1275. Masih Relevankah Bicara Peradaban?

05-11-2023

Apa beda kebudayaan dan peradaban? Mari kita lihat pendapat Koentjaraningrat 50 tahun lalu. Kata ‘kebudayaan’ berasal dari kata Sanskerta buddhayah, ialah bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau “akal”. Demikian, ke-budaya-an itu dapat diartikan “hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan akal”. Ada pendirian lain mengenai asal kata ‘kebudayaan’ itu, ialah bahwa kata itu adalah suatu perkembangan dari majemuk budi-daya, artinya daya dari budi, kekuatan akal.[1]

Kalau diingat sebagai konsep, kebudayaan menurut hemat saya antar lain berarti: keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu, maka istilah “kebudayaan” memang suatu istilah yang amat cocok. Adapun istilah Inggerisnya berasal dari kata Latin colere, yang berarti “mengolah, mengerjakan”, terutama mengolah tanah atau bertani.[2]

Adapun istilah peradaban dapat kita sejajarkan dengan kata asing civilization. Istilah itu biasanya dipakai untuk bagian-bagian dan unsur-unsur dari kebudayaan yang halus dan indah, seperti: kesenian, ilmu pengetahuan, serta sopan-santun dan sistem pergaulan yang komplex dalam suatu masyarakat dengan struktur yang komplex. Sering juga istilah perdaban dipakai untuk menyebut suatu kebudayaan yang mempunyai sistem teknologi, seni bangunan, seni rupa, sistem kenegaraan dan ilmu pengetahuan yang maju dan komplex.[3] *** (05-11-2023)

[1] Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan, Gramedia, 1985, cet-12, hlm. 9

[2] Ibid

[3] Ibid, hlm. 10

1276. Saat Kehormatan Hadir

1277. Bung Kecil dan Bung Besar

06-11-2023

Yesus menjawab, "Di dalam Alkitab tertulis: Manusia tidak dapat hidup dari roti saja, tetapi juga dari setiap perkataan yang diucapkan oleh Allah." Bagaimana seorang yang bukan ‘ahli Kitab’ membaca ayat ini? Bisa macam-macam mengartikannya, kalau mau tepat bisa tanya ‘ahli Kitab’-nya, pada ‘mo Setyo W. misalnya. Atau lainnya. Mungkin juga dari kacamata ‘sekuler’ bisa berarti: manusia tidak dapat hidup dari nasi atau roti saja tetapi juga dari ‘narasi-narasi besar’. Atau dibalik, manusia tidak hanya cukup dengan ‘narasi-narasi besar’, tetapi ia butuh makan juga. Maka memang betul juga kata McIntyre dalam After Virtue, bahwa manusia itu secara esensial adalah juga story-telling animal. Tidak hanya soal ‘dongeng’-nya, tetapi juga soal dimana aku dalam keseluruhan ‘dongeng’ itu. Ketika ‘dongeng’-nya adalah tentang ‘orang baik’ ia merasa dirinya bisa dengan nyaman-nyaman saja menempatkan diri pada posisi tertentu, tetapi ketika ‘dongeng’-nya bergeser menjadi ‘dongeng’ seorang diktator,, tiba-tiba saja ia-pun menitikan air mata, bahkan di depan publik. Tiba-tiba saja ia merasa tidak mungkin lagi menjadi bagian dari ‘dongeng’ itu. Apakah ini juga soal ‘makna’? Dalam ke-diktatoran mungkin saja ia sudah merasa tidak mungkin menemukan ‘makna’ dimanapun ia menempatkan posisi-nya di-dalam ‘dongeng-baru’ tersebut.

Tetapi dengan metafora ‘camera obscura’ Marx mengingatkan bahwa bermacam ‘dongeng’ itu bisa-bisa justru ‘menjungkir-balikkan’ fakta. Atau sebagai tirai tebal yang mengaburkan fakta yang sebenarnya. Maka saran Marx adalah, lihatlah di ‘basis’, dimana relasi-relasi kekuatan produksi ada-bergejolak. Tetapi mengapa Lenin masih saja merasa perlu adanya ‘partai pelopor’? Atau Gramsci mengenalkan istilah ‘intelektual organik’? Atau baru-baru ini dalam laporan dokumenter DW-TV, ada beberapa relawan yang telah dilatih di balai-kota, dalam kelompok-kelompok kecil di suatu komunitas ketetanggaan, ia –relawan-relawan itu, menjelaskan –duduk bersama dalam kelompok kecil, face-to-face, soal perubahan iklim, dan program-program yang akan dijalankan oleh pemerintah lokal? Apakah ini juga menjelaskan apa yang disebut oleh Hermann Broch sebagai ‘kesadaran temaram’ atau twilight state itu? Bayangkan mengapa pertemuan tatap-muka antara relawan perubahan iklim di Jerman sana seperti didokumentir oleh DW-TV itu masih saja dilakukan di tengah-tengah memuncaknya modus komunikasi via digital-internet? Dan mengapa pula survei di AS sono sekitar 1 tahun lalu menunjukkan bahwa bekerja di kantor secara tatap-muka masih lebih efektif dibanding WFH via jaringan digital-internet saat pandemi sebelumnya?

Atau, apakah dalam ‘modus tatap-muka’ dalam kelompok kecil itu mirror neurons system bisa bekerja lebih ‘presisi’ dibanding ketika ia ada dalam kerumunan? Ataukah juga seperti dikatakan oleh Levinas, dalam pertemuan face-to-face itu ‘wajah-wajah’ dalam ‘dirinya’ sudah menggendong hal etis sendiri? ‘Wajah-wajah’ itu seakan mengatakan: ‘jangan bunuh aku’, misalnya.

Tulisan ini didorong oleh unggahan ketika Anies Baswedan berkunjung ke Museum Hatta di Bukittinggi, Sumatera Barat beberapa waktu lalu. Menarik karena ‘narasi-narasi besar’ yang diusung Anies adalah soal keadilan, kesejahteraan umum, dan sekitar-sekitarnya, seakan itu sedang dilengkapi dalam kunjungannya pada si-Bung Kecil, Hatta. Dan pastilah di alam sana Bung Kecil lainnya, Sjahrir, atau juga Tan Malaka, tidaklah kemudian cemburu. Tidaklah. *** (06-11-2023)

1278. Etika dan 'Semangat Jaman'

07-11-2023

Menurut Noam Chomsky sekitar 30 tahun sebelum Facebook ada, adanya pengetahuan akan sentimen terhadap suatu hal dengan yang lainnya akan mempercepat retaknya status-quo. Katakanlah sikap A terhadap hal X, dan sikap B terhadap hal sama, semakin satu sama lain dapat mengetahuinya maka status-quo akan mengalami tantangan serius. Pendapat Chomsky ini mungkin saja kita ‘uji ulang’ saat produk-produk mesin cetak semakin mampu menjangkau khalayak kebanyakan, hasilnya? Bisa kita lihat bagaimana feodalisme mengalami keretakan besarnya. Jika ditambah oleh analisa Marx maka memang terjadilah ‘percepatan’-nya. Perubahan-perubahan yang terjadi karena desakan dinamika ‘basis’ itu seakan menjadi sebuah perubahan yang ‘terdukung’.

Suka atau tidak informasi itu tidaklah sekedar informasi, tetapi juga in-formasi, ‘membentuk’ kita. Salah satu yang semakin terbentuk adalah penghayatan kita akan salah-benar, katakanlah: etika. Maka bisa dikatakan pula ketika ‘pertukaran-pandangan-penghayatan’ akan suatu hal berlangsung semakin intens dalam era modus komunikasi digital-internet seperti sekarang ini, khalayak kebanyakan juga akan semakin ‘cepat-belajar’ juga tentang hal salah-benar itu. Monopoli tentang ‘kebenaran’ ataupun tentang ‘kesalahan’ semakin mendapat tantangan seriusnya. Menjadi tidak mudah lagi mengatakan itu adalah sebuah tindakan terorisme misalnya. Teroris panci? Kok terorisnya bawa KTP segala …, dan seterusnya. Pakai group WA lagi. Macam-macam. Memang ada ‘sisi-gelap’ dari modus komunikasi via jaringan digital-internet ini, tetapi bagaimanapun tetaplah ada ‘kompetisi’ antara ‘yang gelap’ dan ‘yang terang’. ‘Yang terang’ salah satunya adalah soal etika yang jadi fokus tulisan ini.

Bertahun terakhir, terlebih pada minggu-minggu terakhir kita melihat sebuah eskalasi dari bermacam bentuk kekerasan dalam perang, dan melalui bermacam jaringan komunikasi, manusia di seluruh dunia ‘belajar bersama’ soal benar-salah, soal etika. Ketika gambar-gambar yang bukan serdadu, terlebih anak-anak tergeletak tak bernyawa, sungguh siapapun yang melihatnya pastilah akan terusik. Sebelumnya bermacam akibat terkait kedaruratan iklim seakan hadir di depan mata. Juga bermacam film dokumenter karya Dandhy Laksono dkk misalnya. Maka jika di bagian-bagian akhir abad-20 ada yang mengatakan bahwa nantinya abad-21 bisa disebut abad-etika nampaknya semakin mendapatkan pembuktiannya. Jika Alvin Toffler menyebut abad-21 adalah abad di mana pengetahuan akan memimpin, tak terelakkan lagi soal etika cepat atau lambat akan juga masuk menyebar-menghujam dalam era tersebut.

Apa yang mau ditekankan di sini adalah, jika mengambil pembedaan Toffler soal kekuatan pengetahuan, kekuatan uang, dan kekuatan kekerasan (dalam perang misalnya), semua-nya mestinya akan ada dalam ‘lapangan’ etika. Dalam pemilihan umum misalnya, harus disadari sejak awal bahwa adu gagasan, adu ide, itu ada di ‘lapangan’ etika. Dan penghayatan soal etika ini bukanlah soal ‘out-put’ saja, tetapi juga melibatkan ‘input’ dan terutama ‘proses’. Menjadi orang yang ‘etis’ itu bukanlah ‘mendadak etis’, tetapi perlu proses latihan panjang. Karena pada titik tertentu, soal etika ini akan terhayati juga sebagai ‘code of conduct’. Jika gagasan atau ide itu muncul dari orang yang enteng-enteng saja melanggar ‘code of conduct’, entah itu menampakkan diri dari hasil telisik Mahkamah Etik misalnya, atau jelas demen-nya otak-atik hukum supaya sesuai dengen kepentingannya, atau biasa ingkar-janji, jika sosok seperti itu dipilih, itu nantinya seperti memilih seorang Netanyahu yang tahunya hanya soal ke-brutal-an saja. Ingkar-janji akan terjadi lagi secara brutal. Dan bermacam ke-brutal-an lainnya akan diteruskan juga. Intinya, sebagus-bagusnya gagasan atau ide, oleh penerus rejim ini, itu pada dasarnya akan tetap dilaksanakan di lapangan ke-brutal-an, bukan di lapangan etika. Calon-calon seperti ini jelas tidak ‘kompatibel’ dengan ‘semangat jaman’ yang berkembang. Maka rekam jejak terkait dengan soal etika ini mestinya menjadi yang terdepan sebelum mendengar segala adu gagasan atau ide. Gagasan atau ide di ranah politik, katakanlah, adalah merupakan dependent-parts / non-independent parts dari penghayatan etis dari si-pelempar gagasan. Gagasan atau ide tersebut menjadi tak-terjelaskan tanpa menelisik perjalanan panjang penghayatan etis dari si-pelempar gagasan atau idenya. Jika gagasan atau ide itu sebuah dahan, jangan mau kita diajak hanya menghayati dahan itu saja, tetapi kita harus menghayati dahan itu tidak lepas dari batang pohon dan akar-akarnya, dalam hal ini: etika. Jangan sampai anak-anak kita, cucu-cucu kita, dibesarkan dalam dunia yang sudah menganggap kebrutalan itu sebagai yang biasa-biasa saja. *** (07-11-2023)

1279. Garbage In Garbage Out

08-11-2023

Mestinya bukan Republik GIGO ....