1105. Reformasi Sebagai Perubahan Pola Pikir

18-0-2023

Pemimpin di Republik semestinyalah sangat paham perjalanan sejarah. Reformasi semestinya adalah juga perubahan pola pikir, setelah berpuluh tahun ‘nyaman-nyaman’ saja dalam pola pikir jaman old. Perubahan pola pikir yang mendasar adalah dimungkinkannya pergantian rejim, melalui pemilihan dan pembatasan masa jabatan presiden. Juga terbukanya kontestasi calon-calon pemimpin melalui jalur partai atau independen. Tak kalah pentingnya adalah soal KKN itu. Selain juga soal profesionalitas bagi yang pegang senjata. Keempat presiden setelah reformasi, Habibie, Gus Dur, Megawati, dan SBY nampak sangat paham perubahan pola pikir Reformasi, terutama untuk yang sangat mendasar, soal pembatasan masa jabatan. Soal kemungkinan kematian sebuah rejim. Tentu banyak ‘bolong-bolong’-nya soal agenda Reformasi lainnya, tetapi dengan tetap setia terhadap pembatasan masa jabatan, peralihan kekuasaan bisa dirasakan tidaklah terlalu mahal ‘biaya’-nya, dari banyak segi.

Bermacam cara berpikir tentu akan dimungkinkan untuk berkembang, terutama ketika situasi juga berkembang. Tetapi apapun itu, ‘pola pikir’ Reformasi tentu akan menjadi salah satu titik pijak yang tidak boleh dilupakan. Karena bagaimanapun juga, pola pikir yang dibawa oleh Reformasi itu adalah juga ‘terjemahan’ dari pola pikir Proklamasi, dengan situasi-kondisi yang sudah berkembang. Hanya rejim yang tidak mau ‘dinilai’ soal bagaimana sikapnya terhadap ‘pembatasan masa kuasa’ maka ia akan pethakilan macam-macam. Hanya rejim yang tidak mau dinilai soal pemberatasan KKN, maka ia akan juga pethakilan macam-macam. Bahkan ia akan sok-sok-an gegayaan menawarkan ‘pola pikir’ baru, seakan Reformasi sudah bukan lagi sebuah ‘pola pikir’ yang harus diikuti. Asal njeplak. Asal mangap. Ngibul yang sudah tak tahu batas. *** (18-03-2023)

1106. Para Pekerja Keras dan Revolusi-nya

19-03-2023

Kita pernah mendengar revolusi petani, atau juga revolusi buruh. Juga revolusi borjuis. Apa persamaan dari revolusi-revolusi itu? Tanpa bermaksud menyederhanakan, dari contoh ketiga revolusi itu ada yang sama, sama-sama revolusinya kaum pekerja keras. Bahkan juga revolusi budak. Apa outcome dari sebuah kerja keras? Tidak hanya hal ‘material’ saja, tetapi juga hadirnya sebuah harapan. Harapan yang dimungkinkan untuk terus dimajukan. Salah satunya melalui bekerja keras. Menjadi ‘menggelisahkan’ ketika hasil kerja keras itu terlalu sering memberikan outcome jauh dari yang diharapkan. “Hope is a decisive element in any attempt to bring about social change in the direction of greater aliveness, awareness, and reason,” demikian Eric Fromm dalam The Revolution of Hope. Revolusi hanya akan menjadi ‘fakta potensial’ saja ketika harapan menjadi begitu tipisnya, entah karena ‘sihir’ yang ‘membutakan’ atau benar-benar ‘lumpuh’ ketika menghadapi kondisi sekitar. Entah sesuatu telah menjadi ‘mitos’ atau memang ada ‘prototipe’ tertentu sehingga memang menjadi begitu melumpuhkan ‘semangat’. Maka ‘memainkan’ harapan adalah salah satu upaya untuk ‘meredam’ munculnya sebuah revolusi. Jika ‘memainkan’ harapan sudah berkurang khasiat-mujarabnya maka ‘pelumpuhan’-pun akan ditempuh, biasanya dengan kekuatan kekerasan. Macam-macam bentuknya. Macam-macam cara ‘main’-nya.

Dari hal-hal di atas bisa kita lihat, dalam ranah demokrasi, bagaimana pentingnya oposisi dalam bermacam bentuknya. Oposisi terhadap yang sedang berkuasa di ranah negara. Terbukti dalam sejarah. Bahkan dalam bertahun terakhir, di depan hidung, pihak yang bersebarangan saat pemilihan itu tiba-tiba saja bergabung dengan yang menang dengan alasan: bla … bla … bla …, dan hasilnya? Kekuasaan kemudian menjadi ugal-ugalan. Semau-maunya. Seakan tidak ada ‘matinya’. Bermacam jungkir-balik-pun kemudian terjadi dengan tanpa beban lagi. Sekali lagi, semau-maunya. Maka rasa mono-arki-pun kemudian membayang lekat. Jalur P-S-B-pun kemudian menjadi jalurnya bagi siapa saja untuk masuk dalam lingkaran bangsawan. Jalur partai, jalur senjata, dan jalur birokrasi. Tak beda-beda amat dari jaman old. Dan siapa yang sebenarnya akan meruntuhkan keugal-ugalan rejim ‘mono-arki’ dengan segala pesta-pora hedonisnya itu? Tidak lain adalah kaum pekerja keras! Keringat yang mengalir deras dari bermacam kerja keras itu akhirnya menggelembung dalam bermacam kemuakan. *** (19-03-2023)

1107. People Get Ready

21-03-2023

Curtis Mayfield

People get ready, there's a train a comin'

You don't need no baggage, you just get on board

All you need is faith, to hear the diesels hummin'

Don't need no ticket, you just thank the Lord

So people get ready, for the train to Jordan

Picking up passengers coast to coast

Faith is the key, open the doors and board 'em

There's hope for all, among those loved the most

There ain't no room for the hopeless sinner

Whom would hurt all mankind, just to save his own, believe me now

Have pity on those whose chances grow thinner

For there is no hiding place, against the kingdom's throne

So people get ready there's a train a comin'

You don't need no baggage, you just get on board

All you need is faith, to hear the diesels hummin

Don't need no ticket, you just thank the Lord

1108. Uang dan Perang

23-03-2023

Kaitan erat antara uang dan perang tidak usah diperdebatkan. Banyak bukti dalam sejarah bahkan sejak 2000 tahun lebih, bagaimana perang bisa meledak karena urusan uang ini. Kapitalisme dengan bermacam krisis berulangnyapun tidak pernah lepas dari bayang-bayang perang juga. Bermacam ‘siklus krisis’ dalam kapitalisme telah banyak diulas. Maka kita bisa berandai-andai juga, apakah soal kedaruratan iklim ini akan juga tidak hanya ada dalam ranah ‘keprihatinan’, tetapi sebenarnya ada juga di ranah ‘perang’? Ketika ‘lokomotif’ yang ‘mengangkat’ dinamika kapitalisme bukan lagi soal komunikasi, tetapi bermacam yang terkait dengan motor elektrik? Tidak jauh dari yang dipopulerkan oleh Sheik Yamani, presidennya OPEC saat itu, di puncak kejayaan energi fosil, “jaman batu berakhir tidak dengan habisnya batu, (maka demikian juga) jaman minyak berakhir tidak dengan habisnya minyak!” Minyak, gas, batu bara masih banyak dalam kandungan bumi, mau dihabisi perannya dalam tahun-tahun mendatang? Bagi yang penghasilan utamanya ada di minyak dkk itu, dan menjadi kaya karenanya, siapa mau tiba-tiba saja dapat sinyal mau dihabisi perannya? Kalau pedagangnya itu hanya kecil-kecilan dan dagangannya menjadi tidak laku, mungkin hanya teriak-teriak, tetapi bagaimana jika pedagangnya adalah negara yang mempunyai angkatan bersenjata dan senjata berjibun di gudang seperti Rusia misalnya. Atau pedagang besar swasta –kaum oligark seperti di Rusia itu misalnya, tetapi mempunyai kemampuan untuk mengakses negara dan senjata-senjatanya? Atau lihat berapa keuntungan berlipat saat ini dari para ‘pemain’ energi fosil akibat perang Ukraina karena invasi Rusia itu. Bikin tajir melintir, demikian istilah Tempo.

Syahdan, pada suatu waktu, Jack Ma dikabarkan ‘menghilang’. Tentu peran negara China saat itu dipertanyakan, apakah terlibat? Apakah ini tidak terlalu beda jauh dari maunya Biden untuk menaikkan pajak terhadap para super-rich? Atau Inggris yang memutuskan menaikkan pajak terhadap perusahaan-perusahaan dalam ranah energi fosil yang memperoleh ‘durian runtuh’ dari perang Ukraina akibat invasi Rusia itu? Apakah Adam Smith membawa lubang besar ketika meyakini bahwa the wealth of nation itu akan terwujud sebagai ‘konsekuensi yang tidak ditujukan’ pada awalnya, karena itu sebagai akibat saja dari sejahteranya masing-masing warganya? Ketika ukuran akumulasi modal itu semakin meraksasa, bukankah itu akan menjadi ‘kekuatan’ tersendiri? Bagaimana itu kemudian akan mengarah pada ‘sejahteranya masing-masing warga’ sehingga the wealth of nation akan mewujud? Melalui trickle-down effect? Atau lihat dari apa-apa yang terjadi di masa lalu, berapa bermacam biaya yang harus ditanggung karena ‘politik-politik pintu terbuka’[1] itu? Berurusan dengan ‘machiavelli yang menua’ atau dalam istilah B. Herry Priyono, ‘machiavelli menumpuk harta’[2] ini memang sungguh merepotkan, dan bahkan mendebarkan, karena jika salah langkah, perang-lah cerita selanjutnya. *** (23-03-2023)

[1] https://www.pergerakankebangsaan.com/180-Politik-Pintu-Terbuka/

[2] https://www.pergerakankebangsaan.com/628-Machiavelli-Menumpuk-Harta/

1109. 300 T, 349 T, dan 3 P

24-03-2023

Bayangkan jika Bu M mengatakan supaya besok pas coblosan milih presidennya yang mirip Pak H, di jaman old doeloe. Bisa-bisa langsung dilirik tajam dari segala penjuru. Kanan, kiri, atas, bawah. Bayangkan, mirip Pak H! Jadi jelas bukan Pak H –hanya mirip-mirip sajalah. Di jaman old, yang ‘mendebarkan’ adalah siapa calon wakil-nya. Soal yang diwakili itu sudah jelas, persis-nya Pak H. Wis cetho. Tidak usah aèng-aèng lagi. Nanti malah di-gebuk, repot semua. Maka ketika Bu M mengatakan besok-besok jika coblosan pilih yang mirip Pak J, itu bukanlah diucapkan di ruang kosong. Karena peraturan-perundangan memang ada bunyinya, Pak J tidak mungkin lagi mencalonkan diri. Tetapi jika sudah jelas undang-undangnya, wis cetho, kok masih saja hal di atas diucapkan oleh Bu M? Mungkinkah ruang itu selain diisi oleh perundangan, juga diisi oleh narasi-narasi lain yang mbèlgèdès sifatnya, seperti keinginan untuk 3 periode itu? Jika ya maka memang ada kemungkinan sebagian pethakilan-nya para ‘elit’ itu adalah dalam rangka beauty contest untuk jabatan wakil. Bahkan mungkin tidak hanya soal beauty, tetapi juga berat-nya ransel yang digendong. Yang jika ditimbang sudah bukan lagi soal puluhan triliun lagi, siapa tahu ada yang minta sampai ratusan triliun! Bermacam penampakan sudah memberikan sinyal jelasnya: terlalu banyak kegilaan berseliweran berulang dan berulang. Tidak peduli lagi apa yang sedang dipertaruhkan. Maka berharap tipis-tipis sajalah terkait terang-benderangnya 300 T, dan 349 T itu, sebab jangan-jangan ini adalah ranah ‘pembunuhan karakter’ pesaing. Dan jika itu benar, sudah kesampaian. Lalu, mau apa lagi kalau tidak the show must go on? Kembali ke laptop, kata Tukul Arwana. *** (24-03-2023)