1415. Kelas dan Perjuangan Kelasnya

14-04-2024

Percayalah, analisis kelas sampai kapanpun akan selalu relevan. Tetapi, apa itu ‘kelas’? Mari berandai-andai, ada dua kelas: kelas pembayar pajak dan kelas penikmat pajak. Pembedaan berangkat dari teori ‘nilai lebih’ (surplus value), dalam arti, besaran pajak yang dibayarkan oleh kelas pembayar pajak itu ternyata lebih dinikmati oleh kelas penikmat pajak. Bahkan kelas penikmat pajak itu banyak yang ‘tidak tertib pajak’ pula. Ugal-ugalan, umpak-umpakan. Dimana letak ‘nilai lebih’-nya? Katakanlah dalam satu tahunnya, pajak yang terkumpul dari kelas pembayar pajak melalui bermacam pajak atau cukai yang ditanggungnya itu sebesar 10 juta rupiah, ternyata yang ‘diterimanya’ kembali jika dihitung-hitung sangat jauh di bawah nilai 10 juta rupiah. Katakanlah hanya 1 juta saja. Kemana yang 9 juta? Habis pada bobrok-nya birokrasi? Habis untuk biaya gegayaan dan sok-sok-an pemimpin? Habis dikorupsi? Habis untuk beli pentungan dan gas air-mata yang justru akan digunakan untuk represi kelas pembayar pajak? Habis untuk membangun monumen ini dan itu? Habis untuk biaya memenangkan dinasti dalam pemilihan? Habis untuk beli motor listrik mewah? Habis untuk membiayai buzzer-buzzer pemecah-belah hidup bersama? Atau juga pollsterRp? Ataukah bahkan, habis untuk digunakan menguasai republik oleh pihak asing? Ironi abad milenial di sebuah republik!

Pada masanya, kekayaan seseorang itu berbanding lurus dengan jumlah budak yang dipunyainya. Mengapa bisa demikian? Sekali lagi, karena ada ‘nilai lebih’ yang dipanen secara sungguh ekstrem. Bayangkan jika kerja per-harinya para budak dinilai dengan rupiah, katakanlah 100 ribu rupiah, dan ia hanya diberi makan saja, katakanlah senilai 30 ribu per hari. Selisih, atau dalam contoh ini, 70 ribu rupiah (nilai lebih) itulah yang dipanen oleh pemilik budak per hari per budak. Maka segera nampak, semakin banyak budak maka semakin kaya si-pemilik budak itu. Panen (nilai lebih) yang ekstrem itu hanya mungkin karena dua hal, sihir feodalisme, dan (terutama sebenarnya) kekuatan kekerasan, dari cambuk sampai tiang gantungan.

Ketika Revolusi Industri merebak, terjadilah power-shift, kata Alvin Toffler, bukan lagi kekuatan kekerasan yang menjadi ujung tombak, tetapi kekuatan uang. Sihir feodalisme-pun kemudian ikut-ikutan digeser oleh sihir konsumsi. Dan perbudakan-pun di sana-sini kemudian mendapat nama baru: buruh. Sebelum bermacam mekanisasi merebak, siapa yang mempunyai buruh banyak maka ia (kembali) akan panen nilai lebih, bahkan juga banyak yang ugal-ugalan dalam panennya. Sejarah terus bergulir dengan segala ‘aksi-reaksi’-nya, dan sampailah kita sekarang ini masuk dalam Revolusi Informasi. Revolusi Informasi yang akan mendorong semakin terbentuknya networking-society, menurut Manuel Castells. Lebih dalam arti, masyarakat yang akan mengembangkan diri di sekitar-sekitar arus informasi. Maka akan banyak ‘pertaruhan’ di sini, paling tidak jika kita ingat adanya kata post-truth, misalnya. Belum lagi istilah hoax, bahkan sekarang melalui berkembangnya AI, deep-fake.

Networking society bisa dibayangkan ketika pemukiman dulu-dulunya lebih ada di sekitar sumber air, atau katakanlah di kanan-kiri sungai. Seakan sungai itu sebagai ‘axis-mundi’-nya dunia yang sedang dibangun. Jaringan arus informasi layaknya sebuah sungai, dalam networking society kemudian masyarakat mengembangkan diri di sekitar jaringan arus informasi. Lihat misalnya bagaimana meraksasanya Amazon atau Alibaba itu. Atau Gojek, Grab, Uber, dan sejenisnya. Bermacam usaha, besar atau kecil, banyak berkembang dengan segala ketrampilan untuk ada di sekitar jaringan arus informasi. Mereka berhasil membangun ‘kepercayaan publik’ di tengah-tengah merebaknya apa yang disebut sebagai post-truth, hoax, atau bahkan deep-fake. Kalau kita perhatikan itu sebenarnya adalah ‘resep’ lama, soal kepercayaan. Entah mendapatkan kepercayaan melalui kesadaran ‘asli’ maupun kesadaran ‘palsu’. Pandai-pandai-nya saja bagaimana kesadaran khalayak itu dimanipulasi, atau tidak.

Tetapi kesadaran mau ‘asli’ atau ‘palsu’, kesadaran tetaplah merupakan ‘kesadaran tentang sesuatu’. Intesionalitas kesadaran akan tetap ada. Kesadaran tidak pernah ‘kosong’ yang kemudian siap diisi dengan apa saja. Tetapi kita juga mampu ‘menunda’ langgam keterarahan kita yang seakan sudah ‘taken-for-granted’ itu. Kadang-kadang mampu dan mau ‘menunda’ itu didahului oleh sebuah peristiwa yang mungkin saja kita kenal sebagai ‘patahan sejarah’. Atau perlahan melalui interaksi dengan banyak pihak horison kita semakin meluas, dan tiba-tiba saja ‘langgam’ yang selama ini dipakai serasa ‘aneh’ saja. Atau ketika dihadapkan pada situasi yang ‘mengerikan’, seperti kematian misalnya. Jika kita kembali pada soal adanya ‘kelas pembayar pajak’ dan ‘kelas penikmat pajak’ seperti pada awal tulisan, apa yang mau disampaikan di sini adalah bermacam peristiwa bertahun terakhir dan terutama akhir-akhir ini terkait dengan pemilihan umum, maka penghayatan taken for granted soal pajak sebagai semata kewajiban itu mestinya dapat ‘ditunda’ lebih dahulu. Melihat pethakilan ‘elit-elit’ politik, ketika penghayatan pajak sebagai kewajiban itu ditunda lebih dahulu, jangan-jangan memang akan muncul kesadaran akan adanya dua ‘kelas’ itu. Tak jauh-jauh amat dari era feodalisme, ada yang merasa berhak dan menikmati upeti dari rakyat biasa, dan rakyat biasa wajib membayar upeti pada kaum ‘bangsawan’-nya. ‘Kelas penikmat upeti’ ini-pun kemudian semau-maunya. Dan bahkan upeti itu kemudian untuk membiayai kekuatan kekerasan untuk menghadapi rakyat biasa yang protes terhadap beban pembayaran upeti. Tidak hanya itu, di sebuah res-publika upeti yang terkumpul justru untuk membiayai penjajahan terhadap republik. Si-penjajah yang kanan-kiri untung. Sedangkan rakyat tetap buntung, sebuntung-buntungnya.

Pajak yang terkumpul dari rakyat kebanyakan itu bukannya untuk memperkuat networking society, tetapi justru untuk memperkuat networking oligarch. *** (14-04-2024)

1416. Dalam Bayang-bayang Kekerasan

16-04-2024

Di sekitar dekade 1970-an, Fernando Henrique Cardoso dalam Dependency and Development in Latin America membedakan antara negara dan rejim. Rejim boleh berbeda, entah itu rejim demokrasi otoriter, atau lainnya, tetapi negara dalam praktek tetaplah akan sebagai sebuah ‘pakta dominasi’. Jadi, mau rejim demokrasi, rejim otoriter, atau rejim gemoy-koprol-kayang, yang penting negara tetap berjalan dengan (maunya tetap) mempertahankan siapa-siapa yang ada dalam pakta dominasi.

Jika kita membayangkan bahwa di dunia ini ada ‘pusat’ (unipolar, bipolar, tripolar, multipolar, atau bahkan multi-national corporations) dan ‘perifer’ (di luar-nya, atau katakanlah negara-negara berkembang) maka ‘pakta dominasi’ yang di pinggiran (‘perifer’-bahkan: ‘satelit’) itu bisa-bisa akan menjadi ‘pakta dominasi sekunder’ yang akan ada lekat dalam bayang-bayang ‘pakta dominasi primer’ di ‘pusat’. Bangunan yang sebenarnya tidak jauh dari bayangan Negri dan Hardt dalam Empire (2000). Maka rejim –apapun itu, dalam praktek sering menampakkan diri sebagai sebuah ‘sistem-penjinakan’ bagi ‘yang banyak’ dengan aturan main dan lembaga-lembaganya sendiri. Sedangkan negara dalam praktek ‘pakta dominasi’, adalah soal siapa yang ‘menikmati’-nya.

Ketika Leo Strauss dalam sebuah kuliah di awal-awal dekade 1950-an mengatakan bahwa ekonomisme itu adalah juga ‘machiavellisme yang menua’, nampaknya memang tidak asal ngibul saja. “After World War II this economy expanded under the uncontested hegemony of the American economy. This process of expansion was rooted in the impact of the American military victory,”[1] demikian ditulis Cardoso sekitar 25 tahun kemudian. Dalam perjalanannya, dari ‘akumulasi primitif’ sampai dengan accumulation by dispossession (David Harvey) nampaknya memang itu tak jauh-jauh amat dari bermacam bentuk kekerasan. Dari perbudakan sampai dengan imperialisme-kolonialisme. Dari cari untung kecil-kecilan, sampai pada yang ugal-ugalan. Maka tidak mengherankan jika kemudian ada buku karya Max Weber yang mengkaitkan ‘etika Protestan’ –terutama pengikut Calvinisme, dengan berkembangnya kapitalisme. ‘Kekerasan’ (cari untung dari orang lain) yang dirasakan masih dalam batas toleransi itu kemudian tidak hanya ‘dibebaskan’ dari segala ‘kutuk’-nya, tetapi dipastikan juga tidak akan mengganggu ‘jaminan’ kebahagiaan setelah kematian. Tetapi bagaimana dengan yang ‘bablas’ mencari untungnya kemudian sampai ugal-ugalan, bahkan Leo Strauss sampai meminjam Machiavelli untuk menggambarkannya? Padahal di satu sisi Montesquieu berpendapat bahwa perdagangan akan mendorong perdamaian dan kesejahteraan, atau katakanlah mendorong juga berkembangnya peradaban.

Dari pembedaan rejim dan negara seperti digambarkan oleh Cardoso di awal tulisan maka kita bisa membayangkan bahwa adanya ‘pakta dominasi’ itu telah meminggirkan apa yang disebut sebagai ‘keprimeran politikal’. Politik yang dalam praktek menjadi semata akan mengabdi pada kepentingan (ekonomi) dari siapa-siapa yang ada dalam ‘pakta dominasi’. Politik yang pada dasarnya untuk menghindari kekerasan (perang) justru kemudian menjadi sangat lekat dalam bayang-bayang kekerasan. Apapun akan dilakukan demi melindungi apa-apa yang sudah diperolehnya ketika duduk dalam ‘pakta dominasi’. Rejim kemudian lebih menjadi ‘tehnik-politik’ belaka, lupa apa yang menjadi esensi dari politik. Mungkin inilah ketika jalan panjang depolitisasi itu sudah dianggap sebagai sebuah ‘kebenaran’ tersendiri. Kekerasan dalam bermacam bentuknya yang kemudian juga seakan menjadi hal biasa-biasa saja. Ketika kita menjadi terusik soal etika, itu pada dasarnya adalah juga sebuah reaksi terhadap merebaknya ‘paradigma’ kekerasan ini. Yang nampaknya akan semakin mengeras ketika ‘pakta dominasi primer’ nun jauh di sana itu sedang sibuk ‘menikmati’ bermacam kekerasan telanjangnya dalam perang.

Lalu apa yang mesti diperbuat? Proses pemilihan umum lalu memberikan pelajaran yang sangat berharga, yaitu adanya peristiwa Desak Anies. Dilihat dari bermacam sisi, aspek, profilnya, di belakang Desak Anies itu adalah juga sebuah ‘penegasan diri’. Peristiwa itu adalah juga latihan etis dalam politik, yaitu ketika ada dalam peristiwa tatap-muka dengan segala kebebasannya. Dan lebih jauh lagi, itulah sebenarnya salah satu peristiwa untuk meloloskan diri dari jerat depolitisasi yang sudah berlangsung puluhan tahun itu. Politik yang menegaskan diri (lagi), re-birth, melalui inter-subyektifitas yang intens. Politik yang jika itu terus menggelinding maka ia akan mengancam kemampanan siapa-siapa si-penikmat ‘pakta dominasi’ dan diganti oleh suara rakyat kebanyakan. Hanya dengan itu pula sebenarnya kemampuan untuk tidak begitu saja masuk dalam perangkap ‘pakta dominasi primer’ dapat dilakukan. Apa yang sebenarnya masih ada dalam kendali berhasil dirajut lagi melalui jalan politik, keprimeran politikal. Rejim demokrasi kemudian memang benar-benar menjadi bayang-bayang lekat dari bagaimana negara mesti dikelola. Dan bukan lagi menjadi bagian dari alat ‘penjinakan’. *** (16-04-2024)

[1] FH Cardoso, Enzo Faletto, Dependency and Development in Latin America, University of California Press, 1979, hlm. 181

1417. Klaster-klaster Dengan Daya Ungkit

17-04-2024

Jika kita mengikuti pembedaan tiga kekuatan menurut Alvin Toffler, kekuatan uang, kekuatan kekerasan, dan kekuatan pengetahuan, maka bisa dibayangkan ada ‘klaster’ tertentu yang nampaknya mempunyai daya ungkit besar. Tetapi daya ungkit bagi siapa? Bagi penguasa mbèlgèdès, kekuatan uang itu adalah kesempatan untuk korupsi merampok, kong-ka-li-kong, pat-gu-li-pat: bagi-bagi ‘klaster-perdikan’ untuk itu semua, untuk kaum ‘bangsawan’-nya. Dengan imbalan mendukung ‘pakta dominasi’ tentunya. Kekuatan kekerasan, artinya represi yang bisa-bisa sungguh telanjang penampakannya. Kekuatan pengetahuan adalah segala tipu dan para pendukung-pendukung tipu muslihatnya.

Baru-baru ini ada pemberitaan terkait peringatan akan peristiwa kejam-brutalnya genosida di Rwanda, 30 tahun lalu. Tetapi dari catatan seorang blogger yang telah melanglang lebih dari 100 negara, dua tahun lalu ia menempatkan Rwanda sebagai salah satu negara terbersih. Mengapa bisa? Yang pertama-tama karena memang ada komitmen dari pemerintahnya yang jelas tidak angin-anginan. Yang kedua, ‘kutukan sumber daya’ relatif tidak menghantui karena kekayaan sumber daya, terutama tambang-tambang-nya memang tidaklah banyak. Rwanda tidak hanya menjadi bersih, tetapi juga termasuk tingkat korupsinya terendah se-Afrika.

Kadang-kadang dalam hidup bersama memang perlu hal-hal tertentu, atau katakanlah klaster-klaster tertentu yang dengannya perlahan hidup bersama akan ikut-ikutan ‘naik’. Salah satu yang dipilih pemimpin Rwanda di awal abad ini adalah klaster kebersihan. Kebersihan diprogramkan dengan penuh komitmen tiada henti melibatkan banyak pihak, termasuk dari akademisi yang memberikan masukan-masukannya. Kalau mau lihat contoh kongkret di republik, lihat misalnya pelayanan kereta api di era Jonan. Bagaimana transformasi itu bisa kita lihat-rasakan dari hari-ke-hari, terus menerus. Atau dalam banyak halnya, Anies saat menjadi Gubernur DKI. Bagaimana kesehatan pelayanan rintisan Jonan dkk itu ke depannya ketika ‘kutukan sumber daya’ dalam dunia per-kereta api-an republik tiba-tiba saja mulai mengusik, misal dengan adanya kereta api cepat itu? Karena tiba-tiba saja ia harus menanggung beban operasional yang tidak sedikit sebagai akibat sebuah keputusan ugal-ugalan? Atau DKI di tangan pj. Heru?

Pesan apa di balik ‘klaster-klaster’ yang bisa dibayangkan mempunyai ‘daya ungkit’ besar itu? Pesannya adalah pentingnya sebuah komitmen. Sebuah ‘klaster’ yang dibangun dengan penuh komitmen. Kondratiev (1925) menggambarkan kapitalisme akan selalu lekat dengan krisis, ada gelombang ‘naik-turun’-nya. Kapitalisme akan ‘naik’ lagi sering karena ada inovasi atau temuan baru yang kemudian seakan menjadi lokomotif-nya keluar dari dasar krisis. Dan itu terjadi seakan sebuah siklus saja. Kita boleh setuju,, atau setuju sebagian, atau tidak setuju dengan analisis Kondratiev, tetapi jika proses meniru itu merupakan salah satu modus penting dalam hidup bersama, adanya ‘klaster-yang-dibangun-dengan-penuh-komitmen’ itu bisa juga diharapkan mampu sebagai lokomotif-nya perubahan. Apalagi dalam komunitas dengan power-distance (Hofstede) tinggi.

Dalam ‘tekhnologi’ axis-mundi, komitmen bisa berperan sebagai axis-mundinya ketika dunia penuh dengan seliweran-nya kepentingan diri. Jika kaum neolib berangkat dari asumsi bahwa satu-satunya yang rasional itu adalah kepentingan diri, Amartya Sen dengan telak telah menggugurkan asumsi itu. Menurut Sen, komitmen adalah juga hal rasional. Maka ketika ‘display’ kekuasaan dalam semua aspeknya hampir menampakkan diri tanpa kehadiran komitmen, bahkan hanya dalam satu klaster-nya sekalipun, bisa-bisa akan dirasakan sebagai hal yang chaotic bagi khalayak kebanyakan. Dalam suasana seperti ini maka dengan mudah kepentingan-diri dalam bermacam bentuknya perlahan akan menjadi axis-mundi-nya. Semua serba transaksional. Yang ujung-ujungnya, yang menang dalam transaksi pertama-tama adalah yang paling keras gertakannya. Salah satu contoh telanjangnya, sandera kasus. Atau penggusuran tanah adat dengan pengerahan para aparat komplit dengan pentungan dan laras panjangnya. *** (17-04-2024)

1418. Ayo Komit nang Kebon!

17-04-2024

Nang cakruké Nyah Ndut gèk rodo gayeng. Cak Babo seko pasar mampir cakruk karo nggowo selebaran, selebaran soal lomba cipta lagu. “Lho Cak, lomba kaitané karo opo?” Totok takon nang Cak Babo.

“Kuwi Tok, dalam rangka ‘Mukidi Ribon”. Kuwi lho .... ditulis nang nduwur dhéwé,” Kang Yos sing njawab karo nunjuk selebaran.

Cak Babo neruské: “Ngko lagu sing menang selain oleh hadiah pit onthél terus ugo kanggo ngiringi baris-berbaris pas tanggal 20 Oktober sésuk kuwi Tok.”

“Pas ‘Hari Ngibul Nasional’[1] kuwi Cak,” Koh Bos mestèké.

“Hè’èh Koh ...”

“Maksudé ‘Mukidi Ribon’ kuwi opo Kang?” Totok takon nang Kang Yos.

“Wingi aku ketemu Mas D, ribon kuwi mergo Mukidi rasané koyo-koyo-o lahir manèh.”

“Lahir manèh Kang?”

“Hè’èh Tok. Nèk mbiyèn lahir nang Rumah Sakit saiki ngimpi lahir nang pinggir kali. Sing lahir nang pinggir kali kuwi rodo bédo, ora oèk-oèk-oèk koyo pas lahir nang Rumah sakit kaé, bédo Tok, sing iki ujug-ujug waé iso omong ‘ko-mit-men’..... Ngono critané Tok.”

“Ngono yo Kang ....” Totok komentar singkat karo plendas-plendus garuk-garuk sirah.

Ujug-ujug waé Likwan usul nang Kang Yos: “Kang, sampéyan kan pinter nyanyi ....”

“Iyo Lik, Kang Yos kuwi pas turu waé nyanyi lho, nglindur ning nyanyi ...,” Totok mèlu nimbrung.

“Ora mung nyanyi Tok, kapan kaé malah pidato ...,” Cak Babo nambahi keterangan soal nglinduré Kang Yos.

Kang Yos mung pecingas-pecingis, ning ujug-ujug waé paham usulé Likwan: “Piye nèk mèlu lomba nganggo lagu iki ....”

“Nah ..... sip Kang, piyé laguné?” Likwan dadi penasaran.

Kang Yos nyruput kopi ndisik terus nyumet rokok: “Ngéné laguné ....: ‘ayo komit’ - ‘ayo komit’ .... ‘nang kebon’ - ‘nang kebon’ ....”

Koh Bos sing neruské: “Tutupi godhong pring – tutupi godhong pring ...”

Totok semangat: “Bèn garing .... bèn garing ...”

Plok-plok-plok

Nyah Ndut mèlu keplok, di luar dugaan, Nyah Ndut: “Aku saiki sing nyanyi Kang ....”

Kang Yos: “Ok ok Nyah .... Tak rekam nganggo HP yo Nyah ...”

Nyah Ndut mulai nyanyi kanthi semangat: “Ayo ngising .... ayo ngi ...”

“Stop stop Nyah,” Totok unjuk tegas.” Sing versi lomba Nyah, dudu versi asliné ...”

“Wah sori Toook, soalé kèlingan mbiyèn nèk durung dinyanyèké lagu asliné kuwi tholé ora gelem turu-turu ...” Nyah Ndut njelaské.

“Wah opo mergo kuwi mas G dadi gampang mèncrèt Nyah ..” Cak Babo nggoda Nyah Ndut. Mas G kuwi anak lanang nomer loroné Nyah Ndut.

“Mungkin yo Cak..,” Nyah Ndut dadi rodo sedih.

“Yo ora ngono Nyah, ora ono hubungané. Ngko tambah umur kan alon-alon dadi ora mèncrètan manèh Nyah,” Likwan nglerem-ngleremi. Nyah Ndut dadi semangat manèh terus ujar: “Balèni yo Lik ...”

Nyah Ndut ambil posisi, saiki nyanyi karo tunjuk-tunjuk jari koyo pas nèk Cik Té mulang cah-cah TK kaé.

Ayo komit ...... ayo komit ....”

Nang kebon .... nang kebon ...”

Tutupi godhong pring ...”

Tutupi godhong pring ....”

Nyah Ndut nylethuk: “Bareng-bareng ....”

Sak cakruk kompak mèlu nyanyi bagian akhir, karo tangan kiwo munggah bareng, semangat banget, cuk, mbengok sak-kayangé:

Bèn garing .... bèn garing ...”

Plok-plok-plok ..... Pecas ndahé dab …*** (27-09-2019)[2]

Cathetan 29-09-2019:

Koh Bos iseng-iseng nggawé versi Londo:

Are you sleeping? Are you sleeping?

Brother John .... Brother John

Morning bells are ringing

Morning bells are ringing

ding ... dang ... dong

ding ... dang ... dong

[1] https://www.pergerakankebangsaan.com/396-20-Oktober-Hari-Ngibul-Nasional/

[2] Lihat: https://www.pergerakankebangsaan.com/405-Ayo-Komit-nang-Kebon/

1410. Orang-orang Biasa dalam Situasi Luar Biasa

19-04-2024

Bermacam situasi luar biasa bisa terjadi, salah satunya bencana, gempa bumi misalnya. Atau perang, atau kelaparan. Tetapi mengapa kejadian gempa bumi misalnya, dalam pemberitaan kita bisa melihat di satu komunitas menjadi begitu paniknya, tetapi di komunitas lain bisa lebih tenang? Atau saat bantuan dibagikan, di satu komunitas bisa membentuk antrian dengan tertib, tetapi yang lain menampakkan perebutannya? Atau tiba-tiba saja kita mendengar tangis bayi di pinggir jalan, maka kita-pun akan tergerak untuk mendekat, apakah bayi itu perlu pertolongan? Atau kita melihat foto-foto anak-anak menjadi korban perang, siapa yang tidak tergerak hatinya?

Salah satu hasrat paling dasar manusia, atau bahkan makhluk hidup adalah mempertahankan kelangsungan hidupnya. Dari gambaran sehari-hari itu ditampakkan dengan bagaimana respon kita terhadap rasa sakit, misalnya. Tetapi manusia juga punya hati nurani, salah satunya adalah bagaimana hati nurani akan ‘membujuk’ untuk memberikan pertolongan, misalnya. Bahkan ketika kita dalam kesulitan sekalipun. Tetapi apakah ada yang disebut sebagai ‘hati nurani kolektif’ itu? Apakah itu yang disebut sebagai ‘norma-norma sosial’? Apakah logika Adam Smith bahwa wealth of nations itu akan tercapai dengan sendirinya jika masing-masing individu sejahtera, dapat dipakai dalam hal ini? Jika isinya orang-orang baik maka ‘kolektif baik’-‘norma-norma sosial’ yang baik akan dengan serta merta mewujud?

Sifat, watak, wajah, dan suasana suatu bangsa ditentukan langsung oleh derajat kemampuan, seni, dan efektivitas bangsa itu dalam mengendalikan kekuasaan,” demikian ditulis Mangunwijaya dalam Kini Kita Semua Perantau (1989). Dan kekuasaan apa yang paling ‘signifikan’ dalam konteks pernyataan tersebut? Nampaknya adalah kekuasaan atas ‘manusia massa’. Bagaimana mengelola ‘manusia massa’ ini akan menentukan, katakanlah, kualitas hidup bersama. Bagaimana mengendalikan kekuasaan ketika berhadapan dengan ‘manusia massa’ inilah yang akan menentukan sifat, watak, wajah, dan suasana suatu bangsa. Mengapa? Karena pada dasarnya ‘manusia massa’ itu adalah juga yang ‘paling rentan’ dalam olah kuasa. Dan jika hidup bersama itu mampu mengembangkan ‘yang paling lemah’, sebagai hidup bersama ini sebenarnya salah satu syarat utama untuk mengalami kemajuan yang ‘otentik’.

Maka kutipan dari Mangunwijaya di atas-pun bisa dibaca, jika ingin mengembangkan derajat kemampuan, seni, dan efektivitas bangsa itu dalam mengendalikan kekuasaan, maka mulailah dengan mengendalikan para ‘predator massa’. Atau kalau kita kembali pada pendapat Adam Smith tentang tercapainya wealth of nations seperti disebut di atas, dari pelajaran sejarah kita bisa melihat bahwa ‘kesejahteraan individu’ itu bisa kemudian meraksasa dan berubah menjadi ‘predator’ kesejahteraan bersama. Sebagai pemangsa, perampok kesejahteraan bersama. Kapitalisme liberal yang disebut Leo Strauss sebagai krisis modernitas gelombang pertama itu bisa-bisa berubah menjadi ‘machiavellisme yang menua’. Atau ‘Machiavelli menumpuk harta’.

Tetapi menjadi ‘manusia massa’ itu adalah kecenderungan dari kebanyakan, dan sebenarnya memang bukanlah sebuah dosa menjadi orang kebanyakan. Bahkan yang sudah meloloskan diri dari ‘jerat’ pemenuhan kebutuhan dasar-pun bisa menjadi ‘manusia massa’ ini. Menurut Paulo Freire bisa melalui rute fanatisme. Atau ingat bagaimana adagium ‘roti dan sirkus’ itu sudah berumur lebih dari 2000 tahun. Mungkin saja Herman Broch benar dengan mengatakan adanya twilight state, kesadaran temaram dalam diri manusia. Terlebih di penghujung abad lalu mulai berkembang penelitian tentang mirror neuron system itu. Bandwagon effect itu memang nyata adanya.

Pernak-pernik penyelenggaraan pemilihan umum di Jepang kiranya dapat menjadi pelajaran tersendiri. Bermacam aturan ditetapkan sehingga para ‘predator massa’ tidak menjadi ugal-ugalan. Terlebih Jepang adalah juga sama-sama bagian dari Asia yang kebanyakan cenderung sebagai komunitas gemeinschaft. Atau juga dengan index power distance tinggi. Jika tidak ada aturan yang membatasi ugal-ugalannya para ‘predator massa’, maka yang menjadi korban pertama-tama adalah ‘orang-orang biasa’. Ada salah satu modal penting di Jepang dalam hal ini, yaitu pengalaman panjang menghadapi ‘predator massa’ yang berasal dari keganasan alam, gempa dan tsunami. Dengan infrastuktur deteksi dini dan bermacam konstruksi bangunan ‘tahan gempa’, ditambah dengan latihan terus menerus dalam menghadapi bencana maka dapat dilihat bagaimana respon ‘orang-orang biasa’ itu dalam menghadapi situasi luar biasa. Termasuk di sini, situasi luar biasa saat pemilihan umum. Luar biasa karena sebenarnya yang dipertaruhkan adalah matinya sebuah rejim. *** (19-04-2024)