1170. Profesionalisme Patriotik

16-06-2023

“To understand this wedding of neoliberalism with Maoist socialism, we must first consider the enterprising nature of the professionals and the calculative choices they make,” demikian ditulis Lisa M. Hoffman -Associate Professor Urban Studies Program Universitas Washington Tacoma, dalam bukunya Patriotic Professionalism in Urban China, Fostering Talent (Temple University Press, Philadelphia, 2010, hlm. 84) Apakah ‘kawin’-nya neoliberalisme dan sosialisme Maois itu seperti dibayangkan Adam Smith soal ‘sekte agung’ (famous sect) seperti ditulis Smith dalam The Theory of Moral Sentiments? Dengan pelaku di pasar yang cukup sepantasnya saja berkeutamaan? Ataukah ini yang dimaksud rekan bicara Ignas Kleden dalam Sosialisme di Tepi Sungai Elbe –beberapa tahun setelah Tembok Berlin runtuh, bahwa kapitalisme itu akan menjadi brutal jika tidak ada yang mengganggunya? Misal ‘diganggu’ oleh sosialisme Maois itu? Tetapi bagaimana dengan tahap imperialisme-nya? Jangan-jangan ‘kebrutalan’ kapitalisme itu di-ekspor ke luar China? Atau, bukankah neoliberalisme itu titik berangkatnya adalah soal kebebasan abis-abisan, neo-liberal? Bagaimana ia bisa ‘kawin’ dengan sosialisme Maois misalnya. Atau ini adalah bagian dari ‘tahap-tahapan’ itu? Ke depan, siapa akan menang? Kapitalisme atau sosialisme Maois? Bukan ini fokus tulisan, tetapi soal di judul, profesionalisme patriotik.

Ketika manusia membedakan diri dengan dunia binatang, salah satunya karena ia mampu ‘membuat-menjaga jarak’ dengan realitas yang mengurungnya. Maka kemudian tiba-tiba saja ada ‘ruang-antara’ diantara dirinya dan realitas. Tidak hanya itu, in-between inipun kemudian berkembang pada antara yang ada dan yang seharusnya ada. Juga, apa yang ada di pasar, dan yang seharusnya saya makan, saya pakai, berdandan, dan seterusnya. Maka sebenarnya yang namanya middleman itu bukan lagi ‘minoritas’, tetapi merambah di bermacam aspek hidup bersama. Ketika yang seharusnya ada itu masih bisa terjangkau, itulah hal-hal praktis di depan mata. Meski ia akan selalu punya leitstar nun jauh di sana. Apapun itu.

Jika keterjangkauan itu adalah sebuah kemungkinan, maka sebenarnya kita sedang berurusan dengan horison. Dengan adanya horison maka bermacam kemungkinan menjadi lebih bisa dihayati. Maka tidak aneh pula kemudian kita mengenal atau ‘melahirkan’ apa itu patok-duga, benchmarking. Dari bermacam kemungkinan itu kita mengambil satu standar tertentu sebagai ‘patok-duga’ kemana upaya-upaya praktis itu di arahkan. Dalam perkembangan selanjutnya, patok-duga bisa digeser lebih ‘maju’ lagi. Maka perlahan ‘ruang-antara’ itupun kemudian disesaki oleh bermacam upaya ‘menggeser’ horison, atau juga ‘patok-duga’. Kemajuan hidup bersama-pun kemudian juga menjadi kemungkinan. Salah satu bahan-bakar utama dalam upaya menggeser ‘patok-duga’ itu adalah kompetisi, bersaing. Maka ‘garis-lurus’-nya adalah untuk mampu berkompetisi maka anda harus kompeten juga. Maka pula, ketika kompetensi menjadi ‘sihir’-nya pendidikan, pada dasarnya peserta didik sedang dipersiapkan untuk ber-kompetisi, terutama di pasar. Salahkah? Benarkah?

Baru-baru ini TV DW menayangkan tayangan soal pertanian, dan dalam salah satu bagiannya menyoroti petani di Moldova, salah satu negara pecahan USSR. Ada dua pendapat, satu petani menyatakan siap berkompetisi dengan petani-petani lain di UE. Sedang satunya, masih menyampaikan nikmatnya ‘pertanian kolektif’ jaman USSR. Katanya, biar sedikit tetapi masih cukup untuk hidup, dan tak jauh berbeda dengan yang lain. Ataukah menjadi cukup atau tidak itu tidak bisa dijelaskan tanpa membandingkan dengan sekitarnya? *** (16-06-2023)

1171. Menambah Garam Saat Memasak

17-06-2023

Saat memasak kadang kita menambahkan garam, sedikit-demi-sedikit sampai rasanya pas, dan enak saat dicicipi. Ketika sudah hapal ukuran-pas-nya, memang bisa langsung tanpa melalui proses tambah sedikit-sedikit. Apa yang mau dikatakan disini adalah soal kuantitas yang pada titik tertentu bisa berubah menjadi kualitas. Dan dalam banyak hal, juga sebaliknya. Contoh lain misalnya, soal butir pasir yang satu demi satu dijatuhkan dari atas, akan membuat gundukan tinggi. Tetapi pada titik tertentu satu butir pasir bisa-bisa akan meruntuhkan gundukan. Atau kita bisa melihat ketika harta ditumpuk dan ditumpuk terus, tiba-tiba saja pada satu titik tertentu berubah menjadi power dahsyat, dan ada yang kemudian menyebut sebagai ‘Machiavelli menumpuk harta’. Tidak hanya berhenti pada si-A menjadi kaya raya saja, misalnya.

Demikian juga soal tipu-daya, senjata paling kuno itu. Tidak hanya di alam manusia, tetapi juga binatang. Hanya saja soal tipu-tipu itu tidak berjalan sendirian, manusia juga belajar. Dan ibu dari pembelajaran itu yang akan melahirkan pengetahuan adalah: pengulangan. Ketika tipu-tipu itu diulang dan diulang maka yang ditipu itupun akan belajar pula, semakin paham bahwa dirinya sedang ditipu habis-habisan. Semakin paham dia sedang ditipu ketika ia kembali melihat kenyataan. Ketika ia semakin banyak bertukar pikiran, bertukar informasi dengan yang lain. Dan ketika yang merasa ditipu itu semakin bertambah banyak dan terus bertambah, pada titik tertentu kuantitas akan berubah menjadi kualitas. Tinggal menunggu si-katalis saja. *** (17-06-2023)

1172. Hikayat Asal Mangap

20-06-2023

Sekali, dua kali, tiga kali asal mangap bisa-bisa menjadi bunga-bunga hidup bersama. Entah itu di pentas komedi, atau bahkan di panggung politik. Atau dalam obrolan ngalor-ngidul yang kadang memang tidak jelas juntrungannya. Tetapi ketika asal mangap itu kemudian tidak tahu batas, maka pada titik tertentu, katakanlah, ‘kuantitas berubah menjadi kualitas’. ‘Kualitas’ penghayatan yang menjadi sudah tidak lagi berhenti pada penghayatan ‘asal mangap’, tetapi siapa tahu ada ada penghayatan lain: sebagai ‘anti-sains’.

Tetapi sebenarnya asal mangap itu bukannya soal berpikir atau tidak berpikir. Yang nampaknya asal mangap itu dalam keseharian bisa-bisa adalah ‘aksi-reaksi’ spontan saja dari apa-apa yang sudah terendap lama dalam pikiran (tak sadar)nya. Seakan jika asal mangap itu adalah sekarang (now) ia bisa-bisa ternuansakan oleh ‘nada-nada’ sebelumnya yang ‘tidak menghilang’, tetapi seakan mengalami retensi. ‘Ketidak-berpikiran’ itu seakan menampakkan diri karena ia tidak ‘menunda’ apa-apa yang menjadi ‘nada-nada’ sebelumnya. Sebagian besar hidup kita memang akan seperti ini, tetapi bukan berarti pula kita hidup pada dunia asal mangap. Maka bagi satu kelompok dengan ‘endapan-endapan’ yang tak jauh berbeda satu sama lain, bisa-bisa obrolan tidaklah sebuah saling tukar ke-asal mangap-an, tetapi sungguh sangat mengasyikkan. Jika ada yang ikut mendengarkan, dengan ‘sejarah-endapan-endapan’ lain, mungkin saja akan ‘terganggu’ karena obrolan itu seakan keriuhan asal mangap saja.

Maka hikayat asal mangap itu adalah lebih pada hikayatnya para pejabat publik –dan siapa saja dalam posisi ‘pemimpin’ sebenarnya, dimana publik mengharapkan mereka punya waktu ‘menunda’ banyak hal sehingga ‘keberpikiran’ itu mendapatkan kesempatan lebihnya. Untuk itulah mengapa publik, katakanlah khalayak kebanyakan mau membayar pajak. Mau mengeluarkan uang lebih karena PPN misalnya. Atau bermacam cukai. Atau pajak-pajak lainnya. Mau penghasilannya berkurang karena harus dipotong pajak oleh negara. Negara yang sedang dikelola oleh para pejabat-pejabat publiknya. Si-pejabat publik dengan segala perangkat dan cerdik-pandainya –menjadi mungkin karena pajak-pajak yang dibayar oleh rakyat, mampu dan mau ‘menunda’ bermacam endapan masa lalu, dan dengan itu apa-apa yang ada sekarang dilihat lagi dari bermacam sisinya, bermacam aspeknya, bermacam profilnya, dan pada titik tertentu apa-apa yang kita ‘tunda’ itu kita ‘buka’ lagi -sangat mungkin berkembang penghayatannya, dan dengan itu semua akhirnya bisa ditetapkan ‘antisipasi’ dalam menyongsong ‘nada’ berikutnya. Maka diharapkan pula ‘antisipasi’-nya itu kemudian tidak asal mangap saja, tidak asal njeplak saja. Inilah nampaknya hal dominan ketika kita bicara soal keutamaan prudence.

Maka ketika si-pejabat publik kemudian keranjingan asal mangap, itu sebenarnya bukan soal berpikir atau tidak, tetapi ia sudah memutuskan apakah keberpikiran itu akan digunakan atau tidak. Ketika itu diulang dan diulang, maka seperti sudah disebut di awal, jangan salahkan jika kemudian ada yang menghayati sebagai anti-sains. Anti-sains sebagai yang sedang dipilih. Dan bagaimana sebuah kehidupan bersama dibiasakan dalam nuansa anti-sains? Maka perlahan hidup bersama sedang ‘digiring’ dengan membesarnya ‘ranah mitis’. Si-pejabat publik bukan lagi seorang yang tingkah lakunya dibiayai oleh pajak, tetapi oleh upeti. Hidup sang Raja! Hidup Trump! Demikian seru Proud Boys di nun jauh sana. Kucluk-lah. *** (20-06-2023)

1173. Rantai Terlemah, Lebih Seratus Tahun Kemudian

20-06-2023

Si-Bung bercerita kepada Cindy Adams, bagaimana ia telah memperkirakan kemerdekaan republik mewujud, yaitu nanti saat Perang Pasifik pecah, dan itu dikatakan bertahun sebelum 1945.[1] Mungkin saja si-Bung telah membaca diskusi tentang ‘rantai terlemah’ beberapa tahun sebelum Revolusi Bolshevik pecah, lebih dari seratus tahun lalu. Dan tentu juga ‘tanda-tanda jaman’-nya. Bagaimana ‘rantai terlemah’ ini akan dihayati dalam ranah global village, katakanlah mulai 50 tahun lalu? Atau bagaimana ini akan terhayati sekarang ini dalam konteks space of flows-nya Manuel Castells? Ataukah Presiden Xi akan juga berseru, nanti jika pecah perang di Eropa, China akan jadi super-power nomer satu!

Ada dua peristiwa tahun-tahun terakhir, satu utamanya menghantam dari segi konsumsi dan kemudian ikutannya, dan peristiwa kedua dari segi produksi, dan kemudian ikutannya. Satunya karena pandemi COVID-19, dan satunya terjadi kemudian, setelah invasi Rusia ke Ukraina. Belum sembuh dari sisi konsumsi, sudah dihantam lagi panas-dinginnya rantai produksi. Tidak hanya soal krisis energi, tetapi juga kewaspadaan naik ke tingkat ‘rantai produksi’. Contoh paling nampak salah satunya adalah soal produksi microchip. ‘Kematian’ yang membayang akibat terhenti-terganggunya suplai microchip-pun kemudian mendorong keputusan untuk melihat lagi soal rantai produksinya. Imajinasi bahwa globalisasi akan meruntuhkan batas-batas negara seakan didefinisikan ulang melalui kepentingan nasional masing-masing. Akankah ‘rantai terlemah’ itu akan juga berarti ada dalam negara-bangsa yang tidak mampu mengelola kepentingan nasional-nya? Ada di ‘pakta dominasi sekunder’? Dimakan bulat-bulat oleh yang sedang bergejolak di ‘pakta dominasi primer’? Dimakan bulat-bulat atas bantuan dari para boneka-nya. Atas bantuan para-kacung-nya. *** (20-06-2023)

[1] https://www.pergerakankebangsaan.com/1016-93-Tahun-Lalu/

1174. Paradoks Sosial Media

22-06-2023

Apakah berlebihan jika hadirnya sosial media kemudian bisa dibayangkan sedang terjadi globalisasi dalam hubungan antar-individu? Jika individu-individu adalah ‘negara-bangsa’ maka seakan sudah tanpa batas lagi? Apakah juga menjadi tak jauh berbeda ketika Dani Rodrik melempar Paradoks Globalisasi-nya, yang menekankan salah satunya ke-paradoks-an globalisasi adalah karena tidak digunakannya se-optimal mungkin pertimbangan-diskusi panjang tentang suatu hal, terutama menyangkut kepentingan nasional? Katakanlah, ulta-minimal state itu ternyata justru mendorong paradoksnya globalisasi. Apa yang kita lihat akhir-akhir ini adalah menguatnya lagi regionalism di beberapa tempat, dengan nuansa kuat adanya pertimbangan-diskusi panjang terkait kepentingan nasional masing-masing. Ataukah dalam konteks relasi individu-individu yang termediasi oleh sosial media, regionalism itu kemudian menampakkan diri dalam main kubu-kubu-an secara tajam, dan kemudian terhayati sebagai ter-‘pecah-belah’ itu?

Tetapi cukup jelas juga membandingkan relasi antar individu dan relasi antar negara mesti dilakukan dengan hati-hati. Dalam relasi antar individu, ‘kematian’ itu bisa dirasakan membayang lekat di depan mata, tetapi ‘kematian’ dalam relasi antar-negara, bahkan bisa-bisa invidu-individu itu tidak ambil pusing. Atau tidak merasakan, meski sebagian pastilah ada yang menjadi was-was. Maka ‘globalisasi’ relasi antar-individu bisa-bisa bagi si-individu ketika mediator ternyata juga memediasi berkembangnya sebuah ‘paradoks’, kegundahan-pun akan membesar pula, dan ‘rumah-aman’ barupun akan dicarinya, terutama yang akan memberikan makna hidup. Menurut Castells, identitas kemudian bisa-bisa menjadi sumber utama dalam pencarian makna itu. Dan ke-terpecah-belah-an itupun bisa-bisa jika tidak hati-hati, akan menemukan bahan bakarnya.

Dari beberapa hal di atas maka segera saja kita bisa melihat bahwa ini adalah soal hidup bersama, dan terutama adalah (masih) soal hikayat negara-bangsa. Dan segera pula dari Dani Rodrik kita bisa melihat peran sentral dari “pertimbangan-diskusi panjang tentang suatu hal”. Tetapi di satu pihak, lihat bagaimana misalnya dunia pers harus pontang-panting dalam menghadapi ‘logika waktu pendek’ terkait dengan berkembangnya revolusi informasi. Kedalaman menjadi begitu mudah dipertaruhkan. Apa yang bisa kita pelajari dari China yang katakanlah dalam era globalisasi ini menjadi salah satu pemenang (besar)-nya? Jika kita melihat ‘tuntunan-tuntunan’ Ketua Deng di awal-awal globalisasi (neoliberal), satu hal yang utama, mengarungi ‘globalisasi’ itu laksana menyeberang sungai dengan adanya batu-batu licin di dasar sungai. Jadi jauh dari soal gagah-gagahan, sok-sok-an, gegayaan, apalagi ugal-ugalan. Atau suka menerabas sana, suka menerabas sini. Aèng-aèng. Tidak ada juga yang berkeinginan jadi presiden terus pakai seragam aneh-lucu pethakilan di depan khalayak dengan gerakan senam yang juga lucu-aneh. Tidak ada. Itu menghina kecerdasan umum. Aèng-aèng saja. *** (22-06-2023)