1255. Kata-Kata Kosong dan Konsekuensi-nya

02-10-2023

Dorothy Law Nolte dikenal dalam puisi Children Learn What They Live (1954), dan ‘meneruskan’ puisi tersebut kita bisa bertanya, apa yang akan dipelajari anak-anak ketika dibombardir oleh kata-kata kosong? Atau dalam konteks lebih luas, bagaimana nasib ‘masyarakat-pembelajar’ ketika kata-kata kosong bertebaran tiada henti? Apa yang sedang kita pertaruhkan ketika kata-kata kosong bahkan hadir dengan penuh ‘kebanggaan’, dengan penuh gelora ‘patriotisme’, sudah samasekali tanpa beban lagi. Bahkan politik kemudian juga berarti sebagai ‘seni’ menebar kata-kata kosong. Yang terjadi tidak hanya ‘penyederhanaan partai politik’, bahkan sudah terjadi juga ‘penyederhanaan politik’. Tidak hanya deindustrialisasi, tetapi juga depolitisasi. Ataukah justru depolitisasi ini mesti ditempatkan di depan? Lain-lainnya adalah sebagai konsekuensi-nya saja dari penyederhanaan politik menjadi ‘seni’ menebar kata-kata kosong itu?

Maka ‘gairah’ akan kata-kata kosong ini akibatnya adalah sungguh menghancurkan, bermacam ‘kematian’-lah yang akan dituai. Yang pasti, sains akan dipinggirkan bahkan sambil bersiul-siul, karo singsat-singsot, cuk. Dan jika sains terpinggirkan, akankah industrialisasi akan mengalami kebangkitannya? Ideologi-pun akhirnya hanya akan menjadi ‘ideologi kenang-kenangan’ saja, kata si-Bung. ‘Versi-busuk’ otak-kiri itu akhirnya tidak menjadi partner seimbang dari otak-kanan, tetapi justru memicu kegersangan dinamika otak-kanan. Juga kata-kata kosong itu akan menumbuhkan fanatisme buta. Hanya emosi yang diaduk-aduk untuk menutupi kosong-nya kata-kata. Hanya dengan fanatisme sajalah kemudian soal apakah itu kata-kata kosong atau tidak sudah tidak dipedulikan lagi.

Ketika kata-kata kosong semakin bertebaran dengan tanpa beban, maka sebenarnya bisa dilihat pula merebaknya ‘jalan gampang’. Maka kehormatan-pun akan menghilang dalam hidup bersama. Tidak ada ‘jalan samurai’ Mushashi lagi. Atau empu-empu dengan segala ketekunannya. Mau memuliakan petani? Itu dikatakan hampir 10 tahun lalu, dan ternyata hanyalah kata-kata kosong belaka. Dan sekarang dilempar lagi kata-kata itu, tanpa beban. Oleh orang-orang dekatnya. Maka ketika Wiji Thukul menandaskan kata lawan, terhadap kata-kata kosong itu marilah berseru: BACOOOT! *** (02-10-2023)

1256. Saat Republik Di Tangan 'Orang-orang Kerdil'

04-10-2023

Terkait kritik obral HGU 190 tahun di IKN, Kepala Bappenas menjawab: “Yang penting tak langgar konstitusi.” Nampaknya logika seperti ini adalah salah satu ‘logika kesayangan’ bertahun terakhir. Mungkin apa yang ditulis berikut sedikit banyak ada nuansa otak-atik gathuk, tetapi marilah perlahan kita bedah bersama.

Para founding fathers sebenarnya sudah menuntun ‘logika hidup bersama’ dalam Pembukaan UUD 1945. Lihat misalnya mulai dari alinea pertama, apa yang ingin disampaikan? Nilai, value! Alinea kedua? Fakta-fakta yang diangkat dalam abstraksinya. Alinea ketiga? Janganlah kita terjebak dalam perdebatan, yang benar itu ditulis Allah atau Tuhan? Bukan itu pesan utamanya, tetapi hanya melalui rute ‘akal-sehat’ manusia-lah sehingga ia mau mengakui bahwa ada keterlibatan Yang Maha Kuasa dalam hal kemerdekaan. Dan dengan akal-sehat pula alinea ketiga itu lekat dengan ‘sebab-akibat’. Bagaimana dengan alinea ke-empat? Adalah soal regulasi, yang regulasi ‘utama’-nya kita kenal sebagai ‘sila-sila Pancasila’ di bagian akhir alinea ke-empat itu.

Apa yang dikatakan oleh Ketua Bappenas di atas dengan mudah kita lihat bahwa ia menempatkan ‘regulasi’ di tempat pertama. Dan kita harus hati-hati dengan nuansa ‘kediktatoran hukum’ ini, the dictatorship of laws. Karena ini juga bisa berarti hukum digunakan untuk mendukung ke-diktatoran, ke-sewenang-wenangan. Hanya berhenti sebagai legitimasi saja. Bahkan hanya berhenti sebagai soal ‘legalitas’ saja. Jika tidak sesuai ya ganti: ‘disesuaikan’. Maka dalam banyak hal kita bisa lihat bermacam penmpakan dari dipinggirkannya perdebatan soal nilai-nilai, soal fakta-fakta yang berkembang, dan bahkan soal akal-sehat. Bahkan kalau perlu, fakta-fakta-pun dengan tanpa beban akan dijungkir-balikkan. Nilai-nilai dikaburkan oleh kesibukan narasi radikal-radikul. Dan bahkan akal-sehat-pun dikubur dengan dikembangkannya fanatisme.

Maka memang benar apa yang dikatakan Anies Baswedan soal bagaimana kebijakan publik itu mestinya diputuskan, dengan urutan-nya: keadilan (soal nilai-nilai), kebutuhan publik (soal fakta-fakta aktual dan potensial), berlandaskan ilmu dan akal sehat, serta berpijak pada regulasi. Maka sebenarnya ini bukan saja soal perubahan, tetapi adalah juga ‘revolusi’. *** (04-10-2023)

1257. Demokrasi dan "Penyakit Kekanak-kanakannya"

06-10-2023

Mau lihat penampakan ‘penyakit ke-kanak-kanak-an’ dalam demokrasi? Banyak, terlalu banyak. Apa gejala dan tanda utama, cardinal sign dari ‘penyakit ke-kanak-kanak-an’ dalam demokrasi ini? Itu adalah: tidak tahu batas. Dan sebenarnya tidak hanya dalam rejim demokrasi, tetapi juga di rejim monarki dan aristokrasi. Sama, ‘penyakit ke-kanak-kanak-an’ itu port de entry-nya adalah: tak tahu batas. Jika analogi ‘permainan’ dipakai, maka meminjam istilah Driyarkara, ‘penyakit ke-kanak-kanak-an’ itu akan cenderung tidak hanya kemudian keranjingan ‘mempermainkan permainan’ tetapi juga mudah jatuh pada ‘permainan yang dipersungguh’. Kenapa begitu? Karena yang ‘bermain’ adalah orang-orang ‘dewasa’.

Mengapa godaan ‘tak tahu batas’ ini seakan terus melekat pada bermacam bentuk rejim, bahkan mulai dari rejim ‘tertua’? Mungkinkah karena ini lebih berurusan dengan ‘hasrat’ dimana menurut Spinoza memang manusia itu esensinya adalah soal hasrat? Maka salah satu ‘kesibukan’ manusia dalam menapak jalan panjang hidup bersama ini salah satunya adalah terkait dengan mengendalikan hasrat ini. Sampai pada satu titik kemudian berkembang ‘keyakinan’ bahwa tidak cukuplah dalam hidup bersama ini mengendalikan hasrat hanya mengandalkan, katakanlah: orang baik. Dibutuhkan pula satu ‘lapangan-permainan’ dimana hasrat dikendalikan oleh hasrat lainnya, hasrat ditabrakkan dengan hasrat lainnya, hasrat vs hasrat. Atau dalam istilah yang sering kita dengar dalam ranah hidup bersama: check and balances.

Maka apa yang membuat manusia menjadi mau melatih diri dalam mengendalikan hasrat? Atau juga apa yang seakan menjadi ‘wasit’ dalam ‘hasrat vs hasrat’, sehingga ‘lapangan permainan’ tetaplah menjadi ‘permainan’ yang mampu mengembangkan hidup bersama? Mungkinkah itu ‘nilai’, value? Tetapi bagaimana kita menghayati nilai-nilai itu dalam hidup keseharian?

Nilai-nilai itu bisa kita bayangkan sebagai ‘warna merah’ –atau warna-warna lainnya, dalam arti fenomenologis, ‘warna merah’ yang baru bisa kita hayati ketika ia menempel di kursi, meja, atau sebagai pelangi, misalnya. Tetapi meski tidak ada meja, kursi, atau pelangi di nun jauh sana, bukan berarti warna merah itu tidak ada. Warna merah dengan panjang gelombang sekian, dan jika dicampur dengan warna x akan menjadi warna y, akan tetap ada. Demikian juga soal nilai, ia baru bisa dihayati dalam kenyataan lain, dalam tindakan manusia misalnya. Maka mengajarkan apa itu warna merah paling efektif ketika warna merah itu menempel pada ‘kenyataan lain’, kursi misalnya. Tentu bisa juga dengan memberitahu soal panjang gelombangnya, dan lain-lainnya, tetapi sekali lagi, yang paling efektif adalah dengan pengalaman langsung terhadap warna merah itu. Pancasila yang lekat dengan nilai-nilai itu, maka ‘pendidikan’ paling efektif bukanlah penataran-penataran 45 jam atau 100 jam, tetapi bagaimana nilai-nilai itu menampakkan diri dalam kenyataan lain, dalam katakanlah, tindakan manusia-manusia kongkret-nya. Demikian juga pendidikan-pendidikan nilai di sekolah, dalam keluarga, atau dalam komunitas lainnya.

Dari hal-hal di atas maka bisa dikatakan bahwa sebenarnya bermacam nilai-nilai itu sudah ada, hanya saja ia seakan ‘tersembunyi’ dalam bermacam kenyataan. Maka, katakanlah kita bicara soal pendidikan nilai, itu juga berarti bagaimana ‘peserta didik’ menjadi mampu menemukan nilai-nilai itu, dan kemudian mewujudkannya. Ini jelas mengandaikan adanya kebebasan dalam mengarungi ‘kenyataan-kenyataan lain’ dan berusaha menemukan di balik itu, nilai-nilai tersembunyinya. Dan ketika satu-dua atau lebih nilai-nilai ia tangkap dan berusaha untuk selalu mewujudkannya, kita akan meraba bagaimana suatu ethos itu juga terbangun. Suatu ethos kerja misalnya yang menjunjung tinggi nilai-nilai pengetahuan, atau ketekunan-mutu, misalnya. Atau nilai-nilai kejujuran. Atau terkait nilai-nilai kesehatan sehingga ia dengan sungguh-sungguh mempunyai ethos tinggi dalam menjaga kebugaran tubuh.

Nilai-nilai, menurut Max Scheler (1874-1928), mempunyai hirarki sendiri, dari yang bernilai lebih rendah dibandingkan lainnya. (Kelompok) nilai yang ‘paling rendah’ adalah terkait dengan nilai-nilai kenikmatan (dan ketidak-nikmatan) - the value of pleasure and displeasure (the emotional value). Kemudian ada yang disebut nilai-nilai kehidupan - the value of the sense of life seperti misalnya kesehatan, kesejahteraan umum, ‘di atas’-nya: nilai-nilai kejiwaan - the mental value (perception, beauty, justice, juga pengetahuan murni dalam filsafat), dan ‘paling atas’, nilai-nilai kerohanian - the value of holiness.[1] Dalam konteks tulisan ini maka diajukan pertanyaan, apakah nilai-nilai di atas akan juga ‘mengambil bagian’ ketika bicara soal hasrat? Terlebih terkait dengan demokrasi dan ‘penyakit ke-kanak-kanak-an’-nya? Jangan-jangan penghayatan akan nilai-nilai itu masing-masing ada juga ‘bablasan’-nya?

Dalam latihan hasrat vs hasrat, agere contra, hasrat akan hal buruk misalnya, kemudian ditabrakkan pada hasrat akan hal (yang bernilai) baik, dan ini terus dilatih dan dilatih. Tetapi bagaimana jika hasrat tidak hanya mengkooptasi akal-budi misalnya, tetapi juga dalam penghayatan akan nilai. Yang bisa kita bayangkan dalam istilah workaholic, misalnya. Bagaimana jika bukan work, tetapi penghayatan akan nilai ‘paling rendah’: nilai-nilai kenikmatan? Atau ‘bablasan’ pada nilai-nilai kerohanian, kadang ada yang menyebut sebagai ‘mabuk agama’ itu? Meski memang dalam the value of holiness itu tidaklah berhenti soal agama saja. Maka sebenarnya dapat dikatakan di sini, ‘penyakit ke-kanak-kanak-an’ itu adalah juga ‘ketertutupan’ dan bisa juga ditambahkan: ketidak-pekaan hati untuk mau ‘ber-dialog’ dengan bermacam nilai. Dari sini maka fakta potensial terhadap ‘tak tahu batas’ sudah mulai membayang. Jika tidak ada check and balances maka hal tersebut akan mudah menjadi fakta faktual, dengan segala akibatnya.

Ada ketua umum karbitan dari partai sok iyé yang kemudian dengan yakinnya mengajak supaya politik-bergembira. Ya tentu boleh-boleh saja ajakan itu, tetapi apakah hidup bersama hanya akan dikembangkan cukup akrab-akrab saja dengan nilai ‘paling rendah’ itu, the value of pleasure? Nampaknya memang itu hanyalah puncak dari gunung es selama bertahun terakhir, tahunya hanyalah ‘kenikmatan’ bagi dirinya, keluarganya, dan konco-konconya. Sama sekali tidak tahu yang terbaik bagi republik. Benar kata Napoleon: “When small man attempt great enterprises, they always end by reducing them to the level of their mediocrity.*** (06-10-2023)

[1] Lihat juga, Al. Purwa Hadiwardoyo, Nilai-nilai Kemanusiaan dan Hikmat Bagi Pendidikan, Pidato Dies Natalis XXX IKIP Sanata Dharma hlm. 9-10

1258. Eskalasi

09-10-2023

Eskalasi adalah serapan dari bahasa asing, dengan asal-usul katanya terkait dengan ‘naik dengan tangga’, tak jauh-jauh dari penghayatan kita soal eskalator, misalnya. Bermacam istilah bisa dikaitkan dengan ‘eskalasi’ ini, contoh soal ‘kudeta merangkak’ itu. Atau di majalah Basis ada kolom tetap: “Tanda-tanda Zaman”, tanda-tanda zaman yang bisa-bisa sebagai port de entry sebuah eskalasi. Kadang-kadang juga ini dikaitkan dengan bermacam prediksi terhadap sesuatu yang akan terjadi, misalnya tanda dan gejala gunung akan meletus, pada titik tertentu seakan dirasakan adanya eskalasi dari beberapa tanda dan gejalanya. Atau si-Bung meyakini bahwa ketika Perang Pasifik pecah maka Indonesia akan merdeka. ‘Logika eskalasi’ yang berujung pada melemah-nya suatu ‘rantai’. Atau juga ‘logika eskalasi’ dalam Perang Modern yang sering disinggung oleh Ryamizard Ryacudu, dimulai dengan ‘infiltrasi’, eksplotasi, politik adu-domba, cuci otak, dan puncaknya: invasi/penguasaan. Dalam bidang medis-pun jika suatu penyakit tidak segera diatasi maka bisa-bisa akan berujung pada kematian.

Beberapa tahun terakhir jika kita mengamati bermacam bentuk kekerasan di seluruh dunia, kekerasan perlahan seakan sedang di-daur ulang sebagai ‘paradigma baru’-nya. Bermacam bentuk kekerasan dari perang sampai kudeta militer seakan sedang membayangi (lagi) sejarah manusia. Tentu kita akan tetap teguh untuk ‘ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial’ seperti sudah ditulis di Pembukaan UUD 1945. Meski dengan kesadaran bahwa hari-hari ini -juga sebenarnya di masa lalu, tetaplah masih banyak hal terjadi di luar kendali kita. Maka ‘ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan’ selain bermacam hal bisa dilakukan sesuai dengan kemampuan, mulai dengan membuat pernyataan, mengirim bantuan, sampai dengan ikut dalam pasukan penjaga perdamaian PBB, hal utama sebenarnya adalah soal bagaimana terkait dengan yang ‘masih dalam kendali’ dikembangkan, paling tidak bisa sebagai ‘contoh’ soal kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial ditegakkan. Ataukah bahkan soal kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial di dalam negeri-pun sungguh masih bermasalah?

Maka kata kunci-nya kurang lebih seperti dikatakan oleh Richard Robinson di tahun 2016 -dalam kuliahnya, dan saat menjawab pertanyaan salah satu peserta kuliah: “Kita menyadari jika sebuah negara memproyeksikan kekuatannya ke panggung internasional, maka negara itu bisa menjadi negara yang kuat.”[i] Di balik pernyataan ini paling tidak ada pesan, jangan sekali-kali melupakan sejarah gejolak internasional yang pasti akan -cepat atau lambat, berimbas pula pada republik. Paling tidak lagi ‘style gejolak’-nya, jangan sampai dimakan mentah-mentah sebagai hembusan ‘semangat jaman’. Jangan-jangan itu hanyalah ‘gejolak-hasrat’ yang sudah tak tahu batas lagi, dan di-narasikan seolah-olah sebagai ‘semangat jaman’ saja. Atau dalam kata-kata bijak guru Sun Tzu: If you know the enemy and know yourself, you need not fear the result of a hundred battles. If you know yourself but not the enemy, for every victory gained you will also suffer a defeat. If you know neither the enemy nor yourself, you will succumb in every battle.” *** (09-10-2023)

[i] https://pergerakankebangsaan.org/tulisan-34, No. 1240

1259. Saat Guru Besar Meninggal

12-10-2023

Beberapa hari lalu saya mengantar istri melayat kolega, yang juga adalah guru kami juga, seorang guru besar bidang kesehatan anak, khususnya bidang respirologi, bidang pernapasan (anak-anak). Penghormatan bukan hanya ke-guru besar-nya, tetapi memang gairah terhadap pendidikan yang bahkan tidak pernah padam sampai menjelang wafatnya. Watak keras memang selalu mengiringi, tetapi itu tak lepas dari passion-nya mendidik, terutama bagi calon-calon dokter spesialis. Dan sebagian besar yang berangkat dari ranah pendidikan akan memberikan penghormatan terkait dengan hal tersebut. Mungkin saja orang tua pasien atau pasien-pasien yang beranjak remaja akan ikut juga merasa kehilangan. Kadang memang pasien anak-anak itu ‘khas’, lihat dokter ‘kesayangan’-nya saja sudah nampak gembira. Lupa sakitnya. Atau mungkin saja tetangga lebih mengenalnya sebagai ‘orang baik’, karena rajin ke gereja misalnya. Atau lainnya. Maka kemudian muncul dalam bayangan, orang menaruh ‘hormat’ itu tidak hanya terkait dengan ‘persepsi’ masing-masing, tetapi juga sangat terkait dengan’ranah’, atau fields. Semakin hidup bersama berkembang, semakin beragam pula ‘ranah-ranah’ berkembang.

Menurut Pierre Bourdieu, bermacam ranah-ranah itupun akan ‘berkontribusi’ terkait seperti apa sebuah tindakan ‘diputuskan’. Tindakan, action, menurut Bourdieu akan dipengaruhi oleh ‘ranah’, ‘capital’ dan ‘habit’. Seorang ‘guru besar’ misalnya, ia akan dihayati oleh yang akrab dengan ranah pendidikan tidak hanya soal ‘besar’ dalam ke-ilmuannya, tetapi juga ‘gairah’-nya akan pendidikan, baik secara ‘langsung’ pada peserta didik, maupun secara umum atau luas pada masyarakat. Tidak pernah padam sampai ajal menjemput. Tidak ada kata ‘pensiun’. Bahkan sebenarnya tidak hanya ‘guru besar’ saja, tetapi siapapun yang mempunyai ‘gairah’ mendidik. Apa yang dimaksud dengan ‘gairah’ di sini sebenarnya tak jauh-jauh amat dari ethos. Dan sebuah ethos akan terbangun ketika sebuah ‘nilai’ terus menerus diperjuangkan untuk mewujud. Memang yang dimaksud dengan ‘habit’ di sini tidaklah sebatas bicara soal ‘kebiasaan’ saja, tetapi lebih ‘dalam’ lagi, atau kurang lebihnya jika kita membayangkan soal ‘ethos’. Maka dalam ‘teori tindakan’ seperti di atas, langsung-tidak langsung, kita juga bicara soal ‘nilai’. Atau ada nilai-nilai tertentu dalam sebuah ‘ranah’ bisa-bisa saja akan mengalami ‘peningkatan’ hirarki nilai-nya. ‘Pesan’ di belakang ini adalah pertama-tama bukanlah soal semakin dibutuhkannya ‘spesialis-spesialis’ dalam hidup bersama, tetapi adalah ‘keterbukaan’ akan nilai-nilai yang tidak hanya menjadi begitu beragamnya, tetapi juga ternyata ‘kongkret-hidup-dan-menghidupi’ bermacam ranah. Kadang kita harus ‘siap’ untuk tetap menaruh hormat pada ketekunan dalam kerja misalnya, meski kita tahu ia tidak ‘religius-religius’ amat. Pada titik tertentu memang kemudian soal ‘hakim-menghakimi’ menjadi tidak begitu mudahnya. Tidak hanya sekadar ‘nobody perfect’ tetapi memang kadang-kadang nilai-nilai apa yang sedang ‘dikejar’-pun bisa sangat berbeda-beda.

Apakah kemudian menjadi berkembang sebuah ‘relativitas’ abis-abis-an? Tidak juga, bahkan jika kita menelurusi sampai jauh di lubuk hati, sebab bagaimana-pun juga, hasrat akan ‘kosmos’ itu pastilah lebih kuat dari hasrat akan ‘chaos’. Terwujudnya ‘tertib-tatanan’ tetaplah merupakan ‘kebutuhan’ yang tidak pernah hilang. Hanya saja ‘horison’ soal ‘tertib-tatanan’ ini terus saja mengalami ‘kemajuan’-nya. ‘Horison’ perlahan dimajukan, bahkan mulai ‘berani’ melangkahkan kaki –menembus ‘horison lama’, dalam ‘ranah’ chaosada di ‘seberang’ horison (lama), yang perlahan pula mulai menjadi bagian dari ‘tertib-tatanan’ baru. Jika kita membayangkan kemerdekaan sebagai upaya melepaskan diri dari kaum penjajah, maka ‘tertib-tatanan’ baru ini seakan upaya melepaskan diri dari ‘sihir’ si-mono dan atau bersama dengan si-aristokratnya, itu jika kita memakai istilah bermacam bentuk rejim.

Maka perlahan berkembanglah ‘antropo-sentrisme’ itu, berpusat pada manusia. Modernisme-pun kemudian berkembang. Tetapi dengan segala kedaruratan-iklim seperti sekarang ini, atau perang di sana-sini di perjalanan waktunya, banyak yang kemudian mempertanyakan soal ‘janji-janji modernisme’ itu. Sekitar 500 tahun kemudian.

Tetapi lepas dari soal ‘janji-janji modernisme’ yang banyak sedang dipertanyakan itu, dari hal-hal di atas berkembang pula apa yang kita kenal sebagai ‘yang publik’ dan ‘yang privat’. Ranah publik dan ranah privat. Hidup bersama kemudian tidak merupakan lagi res-mono, atau res-aristo, tetapi menjadi res-publika. Meski penghayatan akan ‘nilai-nilai kerohanian’ tetaplah menempati ‘nilai-tertinggi’-nya, berkembangnya res-publika menyebabkan apa-apa yang ada ‘di-bawah’ Yang Maha Kuasa –yang diciptakan manusia-manusia itu, sah untuk dipertanyakan oleh publik termasuk ‘tatanan-kuasa’ yang sudah ‘dilepaskan’ dari bermacam ‘sihir’-nya itu. Pertanyaannya adalah, titik berangkat apa yang membuat bermacam pertanyaan itu menjadi ‘sah’ untuk muncul?

Jika kita menghayati Pancasila sebagai nilai-nilai yang mesti diperjuangkan maka ‘nilai tertinggi’ apa sebaiknya titik-berangkat untuk mempertanyakan ‘kuasa’ misalnya? Marilah kita coba dengan berangkat dari ‘nilai keadilan’. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Tentu nilai-nilai lainnya tetaplah ‘sah’ sebagai ‘titik berangkat’, tetapi jika boleh menegaskan, paling mendasar adalah soal nilai keadilan. Dari pendapat Platon soal keadilan, kita bisa membayangkan soal ‘ke-tidak-adil-an’ yang nampaknya lebih mudah dihayati. Yaitu ketika ‘masing-masing’ tidak melaksanakan apa yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya dengan sebaik-baiknya. Paling tidak ini bisa menjadi alarm deteksi dini akan potensi meredupnya keadilan. Tidak percaya? Lihat saja bertahun terakhir ini. *** (12-10-2023)