1175. Negeri Tanpa Patok Duga

23-06-2023

Jika ‘the nature of progress’ adalah ‘memajukan horison’ maka salah satu ‘alat’ yang bisa kita bayangkan adalah ‘patok duga’, benchmarking. Maka jika ada ‘slogan’ yang berbunyi: “Jangan dibanding-bandingkan” lebih baik itu tidak usah didengarkan. Sebagian besarnya malah akan menjerumuskan saja. Salah satu pengertian ‘patok duga’ adalah memang memperbandingkan dengan ‘standar’ tertentu. Dan sebenarnya membanding-bandingkan adalah salah satu titik berangkat dari bekerjanya sain dalam arti luasnya. Yang membedakan satu dengan yang lainnya adalah ‘metode-ilmiah’-nya. Misal dalam penelitian obat, satu kelompok benar diberikan kapsul isi obat yang sedang diteliti, sedang kelompok lainnya hanya diisi gula (sebagai placebo), kemudian hasilnya dibandingkan. Maka jika ‘jangan membanding-bandingkan’ adalah ‘pesan’ politik, si-pelaku politik itu sebenarnya sedang menggiring khalayak ke ranah kebodohan. Ke arah lebih bagaimana khalayak dikelola dengan ‘doktrin-doktrin’ tertutup. Atau dikelola dengan bermacam ‘sihir’ saja.

Dalam ranah politik, apa yang kemudian menjadi ‘patok duga’? Apakah ‘patok duga’ semata hanya dicari di ‘basis’. Atau dicari juga di ‘bangunan atas’? Mengikuti sejarah perundangan Inggris sejak kerajaan diputuskan berubah menjadi ‘kerajaan-konstitusional’ ternyata cukup mengasyikkan, dalam arti bagaimana perundangan-perundangan itu tetap dipegang, dengan ‘dimajukan’ terus. Artinya ada ‘patok duga’ dan ‘patok duga’ itu kemudian berkembang sesuai dengan tuntutan jaman, dengan tanpa kehilangan ‘arah’ karena ‘patok duga’ sebelumnya menjadi salah satu dasar dalam memajukan. Tentu bisa lain cerita di bekas jajahannya, tetapi yang mau dikatakan di sini adalah, keputusan politik yang mewujud sebagai undang-undang atau peraturan itu adanya di ‘bangunan atas’, dan ternyata bisa juga sebagai ‘patok duga’. Meski sangat mungkin juga, perundangan itu bisa-bisa tidak lepas dari pengaruh ‘basis’. Patok duga jelas akan ada juga di ‘basis’. Diantara ‘dua’ patok duga itu ada manusia dengan segala potensinya, dengan segala gejolak-hasratnya, dan bukan AI -secanggih apapun.

Tetapi sejarah berjalan tidak selalu seperti ‘garis lurus’ dengan patok-patok duga-nya. Dari sejarah kita bisa belajar soal ‘patahan sejarah’. Sejarah perjuangan kemerdekaan republik tiba-tiba saja mempunyai kemampuan untuk ‘meloncat’ ketika Perang Pasifik pecah. Tetapi ‘loncatan’ itu tidak akan pernah terjadi jika ‘proses-proses molekuler’ perjuangan merebut kemerdekaan itu tidak terjadi jauh sebelumnya. “Loncatan” tidak terjadi di ruang kosong, ia merupakan ‘loncatan-terdukung’. Bahkan di tingkat molekul-pun ‘loncatan’ tidak terjadi dengan serta-merta tanpa ‘dukungan’. Salah satu hasil ‘loncatan’ itu adalah bergesernya paradigma. Kita melihat dengan ‘cara’ baru, dengan ‘penghayatan’ baru. *** (23-06-2023)

1176. Siapa Si-Rascal-nya?

24-06-2023

A pure democracy may possibly do, when patriotism is the ruling passion; but when the State abounds with rascals, as is the case with too many at this day, you must suppress a little of that popular spirit,”[1] demikian penggalan surat Edward Rutledge (1749-1800) kepada John Jay (1745-1829), tertanggal 24 November 1776, surat-menyurat antara dua pejabat di awal-awal kemerdekaan Amerika Serikat. Edward Rutledge –deklarator kemerdekaan termuda, gubernur South Carolina di tahun 1798 dan sebelumnya anggota Senat , kepada John Jay (1745-1829) –juga deklarator kemerdekaan, menjabat gubernur New York tahun 1795-1801, sebelumnya malang melintang di bermacam kedudukan. Yang dibayangkan Rutledge saat itu adalah kekhawatiran ketika negara lebih banyak direcoki oleh kaum rascals. Maka imajinasi ‘negara kuat’ kemudian membayang, dan bahkan jika perlu semangat demokrasi dipinggirkan lebih dahulu. Seratus limapuluh tahun kemudian, mungkinkah ini yang dikatakan oleh Carl Schmitt, sovereign is he decides on the exception? Atau 200 tahun kemudian, ke-rascal-an itu ada di ‘bahaya laten’? Sehingga demokrasinyapun kemudian ada yang menamakan sebagai ‘demokrasi seolah-olah’? Atau hampir 250 tahun kemudian, ke-rascal-an itu ada di ‘riak-riak yang mengancam negara-bangsa’ –radikal-radikul itu? Sehingga ada yang merasa perlu ‘cawé-cawé’ dan kemudian dengan tanpa beban meminggirkan semangat demokrasi? Sekaligus secara bersamaan meng-klaim diri dan gerombolannya sebagai yang ‘paling patriotik’? Tetapi bagaimana jika Rutledge dan John Jay doeloe bukan pajabat negara, tetapi rakyat biasa yang prihatin dengan merebaknya korupsi di ranah negara? Siapa yang menjadi si-rascal-nya? *** (24-06-2023)

[1] https://digital.lib.niu.edu/islandora/object/niu-amarch%3A90358

1177. Seniman dan Tanda-tanda Jaman

26-06-2023

Seni, ilmu pengetahuan, dan elan vital adalah hal utama untuk mampu ‘menembus batas’. Bagi ‘penggemar status quo’ paling tidak ketiganya akan ‘dibidik’ dengan serius. Elan vital ‘dibunuh’ perlahan dengan mengosongkan kata dari maknanya, ditebar dengan massif-nya –tanpa beban, kata-kata kosong, jargon-jargon kosong. Ilmu pengetahuan sedapat mungkin dikerdilkan, baik melalui kelembagaan yang dikebiri sedemikian rupa melalui ‘penyederhanaan lembaga-lembaga ilmu pengetahuan’ –tak jauh dari logika ‘penyederhanaan partai politik’ di jaman old, atau dengan memberikan contoh kongkrit pada khalayak bagaimana ‘mulia’-nya bagi yang berpengetahuan pas-pas-an di depan publik. Atau juga parade asal mangap, asal njeplak itu. Atau secara gambar besar, dikuburnya soal meritokrasi itu. Penjilat mendapat ruang besarnya. Atau juga para ‘seniman’-nya banyak yang di-kooptasi oleh kuasa, terutama kuasa akan uang. Terlalu banyak contohnya. Seniman tentu butuh sandang-pangan-papan, atau juga uang untuk hidup dan mengembangkan diri, tetapi sepertihalnya profesi lain, ia sebenarnya masih mampu paham apa yang ada dalam kendali dan yang tidak. Dan seniman pasti tahu, apa yang ada dalam kendali salah satunya adalah kemampuannya untuk ‘menembus batas’. Atau juga keberanian dalam penghayatan dengan cara-cara yang ‘baru’.

Ungkapan Einstein di awal abad 20 bahwa ‘imajinasi lebih penting dari pengetahuan’ memang mempunyai konteks sendiri, tetapi bagaimanapun bahkan jika tidak meninggalkan konteks, berkembangnya pengetahuan bisa dikatakan itu tidak lepas dari berkembangnya kemampuan ber-imajinasi. Dan siapa perawat utama dalam hal kemampuan ber-imajinasi selain para guru-guru kita? Para seniman! Terutama adalah dalam ajakan untuk berani ‘menembus batas’. Sebagai ‘model’ dalam hasrat untuk ‘menembus batas’. Maka memang seorang seniman, demikian juga para saintis, selalu akan gelisah, selalu ia akan tidak nyaman dalam situasi ‘status quo’. Kecuali tentu jika ia telah memilih jalan untuk melacurkan diri. Ini sudah lain cerita. *** (25-06-2023)

1178. Tahu Batas dan Latihannya

26-06-2023

Dalam pendidikan klasik, dikenal yang namanya trivium, yaitu pendidikan grammar, logika/dialektika, dan retorika. Retorika diajarkan setelah grammar dan logika. Tetapi di komunitas bekas jajahan kiranya bersamaan dengan diajarkan grammar dan logika sebaiknya juga mulai disusupkan terkait keberanian untuk bicara katakanlah sebagai salah satu ‘kurikulum tersembunyi’-nya. Apapun caranya, dibiasakan anak-anak didik untuk berani bicara, dan sekaligus ‘berani’ untuk mendengarkan yang sedang bicara. Dan memberikan apresiasinya, apapun itu bentuknya. Sehingga ketika pendidikan retorika itu mulai diajarkan di usia sekitar 14-16 tahun, soal berani tampil bicara sudah tidak masalah lagi.

Kiranya tidak berlebihanlah jika ‘kurikulum tersembunyi’ dalam pendidikan retorika adalah soal ‘batas’. Heidegger pernah mengatakan bahwa bahasa adalah ‘rumah manusia’, dan dalam retorika seakan peserta didik sedang tidak hanya mengenalkan diri siapa namanya saja, tetapi diri dan ‘rumah’-nya. ‘Rumah’ yang dibangun dengan tidak asal dibangun, tetapi yang menampakkan kekuatan grammar dan logika-nya. Dan kemudian masing-masing akan menampakkan ke-khas-annya. Juga bagi yang sedang mendengar, dengan latihan-latihan mendengar sebelumnya, ia juga belajar soal ‘batas’. Ia harus paham ‘batas-batas’ saat mendengar dengan baik.

Seorang pemimpin dalam banyak halnya adalah juga seorang guru. Mungkin saja kadang tidak ‘di-gugu’ (Jw.) -tidak ‘didengarkan’, tetapi ia akan banyak ditiru, terlebih dalam masyarakat dengan power distance (Hofstede) tinggi. Terlebih jika kesukaannya main dalam ranah ‘mitis’ dalam konteks Strategi Kebudayaan-nya Van Peursen. Maka retorika dari seorang pemimpin menjadi penting. Retorika itu bukan asal omong, asal mangap, tetapi sebenarnya ada lekat dengan bayang-bayang logika yang baik. Dalam bayang-bayang grammar yang baik. Dan juga di belakang itu, ada dalam batas-batasnya. Batas yang dalam ‘manusia dewasa’ salah satu penghayatan utamanya akan lekat dengan etika. Etika yang kembali lagi pilar utamanya adalah soal timbang-menimbang, erat dengan kemampuan ber-logika.

Maka bicara soal pemimpin –terlebih pemimpin publik, yang tidak tahu batas, daya ungkit kerusakannya bisa-bisa sangat besar: kualitas hidup bersama bisa rusak-rusakan. Ke-tidak-tahu-an akan batas adalah puncak gunung es dari potensi kerusakan sungguh besar yang belum nampak. Yang bisa-bisa akan sulit untuk diperbaiki. Maka jika ada pemimpin atau calon pemimpin pagi-pagi sudah menampakkan diri tidak tahu batas, maka segeralah saja dieliminasi dari kontestasi, misalnya. Atau tegasnya: jangan dipilih. Jenis seperti ini hanya akan mendatangkan bermacam bencana hidup bersama saja. Rusak-rusakan. Buktinya saja sudah sangat jelas. *** (26-06-2023)

1179. Kegilaan Di Atas Kambing Hitam

28-06-2023

Jalan politik sebenarnya tidak akan lepas dari jalan kontemplasi. Jika memakai pendapat Amy Chua, dari tesisnya bahwa manusia itu adalah tribal, kemudian dilanjutkan tentang adanya an instinct to belong (to groups) dan an instinct to exclude,[1] kita bisa membayangkan bahwa diantara keduanya sebenarnya ada ‘kontemplasi’. Ketika an instinct to belong to groups dan an instinct to exclude tidak ada jarak yang memungkinkan kontemplasi hadir maka bisa-bisa kita akan jatuh pada kegilaan. Bisa-bisa akan dekat-dekat dengan ‘dunia binatang’. Satu kelompok heyna akan bersama-sama bahu membahu melawan penyusup, tanpa berpikir panjang lagi. Maka tindakan (politik) tanpa kontemplasi akan mudah jatuh dalam penghayatan (sumbu pendek) animal laborans atau homo faber, meminjam istilah Hannah Arendt soal vita activa. Bahkan dalam beriman-pun kita memerlukan kontemplasi, fides et ratio. Ada pula yang bilang, aksi-refleksi. Dan refleksi jaman now telah banyak dikooptasi oleh para pollsterRp yang kelas binatang itu. Tambah runyam.

Maka ‘bermain-main kambing hitam’ di tingkat massa memang harus super hati-hati. ‘Kambing hitam’ di sini dimaksudkan dalam konteks teori segitiga hasrat-nya Rene Girard. Tekanan tulisan ini adalah potensi ‘kegilaan’-nya, kegilaan menari-nari di atas ‘kambing hitam’. Kegilaan akan ‘tribalisme’ yang seakan menemukan tali pengikat eratnya, an instinct to exclude melalui jalan ‘pengkambing-hitam’-an. ‘Kambing hitam’ dalam ranah spiritual hadir dengan ‘batas ketat’ dari Yang Maha Kuasa, tetapi ‘kambing hitam’ di ranah ‘agama sekuler’ batas ketat-nya ada di para pemimpinnya, dan ketika para pemimpin-nya jatuh pada kegilaan maka sangat besar massa akan jatuh pula dalam kegilaan. Menari-kesurupan di atas ‘kambing hitam’. Kesurupan ketika kesadaran temaram, twilight state-nya Hermann Broch itu habis-habisan dieksploitasi. Holocaust contoh telanjangnya di masa sebelum kemerdekaan republik, nun jauh di sana. Setelah kemerdekaan republik?

Mungkin menari-kesurupan di atas ‘kambing hitam’ itu yang disebut Arendt sebagai ‘banality of evil’. Dan dari bermacam peristiwa setelahnya, kita bisa merasakan bahwa itu tidak saja berurusan dengan pembunuhan manusia, tetapi juga pembunuhan akal sehat, digerogotinya secara brutal kecerdasan kolektif, dan kita juga boleh bilang, termasuk juga di sini korupsi yang sudah gila-gilaan. Korupsi tanpa beban lagi. Di atas ‘kambing hitam’ kemudian menjadi sah untuk semau-maunya, sekali lagi, dengan tanpa beban. Asu-lah. *** (29-06-2023)

[1] Human are tribal. We need to belong to groups. … Almost no one is a hermit. … But the tribal instinct is not just an instinct to belong. It is also an instinct to exclude. (Amy Chua, Political Tribes, 2019,, hlm. 1)