1150. Ruang Antara

03-05-2023

Banyak ‘ruang antara’ ada di sekitar kita. Salah satunya adalah ‘ruang antara’ yang ada di antara ‘apa yang seharusnya ada’ dan ‘yang senyatanya ada’. Juga misalnya, ruang antara politik idealistik dan politik realistik. Adanya partai politik misalnya, sebenarnya ia ada di ruang antara juga, ia ada di antara apa yang seharusnya ada dan senyatanya ada. Partai politik sebenarnya adalah salah satu ‘orang-tengah’ bagi khalayak ketika menghayati negara. Tetapi dalam praktek, partai politik sering menjadi ‘orang tengah’-nya bukan bagi khalayak, tetapi lebih bekerja sebagai ‘orang tengah’-nya pemilik uang banyak ketika berhadapan dengan negara. Politik hari ini di republik adalah ‘politik uang’, dalam arti kekuatan uang bisa-bisa menjadi penentu. Sebagian besar pelaku politik hari ini adalah para penyembah uang. Indikasi atau bermacam penampakan secara telanjang banyak memberikan konfirmasinya.

Atau juga, apa ruang antara antara masyarakat dan adanya penjahat di sekitarnya? ‘Ruang antara’ diantara ‘apa yang seharusnya ada-hidup bersama terasa aman’, dan ‘yang senyatanya ada –selalu saja ada penjahat’. Di ruang antara itu kemudian ada hukum, polisi, jaksa, pengadilan, pembela, dan penjara atau pusat-pusat rehabilitasi, misalnya. Terimakasih pada akun https://twitter.com/PartaiSocmed yang terus membongkar bermacam kebobrokan di republik, termasuk akhir-akhir ini kebobrokan di Lembaga Pemasyarakatan. Jika kita bayangkan bahwa bagaimana ‘tata-kelola’ Lapas itu sedikit banyak mirip-mirip dengan negara –kaum anarki pasti akan segera setuju, maka tidak salah-salah amat bahwa yang terjadi di Lapas seperti diunggah oleh https://twitter.com/PartaiSocmed adalah cermin dari bagaimana republik dikelola. Tak jauh-jauh amat.

Atau soal politik idealistic dan politik realistic itu, apakah hanya ada dua pilihan itu? Kadang kita lupa ada ‘ruang antara’ diantara keduanya. Kongkret ada dalam penghayatan khalayak. Siapa yang tidak punya imajinasi terkait dengan ‘apa yang seharusnya ada’? Dan saat bersamaan dia tahu juga apa-apa yang senyatanya terjadi, apapun ‘tingkatan’ penghayatannya terhadap ‘dunia’ sekitarnya itu. Kita bisa menunjuk partai politik sebagai yang penting ada di ruang antara itu, tetapi ada yang tidak boleh dilupakan, peran penting jurnalisme. Karya-karya jurnalistik yang sungguh bisa menghidupkan ‘ruang antara’ tersebut. Masalahnya sering ia terikat bahwa tempat ia bekerja itu ada juga di ‘ruang antara’, diantara pemilik modal dan pelanggan. Atau kekuasaan. Repot memang. Meski hadirnya sosial-media bisa ‘menambal’ lubang jurnalisme karena ada faktor kepentingan pemilik modal, tetap saja masih ada lubang-besarnya. Maka karya-karya jurnalistik yang mampu menghidupkan ruang antara politik idealistic dan politik realistic masih tetaplah ditunggu kehadirannya. Sungguh. *** (03-05-2023)

1151. Pihak Ketiga Sebagai Deep Frame

04-05-2023

Menurut Platon, persahabatan sejati akan selalu melibatkan ‘pihak ketiga’, dimana pihak ketiga itu menjadi kepedulian mendalam dari yang membangun persahabatan itu. Dan semestinyalah pihak ketiga itu adalah sesuatu hal yang baik. Atau kita mengikuti teori segitiga-nya Rene Girard? Yang salah satunya dalam konteks tulisan ini adalah tentang ‘kambing hitam’ itu.[1] Atau dalam kata-kata Amy Chua, Human are tribal. We need to belong to group. … But the tribal instinct is not just an instinct to belong. It is also an instinct to exclude.” (Political Tribes, 2019, hlm 1) Baik ‘pihak ketiga’ maupun ‘kambing hitam’ nampaknya ‘bekerja’ melalui deep frame. Menurut Lakoff, deep frames adalah tempat ‘digantungkannya’ surface frames. Pernak-pernik data, atau bermacam peristiwa itu –sebagai surface frames, tiba-tiba saja makes sense, tiba-tiba saja menjadi ‘jelas’ dengan adanya deep frames tertentu.

Jika kita buka-buka catatan sejarah maka kita bisa belajar bagaimana berkah modus komunikasi man-to-mass, terutama melalui media cetak, sungguh membantu dalam menyebarkan ide-ide tentang kemerdekaan. Terutama bagaimana situasi-situasi negative akibat penjajahan itu dijelaskan sebagai bukan sebuah nasib yang tidak bisa dilawan. Perlahan kemerdekaan, lepas dari penjajahan, menjadi sebuah deep frames yang semakin meluas. Dari kacamata dialektika, mungkin ini terkait bagaimana soal kuantitas itu bisa berubah menjadi kualitas. Deep frames yang sudah menjadi betul-betul sebagai frames setelah menjalani proses-proses molekuler panjangnya, dan pada titik tertentu bermacam surface frames tidak hanya kemudian menjadi ‘makes sense’, tetapi bisa-bisa akan menjadi sebuah katalis untuk sebuah perubahan besar.

Reformasi yang dalam hari-hari mendatang genap 25 tahun itu pada dasarnya adalah juga mengubah deep frames, katakanlah misalnya dari deep frames pembangunan menjadi soal demokrasi, pemberantasan KKN, dan soal HAM. Tetapi bertahun terakhir seakan kembali ke jaman old, dengan ‘resep’ tak jauh berbeda. ‘Pihak ketiga’ dieksploitasi lagi soal pembangunan (infrastrutur) ditambah dengan eksploitasi an instinct to exclude seperti pendapat Amy Chua di atas. Atau jelasnya soal radikal-radikul itu sebagai ‘kambing hitam’-nya.

Di setiap komunitas, di setiap jaman, akan selalu ada yang memilih tempat di ujung sana, yang membedakan satu komunitas dengan lainnya adalah bagaimana itu direspon. Ada yang kemudian merespon itu dengan mengeksploitasi an instinct to exclude. Ada juga yang mengambil langkah dengan berupaya keras menggapai kesejahteraan bersama, yang ini sekaligus akan mempersempit ruang gerak dari yang ada di ujung sana. Tentu ini bukan jaminan 100%, tetapi akan jauh lebih ‘produktif’ bagi kebanyakan warga dari pada eksploitasi an instinct to exclude itu. Maka ‘tema’ yang dimaui untuk menjadi deep frames itu akan diulang dan diulang. Terus menerus, bahkan jika ‘tema’ itu menjengkelkan sekalipun. *** (04-05-2023)

[1] Lihat juga, https://pergerakankebangsaan.org/tulisan-09, no. 1119 (Sekaligus koreksi: bukan Pierre Bourdieu, tetapi Rene Girard, terimakasih)

1152. Pilihan-pilihan Yang Merusak

05-05-2023

Karena di sekitar ada banyak kemungkinan, maka memilih bisa-bisa merupakan ‘kegiatan’ yang harus dihadapi. Banyak teori, misal dengan dikaitkan aktifitas otak, mengapa kita memilih A dan bukannya B. Atau adanya ‘pola tertentu’ yang sudah jauh masuk dalam ketidak-sadaran kita, dan itu kadang sadar atau tidak akan mempengaruhi pilihan-pilihan kita. Dari Clotaire Rapaille kita bisa belajar apa yang disebutnya sebagai kode-kode kultural. Bagaimana akan sukses jualan kopi di Jepang ketika tidak ada kode-kode kultural soal rasa kopi, misalnya? Maka Clotaire menarankan pada produsen (minuman) kopi besar untuk mulai memasukkan rasa kopi di biskuit, atau permen lebih dahulu. Setelah itu berjalan bertahun, hasilnya adalah betapa cepatnya Starbuck buka cabang-cabang di kota-kota besar di Jepang sana. Maka pilihan-pilihan, terlebih pilihan yang mempunyai ‘capital besar’ akan menjadi penting di sini. Yang dimaksud ‘capital’ di sini adalah dalam konteks Bourdieu, tindakan akan dipengaruhi oleh capital, ranah, dan habit.

Maka tak mengherankan Napoleon pernah mengatakan bahwa “when small men attempt great enterprises, they always end by reducing them to the level of their mediocrity.” Ketika ranah negara dipegang oleh ‘small men’ maka itu akan nampak dalam tindakan-tindakan, termasuk juga dalam hal ini tindakan memilih. Maka bisa kita bayangkan, habit-pun akan terpengaruh juga, ketika lebih banyak dipilih pilihan-pilihan yang merusak. Di sekitar pertengahan dekade pertama Reformasi (2004), Gereja Katolik melalui SAGKI-nya menerbitkan nota pastoral dengan judul “Keadaban Publik, Menuju Habitus Baru Bangsa. Keadilan Sosial bagi Semua, Pendekatan Sosio-Budaya.” Hampir 20 tahun kemudian, nampaknya nota pastoral ini sebaiknya dikaji ulang karena relevansi-eratnya dengan situasi sekarang. “Habitus” yang berkembang secara telanjang semakin menampakkan diri justru serasa semakin jauh dari ‘keadaban publik’. Meski bicara soal ‘pendekatan sosio-budaya’, dari Bourdieu kita bisa belajar bagaimana pengaruh dari si-pemegang ‘capital’ tertinggi itu. Bahkan jika kita bicara di bermacam ranah sekalipun. Terlebih dalam komunitas dengan power-distance (Hofstede) tinggi. Misal kita bisa bertanya –di ranah negara, habitus apa yang sedang dibangun ketika mantan napi korupsi justru diberi panggung wira-wiri di sekitar istana? Keadaban publik seperti apa yang sedang berjalan dengan pilihan-pilihan seperti itu?

Salam hormat untuk ‘mo Haryo, Berkah Dalem. *** (05-05-2023)

1153. Saat 'Kejahatan Logika' Tanpa Lawan

07-05-2023

There are crimes of passion and crimes of logic,” demikian Camus membuka kumpulan esainya dalam The Rebel, terbit pertama kalinya tahun 1951. Atau lihat misalnya, drone yang membuat ketar-ketir se-dunia, drone yang meledakan di atas Kremlin beberapa hari lalu. Siapa bikin ulah? Pihak Ukraina langsung membantah terlibat, sedang Amerika segera menandaskan supaya peristiwa itu jangan menjadi pretext bagi Rusia untuk meningkatkan perang. Maka soal ‘kejahatan logika’ itu bisa-bisa tidaklah terkait soal legitimitas saja, tetapi juga soal deep frames, meminjam istilah George Lakoff. Saat kejahatan logika itu kemudian menjadi tempat ‘digantungkannya’ kejahatan hasrat. Bagaimana dengan semakin merebaknya, misal disinformasi? Atau juga post truth-post truth itu? Atau juga bermacam pelintiran? Atau survei-survei mbèlgèdès itu? Dan bagaimana sebuah logika bisa dihayati sebagai sebuah kejahatan? Belum lagi jika kita bicara soal potensi dari berkembangnya kecerdasan buatan (AI). Atau misalnya banyak akun-akun yang menampilkan diri sebagai akun ‘NKRI Harga Mati’ dan ‘Aku Pancasila’, misalnya, justru banyak menjadi sasaran nyinyiran netizen? Ataukah Konsensus Washington itu adalah juga kejahatan logika ketika ia ‘beranak-cucu’ seperti disebut David Harvey sebagai accumulation by dispossession itu?

Sekitar 15 tahun setelah The Rebel terbit, Guy Debord menerbitkan ‘tesis-tesis’ nya dalam The Society of the Spectacle. Akankah kejahatan logika itu kemudian juga menampakkan diri dalam bermacam ‘tontonan’? Dandhy Laksono men-cuit hal menggelitik menanggapi rusaknya jalan-jalan di Provinsi Lampung, tulisnya: “Jalan rusak (substansi). Jadi perbincangan (viral). Presiden mau datang (momen). Jalan diperbaiki (kosmetik). Presiden lewat jalan rusak (gimik).[1] ‘Tontonan’ seperti ini bisa-bisa akan menyihir juga. Coba kita bayangkan ke minimarket yang sering sekali akan Tanya pada pelanggan saat membayar ke kasir, jika ada jumlah ‘tak bulat’ maka ia akan menawarkan untuk di-donasikan, 100, 200, 300 rupiah katakanlah. Jika kita menolak, dan kebetulan di samping kita ada pelanggan lain, bisa-bisa kita akan dilirik: pelit, mungkin itu juga yang akan dikatakan. Bagaimana kita tidak ‘tersentuh’ dengan alur tontonan seperti digambarkan oleh Dandhy di atas? Maka Dandhy-pun meneruskan cuitannya: “Tingkat ekspektasi kita pada perubahan sudah sedemikian rendah, hingga berhenti bermimpi lebih besar dari sorak-sorai semacam ini.[2] *** (07-05-2023)

[1] https://twitter.com/Dandhy_Laksono/status/1654472918947217408?cxt=HHwWgIDShdSW7_UtAAAA

[2] Ibid

1154. Sentripetal-Sentrifugal dan Batas-batasnya

08-05-2023

Human are tribal. We need to belong to groups … But the tribal instinct is not just an instinct to belong. It is also an instinct to exclude,” demikian Amy Chua dalam Political Tribes (2019). Dari kacamata seorang fisikawan, mungkin segera saja nampak adanya gaya sentripetal dan sentrifugal dalam pernyataan itu. Tetapi manusia bukanlah kumpulan benda mati, dan seperti dikatakan oleh Abraham J. Heschel, rabbi Yahudi dan seorang filsuf dalam Who Is Man? (1963), “teori tentang bintang-bintang tidak akan mengubah esensi dari bintang, tetapi teori tentang manusia bisa sangat mempengaruhi adanya.” Bagi fisikawan, gaya sentrifugal adalah ‘gaya semu’, tetapi ketika ia ‘diakrabkan’ dengan kutipan pendapat Amy Chua di atas, ia bisa-bisa sangat berdampak nyata, dan bukan lagi ‘gaya semu’.

Hitler dan Goebbels sangat berhasil mengeksploitasi gaya sentripetal-sentrifugal seperti tergambarkan di atas dan bahkan sampai masuk sisi gelap terkelamnya, hampir se-abad lalu. Jika memakai pendapat Platon tentang persahabatan, maka persahabatan sejati akan mewujud jika ada ‘pihak ketiga’ yang menjadi kepedulian mendalam dari yang bersahabat. Itulah saat ‘gaya sentripetal’ bekerja. Dari Rene Girard dengan ‘teori segitiga hasrat’-nya, terlebih soal ‘kambing hitam’-nya, itulah ketika ‘gaya sentrifugal’ bekerja, ketika ‘an instinct to exclude’ dieksploitasi. Hitler dan Goebbels mengekspoitasi kedua ‘gaya’ itu seakan sudah tanpa batas lagi. Lalu apa yang menjadi ‘batas-batas’-nya?

Sebelum melangkah lebih lanjut ada baiknya kita mengingat ‘peringatan’ dari Carl Schmitt –seabad lalu, terkait dengan konsep negara modern. Menurut Schmitt –dalam konteks Eropa waktu itu, “konsep negara modern adalah sekularisasi dari konsep teologi.” Girard dengan ‘kambing hitam’-nya melanjutkan analisisnya dalam kristianitas, dimana ia melihat bahwa kematian Kristus itu memang diperlukan, paling tidak untuk menjaga tetap ‘bersatunya’ pengikut-pengikutnya. Titik berangkatnya memang bukan eksploitasi ‘an instinct to exclude’ tetapi sebagai ‘kambing hitam’ yang akan mengurangi rivalitas antara pengikut-pengikutnya dan ‘model’, Kristus sendiri, yang juga sekaligus si-‘pihak ketiga’. Maka inilah ‘batas’ pertama yang bisa kita raba –dalam ranah ‘konsep negara modern’, jangan menghayati soal gaya sentripetal dan sentrifugal seperti di atas itu seakan kita sedang menghayati sebuah agama. Dan alarm deteksi dini untuk hal ini sebenarnya bukan pada ‘pengikut-pengikut’-nya, tetapi pada yang suka atau bahkan menempatkan diri layaknya seorang ‘utusan dari Atas’ saja. Atau bahkan menghayati diri seakan Yang Maha Kuasa. Super-hero, super-pahlawan. Termasuk juga, ‘tak lekang oleh waktu’. Abadi kuasanya! Jika ada pemimpin seperti ini, kita harus mulai hati-hati bahwa eksploitasi ‘gaya sentripetal dan sentrifugal’ ala Hitler dan Goebbels sedang didaur-ulang.

Meski bukan jaminan, kaum ‘aristokrat’, terlebih yang dekat dengan pengertian kaum teknokrat ia diharapkan ikut mempengaruhi ‘arah-kuatnya’ tarikan ke ‘pusat’ dalam gaya ‘sentripetal’ sehingga bisa ditempatkan secara lebih ‘realistis’. Tidak justru memupuk lahirnya seorang ‘megalomania’ yang semakin tenggelam dalam ilusi kemegahan-kebesaran. Hal sebaliknya akan terjadi ketika disekitar lebih banyak kaum penjilat yang terus saja tebar puja-puji memabukkan. Tidak kalah penting adalah adanya gaya sentripetal ‘saingan’, katakanlah ‘oposisi’. Maka ketika para penjilat semakin rajin saja dalam menjilatnya, ditambah lemahnya ‘oposisi’, pelan tapi pasti ‘megalomania’-pun akan semakin membesar. Apalagi ketika ia sering ‘diperankan’ sebagai pahlawan. Bahkan di ujung ia akan merasa diri sebagai Yang Maha Kuasa. Tentu ini akan sampai pada ‘batas’-nya ketika ‘sihir’ menjadi terus berkurang ketika fakta-fakta semakin jauh dari ‘pihak ketiga’ yang terus-menerus didendangkan dalam dinamika gaya sentripetal-nya itu. Krisis legitimasi-pun akan semakin membayang. Dan ‘jalan gampang’-nya kemudian adalah semakin mengeksploitasi an instinct to exclude, ‘kambing hitam’-nyapun kemudian dieksploitasi habis-habisan. Puncak dari ini semua, sejarah memberikan pelajaran berharga, adalah ketika terjadi banality of evil itu. Bermacam laku evil kemudian menjadi banal. Dari evil asal njeplak, asal mangap, terus tebar kebohongan, jungkir-balikan fakta, laku koruptif, ngunthet sana ngunthet sini, ngemplang sana ngemplang sini, pat-gu-li-pat, kong-ka-li-kong, hukum dipermainkan, intimidasi, bahkan sampai penghilangan nyawa. Bayangkan jika bermacam evil yang tersimpan dalam ‘kotak’ Pandora itu dilepas dan kemudian terhayati sebagai hal biasa-biasa saja? Sebagai hal banal? Diam-diam evil-evil lain menjadi banal karena ‘sibuk’ merayakan pembunuhan si-‘kambing hitam’ di tengah-tengah membesarnya ‘krisis legitimasi’. *** (08-05-2023)