1205. The Myth of the Lazy Native

07-08-2023

The great enemy of truth is very often not the lie--deliberate, contrived and dishonest--but the myth--persistent, persuasive and unrealistic. Too often we hold fast to the cliches of our forebears. We subject all facts to a prefabricated set of interpretations. We enjoy the comfort of opinion without the discomfort of thought,” demikian dikatakan Kennedy di Universitas Yale, 1962. Mitos dalam banyak hal memang akan ‘bekerja’ seperti dikatakan Kennedy di atas, terutama penerimaan yang dibarengi dengan ke-tidak-berpikiran, atau kemalasan untuk menjalani ‘discomfort of thought’. Tidak hanya itu, tetapi karena juga memang sebagian besar hidup kita akan kita jalani dengan modus taken for granted saja. Untuk ‘jatuh’ ke penghayatan layaknya menghayati sebuah mitos memang jauhnya hanya sejengkal saja. Terlebih dengan adanya kesadaran temaram, twilight state, seperti diyakini oleh Hermann Broch.

The Myth of the Lazy Native: A Study of the Image of the Malays, Filipinos and Javanese from the 16th to the 20th Century and Its Function in the Ideology of Colonial Capitalism adalah karya Syed Hussein Alatas (1928-2007), sosiolog Malaysia kelahiran Bogor, terbit pertama kali tahun 1977. Apakah mitos bangsa malas yang diciptakan oleh kaum penjajah –sadar atau tidak, adalah juga sebuah ‘kejahatan logika’? Albert Camus yang lekat dengan segala keganasan Perang Dunia II itu membedakan antara kejahatan logika dan kejahatan hasrat. Di depan matanya, mitos keunggulan bangsa Arya yang terus didengung-dengungkan oleh Hitler itu berujung pada tragedi kemanusiaan yang sungguh kelam. Bagaimana dengan keyakinan bahwa ada bangsa malas dan dengan itu menjadi sah-sah saja untuk dijajah, bahkan diperbudak?

Tetapi bukankah memang ada perbedaan di sana-sini, katakanlah tentang ‘kemajuan’? Bahkan karena ‘majunya’ itu kemudian menguasai atau menjajah lainnya? Seperti ditulis oleh Thucydides lebih dari 2000 tahun lalu, yang kuat kemudian mendikte yang lemah. Apa yang sedang berlangsung di daratan Eropa misalnya, ketika yang disebut sebagai Mesir sekarang ini, berhasil membangun pyramid? Atau di tahun 800-an Masehi di Borobudur berdiri candi sedemikian besar dan megahnya? Mengapa 800 tahun kemudian takluk pada VOC-Belanda? Bermacam penelitian telah dilakukan mengapa peradaban itu bisa berkembang, dan juga bahkan bisa melenyap. Salah satunya adalah dari Arnold J. Toynbee, yang berpendapat bahwa peradaban berkembang karena adanya tantangan dan respon. Tantangan yang terlalu besar bahkan bisa melenyapkan peradaban, tetapi yang kecil-kecil saja akan membuat peradaban lambat berkembang. Di antara tantangan dan respon itu ada si-minoritas kreatif.

Apakah lahirnya si-minoritas kreatif karena adanya kompetisi, atau juga ‘seleksi alam’, seperti pendapat Jared Diamond tentang wabah –misal wabah Black Death yang gelombang pertamanya kira-kira seratus tahun sebelum mesin cetak massal Gutenberg ditemukan, di Eropa sana, yang kemudian ‘menyeleksi’ siapa yang fit dan yang tidak? Dan dengan banyak yang fit tetap hidup maka kemungkinan dilahirkannya si-minoritas kreatif juga menjadi semakin besar? Atau kita bisa mengingat apa yang ditemukan oleh peraih Nobel bidang ekonomi tahun lalu, yaitu soal akses. Salah satu yang diteliti adalah SD Inpres, bagaimana itu di awal-awal jaman old ternyata mampu meningkatkan kesejahteraan bagi lulusan-lulusannya. Dengan tersedianya bermacam akses pada bermacam hal, terutama pendidikan dan informasi, maka kemungkinan lahirnya si-minoritas kreatif-pun akan diperbesar pula. Tidak hanya itu sebenarnya, jika kehadiran si-minoritas kreatif ‘telah tiba pada waktunya’ ia muncul, kemunculannya akan menjadi lebih ‘terdukung’.

Bagaimana dengan DNA? Syahdan, akibat Perang Dunia II di sebuah kota di Belanda sono dilanda kelaparan kronis, maka muncullah bermacam penyakit. Bertahun kemudian ditemukan banyak dari penyakit-penyakit itu ternyata banyak juga yang diturunkan pada anak-anak mereka. Dari situlah kemudian studi tentang epigenetic semakin didorong untuk berkembang. Ternyata tidak hanya nurture saja kemungkinan bermacam hal bisa dipakai dalam studi pasca-kolonial, tetapi juga hal nature, melalui pengaruhnya pada DNA. Katakanlah, nature yang dipengaruhi oleh nurture. Dan itu akan juga diturunkan. Jadi apakah ‘bangsa malas’ itu kemudian hanyalah mitos atau memang dari segi penampakan, entah itu karena faktor kelaparan lama, keterpojokkan-ketidak-berdayaan yang begitu lama, dan kemudian itu merubah bermacam hal, termasuk menjadi ‘malas’ dalam bermacam penampakannya? Dan dari ‘rumor-ke-rumor’ jadilah sebuah mitos yang kemudian menjadi semena-mena dalam menghakimi? Sebab bagaimanapun sebuah mitos itu jauh di ujung dekat-dekat kelahirannya, biasanya memang ada peristiwa kongkretnya. Dari sebagian tulisan MAW Brouwer dalam Psikologi Fenomenologi (1984) bisa menggambarkan hal tersebut, berangkat dari teori Peter L. Berger.

Dari bermacam hal di atas, satu hal bisa kita angkat, yaitu bicara soal potensi. Dalam hidup bersama pastilah bertebaran bermacam potensi, dan berdaulat adalah juga berarti selain menyelamatkan potensi adalah juga mengembangkan potensi. Tidak hanya yang berpotensi untuk berkembang sebagai si-minoritas kreatif, tetapi pada dasarnya adalah semua potensi. Sehingga ketika ada yang ‘melaju lebih cepat’ ia bisa melaju semakin cepat karena terdukung. Dan yang ‘melaju kurang cepat’ –apapun penyebabnya, ia menjadi mampu untuk meningkatkan potensinya. Yang kurang fit justru wajib diperhatikan lebih, bukan dibiarkan berakhir karena wabah –wabah kemiskinan misalnya. Tidak etis seorang dibiarkan berarkhir karena kurang fit atas nama survival of the fittest itu. Dan banyak contoh ketika yang kurang fit itu lebih diperhatikan, justru kesejahteraan hidup bersama mengalami percepatan dalam pencapaiannya. Bahkan jika kita pakai ‘logika kapitalisme-nya Adam Smith’, the wealth of nations itu akan tercapai dengan sendirinya –sebagai hal yang tidak dimaksud sejak awal, jika masing-masing individunya sejahtera.

Maka ‘melepaskan diri’ dari terkaman mitos memang sangat diperlukan, karena salah satu korban mitos adalah potensi. Ketika ada sebuah rejim sering beralasan mengapa mendatangkan tenaga asing karena dalam negeri belum mampu, benarkah itu? Apakah benar memang ada bagian-bagian masih tertinggal, atau rejim sedang bermain-main dengan The Myth of the Lazy Native? Karena dalam mitos sangat bisa ditemukan juga relasi kuasa. Apakah rejim sedang ber-operasi layaknya penjajah? Jika ya, maka rejim itu sebenarnya sedang membuat peradaban mundur. Rejim yang sebenarnya sangat layak untuk segera diakhiri. *** (07-08-2023)

1206. Tiga Bulan “Lepèn”

08-08-2023

Bulan pertama: Juli, bulan obral republik. Atau sebenarnya juga beberapa bulan sebelumnya. Bukan obral tepatnya, tetapi adalah pengkhianatan republik. Mimpi membuat ibukota baru misalnya, tetapi justru detail desain kotanya diserahkan ke asing. Mimpi ibukota baru tetapi hak atas tanahnya diobral sampai hampir 200 tahun, asing juga ditawari. Dengan luas puluhan ribu hektar juga ditawar-tawarkan ke asing. Dengan segala kemudahan pula untuk tinggal. Anti asing? Tidak-lah, jangan jadi ‘salah kategori’-lah. Yang jelas, anti anti-kehormatan, kategorinya kehormatan: tidak ada kehormatan dalam diri seorang pengkhianat. Mengapa yang serba mbèlgèdès ini terjadi di bulan Juli? Demikian berkembang kasak-kusuk di alam baka. Kegundahanpun menyelusup ke tulang-tulang sang-maestro, juga di alam sana. Bagi sang-maestro, bulan Juli adalah bulan latihan untuk konser Kebyar-kebyar di bulan Agustusnya.

Semakin gundah saja sang-maestro ketika kasak-kusuk soal angin ‘cuci gudang’ semakin kuat berhembus. Gudang pengkhianatan republik, dicuci di bulan Agustus. Ketika genderang ditabuh, baris-berbaris digelar, dan tampil dengan pakaian adat berpidato, tiba-tiba serasa obral republik bulan lalu dilupakan. Maunya. Atau bagaimana tanah-tanah adat secara sewenang-wenang digusur dengan alasan ini dan itu. Gelaran mengundang juga penyanyi-penyanyi imut nan belia, siapa tidak akan jatuh cinta dengan segala potensi kaum belia? Belum lagi jika ditambah kerumunan penonton yang pasti akan tepuk tangan melihat bermacam tontonan. Tidak ada yang salah dengan tepuk tangan itu. Bahkan ketika ada yang turun untuk joget-joget-pun kagak masalah tuh. Wajar-wajar saja alunan musik membuat hati berbunga. Maka di tengah kegundahan itu, sang-maestro seakan menjadi cepat lelah di usia tuanya karena latihan seakan pula tidak berujung. Nada-nada tidak ada yang salah, tali gitar-pun tidak ada yang sumbang, kegundahan-lah masalahnya. Bahkan sampai Agustus berakhir, sang-maestro tidak juga siap untuk tampil. Diletakkannya gitar kesayangannya dengan pelan -penuh kasih sayang, topi dilepas pelan dan digantungkan juga dengan penuh kasih sayang, sambil ngedumel: “Bangsat ….”

Sahabat kemudian mendekat, menghibur dan memberikan harapan bahwa pada akhir bulan ‘kambing hitam’ ini, bulan September, akan ada malam tirakatan soal ‘kesaktian’. Pagi setelahnya, di awal bulan Oktober sang-maestro bisa tampil dengan Kebyar-kebyar-nya. Tiba-tiba saja sang-maestro menjadi cerah, dan semangatnya kembali dirasakan di jari-jari saat memetik gitar, dan berdendanglah sang-maestro: “Di Radio ….” Sahabat cepat-cepat mengingatkan bahwa syair dan bahkan lagunya salah, itu bukan Kebyar-kebyar. Sang-maestro lepas topi, garuk-garuk kepala sebentar, pasang topi lagi, membetulkan letak kacamata hitamnya, dan menggerakkan tangannya pada sahabat seakan minta maaf, dan mulailah sang-maestro berdendang lagi: “Di radio aku dengar …, Lagu kesayanganmu …, Kutelepon di rumahmu …., Sedang apa sayangku …, Kuharap engkau mendengar …., Dan kukatakan rindu …, La La la la la la ….*** (08-08-2023)

1209. Too Big To Fail

10-08-2023

Bagi ‘orang-biasa’, logika too big to fail adalah logika mbèlgèdès. Serakah-serakah sendiri, untung-untung sendiri, jika gagal semua diminta ikut menanggung karena jika tidak dibantu semua akan runtuh. Katanya. Istilah too big to fail paling tidak sudah mendengung sekitar 40 tahun lalu, tetapi menggema kuat di krisis ekonomi 2008 di AS sono, ketika krisis subprime mortgage meledak. Ugal-ugalan sendiri tetapi ketika terjadi krisis minta ditomboki habis-habisan.

Bagaimana jika dalam mengelola negara yang serba ‘subprime’ itu malah diberi kesempatan dan bahkan dibiarkan ugal-ugalan? Dan tidak hanya soal ‘subprime’, tetapi juga semakin nampak bermacam ‘produk-turunan-derivatif’-nya ikut-ikutan main di pasar. Pasar kekuasaan. Maka tidak hanya soal ‘subprime’ tetapi komplit dengan efek domino-nya.

Akhirnya tidak hanya bermacam kerugian atau salah hitungan, atau juga salah prioritas, tetapi juga korupsinya juga meledak, merambah kemana-mana, KKN bisa-bisa begitu telanjangnya, tak tahu malu, tak tahu batas, menjadi too big. Dan mulailah didongengkan jika kekuasaan gagal, fail, untuk dipertahankan, republik bisa runtuh! Bermacam dongeng ditebar dan dipompa. Maka maunya rakyat kebanyakan diminta untuk ikut ‘nomboki’. Bagi sebagian yang terlanjur fanatik terhadap rejim subprime ini, diminta untuk semakin kencang menebar puja-puji, dan juga kalau perlu menyerang habis-habisan si-lawan, atau oposisi. Juga diminta untuk memperjuangkan tambahan periode berkuasa, atau paling tidak penundaan pemilihan. Atau hal-hal lain, yang intinya jangan sampai kekuasaan gagal dipertahankan. Di balik itu sebenarnya bukan dongeng republik dengan keruntuhan, tetapi sebenarnya keruntuhan rejim-lah yang sungguh dikawatirkan oleh ‘mereka’. Rejim perampok. Menebar angin menuai badai, angin keserakahan. Sungguh keserakahan yang sudah di luar batas yang bisa dibayangkan. Apapun akan dilakukan untuk mempertahankan kekuasaan. At all cost, karena too big to fail itu. Terutama bagi ‘mereka’, bukan republik. Bangsat-lah. *** (10-08-2023)