1200. Faust N.

01-08-2023

Faust adalah drama karya Goethe, lebih dari 200 tahun lalu. Faust N. adalah versi ‘nusantara’.

Syahdan, sik-Faust N. begitu terpesona dengan gadis muda nan cantik, Inge binti Kern North, yang sering dipanggil dengan singkatan namanya, IKN. Tetapi hanya kekayaan yang menjadi modal sik-Faust N. untuk mendekati IKN. Kekayaan yang diperolehnya dari warisan orang tua-kakek-buyutnya. Hamparan tanah subur dengan bermacam hasil pertanian dan perkebunan. Bahkan di tengah-tengah ada danau buatan dengan hamparan pasir putih yang diangkut dari pantai yang berjarak sekitar lima kilometer. Pasir putih dengan lebar sekitar 40 meter dan menjauh dari tepi danau sekitar 10 meter, nampak miring sekitar 20 derajat. Duduk santai di atas hamparan pasir putih itu seakan sedang menikmati indahnya tepi pantai saja. Tidak hanya itu, di sebelah utara tanah miliknya, ada beberapa klinik dan sebuah rumah sakit untuk melayani kesehatan masyarakat sekitar. Dari klinik bersalin sampai dengan klinik sunat.

Karena tanahnya sangat subur banyak yang mengincarnya. Tetapi orang tua-kakek-buyutnya tidak mau melepas, bahkan ketika mau diambil paksa sekalipun. Bisa dikatakan darah mengalir di atas perdikan itu, demi mempertahankan hak. Dan sampai sik-Faust N. menginjak setengah-tua, tanah perdikan itu masih berjalan dengan segala berkah yang diberikan. Tetapi hasrat akan IKN telah mengubah segalanya karena IKN ternyata tidak tergoda dengan segala kekayaan sik-Faust N.

Tiba-tiba saja, di tengah-tengah segala hasrat dan kegundahan, di tengah malam, datang mengetuk pintu keras-keras. Sik-Faust N. segera membuka pintu, dan betapa terkejutnya sik-Mephisto-toplès sudah berdiri di depannya. “Toplès?” Sik-Faust N. bergumam lirih. Tanpa banyak kata sik-Mephisto-toplès nyelonong saja masuk ke rumah. Selama ini sik-Faust N. hanya dengar-dengar saja soal sik-Mephisto-toplès, yang seringnya dijuluki sebagai sik-Toplès saja, iblis berwajah manusia yang siap membantu manusia jika ‘bayaran’-nya tepat. Mephisto-toplès tahu persis keinginan dari sik-Faust N. terhadap IKN. Maka ditawarkannya bantuan untuk mendapatkan IKN, dengan syarat-syarat ada tertulis dalam kontrak. Karena hasrat sudah sungguh menggebu, maka sik-Faust N.-pun menandatangai kontrak, dan sesuai isi kontrak, pasir putih di pinggir danau-pun kemudian pindah tempat, entah kemana. Sawah, pertanian, perkebunan-pun digadaikan pada sik-Toplès. Bahkan bagian selatan yang diduga ada tambang nikelnya juga melayang. Tidak hanya itu, klinik bersalin, klinik sunat, dan rumah sakit-pun ikut melayang. Bahkan dengan semua karyawan, perawat, bidan, dan dokternya, untuk kemudian menjadi budak-nya sik-Toplès. Akhirnya di ujung lembar kontrak, sik-Faust N.-pun menyerahkan jiwa-nya pada sik-Toplès. Akankah akhirnya IKN jadi dipersunting oleh sik-Faust N. sesuai janji bantuan dari sik-Toplès? Karena begitu kontrak dengan sik-Toplès ditanda-tangani, gempa terjadi di laut tak jauh dari tepi pantai. Tsunami besar menghantam sampai 3 km dari bibir pantai. Dan IKN bersama ratusan orang tersapu oleh ganasnya tsunami. Sik-Faust gemetar mendengar kabar itu. Tetapi kontrak sudah ditanda-tangani. Sik-Faust N.-pun jadinya ngaplo saja, cuk. Salam Agustus … Merdeka! The-end. *** (01-08-2023)

1201. Dari Desain ke De-sains

03-08-2023

Penyerahan detail desain IKN ke China bisa-bisa merupakan puncak dari penghancuran soft-power republik. Jika memakai kata-kata Koentjaraningrat 50 tahun lalu, keinginan untuk mempunyai mentalitas yang menghargai mutu, mau bertanggung jawab secara kokoh, tidak suka menerabas, mau berdisiplin tinggi, dan mempunyai kepercayaan diri tinggi, adalah bagaimana praktek soft-power dapat dirasakan. Tentu juga menguatnya modal-sosial yang berangkat dari kepercayaan (trust) itu.

Maka tak berlebihanlah judul di atas, dari desain IKN yang diserahkan ke China itu kita juga merasakan bagaimana republik semakin dijauhkan dari bermacam sains, atau bahkan secara perlahan tapi pasti, diarahkan ke de-sains. Bermacam hal ‘mitis’ lebih ditebar, bermacam ‘sihir’ dimaksimalkan demi langgengnya kekuasaan. Kemampuan sains dari bakat-bakat anak negeri dalam membuat desain IKN sungguh sedang dilecehkan habis-habisan. Bagian penting dari jiwa republik sedang digadaikan.[1] Tidak ada gunanya rakyat disuruh kibarkan bendera selama sebulan penuh tetapi kelakuan para pemimpin justru dengan tanpa beban mengkhianati jiwa Proklamasi. Sudah korupsi merebak kemana-mana, patriotisme-pun tidak punya sama sekali. Tidak punya kehormatan sama sekali. Maka jika boleh menyarankan, salah satu lomba Agustus-an kali ini, mengapa tidak membuat lomba topeng dengan tema: si-Bajingan Tolol? Untuk kemudian dipasang di tempat umum, dan siapa saja boleh melemparinya. Boleh memukulnya. Seperti boneka Trump yang siapa saja boleh memukul atau menendang. *** (03-08-2023)

[1] Lihat, Faust N., https://pergerakankebangsaan.org/tulisan-26, No. 1200

1202. Keliaran di "Dunia Ketiga"

04-08-2023

Weherof one cannot speak, thereof one must be silent”, demikian ditulis Wittgenstein 100 tahun lalu. Tidak hanya soal puisi menjadi mungkin lebih dihayati mengapa bisa hadir di depan kita, atau bermacam seni berkembang terkait dengan pernyataan Wittgenstein tersebut, tetapi kita juga seperti diyakinkan bahwa memang berpikir itu mendahului bahasa. Soal rasa-merasa itu mendahului bahasa. Yang kadang memang sulit untuk dikatakan. Lebih jauh lagi kita bisa melihat bagaimana manusia berkembang dalam evolusinya. Pada awalnya manusia hidup dengan alam sekitarnya, dan itulah dunia pertama. Dengan segala perubahan-perkembangan, terutama setelah ‘kaki’ depan dibebaskan dari fungsi berjalannya melalui jalan evolusi, manusia kemudian mulai mampu berpikir, dan segala dinamika dalam ‘proses mental’ itu kemudian terbentuk ‘dunia kedua’. Terutama dengan bahasa yang berkembang kemudian, terbentuklah yang menurut Karl Popper sebagai dunia ketiga itu. Ketika bermacam ‘proses mental’ itu dilempar masuk ke dunia ketiga yang semakin terbentuk.

Ketika modus komunikasi masih oralitas saja, maka dinamika dunia ketiga itu lebih banyak dipengaruhi oleh para pencerita yang mendapat tempat tersendiri. Termasuk juga ketika mulai ada gambar-gambar di dinding gua, penafsir-pencerita mempunyai peran pentingnya. Bahkan ketika masuk era manuskrip sebenarnya tak jauh berbeda. Hanya saja ditambah dengan para ‘supervisor’ yang mengawasi si-penyalin manuskrip. Tetapi siapa pembaca-penafsir, dan juga si-pembelajar masihlah sangat terbatas, dan bahkan hanya untuk kalangan tertentu saja. Ketika mesin cetak massal Gutenberg ditemukan di sekitar tahun 1440-an maka yang mendapat manfaat bermacam hal di dunia ketiga itu semakin banyak dan semakin luas. Ketika Bible kemudian diterjemahkan dalam bahasa-bahasa lokal dan dicetak dalam jumlah jutaan eksemplar, maka berkembang juga ‘nasionalisme’ di masing-masing daerah di Eropa sana. Jurnal, surat kabar, dan juga ensiklopedia yang ikut mendorong pecahnya Revolusi Perancis misalnya, semakin banyak. Dunia ketiga-pun berkembang pesat, termasuk juga bermacam ideologi dilahirkan. Mampir, masuk ke republik juga.

Bagaimana dengan era Revolusi Informasi seperti sekarang ini? Apa yang kita rasakan selama 25 tahun hidup dalam modus komunikasi mass-to-mass via jaringan digital-internet? Menjadi semakin akrab dengan yang disebut Manuel Castells sebagai space of flows itu? Dunia ketiga popperian itu ternyata tidak hanya semakin cepat silih berganti dengan segala konsekuensinya, tetapi juga penuh ‘keliaran’-nya. Para ahli, spesialis, para supervisor misalnya, seakan harus bersaing dengan ‘junjungan’ dari bermacam ‘peer-group’ yang ada dan terus saja berkembang. Disinformasi, hoaks, dan sejenisnya tentu sudah ada sejak komunikasi oral, manuskrip, dan cetak, TV, radio, katakanlah begitu. Ingat, tipu-muslihat itu adalah salah satu senjata paling kuno. Tetapi di era digital-internet ini, semua hadir dengan semakin cepat-silih-berganti, cepat menyebar pula, dan hampir semua bisa bikin kalau mau. Dan semakin ‘nekad’ pula, bahkan meski sudah di-counter dengan bukti-buktipun masih saja ‘muka tebal’. Sungguh, di balik segala berkah, ada keliaran yang selalu bergejolak.

Maka tidak mengherankan, meski informasi menjadi melimpah, bahkan ‘banjir’, in-formasi-nya juga membuat rasa aman pun bisa-bisa ikut terkikis-tersapu. Tidak mengherankan pula, meski ditulis sebelum sosial-media ada, Castells 25 tahun lalu sudah meraba bahwa identitas bisa-bisa menjadi sumber utama dalam pencarian makna (hidup). Ke-tribal-an bisa-bisa justru akan menguat. Dalam situasi seakan chaotic ini maka peran negara semakin penting. Wajar-wajar saja khalayak berharap besar pada negara karena negara telah memungut bermacam pajak dari warganya. Apa peran negara yang diharapkan? Ia diharapkan menjadi satu entitas yang bisa dipercaya, ada samar-samar sebuah axis-mundi yang bisa diharapkan. Mungkin terlalu naif harapan itu, tetapi kita bisa membayangkan sebaliknya, apa yang terjadi jika kepercayaan kepada negara semakin menghilang? Ketika ‘penjaga-kesepakatan’ itu menjadi carut-marut? Tentu kebanyakan khalayak akan paham juga bahwa politik di ranah negara itu pastilah akan ada tipu-tipunya, masalahnya adalah soal batas. Ketika semakin nampak dan dihayati banyak orang bahwa politik di ranah negara justru semakin asyik saja ‘mempermainkan permainan’, disitulah suasana chaotic tidak hanya dirasakan di ‘dunia ketiga’, tetapi juga sudah menggoyang ‘dunia pertama’-nya. Jika sudah begini, biasanya akan main kayu, kekuatan kekerasan-lah yang akan maju. Fasis. Tak mengherankan pula Mike Pence wakil-nya Trump pun menjadi gatal melihat segala tingkah-polah Trump, terutama ketika menghadapi bermacam tuntutan kriminal. “Seseorang yang merasa di atas konstitusi, ia tidak layak menjadi presiden,” kata Pence baru-baru ini. Atau meminjam kata-kata Driyarkara, ia yang juga demen mempermainkan konstitusi. Mungkin kalau Mike Pence adalah rakyat biasa, bisa-bisa ia akan mengumpat: “Bajingan tolol!” *** (04-08-2023)

1203. Keliaran di "Dunia Ketiga" dan Saran Marx

04-08-2023

“Dunia ketiga” yang dimaksud adalah menurut Karl Popper, salah satu anggota MPS –Mont Pelerin Sosiety, think-tank paling tua dan bergengsi dari kaum neolib. Apakah Popper sedang ‘menjinakkan’ pembedaan antara ‘bangunan atas’ dan ‘basis’ dari Marx? Terutama sayap ‘over-deterministik’-nya? Apapun itu kita coba ambil manfaat dari keduanya, dan meski memang “dunia ketiga” popperian itu seakan mengaburkan ‘fokus’ dari basis-nya Marx, relasi-relasi kekuatan produksi. Kita tidak mengingkari adanya dunia ketiga popperian itu, tetapi kita coba untuk memberikan perhatian lebih soal relasi-relasi kekuatan produksi. Kata Thukul Arwana, kembali ke laptop.

Basis marxian itu tidak hanya sebagai bagian dari analisis, tetapi bisa juga kita gunakan sebagai ‘pihak ketiga’ yang mempererat sebuah ‘persahabatan sejati’. Menurut Platon, sebuah ‘persahabatan sejati’ hanya akan mewujud jika ada ‘pihak ketiga’ yang menjadi perhatian mendalam bersama dari yang saling bersahabat. Dan dari penampakan-penampakan yang muncul, kita bisa meraba ada yang sedang gegayaan ‘sok-sok-an liberalis’. Rakyat disuruh setia pada Konsensus Washington (1989-an), tetapi para elit kebanyakan membuat konsensus sendiri untuk merampok republik. Jelasnya, nasib rakyat untuk bahan sogokan supaya modal menjadi ‘maklum’ dan ‘mendukung’ paling tidak membiarkan munculnya ‘konsensus’ merampok republik. Pembagian rejeki-lah …, ada yang merampok rakyat kebanyakan, ada yang merampok negara, dan sebagian ada yang merampok kedua-duanya. Liberalisme rusak-rusakan. Accumulation by dispossession abis-abisan.

Maka relasi-relasi kekuatan produksi (kekayaan) yang begitu mbèlgèdès itulah sebaiknya yang menjadi ‘pihak ketiga’ untuk mempererat perjuangan dalam mewujudkan cita-cita Proklamasi. Itu kalau kita sesuaikan dengan bulan mengibarkan bendera selama 1 bulan ini, bulan Agustus. Maka ungkapan ‘bajingan tolol’ yang menghangat akhir-akhir inipun semestinya kita lihat juga dengan akar asal-asulnya dari ke- mbèlgèdès-an relasi-relasi kekuatan produksi. Rusak-rusakan yang mungkin saja para pejuang kemerdekaan tidak pernah membayangkan sama sekali. Ada baiknya tahun ini bulan Agustus kita maknai sebagai “bulan pengkhianatan”, dalam arti sebagai pengingat begitu banyak pengkhianat-pengkhianat republik sudah bertebaran di sana-sini. Bahkan masih sebagai bakal calon-pun, warna kebanggaan sebuah partai yang mengusungnya dengan enteng-enteng saja dikhianati. Boleh saja beralasan bla … bla … bla …, tetapi boleh dong jika ada yang kemudian berpendapat, apakah itu bukan cerminan watak seorang pengkhianat? Dalam ranah perjuangan, adakah yang lebih rendah dari sebuah pengkhianatan? Mau mengubur si-Bung saja mlipir-nya nggak karu-karuan. Mau meniru Modi-isme yang ‘mengubur’ klan Gandhi dengan resep tribalisme? Gegayaan ‘sok-nusantara’ untuk memperoleh ‘legitimasi’ laku abis-abisan meng-exclude yang lain? Mengeksploitasi ‘an instinct to exclude’ demi imajisasi-obsesif ‘tribal-instinct’ seperti disinggung oleh Amy Chua (2019)? Sadarkah yang sedang dipertaruhkan?

“Bermain-main’ di dunia ketiga memang mempunyai resiko yang sungguh besar, bahkan tak terbatas, sebagaimana karakter dari dunia ketiga itu. Tetapi ‘permainan’ di dunia ketiga itu hampir bisa dikatakan di luar kendali kita, bahkan ketika modus komunikasi masih oralitas-manuskrip-atau cetak massal dan teman-temannya itu. Bahkan Marx-pun sampai mengajukan gambaran camera-obscura untuk meyakinkan: lihatlah di basis! Kenalilah apa-apa yang berkembang dalam relasi-relasi kekuatan produksi itu. Kapitalisme-kah? Neoliberalisme-kah? Kapitalisme kroni-kah? Kong-ka-li-kong pat-gu-li-pat-kah? Jual-beli pengaruh-kah? Pemburuan rente-kah? Mafia ini mafia itu-kah? Salam Agustus … Merdeka! *** (04-08-2023)

1204. Masa Lalu Sebagai Ranah

05-08-2023

Ketika kita masuk ke rumah sakit, maka kita masuk ke dalam ranah berbeda dibandingkan saat kita masuk pasar tradisional. Yang dimaksud ranah bukan saja menunjuk tempat, atau bangunan yang mengisinya, tetapi juga bermacam peraturan baik tertulis atau (terlebih) tak tertulis sehingga sadar atau tidak masing-masing kemudian ‘sadar posisi’. Tidak hanya itu, dalam ranah juga ada bermacam relasi-relasi-kuasa. Maka ranah sepak bola-pun akan berbeda dengan ranah bola basket. Bahkan di sepak bola rumputpun kemudian bisa menjadi simbol relasi kuasa, di tangan kaum medioker tak tahu malu tak tahu batas. Atau kemudian ‘dibetot’, di cabut untuk dilempar dalam ranah drama yang sungguh tidak mutu, ndèk-ndèk-an.

Ketika seorang pengunjung Univesitas Oxford diajak keliling untuk melihat gedung-ruang kuliah, perpustakaan, taman-tamannya, ruang dosen, dan seterusnya, di akhir tour ia bertanya, lalu dimanakah Universitasnya? Hal ini dicontohkan oleh Gilbert Ryle dalam The Concept of Mind (1949), untuk menunjukkan soal kesalahan kategoris (category mistake). Universitas adalah hubungan antara bermacam lembaga atau gedung-gedung itu, sebagai satu kesatuan. Atau kebetulan masuk ke sebuah gedung museum penuh diorama kekejaman masa lampau, dan tersentuhlah rasa kemanusiaan melihat bermacam kekejaman, alat-alat penyiksaan, penjara dan gambar-gambar manusia ditumpuk tak bernyawa, dan masih banyak lagi. Mengerikan. Tiba-tiba saja di tengah-tengah kengerian yang menghinggapinya ia ingat akan tugas sekolah, soal keadilan. Maka ia bertanya kepada pemandu, dimanakah ketidak-adilannya? Apakah dengan bertanya seperti itu ia masuk dalam sebuah kesalahan kategoris? Sering dalam bahasa sehari-hari tidak mudah untuk ‘menghakimi’ seseorang sedang masuk dalam sebuah kesalahan kategori atau tidak. Karena kadang ada hal-hal yang memang sulit untuk ‘dibahasakan’ tetapi sungguh dirasakan dalam satu penggal keseharian. Anak-anak akan merasa ketika ia diperlakukan tidak adil, tetapi apakah ia punya konsep tentang keadilan? Mungkin saja ia punya konsep tentang keadilan dalam taraf tertentu –apapun itu, tetapi jika kemudian ditanyakan mengapa harus adil? Akan tidak mudah dijawab, dibanding misalnya mengapa harus makan, misalnya. Pertanyaan mengapa harus adil sering jawabannya ada di lebih soal ‘rasa-merasa’, sering lebih merupakan pengalaman dari pada apa-apa yang akan keluar dari mulut.

Maka tuntutan soal keadilan adalah soal pengalaman diperlakukan tidak adil. Termasuk juga soal keadilan masa lalu, misalnya. Tetapi tuntutan keadilan bagi masa lalu apakah bisa memberikan nuansa, terutama bagi ranah negara untuk ‘menyelesaikan’ dengan tepat? Jika ada nada 1, 2, dan 3, saat sekarang terdengar nada 2 maka sebenarnya nada 1 seakan tertahan dan ikut ‘terlibat’ dalam penghayatan nada 2, dan nada 3 memang belum terdengar, tetapi seakan sudah diantisipasi. Maka jika sekarang ini yang terdengar adalah terlalu berisiknya ketidak-adilan, bagaimana ‘nada’ masa lalu yang menuntut keadilan itu akan ikut memberikan nuansanya? Ataukah masa kini kemudian ‘gagal’ menangkap ‘nada’ masa lalu yang menuntut keadilan? Yang mau dikatakan di sini adalah, bagaimana menghayati tuntutan keadilan masa lalu jika pengalaman masa kini begitu minim-nya soal keadilan? Ini bukan bearti bahwa keadilan masa lalu baru akan terwujud jika keadilan masa kini sudah terwujud. Bukan itu yang dimaksudkan. Ini adalah soal ‘gairah’ untuk menapak jalan keadilan. Bagaimana itu kemudian akan dihayati?

Dari Platon kita bisa belajar untuk memulai ‘gairah’ menuju sebuah keadilan, yaitu ketika masing-masing menjalankan tugas-wewenangnya dengan baik. Baik yang sebagai ‘filsuf-raja’, serdadu-yang-pegang senjata, maupun pedagang/petani. Yang carut-marut saling tumpang tindih dan kemudian tidak menjalankan tugas-wewenang masing-masing dengan baik, ketidak-adilan-lah yang akan membayang. Dan jika ketidak-adilan yang lebih membayang lekat di masa kini, bagaimana ia akan menyelesaikan soal keadilan masa lalu? Akankah tuntutan keadilan masa lalu justru akan diperlakukan juga secara tidak adil? Apakah kemudian tuntutan akan keadilan masa lalu itu terus dihentikan sementara? Tidak juga, dan bahkan wajib untuk disuarakan terus. Hal-hal di atas adalah lebih soal ranah negara. Atau tepatnya, memperkirakan sejauh mana peran negara dalam menyelesaikan ketidak-adilan masa lalu. Dapat diharapkan atau tidak. Jika masa lalu adalah juga ranah, maka ia dalam dirinya sudah membawa bermacam relasi kuasa dan bermacam konteksnya. Negara yang tidak di jalur ‘gairah’ mewujudkan keadilan masa kini dan masa depan, akan sangat mudah memainken bermacam relasi kuasa masa lalu itu untuk kepentingan dirinya sendiri, termasuk bermacam relasi kuasa yang berujung ketidak-adilan itu. *** (05-08-2023)