1370. Melawan Perampok Dengan Keputusan

03-02-2024

Perampok yang merampok dengan modus accumulation by dispossession itu mesti dilawan dengan keputusan. Keputusan berupa kebijakan di ranah negara. Accumulation by dispossession adalah istilah yang dikemukan oleh David Harvey sebagai cara-kerja ‘imperialisme baru’ dan terdiri dari beberapa fitur: privatisasi, finansialisasi, manajemen dan manipulasi krisis, serta soal ‘state redistributions’.

Apa yang dikatakan berulang kali oleh capres Anies Baswedan soal bagaimana nantinya sebuah keputusan diambil dengan mempertimbangkan: (1) rasa keadilan, (2) public interest, (3) akal sehat, common sense, dan (4) aspek regulasi, sungguh jika dibedah lebih dalam akan berhadapan langsung, head-to-head dengan bermacam fitur accumulation by dispossession seperti disebut di atas.

Soal keadilan selalu disebut pertama karena memang ini akan ‘mewarnai’ semua proses pengambilan keputusan. Tetapi khalayak akan menghayati-nya secara ‘lebih langsung’ dalam soal ‘state redistributions’. Bahkan UUD 1945 juga secara jelas dan tegas menyinggung pula terkait dengan ‘state redistributions’ ini. Yang disinyalir sudah sungguh dikhianati, sebagai contoh, pendapatan negara dari non-pajak yang sungguh kecil dibanding potensinya. Contoh sudah dilakukan oleh Anies B saat menjadi Gubernur DKI terkait dengan state redistributions dalam ‘paradigma keadilan’ adalah pembebasan PBB bagi yang mempunyai lahan-lahan kecil atau tagihan PBB yang kecil. ‘State redistributions’ seperti Bansos dan BLT yang akan tetap dilaksanakan oleh Anies B dengan Bansos/BLT plus dan memang itu adalah salah satu bentuk bagaimana negara berperan dalam soal redistribusi kesejahteraan terutama bagi yang kurang beruntung dan sementara sifatnya. Tetapi lebih dari itu, ada yang lebih penting yaitu ‘redistribusi akses’ yang kadang bisa dihayati juga sebagai ‘kesetaraan’. Bagi Amartya Sen soal akses ini akan erat berkelindan dengan soal keadilan/ke-tidak-adilan. ‘Contract farming’ sebagai salah satu program unggulan dari Anies B. sedikit-banyak adalah soal membuka akses bagi para petani untuk lebih mampu terlibat dalam soal setelah panen, misalnya.

Prinsip kedua dalam pembuatan keputusan Anies B. adalah terkait dengan public interest. Dalam ke-republik-an sebenarnya jelas bahwa dalam setiap keputusan di ranah negara mestinya akan erat terkait dengan public interest. Mengapa ini perlu ditekankan oleh Anies B. nampaknya memang yang sedang dihadapi itu adalah ‘imperialisme baru’ yang seperti halnya ‘imperialisme lama’ akan selalu meminggirkan ‘public interest’ itu. Kata si-Bung, hanya beda cara mencari rejeki-nya. Jadi bisa kita bayangkan bagaimana akan tidak mudah-nya prinsip ini dijalankan nantinya. Sedikit-banyak pula hal ini akan menjadi salah satu deteksi dini apakah ‘sultanic oligarchy’ itu mampu digeser menjadi ‘civil oligarchy’ dalam terminologi Jeffrey Winters. Privatisasi dalam dunia neoliberalisme itu suka-atau-tidak mempunyai argumentasi kuat dan ‘rasional’: orang itu akan tidak dengan sepenuh hati merawat yang bukan miliknya. Jadi tetap kukuh bahwa satu-satunya yang rasional itu adalah ‘kepentingan diri’. Hal yang terbantahkan oleh argumentasi Amartya Sen, yaitu ‘komitmen’ itu adalah juga hal rasional. Dari ‘perdebatan’ ini ada yang bisa kita ambil pelajarannya, soal ‘public interest’ ini hanya dan hanya jika ada di tangan orang-orang ber-komitmen-lah ia akan dimungkinkan untuk dipertimbangkan dengan serius sebagai bagian dari proses pembuatan keputusan. Salah satu ‘pengelolaan public interest’ yang dilakukan oleh Anies B. saat menjadi Gubernur DKI adalah terkait penyelesaian ‘carut marut’ Kampung Akuarium, yang akhirnya mendapat penghargaan itu.[1]

Soal akal sehat atau common sense jelas akan selalu ‘terbingkai’ dalam napas keadilan dan ‘public interest’. Dan soal akal sehat ini akan merupakan ‘lawan tangguh’ dari para perampok yang mengambil rute ‘manajemen dan manipulasi krisis’. Naomi Klein dalam The Shock Doctrine menggambarkan dengan jelas bagaimana Kapitalisme Bencana itu mendapat ‘pintu masuk’-nya. Dalam krisis, akal sehat akan menjadi lawan tangguh dari siapa saja yang akan me-manipulasi krisis demi kepentingan diri atau kelompoknya. Too big to fail yang menjadi salah satu argument dalam bail-out gila-gila-an saat krisis itu perlu dilihat dengan cermat, benarkah itu? Dengan ‘bingkai’ keadilan dan public interest maka akal sehat akan semakin menemukan jalan ‘prudence’-nya. Adanya akal sehat membuat saat terjadi krisis bukan ‘kanvas-putih’ seperti digambarkan oleh Naomi Klein terkait dengan kesadaran karena shock, tetapi tetap ‘waras’ dan tidak sedikit-pun kesiap-siagaan berkurang. Tidak menjadi ‘kanvas-putih-kosong’ tetapi tetap penuh perhitungan dan kewaspadaan sehingga para perampok itu menjadi mundur saat keinginan menjarah sudah sampai ubun-ubun.

Perampokan melalui rute finansialisasi jelas akan head-to-head dengan aspek regulasi. Lihat saja bagaimana lembaga-lembaga pensiun itu digangsir melalui mekanisme ‘pasar keuangan’. Belum lagi kita bicara soal pencucian uang pasca perampokan. Dan banyaaak lagi bagaimana ‘kegelapan’ itu menjadi begitu lincahnya mencari celah regulasi untuk menyembunyikan diri di balik rute finansialisasi ini. *** (03-02-2024)

[1] https://pergerakankebangsaan.org/tulisan-55 No. 1345: “Dari Ci’ Elisa_Jkt.”

1371. Setelah Di-pecah-belah, Terbitlah 'Berpelukan'

04-02-2024

Ini adalah ketika modus komunikasi mass-to-mass mendapat tantangan kuat oleh modus paling kuno: tatap muka, face-to-face. Memang pada akhirnya modus komunikasi via digital-internet sebagai media ‘bertanding’-nya, tetapi soal ‘bahan dasar’ kemudian menjadi penting. Jangan pernah kita lupakan bagaimana sekelompok orang bayaran bertahun melakukan pecah-belah, adu-domba melalui unggahan di bermacam jaringan digital-internet. Jangan pernah dilupakan, sebab kerusakan yang diakibatkan sungguh tidak kecil. Pecah-belah itu banyak yang berhasil masuk ke lorong-lorong ke-tidak-sadar-an khalayak.

Mengapa pecah-belah via digital-internet ini bisa berhasil? Karena penampakan di jejaring sosial dunia maya itu memang menampakkan diri sebagai manusia. Punya nama, punya julukan, punya ekspresi khas manusia, hanya saja yang keluar dari mulutnya ditujukan untuk: pecah belah. Adu domba. Ke depan, deep fake semacam ini akan semakin ‘menggetarkan’ dengan bantuan Artificial Intellegence. Sudah banyak counter terhadap polah-pongah mereka-mereka buzzerRp yang tanpa beban merusak republik dengan laku pecah-belah, adu-domba itu. Tetapi nampaknya, jika di-skor, masihlah kemenangan ada di tangan yang demen pecah-belah. Meski tentu jika tanpa counter mereka-mereka itu akan semakin merajalela saja. Semakin umpak-umpak-an. Semakin kemlinthi, kementhus, kemethak, kemaki, ya’ya’-o saja. Kenapa mereka itu seakan begitu perkasanya? Karena ada bayang-bayang kekuasaan di situ.

Tiba-tiba saja dalam rentang waktu kampanye ini, khalayak kebanyakan seakan menemukan ‘senjata’ yang lama terpendam dalam melawan laku pecah-belah yang sudah berjalan bertahun-tahun lalu, gerak-tubuh ‘berpelukan’. Berpelukan yang dilakukan oleh capres Anies Baswedan, yang menurut ibunda-nya, memang sejak kecil Anies suka memeluk jika sungguh sedang gembira. Bahkan menurut ibunda, pelukannya bisa begitu erat-gemes sehingga anak yang dipeluk itu seakan sesak napas. Maka ‘berpelukan’-nya Anies B. bahkan ketika itu terjadi di rentang waktu kampanye-pun terasa ‘asli’, seakan keluar begitu saja dari dalam. Dan lebih dari itu, ketika itu terjadi dalam bayang-bayang (potensi) kekuasaan, peristiwa itu –seperti disinggung di atas, tiba-tiba saja mampu berdiri sebagai lawan tanding sepandan terhadap laku pecah-belah yang sudah berlangsung bertahun-tahun itu. Berpelukan pasti terjadi dalam peristiwa tatap-muka, face-to-face. Dan menurut Levinas, pertemuan face-to-face antar manusia itu ada di dalamnya sebuah etika. Seakan ‘yang lain’ dalam pertemuan face-to-face itu ‘menuntut’ juga pertanggung-jawaban kita terhadapnya. ‘Yang lain’ itu seakan mengatakan, ‘jangan bunuh aku’. Maka ‘berpelukan’ yang genuine seperti dinampakkan oleh Anies B. itu tidak hanya sebuah ‘counter’ terhadap laku pecah-belah, tetapi juga sedang menghadirkan sebuah etika. Sedangkan buzzerRp-buzzerRp yang demen memecah-belah itu, tampilannya lebih menampakkan manusia yang sedang ‘monolog’, sehingga memang perlu upaya lebih untuk menghadirkan etika di situ. Dan upaya itu bahkan yang ringan-ringan saja tidak ada, maka nampaklah secara telanjang etika sama sekali tidak hadir di situ. Sama sekali tidak ada etika-nya.

Dan ketika peristiwa ‘berpelukan’ itu diunggah di dunia digital-internet, berkompetisi dengan segala laku pecah-belah, berpelukan yang genuine itu ternyata bisa menjadi salah satu ‘pengubah permainan’ penting. Siapa yang akan menang, kita tunggu 14 Februari nanti. Jangan remehkan peristiwa ‘berpelukan’ ini, lihat dalam komunitas dimana orang tidak sembarang tempat dan waktu mau ‘disentuh’ tubuhnya oleh orang lain karena begitu kuat ‘teritori-individualitas’-nya, tetap saja lahir acara TV yang begitu digemari: Teletubbies. *** (04-02-2024)

1372. 'Siasat Kebudayaan' Para Perampok Republik

06-02-2024 

Sering kita mendengar soal corporate culture, atau apalah yang menunjuk pentingnya strategi kebudayaan untuk meningkatkan daya-saing korporasi, atau bahkan komunitas. Maka tidak ada salahnya kita juga melihat kemungkinan adanya ‘siasat kebudayaan’ sehingga para perampok republik itu terus saja menikmati segala keserakahan mereka. Kalau kita sering mendengar bahwa kemiskinan itu sesungguhnya ‘dipelihara’ demi langgengnya sebuah rejim, bagaimana dengan ‘kebudayaan tertentu’-nya?

Kebudayaan sedikit-banyaknya akan terkait dengan ‘pembiasaan’. Maka tak mengherankan jika Toynbee sekitar 60 tahun lalu dalam ‘hukum pertukaran kebudayaan’ mengatakan, semakin ‘tinggi’ nilai sebuah sinar budaya akan semakin sulit menembus, akan semakin tinggi pula resistensinya, tetapi semakin ‘rendah’ nilai sebuah sinar budaya akan semakin mudah menembus. Kita bisa membayangkan betapa tidak mudahnya membiasakan hal-hal baik, katakanlah pada anak-anak kita misalnya. Atau pada anggota/pegawai sebuah korporasi. Pada kesempatan ini mari kita lihat soal ‘pembiasaan’ ini yang ujung-ujungnya pastilah akan tersinggungkan dengan kebudayaan pula.

Kita berangkat dengan sebuah ‘patok duga’ yang diungkap oleh Koentjaraningrat 50 tahun lalu.[1] Dan kemudian kita lihat dinamika pemilihan umum saat ini. Dengan melihat naik-turunnya, dan memuncaknya ugal-ugalannya perampokan republik, ada beberapa aspek ‘kebudayaan’ yang sedang ‘dipertahankan-dikembangkan’, istilah Koentjaraningrat 50 tahun lalu: sifat mentalitas yang suka menerabas. Berbagai peristiwa, kebijakan, keputusan bertahun terakhir ini bisa kita lihat bagaimana suka menerabas ini berlangsung secara telanjang. Terakhir adalah ketika nepoboy itu maju sebagai cawapres. Juga ketika koridor hukum-peraturan dan etika diterabas semau-maunya sendiri demi perolehan suara. Semau-maunya.

Tentu dalam kampanye akan ada nyanyi, akan ada joget, dan sekitar-sekitarnya sebagai ‘bunga-bunga’-nya kampanye. Tetapi jika joget sudah begitu keranjingannya dan bahkan seakan sebagai andalan utama, maka calon itu jelas, memakai istilah Koentjaraningrat 50 tahun lalu itu, sedang terjadi dengan tanpa beban menunjukkan: sifat mentalitas yang meremehkan mutu. Tanpa beban, tidak sungkan-sungkan, tanpa rasa malu. Juga lihat bagaimana nepoboy itu saat debat cawapres berulang menunjukkan sifat tidak berdisiplin murni. Semau-maunya.

Juga asal njeplak, asal mangap, atau jika memakai istilah netizen, ada pasukan khusus yang tugasnya: nyebokin, memberikan klarifikasi atas asal njeplak dan asal mangap-nya itu. Menurut istilah Koentjaraningrat 50 tahun lalu: suka mengabaikan tanggung jawab yang kokoh. Toh nanti pasukan pen-cebok akan menyelesaikannya. Hal yang bertahun terakhir sebenarnya sudah sampai pada tingkat menjengkelkan. Gegayaan sok-sok-an, sok kaget, sok geram, sok kesal, ya ndak tahu to kok tanya saya, saya tidak membaca yang saya tanda-tangani …. Lucu? Tidak, sama sakali sudah tidak lucu lagi. Soal sifat tak percaya kepada diri sendiri, dengan jejak digital si-nepoboy itu saat debat atau saat ‘orasi’ di depan khalayak, tak usah lagi dijelaskan.

Apa yang terjadi ketika suka menerabas, suka meremehkan mutu, tak percaya pada diri-sendiri, tidak berdisiplin murni, dan tidak punya tanggung jawab yang kokoh itu kemudian dipertahankan dan semakin dibiasakan? Kebudayaan seperti apa jika diwarnai kebiasaan-kebiasaan seperti itu? ‘Kebudayaan’ yang sangat disukai oleh para perampok republik! Maka ‘counter culture’ dalam rentang pemilihan saat ini sebenarnya sudah jelas, dengan mulai tidak memilih calon pasangan 02. *** (06-02-2024)

[1] Koentjaraningrat, Kebudayaan, Menttalitas, dan Pembangunan, PT Gramedia, 1985, cet-12, hlm. 45

1373. Spongebob Squarepant: Opposite Day

08-02-2024

Lihat:

https://www.pergerakankebangsaan.com/144-Spongebob-Opposite-Day/

Republik macam apa yang kami miliki?

1374. The Good, The Bad, The Ugly

11-02-2024

The Good The Bad The Ugly

https://www.pergerakankebangsaan.com/001-The-Good-The-Bad-The-Ugly/

(Tulisan 6 tahun lalu …)