangun armada yang terdiri dari kapal-kapal perang sejenis yang dimiliki Barat di masa itu. Ia sadar bahwa dia tidak akan mandiri di bahari selama ia tidak mampu membangun kapal-kapal perang Mesir di galangan-galangan kapal Mesir oleh kaum pekerja Mesir. Ia menyadari pula, bahwa ia tidak dapat melengkapi diri dengan staf kaum teknik armada Mesir tanpa mengerjakan insinyur-insinyur perkapalan dan ahli-ahli Barat lain demi pendidikan para siswa Mesir. Maka diikhtiarkan oleh Muhamad Ali pemanggilan ahli-ahli Barat. Dan tertariklah calon-calon dari Barat yang memenuhi syarat untuk melamar pekerjaan di Mesir itu karena skala gaji yang ditawarkan oleh Pasya itu memang menarik. Namun toh para pelamar Barat itu tidak bersedia menandatangani kontrak bila belum ada kepastian tentang kemungkinan memindahkan keluarga mereka ke Mesir; dan mereka tidak bersedia memindahkan keluarganya tanpa kepastian jaminan yang cukup mengenai pemeliharaan kesehatan mereka menurut taraf pertolongan kesehatan berukuran Barat di waktu itu.

Begitulah Mohamad Ali mengalami, bahwa ia tidak dapat memperkerjakan para ahli bahari dari Barat yang sangat ia perlukan itu tanpa mengkaryakan juga tabib-tabib Barat untuk merawat para istri dan anak-anaknya. Dan karena ia telah berkemauan keras untuk membangun armada Mesir, maka tabib-tabib itu pun ia karyakan. Para dokter serta para ahli dengan keluarganya datang bersama-sama dari Barat; para ahli membangun arsenal secara yang seharusnya, sedangkan para dokter merawat dengan baik para istri dan anak-anak dari pemukiman Barat di Iskandaria itu.

Tetapi seusai para dokter itu bertugas terhadap para asisten Barat, ternyatalah mereka masih punya aktu berlebih … dank arena dokter-dokter yang penuh energi dan bercitarasa sosial, mereka memutuskan untuk berbuat sesuatu juga demi penduduk Mesir setempat. Mulai dengan apa? Perawatan wanita yang bersalinlah yang jelas paling diperlukan. Demikianlah kemudian timbul suatu pelayanan untuk yang bersalin di dalam daerah-daerah tertutup arsenal angkatan laut itu yang disebabkan oleh suatu rentetan peristiwa yang seperti akan Anda akui, tidak dapat dihindari itu. *** (29-07-2023)

Catatan:

(1)Tulisan di atas adalah kutipan dari Arnold J. Toynbee, Psikologi Perjumpaan Kebudayaan-kebudayaan, dalam Y.B. Mangunwijaya (ed.), Teknologi dan Dampak Kebudayaannya, vol. I, Yayasan Obor Indonesia, 1987, hlm. 84-85. Tulisan terbit pertamakali tahun 1953

(2) Alenia sebelum kutipan adalah: “Dalam Buku Biru Kerajaan Inggris, yang mencatat pandangan menyeluruh tentang keadaan sosial dan ekonomi Mesir pada tahun 1839, dilaporkan bahwa di kota Iskandariah tempat utama untuk bersalin kala itu terletak dalam daerah tertutup arsenal angkatan laut.”

1198. Suez Tidak Hanya Terusan

30-07-2023

Terusan Suez yang usianya sudah lebih dari 150 tahun itu ternyata tidak hanya cerita soal hampir 10% logistik dunia via kapal melintasinya. Tetapi ia adalah juga ‘saksi’ dari jaman kolonialisme, dua Perang Dunia, ‘abad nasionalisme’, perang Arab-Israel, dan tentu juga saksi dari naik-turunnya Perang Dingin. Tidak hanya soal putaran modal, tetapi juga bermacam denyut-konflik kedaulatan. Bermacam kepentingan nasional dari berbagai penjuru bersinggungan dalam panas-dinginnya. Apakah bermacam hal ini seakan membenarkan pendapat Leo Strauss bahwa, economism is Machiavellianism come to age, Machiavelli yang menua, atau dalam istilah Herry B. Priyono, Machiavelli menumpuk harta?

Suez sebagai terusan, sebagai kanal besar, kemudian seakan memberikan pelajaran tentang bagaimana bersikap terhadap program China yang sudah berjalan lebih dari 10 tahun itu, Belt and Road Initiative. Juga berita-berita terkait dengan ‘jebakan utang’ China terutama melalui ‘utang-utang tersembunyi’-nya. Ada yang mengatakan bahwa globalisasi salah satu ‘aktor’ pentingnya adalah Eurodollar, dollar yang disimpan dipusat-pusat keuangan di luar Amerika. Terlebih di negara-negara Eropa, di dekade 1960-an dan 1970-an, yang banyak berasal simpanan-simpanan gelap para dictator, petinggi-petinggi negara-negara komunis, para pedagang narkoba, uang para Mafioso, intinya simpanan-simpanan yang juga banyak dari ‘underground-economy’ itu telah menyediakan dirinya dalam mem-‘booster’ modal lebih intensif dalam lintas negaranya. Masih banyak lagi contoh bagaimana ‘uang-illegal’ dapat menggerakkan hal-hal yang nampaknya ‘baik-baik’ saja. Maka soal ‘utang tersembunyi’ itu, melihat juga data-data yang bertebaran di jaringan digital, sangat mungkin memang ada. Maka pula tidak berlebihan-lah jika kemudian soal Belt and Road Initiative-pun akan ada yang memandang dalam kacamata ‘Machiavelli menumpuk harta’. Tetapi salahkah itu? Dalam hubungan internasional, pastilah masing-masing akan mempertahankan ‘kepentingan nasional’-nya. Wajar-wajar saja. Maka memang diperlukan pemimpin yang sungguh jauh dari sifat-sifat kacung, sehingga ia mampu menjaga kepentingan nasional dari yang dipimpinnya itu untuk tidak menjadi mangsa empuk dan dimakan bulat-bulat oleh para Machiavellis yang sedang rakus menumpuk harta itu. Ke-prudence-an adalah syarat mutlaknya. Dengan elan-vital-nya: patriotisme. Yang suka sok-sok-an, gegayaan, jelas akan dilibas habis-habisan. Tidak ada pilihan lain selain menyerah sebagai kacung-total. Salam Agustus … Merdeka! *** (30-07-2023)

1199. Rumput Di Puncak Gunung Es

31-07-2023

Rumput di puncak gunung es ternyata bisa juga untuk menguak apa-apa yang ada di bawah permukaan air laut, dimana bagian terbesar dari gunung es ada, meski tidak nampak. Dari persoalan rumput di puncak gunung es itu kita bisa menjadi was-was juga bahwa hidup bersama ini sudah masuk atau dimasukkan ke dalam ‘jebakan-remeh-temeh’ -dangkalisme. Sementara hal-hal mendasar, bahkan jika itu sudah menyentuh ke soal kedaulatan, seakan tersembunyi di bawah permukaan. Bahkan penopang utama kedaulatan, kehormatan, seakan juga ikut melenyap disembunyikan entah dimana. Ataukah memang sudah tidak ada? Ataukah hanya berhenti di mulut saja dan diseru-serukan dengan keras, juga di atas puncak gunung es? Dan dengan itu merebaklah laku sok-sok-an, sok harga mati, sok nasionalis, sok pro-wong-cilik, sok sederhana, sok merakyat, sok ini dan sok itu. Gegayaan yang semakin lama semakin memuakkan ketika apa-apa yang ada di bawah permukaan semakin terkuak.

Kita boleh saja merasa terlalu idealis dengan apa-apa yang diungkap Platon soal ‘filsuf raja’ yang berangkat dari teori tripartite jiwa-nya. Tetapi di balik itu sebenarnya kita merasakan ada pesan kuatnya. Jiwa terdiri dari tiga bagian, berkaitan dengan kebijakan-nalar, kebanggaan, dan nafsu-nafsu: makan, seks, dan terutama nafsu akan uang. Digambarkan ada di bagian kepala, dada, dan perut ke bawah. Atau bisa dibayangkan, kelas ‘filsuf raja’, kelas serdadu, dan kelas pedagang. Pengalaman republik sejak 1945 bisa dikatakan mempunyai contoh bagaimana dipimpin oleh kelas ‘filsuf raja’, kelas serdadu, dan kelas pedagang. Platon tidak juga bermaksud bahwa kelas serdadu dan kelas pedagang tidak boleh menjadi pemimpin polis, boleh, tetapi syarat-syaratnya memang tidak mudah untuk merangkak naik menjadi kelas ‘filsuf raja’ yang akhirnya memimpin polis.

"Philosophers have only interpreted the world, in various ways; the point, however, is to change it", demikian ditulis di batu nisan Karl Marx. Dan republik punya pengalaman yang dekat-dekat dengan ungkapan Marx dalam tesis ke-11 Tesis Feurbach, meski sebenarnya sudah diingatkan oleh ‘teman-lama-seperjuangannya’, si-Bung terlalu asyik menginterpretasikan dunia, saat jaman old-old doeloe. Jadi seorang ‘filsuf raja’-pun bukan jaminan hidup bersama dalam ‘polis’ menjadikan khalayak kebanyakan sejahtera. Bagaimana ‘merubah’ kemudian menjadi bagian penting dalam sebuah interpretasi. Menjadi bagian karena ia sebenarnya tidak lepas dari bermacam penghayatan akan dunia sebagai hasil dari sebuah interpretasi itu. Maka memang sebenarnya ada dua ‘ranah’, ranah ‘interpretasi’ dan ranah ‘mengubah’, dimana sebenarnya ranah ‘mengubah’ itu tak dapat dijelaskan tanpa ranah ‘interpretasi’.

Bagaimana ketika yang maju memimpin kelas serdadu? Ada penggalan masa ketika soal ‘kebanggaan’ itu bisa diimbangi oleh nalar yang digendong oleh kaum teknokrat. Kaum yang mempunyai kemampuan untuk masuk dalam dunia ‘merubah’, terutama secara ‘teknis’, secara ‘operasional’. Dan perubahan-pun memang terjadi, hidup bersama-pun dirasakan semakin baik. Hanya saja ‘kelemahan’ dalam meng-interpretasikan dunia-pun perlahan menuai ‘bayaran’-nya: naik dan semakin dominannya segala nafsu perut ke bawah, terutama nafsu akan uang. Perburuan rente yang mulai dari ‘sektor’ kehutanan itupun perlahan mulai merayap ke sektor-sektor lain. Kaum teknokrat-pun semakin sedikit, atau bahkan juga ‘terpaksa’ menyesuaikan diri dengan perkembangan bagaimana dunia di-interpretasikan secara ‘baru’.

Jaman now, penampakannya adalah kegilaan dari versi terakhir di atas. Tanpa bau kemampuan kaum teknokrat sama sekali. Bahkan minus kebanggaan. Minus kehormatan. Bahkan tanpa sungkan-sungkan lagi, rumput-pun ditaruh di atas puncak gunung es. Yang dengan itu justru khalayak semakin mampu menguak apa-apa yang sebenarnya ada di bawah permukaan. Drama tidak mutu itu-pun akhirnya semakin menguak ke-tidak-mutu-an yang sudah sedemikian menyebar di ‘bawah permukaan’. Atau dalam kata-kata Koentjaraningrat 50 tahun lalu, ke-tidak-mau-an untuk bertanggung jawab, tidak berdisiplin murni, suka menerabas, tidak mau menjaga mutu, sungguh sudah sampai di tingkat kegilaan-nya. *** (31-07-2023)