1270. Politik dan Kemungkinan Ekstrem-nya

28-10-2023

Ada yang mengatakan bahwa politik adalah seni dari kemungkinan. Seberapa jauh ‘yang mungkin’ itu dimungkinkan? Dua tahun lalu ramai terberitakan tokoh oposisi Russia Alexei Navalny harus dirawat di Jerman selama hampir dua bulan diduga karena diracun di atas pesawat dalam perjalanan dari kota Tomsk ke Moskow. Delapan belas tahun sebelumnya, meninggalnya Munir sampai sekarang masih ‘misteri’. Dugaan kuat: diracun. Maka dalam politik, kemungkinan ekstremnya adalah memang: kematian.

Jika ‘kaum politisi’ dengan ‘bangga’ bahwa ia sedang ‘berenang’ dalam samudera kemungkinan, maka tidaklah berlebihan jika ‘di pantai- kemungkinan’ itu banyak orang kemudian ber-spekulasi, entah berdasarkan ‘bintang jatuh’ atau berdiri di atas menara dengan menenteng teropong, atau ada yang menganalisa air lautnya. Macam-macam. Tak terhindarkan. Maka pula rumor-kasak-kusuk kemudian seakan beriringan dengan bermacam kemungkinan itu. Tetapi kadang-kadang orang ber-spekulasi ada dasarnya juga, misal dari penampakan-penampakan. Dari penampakan A, B dan C misalnya, dibayangkan bahwa itu tidak hanya mirip, tetapi sama. Tentu sebaiknya ini di-‘uji’ lagi dengan imajinasi-imajinasi lain, atau di cek-ricek lagi dengan realitas yang ada. Apapun itu, dalam ‘psikologi-sosial rumor’ dimungkinkan juga orang bertindak berdasarkan rumor.

Hari-hari ini ada satu penampakan berita yang menimbulkan bermacam spekulasi, yaitu meninggalnya mantan Premier China Li Keqian (68) karena mendadak serangan jantung. Selama 10 tahun (2013-Maret kemarin) Li Keqian mendampingi Presiden Xi Jinping, dan jabatan Premier biasanya mengurus soal ekonomi. Spekulasi lebih berkembang tidak hanya dalam hal tertentu China masih-lah sebuah ‘Titai Bambu’, tetapi juga karena sebelumnya menteri luar negeri dan menteri pertahanan tiba-tiba saja diganti beberapa bulan lalu, tidak bersamaan memang. Usia saat Li Keqian meninggal karena serangan jantung, delapan tahun lebih muda dari Luhut Binsar Panjaitan, dan empat tahun lebih muda dari Prabowo Subianto. Atau 12 tahun lebih muda dari Joe Biden. Terlalu sedikit informasi terkait dengan mendadaknya serangan jantung yang berujung kematian itu, dan ‘orang luar’ bisanya ya ber-spekulasi. Tidak lebih dari itu. Hanya saja, karena ini terjadi di salah satu ‘super-power’ bahkan jika itu sebatas rumor-pun mempunyai potensi untuk menjadi ‘model’ yang akan ditiru oleh lainnya yang ada dalam pengaruh kuat China. Guru kencing berdiri, murid kencing berlari, demikian pepatah mengatakan. *** (28-10-2023)

1271. Politik Tubuh

29-10-2023

Apa ésènsi dari ‘sandera kasus’ yang mbèlgèdès itu?” Totok takon nang Kang Yos sajak serius banget kaé Cuk.

Kang Yos: “Kadingarèn serius banget Tok …”

“Iki tugas kursus kader Kang …”

Ésènsi dari ‘sandera kasus’ kuwi yo ‘politik tubuh’ Tok …”

“Koyo sing tau disénggol Cak Ariél kaé Kang?”

“Hè’èh …”

“Jan-jané kuwi maksudé opo to Kang?”

“Maksudé …,” Mas Amir mèlu nimbrung. “Soal hubungan kuasa kuwi iso-iso mèlu digéndong nang awak-awak iki …”

Tubuh maksudé Mas, wadag …”

“Hè’èh Tok …”

Likwan mèlu nimbrung: “Kan ujung-ujungé ngko nèk diterus-teruské tubuh dadi ora bébas …”

Cuk Bowo njelaské: “Mlebu nang penjoro Tok …”

“Ngono yo … Dadi sepiring berdua yo Cuk …”

“Hè’èh …”

Koh Bos mèlu kasih penjelasan: “Nang Amerika kono soal aborsi, pengguguran kuwi iso-iso dadi isu kampanye sing ramé …”

“Ngono yo Koh …”

Koh Bos lanjut: “Kuwi kan soal ‘kedaulatan tubuh’, awak-awak-ku dhéwé yo aku sing mutusi pro-cois Tok, pro-pilihan …”

‘Ngono yo Koh …”

Nyah Ndut mèlu njelaské: “Koyo aku iki Tok … mangan sithik tetep lemu, mangan akeh yo tetep lemu, dadi aku milih tetep gendut waé Tok …. “

“Ngono yo Nyah …”

“Ya’é …”

Cak Babo: “Manèh soal pemilihan, lha kaé calon-calon sing ngandalké bagus-ayu thok, seko artis-artis kaé, kuwi kan yo ‘politik tubuh’ ugo …”

“Ngono yo Cak …”

“Hè’èh Tok …”

“Termasuk sing sok-sok-an mlebu gorong-gorong kaé Cak?”

“Ya’é …”

Totok ugo kasih conto, wis rodo dong sithik saiki: “Termasuk nèk perang kaé akèh terus beredar: dudu tentara ning wong biasa sipil, malah cah-cah cilik barang, dadi korban bedil-bedil-an, bom-bom-an kaé Cak?”

“Ya’é … Ning nèk kuwi ono maksud politik-é opo ora wis ora penting manèh Tok. Intiné dudu tentara kok malah dadi korban perang. Asu tenan kuwi.”

“Ngono yo Cak …”

“Hè’èh …”

Likwan: “Lha kaé pas jaman penjajahan omongané Cak SHA, awak-tubuh sing dijajah diomongké karo sing-njajah nèk kuwi tubuh-yang-malas. Asu tenan kuwi …”

“Ngono yo Lik … Kuwi ugo ‘politik tubuh’ yo …”

“Hè’èh Tok …”

Kang Yos rodo ‘menyimpang’: “Conto Pak Él kaé … Pinteeerr …”

“Piyé-piyé Kang?!” Totok penasaran.

Nyah Ndut nyelo: “Pak Él penasehat-utamané Lurahe Mukidi Kang?”

“Hè’èh Nyah …”

“Terus piyé Kang kok Pak Él ki dadi pinter …,” Totok wis ora sabar.

Kang Yos ngunjal ambegan dhisik nyruput kopi, nyedot rokok Magnum Filter terus mbenaké kocomoto, dhéhém-dhéhém sedhelok: “Ngéné Tok … Pinteré Pak Él kuwi dikè’i tugas macem-macem karo Lurahe nolak terus … ..”

“Ora gelem Kang?”

“Hè’èh Tok … Pak Él tahu diri …”

“Lho kan jan-jané mampu to Kang?”

“Ning Pak Él kuwi kan uwis tuwo Tok. Umur menjelang 80 tahun, awak, tubuh kan wis menurun …”

Koh Bos neruské: “Mengko nèk di-bleg-i macem-macem gawéan kan iso-iso drop awaké Tok …”

“Dadi lara-lara-nen, sakit-sakit-an. Ngono yo Koh …”

“Iyo Tok … Kan koyo-koyo di-sengkak-é ngono …”

“Bèn cepet ngono yo Koh …”

“Yo Tok … Cepet menghadap pada Yang Maha Kuasa …”

Mas Amir: “Kuwi yo ‘politik tubuh’ Tok ….”

“Ngono yo Mas …”

“Ya’é …”

Nyah Ndut: “Lha kabèh-kebèh kok ‘politik tubuh’, terus hasil olah utek-é kuwi podho nang endi?”

“Ngumpet nang dengkul Nyah ….”

“Ngono yo Cuk …” *** (29-10-2023)

1272. Menjadi Bangsa 'Kerdil'?

01-11-2023

Jangan-jangan tugasnya memang membuat bangsa ini menjadi bangsa ‘kerdil’, sadar atau tidak. Sebelum ngibul-nya tentang bertahun-tahun-tahun di masa depan kejadian, bangsa ini sudah mulai rusak-rusak-an, atau tepatnya: dirusak. Mulai tahun-tahun kemarin, sekarang, dan besok-besoknya. Komplit rusaknya. Bahkan sistem-pun diserang habis-habisan, semau-maunya: ‘teroris-sistem’. Dan semua itu pada awalnya adalah kata, atau katakanlah: bahasa. Bahasa yang seakan terhayati semata sebagai alat saja. Padahal bahasa juga bisa berarti adalah kebudayaan, adalah juga peradaban, atau juga ilmu pengetahuan, dan bermacam lagi. Bahkan juga ikut membangun identitas. Bahasa memang juga alat, tetapi tidaklah berhenti di situ saja. Bahkan Heidegger menyebut bahwa bahasa adalah rumah bagi, katakanlah, manusia.

Maka ketika kuasa ada di tangan orang yang tahunya bahasa itu semata sebagai alat saja, bahkan terutama sebagai alat tipu-muslihat, kebudayaan bisa-bisa akan tertatih-tatih, peradaban bisa-bisa juga akan mengalami kemunduran, ilmu pengetahuan-pun bisa-bisa akan ada dalam habitat gersang-nya. Bahkan seluruh ‘rumah’ dan ‘isi’-nyapun akan tanpa beban diper-alat juga. Lihat bagaimana ‘badan-badan’ itu sengaja dipasang di depan untuk menyembunyikan siapa ia sebenarnya, atau apa yang sedang dilakukannya. Bagai seorang anak kecil yang over-protected ia akan berkembang menjadi pribadi yang tak teruji. Dan akan cenderung ‘anti-sosial’, dan ujung-ujungnya bisa-bisa berkembang pribadi egois, ego dirinya sendirilah yang seakan menjadi ‘pusat dunia’.

Menurut Bourdieu, sebuah tindakan akan dipengaruhi oleh ‘capital’, ranah (field) dan habit. Ketika tahunya bahasa adalah sebagai alat saja, dan terus-menerus itu dilakukan maka jadilah itu salah satu unsur habit yang sungguh sudah sulit lagi ‘dibongkar’. Maka tindakan-pun kemudian sedikit banyak akan terpengaruh hal tersebut: memperalat. Bahkan ketika membangun relasi dengan ‘yang-lain’-nya, dengan manusia-manusia lainnya, ‘logika-alat’-lah yang akan maju di depan. Tentu dalam ranah politik ‘siapa-memperalat-siapa’ akan menjadi bagian dari seni kemungkinan, masalahnya adalah, sekali lagi, soal batas. Tidak akan ada ‘kemajuan’ jika kita tidak mengenal ‘batas’. Bayangkan dalam satu episode Spongebob dimana Squid ingin menyendiri dengan clarinet-nya lepas dari berisiknya Spongebob, dan tiba-tiba saja ia ‘jatuh’ dalam ‘kanvas putih’ yang seakan tak berujung, tak-berbatas, serba putih bahkan ketika ia menginjaknya akan melengkung, tidak bersuduut. Lama-lama ia menjadi ‘gila’ juga. Dengan adanya ‘batas’ maka sebuah horison menjadi dimungkinkan, dan dengan itu pula kita bisa lebih menghayati di mana kita berdiri, misalnya. Menurut Van Peursen, horison ini adalah juga room for progress. Atau kalau boleh kita hayati, kemajuan berarti juga soal ‘memajukan horison’.

Pada titik tertentu dalam sebuah perjalanan hidup bersama, hampir 25 tahun lalu kita bertekad untuk memakai horison pemberantasan KKN sebagai ‘tolok ukur’ kemajuan hidup bersama. Bukan lagi soal ‘tinggal landas’, atau di tahun 2045 kita akan bla-bla-bla, tetapi sekali lagi: soal pemberantasan KKN. Kita mencoba untuk menghindar dari terkaman ilusi dan mencoba jalan dengan bobot proses lebih diperhatikan, lebih dipedulikan. Tetapi sayangnya, tidak hanya justru KKN merebak gila-gilaan, tetapi juga seakan kita kembali mundur lagi ke masalah yang dilempar Koentjaraningrat 50 tahun lalu, dan dipertontonkan secara telanjang tak tahu malu tanpa beban: (1) meremehkan mutu, (2) suka menerabas, (3) tak percaya pada diri sendiri, (4) tak berdisiplin murni, (5) suka mengabaikan tanggung jawab yang kokoh.[1] Bangsat-lah. *** (01-11-2023)

[1] Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan, Gramedia, 198, cet-12, hlm. 45

1273. Latihan Menjadi Kejam

02-11-2023

Pendapat Uskup Dom Helder Camara soal spiral kekerasan sedikit banyak memberitahukan tentang sebuah ‘eskalasi’. Ketidak-adilan itu kemudian memicu kekerasan yang terus saja membesar. Kekerasan yang dalam banyak halnya dapat mewujud sebagai kekejaman, terutama kekerasan yang berasal dari negara, state. Mengapa? Karena sampai sekarang masih diyakini bahwa ‘monopoli’ penggunaan kekerasan itu masihlah ada pada negara. Tetapi apakah manusia itu pada dasarnya adalah baik, atau buruk? Maka pendapat tentang manusia dan hidup bersamanya inipun seakan terbelah menjadi dua, yang berangkat dari ‘lembah gelap’ atau dari ‘lembah terang’. Tetapi lepas apakah itu dari ‘lembah gelap’ atau ‘terang’, perkembangan studi epigenetic akhir-akhir ini menunjukkan bahwa potensi ‘yang gelap’ untuk menjadi ‘terang’ atau sebaliknya, dimungkinkan dalam jangka panjangnya. Faktor nurturing-pun semakin mendapat perhatian lebihnya. Atau kalau kita bicara soal kekejaman manusia, itupun ada faktor nurture-nya, tidak semata by nature ia ‘dilahirkan’ untuk kejam, misalnya.

Machiavellisme memang berangkat dari ‘lembah gelap’ sebagaimana juga Hobbes. Tetapi soal machiavellisme ini ada yang berpendapat bahwa maksud sesungguhnya dari Machiavelli justru adalah untuk menghindarkan dari apa-apa yang secara telanjang ditulis Machiavelli soal ‘kegelapan’ manusia itu. Tetapi memang tak terhidarkan pula tulisan semacam itu bisa dan ada juga yang membaca secara ‘jalan gampang’, sebagai text apa adanya saja, dan ‘siap’ dijalankan sebagai sebuah ‘tuntunan’ misalnya. Jika itu terjadi maka akan dengan mudahnya saja ‘kegelapan’ hadir di depan kita, mulai dari soal tipu-tipu, dan salah satu yang jadi fokus tulisan ini: kekejaman-nya. Misalnya soal masalah: anda sebagai ‘pangeran’ atau katakanlah pemimpin, akan ditaati oleh khalayak karena dicintai atau ditakuti? Bagaimana jika ke-berhala-an itu sudah mencapai batas-batas khasiatnya? Akankah pilihan ‘dicintai’ kemudian akan digeser menjadi ‘ditakuti’? Paling tidak ia sudah ‘latihan kejam’ seperti yang dilakukan ‘Sang Pangeran’ terhadap Remirro de Orco[1], tinggal tunggu waktu saja ia akan kejam terhadap siapa saja yang menghalanginya. Maka jika mengikuti maksud ‘sesungguhnya’ dari Machiavelli, rejim seperti ini memang harus segera dihentikan, sebelum hidup bersama terjerembab di bawah mendung kegelapan. Di bawah bermacam kekejaman yang akan terus membayang. Terlebih lagi, kekejaman ini cepat atau lambat nantinya akan memerlukan back-up-nya, dan untuk memperoleh dukungan all-out maka akan perlulah ‘konsensi’ macam-macam, bahkan jika perlu kedaulatan-pun akan dijual pula. *** (02-11-2023)

[1] https://pergerakankebangsaan.org/tulisan-10, no.1124

1274. Netral

03-11-2023

“Nétral!”

Hadirin: “Entut ” (nada dasar do)

“Nétraal!”

Entuut …. (nada dasar )

“Nétraaal!”

Entuuut …. (nada dasar mi)

“Nétraaaal!”

Entuuuut … (nada dasar fa)

“Nétraaaaal!”

Entuuuuut …. (nada dasar sol)

“Nétraaaaaaaaal!”

Entuuuuuuuut ….” (nada dasar la)

Lurahé Mukidi nang Pak Wé: “Kok jawabané entut terus Pak?” Pak Wé sing malah keturon kedandapan terus tangi, ora dong karo pitakonané Lurahe, terus sok lugu takon nag Pak Lurah Mukidi: “Pripun Pak Lur?”

Lurahé rodo jèngkèl, mbalèni: “Kok terus entut mawon jawabané

“Entut pak Lur?”

Iyo …”

Cobi diganti mbonten ‘netral’ pak?”

Diganti opo Pak?”

“Waaaa-laaah…”

“Wa-lah Pak?”

Nggih Pak Lur …”

Lurahé Mukidi mbengok sak kayangé: “Waaa …. Laaah ….”

Hadirin: “Nééé…traaal ….” *** (03-11-2023)