1310. Pemilihan Umum Sebagai 'Moment' (1)

06-12-2023

Dalam Fenomenologi, whole dapat dianalisa dalam dua macam bagian-bagiannya, pieces dan moments. Pieces tetap saja bisa dihayati meski ia terpisah dari whole mereka. Pieces ini juga disebut independent parts. Dahan pohon misalnya, tetap bisa kita hayati meski ia lepas dari pohonnya. Tetapi warna merah misalnya, bisa kita hayati hanya jika menempel pada kursi, meja, atau pelangi, atau lainnya. Karakteristik warna merah yang seperti itu merupakan bagian dari analisa whole yang disebut sebagai moments atau nonindependent parts. ‘Moment’ dalam judul dimaksudkan sebagai nonindependent parts ini. Sebagai yang tak terpisahkan dari apa yang terkait dengan masa lalu/sekarang, dan terutama imajinasi lima tahun ke depan. Pemilihan umum mestinya bukanlah independent parts yang bisa kita lepas sebagai whole pada dirinya sendiri. Tidak bisa kita ‘lepas’ dan dihayati sebagai sebuah pesta belaka, karena bagaimana mungkin lima tahun ke depan itu isinya pesta-pesta melulu? Pemilihan sebagai ‘pesta’ dengan biaya puluhan triliun? Anjing-lah ….

Dalam Fenomenologi, whole dapat disebut concretum, sesuatu yang dapat eksis dan hadir pada dirinya sendiri dan dapat dialami sebagai yang konkret secara individual. Pieces atau independent parts seperti disebut di atas dapat menjadi whole pada dirinya, dapat menjadi concretum. Bagaimana kita bisa menghayati adanya warna merah (moments, nonindependent parts) tanpa ia ‘dilekatkan’ pada sesuatu? Sebagai yang abstracta? Dengan bahasa! Maka memang bahasa, kata-kata menjadi sangat penting dalam sebuah pemilihan, bukan sekedar hanya sebagai alat untuk mempengaruhi, tetapi adalah ‘nyawa’ dari sebuah pemilihan sebagai ‘moment’ itu. Sebuah ‘moment’ yang akan bisa kita hayati layaknya warna merah menempel pada kursi. ‘Moment’ pemilihan yang berusaha mendekat ke hal kongkret itu melalui kata-kata, akan benar-benar kita hayati di lima tahu ke depan, melalui kebijakan-kebijakan yang diputuskan beserta eksekusinya. Berjanji dalam kampenya untuk ‘memuliakan’ petani misalnya, melalui program ‘contract farming’ akan menjadi concretum saat itu sudah kejadian di rentang waktu lima tahun ke depannya.

Jadi dalam pemilihan itu memang kita sedang bermain dengan bahasa, dengan kata-kata. Bagaimana tidak, itu memang yang akan berlangsung ketika kita bicara soal ‘abstracta’, yang akan menjadi ‘concretum’ nanti di lima tahun ke depannya. Maka saran Driyarkara perlulah kita ingat, bermainlah dengan sungguh-sungguh, tetapi permainan jangan dipersungguh. Dan jangan pula mempermainkan permainan! *** (06-12-2023)

Bahan bacaan: Robert Sokolowski, Introduction to Phenomenologi, Cambridge University Press, 2000 hlm. 22-25

1311. Pemilihan Umum Sebagai 'Moment' (2)

06-12-2023

Dalam ruangan kursus kader, sedang dibicarakan soal ideologi. Tetapi bagaimana kita akan menghayati adanya ideologi itu? Apakah kemudian tergantung dari tingkatannya, 10 jam, 40 jam, 100 jam, dilihat dari lamanya kursus atau penataran? Kita akan menghayati ideologi sebagai sesuatu yang kongkret itu adalah ketika ‘melekat’ pada kebijakan-kebijakan yang dibuat, komplit dengan eksekusinya. Dan juga dari perilaku orang-orangnya. Tetapi tetaplah di ruangan kursus itu kita bisa membicarakan idelogi yang ‘abstract’ –ideologi sebagai ‘moment’, melalui bahasa, melalui kata-kata.

Demikian juga ketika terjadi ‘kampanye dialogis’ dalam sebuah ruangan dalam rentang waktu pemilihan lima-tahun-an sekali itu. Kita bisa membicarakan tawaran program-program –komplit dengan perdebatannya, yang sifatnya memang masih ‘abstrak’ itu, tapi toh kita masih bisa membicarakan melalui bahasa, melalui kata-kata. Tetapi bagaimana misalnya dalam ruang kursus kader di atas, ketika membicarakan ideologi penuh dengan yel-yel ‘pro-wong cilik’ tetapi kebijakan-kebijakan ikutannya justru ‘pro-wong gedhé’? Atau perilaku orang-orangnya tidak menampakan diri sebagai yang ‘pro-wong cilik’? Atau dalam kampanye ia mengatakan akan memuliakan petani tetapi di-lima tahun ke-depannya terbukti ‘nilai tukar petani’ justru seakan semakin tidak mampu mengejar inflasi?

Mungkin lucu saja ketika ke-grothal-grathul-an dalam bicara bahasa Inggris itu dinampakkan berulang kali, atau soal asam sulfat itu. Lucu? Tidak-lah. Ke duanya sebenarnya adalah bagian kecil saja dalam ‘mempermainkan permainan’! Dalam pemilihan umum seperti sudah di sebut di atas, bahasa, kata-kata, tidak hanya sebagai ‘basis-lapangan’ bermain, tetapi adalah ‘nyawa’ dari ‘permainan’. Memang yang dibicarakan adalah hal abstrak, ketika pemilihan sebagai ‘moments’. Seperti halnya warna merah, kita bisa membicarakan tentang panjang gelombangnya, sifatnya jika dicampur dengan warna hijau akan menghasilkan warna Y misalnya. Tetapi kita benar-benar bisa menghayati warna merah ketika ia ‘menempel’ di kursi, atau meja. Nah, ‘kursi-meja’ dalam pemilihan itu ada di setelah pemilihan, lima-tahun mendatang. Janji-janji kampanye yang abstrak itu akan menjadi concretum saat kebijakan diputuskan, saat di-eksekusi.

Akal-sehat-umum-nya di atas sebenarnya sudah ada, tidak usah ‘diajari’. Kalau janji ya harusnya ditepati, kongkret diwujudkan. Tetapi apa yang akan dilakukan jika dalam pemilihan umum memang maksud sejak awal-nya akan tidak menepati janji? Sehingga ugal-ugalan dalam berjanji, dalam ngibul-nya? Lebih-lebih jika pemilihan umum itu ditempatkan untuk ‘pengendalian yang banyak’. Atau sekedar sebagai legitimasi saja atas kuasa di tangan? Maka pemilihan umum itu akan digeser sebagai pieces, yang dapat dihayati lepas dari soal lima tahun mendatang, maka ….: mari berpesta! ‘Pesta demokrasi’ misalnya. Kalau dihayati sebagai moments yang akan menemukan concretum-nya di lima tahun mendatang, tak mungkin-lah pemilihan umum adalah sebuah pesta, mosok lima tahun mendatang akan berpesta-pesta. Tetapi, mungkinkah itu adalah soal pesta masa lalu, masa kini, dan masa datang dari yang sedang merampok kekayaan republik? Maka bagi perampok-perampok itu, pemilihan jelas dimaksudkan sebagai moments, tetapi bagi khalayak si-demos, diminta supaya menghayati sebagai pieces. Anjing-lah.

Yang kedua sungguh merusak, ketika dilakukan ‘pembunuhan karakter’ terhadap kata-kata. Apapun perjalanan panjang-nya soal penghayatan akan kata-kata ini secara ‘historis’, ‘mempermainkan permainan’, mempermainkan ‘kemuliaan’ kata-kata jelas akan mempengaruhi perkembangan peradaban bersama. Ini sudah bukan soal ‘teknis’ saja, tetapi sudah masuk mengusik denyut jantung peradaban. Kata-kata kosong itu sungguh telah menusuk jantung peradaban kita. Dalam rentang pemilihan, kata-kata verbal memang sungguh penting ketika bicara soal yang abstrak. Tetapi yang harus diperhatikan pula: bahasa tubuh. Gerak-tubuh, atau gambar-gambar yang hadir di depan mata pemilih. Bahkan dalam dunia iklan dimana yang dipertaruhkan ‘hanyalah’ kepentingan korporasi itupun ada kode etiknya. Dalam pemilihan yang dipertaruhkan jelas jauh-jauh lebih besar, maka mestinya ada kode etiknya. Jika tidak ada secara formal, maka hal tersebut bisa juga bagi si-pemilih untuk menilai apakah kontestan itu punya etika atau tidak. Dari bahasa tubuh, gerak tubuh, gambar-gambar yang beredar, pemilih sedikit banyaknya bisa menilai apakah si-kontestan punya etika atau tidak. Anda bisa bayangkan apa yang akan terjadi jika pemimpin tak punya etika. Bertahun terakhir bisa menjadi pelajaran yang sungguh berharga.

Karena pemilihan sebagai moment itu akan terhayati sebagai concretum di lima tahun mendatang, maka ‘di-ulur’-lah lima tahun itu menjadi besok-besok di tahun 2045! Ngibul terus-terus-an tentang masa ke-emasan di tahun 2045! Atau besok-besok kita pasti ‘tinggal landas’! Lha ndas-mu*** (06-12-2023)

1312. Axis Mundi

07-12-2023

Axis Mundi, istilah yang dipopulerkan oleh Mircea Eliade sekitar 60 tahun lalu, ‘pilar’ yang menghubungkan antara bumi dan ‘dunia atas’ dan kemudian menjadi ‘pusatnya dunia’. Dan orang-orang kemudian hidup di sekitarnya. Meminjam istilah axis mundi itu, kita bisa bertanya, apa yang bisa atau dalam praktek seakan menjadi axis mundi-nya dalam ranah negara-bangsa? Sehingga tidak terjadi chaos? Terlebih dalam konteks republik, dalam masyarakat dengan power-distance tinggi? Terlebih dalam konteks demokrasi? Terlebih lagi mengingat pendapat Claude Lefort (1924-2010), power becomes and remains democratic when it proves to belong to no one,” seperti dikutip oleh Simonetta Falasca-Zamponi dalam bukunya Rethinking The Political (2011, hlm. 245).

Bagaimana mungkin power belong to no one? Nampaknya itulah alasan-alasan mengapa lembaga hukum mestinya harus sungguh berwibawa, terutama yang ada di tingkat tertingginya. Sisa-sisa monarki jaman doeloe, seperti di Inggris atau Jepang misalnya, meski ada konstitusi yang sangat membatasi kewenangannya, di banyak warganya masihlah bisa membantu dalam olah ‘axis mundi’ ini. Dalam demokrasi, meski power itu seharusnya tidak dimiliki seorang-pun, tetapi dalam praktek ia seakan ‘dititipkan’ dalam lembaga-lembaga hukum tertinggi itu. Meski mereka tidak dapat menggunakannya secara langsung. Si-pengguna atau eksekutif-lah yang sebenarnya ‘memiliki’ power itu, dalam jangka waktu tertentu –ditentukan dalam sebuah pemilihan. Itupun ia harus diawasi di kanan-kirinya.

Power dalam bahasa Yunani Kuno terkait erat dengan dua kata, dunamis dan kratos. Dunamis bisa dibayangkan sebagai ‘gaya’ dalam fisika, sedang kratos katakanlah ‘kuasa dalam aksi’-nya, sudah dekat dengan ‘logika material’-nya. Maka dalam negara hukum, lembaga-lembaga tertinggi di ranah hukum itu seakan ia yang punya dunamis, ‘titipan’ power sehingga dalam bayangan kita, bukannya power itu terus belong to no one. Dalam negara hukum, sebenarnya axis mundi-nya mestinya lebih pada lembaga-lembaga tersebut, dan dengan itu pula chaos bisa dicegah. Dalam ranah demokrasi, siapa si-pengguna-pengelola kratos akan dipilih dalam rentang waktu tertentu. Maka dalam pengertian inilah memang seharusnya power (kratos) akan tetap demokratis jika terbukti belong to no one. Jadi dalam konteks demokrasi, ‘matinya rejim’ sebagai kemungkinan itu adalah sungguh hal mendasar.

Demokrasi dalam bagian pemilihan umum-nya pada dasarnya adalah soal perebutan hegemonia. Jaman Yunani Kuno, hegemonia –hak untuk memimpin, adalah merupakan ‘hadiah’ atau penghargaan jika seseorang telah berjasa, dalam Perang Persia misalnya. Arche yang berarti kontrol dan ada dalam kratos, segera saja itu ada di tangan begitu hegemonia direbut. Dan salah satu kesibukannya terkait dengan ‘kontrol’ di tangan itu kemudian adalah ‘merawat hirarki’.

Apa yang mau disampaikan di sini adalah ketika kita bicara kekuasaan, kuasa, power, ternyata banyak dimensinya. Dengan melihat hal-hal di atas, kita bisa menilai bahwa ketika lembaga-lembaga hukum tertinggi itu, seperti Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, di isi oleh orang-orang yang sungguh di bawah bermacam standar yang dituntut oleh lembaga itu, sungguh kegundahan hidup bersama akan merebak. Maka pula jika yang sedang pegang ‘kratos-arche’ itu dalam ‘merawat hirarki’-nya menjadi ugal-ugalan, termasuk mengusik lembaga-lembaga hukum tertinggi itu –yang berurusan dengan power dalam bentuk dunamis-nya, sungguh orang tersebut adalah sangat-sangat tercela. Ia sebenarnya sedang mendorong hidup bersama menuju kegelapan, chaos. Terlebih lagi jika kemudian merasa power telah menjadi miliknya secara permanen. Jelas dia adalah pengkhianat demokrasi!

Jadi, what is to be done? Rusak-rusakannya sekarang ini sangat nampak sumbernya ada di yang sedang pegang ‘kratos-arche’. Yang sudah masuk dalam taraf kegilaan dalam ‘merawat hirarki’-nya. Itulah sumber penyakitnya. Jika sekaran ada dalam rentang waktu pemilihan umum, maka tidak ada jalan lain selain fokus pada soal siapa pegang ‘kratos-arche’ itu. Jelasnya, pada pemilihan presiden! Jangan sampai fokus tergeser karena ada gesekan dalam pemilihan legislatif, misalnya. Jika ada ‘kotak observasi’ maka kita masukan ketiga calon presiden itu dalam kotak dan kita observasi habis-habisan. Di luar itu, lain-lainnya? Cuekin dulu saja, atau: ditunda dulu.

Sumber penyakit utama adalah ‘kegilaan akan hirarki’ yang sudah menabrak apa saja. Sudah seperti juggernaut yang lepas kendali. Maka observasi utama adalah soal ‘tahu batas’. Dari ketiga calon itu siapa yang paling ‘tahu batas’? Dari ketiga calon, satu sudah meng-klaim keberlanjutan, maka segera saja ia dikeluarkan dari kotak, lempar jauh-jauh keluar dari kotak. ‘Tak tahu batas’ kok mau dilanjutkan! Maka tinggal dua calon yang layak di-observasi lebih dalam soal ‘tahu batas’ ini.

Satu hal yang tak kalah penting adalah rekrutment yang ada di ranah hukum, terlebih untuk lembaga-lembaga tertinggi ranah hukum, yang di atas sudah disinggung bahwa lembaga-lembaga ini akan lekat dengan power, dalam arti dunamis-nya. Ia bahkan semestinya bisa berkembang sebagai axis-mundi-nya hidup bersama. Maka pooling talent yang digagas oleh salah satu calon presiden, Anies B., haruslah bahkan diprioritaskan untuk ranah hukum, dan terutama lagi sebagai input-nya lembaga-lembaga tertinggi ranah hukum itu. Hanya dengan itu soal ‘radikal-radikul’ itu akan bisa ‘dikelola’, karena pada dasarnya bermacam radikalisme itu bisa dilihat sebagai yang sedang membuat axis mundi-nya sendiri-sendiri. Mencari siapa yang sebenarnya pantas menggendong dimensi dunamis-nya power. *** (07-12-2023)

1313. Si-Pemecah Belah vs Si-Pembangun Jaringan

08-12-2023

“Banyak orang keliru menganalisa seolah-olah kemajuan dunia Barat bertopang primer pada matematika, fisika atau kimia. Namun, bila kita mau dalam lagi menyelam, maka kita akan melihat bahwa, kemampuan luar biasa dunia Barat dalam hal ilmu-ilmu alam mengandaikan dahulu dan berpijak pada kultur berabad-abad pendidikan bahasa. Yang berakar pada filsafat Yunani yang bertumpu pada retorika”

“Pengertian retorika biasanya kita anggap negative, seolah-olah retorika hanya seni propaganda saja, dengan kata-kata yang bagus bunyinya tetapi disangsikan kebenaran isinya. Padahal arti asli dari retorika jauh lebih mendalam, yakni pemekaran bakat-bakat tertinggi manusia, yakni rasio dan cita rasa lewat bahasa selaku kemampuan untuk berkomunikasi dalam medan pikiran. To be victorious lords in the battle of minds. Maka retorika menjadi mata ajaran poros demi emansipasi manusia menjadi tuan dan puan”[2]

Y.B. Mangunwijaya, “Pendidikan Manusia Merdeka”, Kompas, 11 Agustus 1992

***

Apakah segala perilaku buzzerRp-buzzerRp dalam rentang tahun-tahun lalu bisa dilupakan begitu saja? Tidaklah, tak mungkin dilupakan! Apakah bisa dimaafkan? Tidak juga, kerusakan yang dibuatnya sungguh sudah terlalu dalam. Kerusakan yang sudah merambah pada ‘dunia deep frames’ –soal ‘suasana kebatinan’, hidup bersama. Lihat saja meski sekarang ini mereka-mereka itu seakan sudah banyak bungkam dengan narasi-narasi yang dulu begitu seringnya diulang-ulang, ketika isu-isu itu dibutuhkan lagi tidak usahlah mereka-mereka itu tampil lagi, cukup dengan beberapa ‘surface frame’ bermacam ketakutan itu bisa-bisa bangun lagi seakan secara fresh dan instant! Apa yang dilakukan oleh buzzerRp-buzzerRp itu bisalah dihayati sebagai salah satu bentuk ‘radikalisme kontra-retorika’. ‘Kontra-retorika’ jelas dimaksudkan bukan untuk menjadi manusia sebagai ‘tuan dan puan’. Bukan soal to be victorious lords in the battle of minds, tetapi emosi-lah yang diobok-obok terus. Bukan pemekaran “bakat-bakat tertinggi manusia, yakni rasio dan cita rasa lewat bahasa” tetapi pemekaran hasrat kebinatangan-lah yang sedang diurus. BuzzerRp-buzzerRp itu bukanlah zoon-politicon, tetapi ya sekedar zoon saja. Tidak lebih dari itu. Termasuk juga para pollsterRp itu.

Terkait dengan kutipan tentang retorika dari mbah Mangun di awal tulisan, apakah dengan itu kita bisa membayangkan pendapat Maturana tentang outopoiesis (1972)? Outo, sendiri, poiesis, pembentukan, jadi ‘dibentuk/pembentukan oleh diri sendiri’. Dari prinsip itu kemudian dibayangkan bahwa kognisi itu termasuk bagian dari dinamika ‘pembentukan diri’, termasuk dalam ‘hidup-berkembangnya kehidupan diri’. Banyak perdebatan atas pendapat Maturana ini, baik yang pro dan kontra. Tetapi ada yang sungguh perlu diperhatikan di sini, soal inter-koneksi –karena dalam outopoiesis akan selalu mengandaikan adanya inter-koneksi. Penghayatan inter-koneksi terkait kedaruratan iklim seperti sekarang ini semakin meyakinkan kita bahwa ada ‘sistem global’ dalam pengaturan diri bumi, termasuk di dalamnya soal panas-dinginnya permukaan, dan ada yang bilang gaia.

Apa yang membuat industri mobil maju di Jepang, bahkan Toyota beberapa tahun ini sudah menjadi produsen mobil terbanyak di dunia? Salah satu yang penting adalah inter-koneksi! Bagaimana dikembangkan rantai-produksi, bahkan sampai dengan pemasok-pemasok terkecilnya. Dan lihat, kaizen itu, bukankah itu adalah soal inter-koneksi dan umpan-balik? Dalam inter-koneksi pastilah akan ada umpan-balik, bahkan bisa dikatakan bahwa inter-koneksi itu tidak akan terjelaskan tanpa adanya umpan-balik, feed-back mechanism. Sekecil apapun, dalam bermacam bentuknya. Dalam mata kuliah Fisiologi, mahasiswa kedokteran akan bertemu dengan banyak mekanisme umpan balik dalam tubuh. Bahkan dalam fisika kuantum-pun kita akan bicara soal umpan balik ini.

Tetapi apakah segala ‘langgam-umpan-balik’ dalam diri Toyota itu akan tetap membuatnya ‘yang terbesar’ ketika mobil elektrik menjadi semakin dibutuhkan? Apakah segala ‘langgam-umpan-balik’ rantai produksi microchip itu tidak akan berubah ketika dinamika geopolitik bergejolak? Akankah gaia akan berubah dalam penghayatan ketika alien ditemukan? Atau meteor besar menabrak bumi? Ataukah ‘langgam-umpan-balik’ perjuangan menuju kemerdekaan itu akan mendapat percepatannya ketika Perang Pasifik meletus? Maka bisa saja kita sedang membicarakan soa ‘syarat mutlak’ dan ‘yang mencukupi’. Menghayati-membangun inter-koneksi adalah syarat mutlak, tetapi bersiap menghadapi bermacam kemungkinan ‘patahan sejarah’ adalah ‘syarat yang mencukupi’.

Terkait dengan pemilihan yang sedang berlangsung ini maka siapa-siapa yang ingin mengembangkan inter-koneksi-lah yang sebenarnya paling paham soal republik sebagai bagian dari hidup bersama, termasuk hidup bersama dalam planet bumi ini. Dan segala program inter-koneksi yang ditawarkan itu, jelas akan sampai ke khalayak hanya melalui bahasa, melalui kata-kata, melalui retorika. Negeri ini sudah terlalu kering dengan retorika, bahkan tiada henti dilakukan ‘pembunuhan karakter’ terhadap retorika. Hasilnya? Seperti disebut mbah Mangun di awal tulisan, retorika (mestinya) menjadi mata ajaran poros demi emansipasi manusia menjadi tuan dan puan, tetapi ketika retorika ‘dibunuh’ maka terjadilah –salah satu yang kasat mata, dengan enteng-enteng saja lempar-lempar bingkisan pada khalayak itu. Khalayak kebanyak itu jelas sedang di-posisikan sebagai yang bukan tuan dan puan. Dan retorika jelas juga berbeda dengan ngibul. *** (08-12-2023)

1314. Di Tengah Kegilaan Tiga Kekuatan

09-12-2023

Alvin Toffler membedakan kekuatan menjadi tiga: kekuatan kekerasan, kekuatan uang, dan kekuatan pengetahuan. Sebenarnya ini tidak jauh-jauh amat dari pendapat Platon tentang tripartite jiwa. Hanya saja Toffler mengkaitkan dengan revolusi-revolusi yang terjadi dalam perjalanan manusia. Menurut Toffler, adanya Revolusi Pertanian membuat kekuatan kekerasan ‘memimpin’ di depan. Dengan adanya Revolusi Industri maka terjadi pergeseran, power shift, kekuatan uang-lah yang kemudian ‘memimpin’ di depan. Bagaimana dengan Revolusi Informasi seperti di abad-21 ini? Menurut Toffler terjadi pergeseran lagi, kekuatan pengetahuan-lah yang semestinya ‘memimpin’ di depan. Ketiga kekuatan itu tidak pernah menghilang, hanya saja terjadi pergeseran siapa yang dominan, siapa yang menjadi ujung dari ‘trisula’.

Meski bermacam bentuk rejim itu bisa ditelusuri kelahirannya dari bermacam bentuk relasi-relasi kekuatan produksi yang ada di ‘basis’, tetapi ‘pemeliharaan’-nya selalu saja soal ‘bangunan atas’. Keretakan terjadi ketika ‘basis’ mampu melawan bermacam ‘sihir’ yang sedang dimainkan untuk ‘memelihara’ status-quo. Maka kegilaan, madness, dalam olah ‘bangunan atas’ sedikit-banyak merupakan gambaran dari kekhawatiran, ketakutan yang sungguh dirasakan sampai di ulu hati, akan retaknya segala kenikmatan yang ada dalam relasi-relasi kekuatan produksi. Relasi-relasi kekuatan produksi yang ujungnya bisa-bisa adalah terpusatnya kekayaan pada segelintir orang saja, entah melalui pemburuan rente, kapitalisme kroni, kong-ka-li-kong pat-gu-li-pat, korupsi di sana-sini, eksploitasi ini-itu, dan sekitar-sekitarnya. Segala relasi-relasi kekuatan produksi yang sebenarnya merupakan versi lain dari yang ‘khas’ di jaman feudal. Senyawa dari monarki dan aristokrasi, atau bahkan senyawa dari tirani dan oligarki.

Dari hal-hal di atas maka pemilihan presiden hari-hari ini sebenarnya hanya terdiri dari dua ‘poros’, yang ingin mempertahankan ‘status-quo’ dalam arti pembagian kekayaan tetaplah di tangan segelintir orang seperti digambarkan di atas, dan yang ingin pembagian kekayaan lebih banyak dirasakan kebanyakan orang. Atau sebenarnya juga, feodalisme vs demokrasi. Dan sejarah menunjukkan bahwa runtuhnya feodalisme itu bukanlah hal mudah-mudah saja. Perlawanan melawan feodalisme memang dilahirkan oleh gejolak dalam relasi-relasi produksi di ‘basis’ tetapi ia menjadi perlawanan ‘terdukung’ ketika pengetahuan meluas di kalangan kebanyakan orang melalui produk-produk mesin cetak saat itu. Bagi yang ada di-‘think-tank’ rejim saat ini pastilah paham soal itu, apalagi di tengah-tengah Revolusi Informasi yang difasilitasi oleh modus komunikasi via digital-internet seperti sekarang ini. Perlawanan melawan feodalisme ini bisa sungguh menjadi perlawanan yang ‘terdukung’. Maka kegilaan dalam memaksimalkan kekuatan pengetahuan, uang, dan kekerasan-pun bisa-bisa tanpa sungkan lagi menampakkan diri. Telanjang. Dari bermacam kegilaan akan dis-informasi sampai tebar uang dalam bermacam bentuknya, dan juga soal penggunaan kekuatan dari yang pegang senjata. Bagaimana melawan kegilaan ini? Meski memang belum mencukupi, tetapi jika kita bicara soal ‘syarat mutlak’-nya itu adalah pengetahuan dan kehormatan. Tentu ini belum mencukupi, tetapi tanpa kedua hal tersebut, jangan bicara soal perlawanan. *** (09-12-2023)