1305. The Untouchable

30-11-2023

Saat Jose Mourinho menangani Chelsea ‘periode pertama’ muncul istilah ‘the untouchable’, pemain yang selalu ada dalam setiap pertandingan –kecuali cedera, seperti Drogba, Lampard, John Terry, Petr Cech misalnya. Tetapi sepak-bola bukanlah ranah politik, apalagi demokrasi. Dalam demokrasi mestinya tidak boleh ada yang ‘untouchable’. Karena ke-tidak-tersentuh-an itu pastilah ujungnya bukan seperti yang ditulis Claude Lefort. Power becomes and remains democratic when it proves to belong to no one,” demikian pendapat Claude Lefort (1924-2010) seperti dikutip oleh Simonetta Falasca-Zamponi dalam bukunya Rethinking The Political (2011, hlm. 245). Power maunya ya terus-terusan saja ada di tangannya, menjadi miliknya.

Bertahun-tahun dimainken permainan ‘the good, the bad, the ugly’[1] bisa-bisa kemudian berubah tingkat permainannya: ‘the untouchable’. Si-the good kemudian berubah menjadi ‘the untouchable’. Ia kemudian merasa diri sebagai ‘yang tak tersentuh’, atau yang lebih mungkin: ia dimainken sebagai ‘yang tak tersentuh’. Mengapa ada yang dimainken sebagai ‘yang tak tersentuh’? Istilah Jeffrey Winters mungkin bisa membantu: ‘sultanic oligarchy’. Bahkan ketika ia secara formal bukan lagi pimpinan tertinggi, sebagai ‘sultan’-nya kaum oligark-pun masih bisa dimainken dalam permainan ‘shadow state’ layaknya banyak yang terjadi di negara-negara Afrika. Atau bahkan di-republik ada dikenal istilah: S-gedhé, dan S-cilik itu. S-gedhé yang sudah bukan bupati lagi itu de facto tetap saja ia adalah penentu kebijakan.

Yang dimaksud ‘tak tersentuh’ di sini pertama-tama adalah terkait dengan yang ‘kotor-kotor’ sebagaimana peran dalam ‘the-good’. Tentu juga termasuk di sini tak mungkinlah tersentuh hukum yang akan membuka segala yang kotor-kotor dalam dirinya itu, misalnya. Intinya, ia tidak hanya ‘sultan’-nya kaum oligarki tetapi sekaligus juga ‘sultan’ bagi semua, maunya. Jika kita membayangkan adanya ‘rejim campuran’ maka de facto (maunya) dia adalah si-mono dalam monarki, dengan dikelilingi kaum aristokrat, dan demokrasi utamanya adalah soal ‘penjinakan’ yang banyak itu. Maka penentu kebijakan bukanlah dari proses demokrasi, tetapi pertama-tama adalah dari si-mono dan lingkaran dekatnya, kaum aristokrat, kaum oligark. Hasilnya ya persis S-gedhé dan S-cilik itu. Kira-kira begitulah. Maunya. *** (30-11-2023)

[1] https://www.pergerakankebangsaan.com/001-The-Good-The-Bad-The-Ugly/

1306. Pemilu dan Fase Stabilisasi Rejim

02-12-2023

Ada yang berimajinasi liar soal ‘rejim campuran’ –mixed constitution, campuran antara monarki-aristokrasi-demokrasi. Ada yang berimajinasi tentang adanya rentang waktu Kekaisaran Roma Kuno menjadi kuat dan stabil karena menjalankan ‘rejim campuran’ ini, kata Polybius. Atau di era modern, Empire di tingkat global seperti dibayangkan oleh Negri dan Hardt, dua-puluh tiga tahun lalu. Atau jaman old, ‘little empire’. Atau kalau memakai pendapat Alvin Toffler, bagaimana soal kekuatan pengetahuan, kekuatan uang, dan kekuatan kekerasan itu sedang dimainkan. Dan sayangnya, ada yang membayangkan pula bahwa kekuatan kekerasan-lah penentunya, sebagai ‘pondasi’ dari ‘fase stabilisasi rejim’-nya. Ketika Joseph S. Nye bertanya pada Menteri Pertahanan Donald Rumsfeld tentang konsep ‘soft power’, dijawab singkat oleh Rumsfeld: “I don’t know what ‘soft power’ is.”[1] Jadi memang ada yang berpikir seperti itu, banyak malah.

Maka sangat tepat jika Kompas beberapa hari lalu mengajak dalam pemilihan umum untuk diperbanyak kampanye dialogis. Karena dalam kampanye dialogis itu sebenarnya sedang ada perlawanan terhadap yang sungguh sedang berlangsung secara vulgar: depolitisasi. Dalam dialog sebenarnya ada pengalaman tentang menegara, istilah dari Driyarkara. Menegara yang selalu ada dalam ‘ketegangan’ antara yang sedang -atau akan berkuasa, dengan khalayak kebanyakan. Menegara, dan dengan itu khalayak kebanyakan bisa perlahan membayangkan rejim seperti apa yang sedang berlangsung atau akan terbangun. Khalayak kebanyakan semakin mendapat masukan untuk memperkaya ‘komunitas terbayang’-nya. Atau mencegah pembentukan masyarakat yang tidak dimauinya. Menegara yang sebenarnya juga mendapat tantangan serius dari berkembangnya apa yang dikatakan oleh Guy Debord sebagai the society of the spectacle itu. Menegara yang sebenarnya juga bisa dihayati sebagai mengapa politik itu dimungkinkan ada, ‘yang politikal’, the political. Maka sebenarnya yang suka jogat-joget dalam peristiwa pemilihan itu pada dasarnya juga sedang berusaha keras melakukan: depolitisasi.

Apa yang akan dibayar oleh khalayak kebanyakan dengan merebaknya depolitisasi itu? Tirani! ‘Pembentukan masyarakat’ maunya merupakan urusan si-tiran. Si-mono dalam konteks ke-monarki-an itulah menjadi satu-satunya yang punya hak bagaimana hidup-bersama semestinya terbangun. Dan seperti soal Empire yang dibayangkan oleh Negri dan Hardt, pertama-tama karena ia merasa mempunyai-memegang kekuatan kekerasan. ‘Rejim campuran’ ini masuk ke ‘fase stabilisasi’-nya karena merasa kekuatan kekerasan sudah ada di tangan. Dan dengan itulah maka bangunan ‘sultanic oligarchy’ akan menjadi semakin kokoh. Para aristokrat lainnya yang bisa masuk melalui jalur ABG di jaman old itu-pun akan lebih mudah untuk ‘di-disiplin-kan’. Maka tidak hanya ‘sultanic oligarchy’ tetapi juga sekaligus ‘sultanic rent-seekers’. Mengapa korupsi kemudian semakin meraja-lela? Ya karena ia sudah menjadi salah satu pilar-nya rejim! Demokrasi? Faktanya jaman old adalah demokrasi seolah-olah karena utamanya adalah soal pengendalian yang banyak, the rest.

Maka jika ada pemilihan termasuk sedang memilih presiden misalnya, nampaknya akan ada yang sedang berusaha keras untuk ditahbiskan juga sebagai si-‘sultan’. Si-untouchable.[2] Dari penampakan bermacam jejak digital, bahkan akhir-akhir ini, nampak sekali. Jika dalam menelisik laku korupsi: follow the money, begitu juga dalam ‘dunia buzzer’ bayaran, misalnya. Dan bahkan tidak hanya itu, ia juga sebenarnya sudah ‘terperangkap’ dalam ‘sandera kasus’ juga. Ia telah menyerahkan ‘jiwa’-nya dalam dunia faustian. Maka apapun yang dilakukan sekarang, atau ia sekarang ‘ada’ di pihak manapun, ikuti saja ia ‘dilahirkan’ dimana, dan di situlah sebenar-benarnya ‘kesetiaan’ dulu, sekarang dan nanti-nantinya diserahkan. Bukan pada yang lainnya. Tentu tidak semua mau ‘terperangkap’ dan ambil resiko nekad untuk menjadi berbeda. Dengan bermacam alasan atau pertimbangan. Tetapi itu hanyalah sebagian kecil saja. Hasrat untuk jadi si-mono itu sudah sampai pada nuansa at all cost-nya. Bisa-bisa memang menjadi menakutkan. Maka, menjadi si-mono yang ‘stabil’: sekarang atau tidak sama sekali! *** (02-12-2023)

[1] Brian C. Schmidt, Realism and Facts of Power in International Relations, dalam Felix Berenskoetter, M.J. Williams (ed), Power in Worlds Politics, Routledge, 2007, Hlm. 62

[2] https://pergerakankebangsaan.org/tulisan-47, No. 1305

1307. Memanusiakan Manusia Pemilih

03-12-2023

Apapun itu, depolitisasi bisa-bisa sangat dekat dengan dehumanisasi. Karena bagaimanapun politik adalah salah satu jalan untuk tidak hanya membela manusia, tetapi juga memperjuangkan-mengembangkan kemanusiaan dalam hidup bersamanya. “Memanusiakan manusia pemilih” dalam peristiwa pemilihan umum misalnya, menjadi lebih penting tidak hanya ia dihadapkan oleh upaya-upaya depolitisasi, tetapi juga karena ada dalam bayang-bayang lekat apa yang disebut Guy Debord sebagai the society of the spectacle. Suatu potret perkembangan masyarakat akibat kapitalisme lanjut. Debord memang lebih menyodorkan sebuah potret, tetapi dengan potret itu maka kita bisa membayangkan di dunia macam apa kita sedang ‘terlempar’. Karena jika kesadaran akan ‘dunia-sekitar’ kita menjadi begitu tipisnya, kita bisa jatuh pada apa yang disebut Van Peursen dalam Strategi Kebudayaan: operasionalisme.

Tetapi sayangnya sebagian besar hidup kita memang kita jalani dalam ‘modus’ taken for granted. ‘Menunda’ banyak hal untuk lebih meraba hal esensi bisa-bisa merupakan kemewahan tersendiri. Dan ini wajar-wajar saja, meski lihat misalnya, ada yang sampai terganggu jiwanya karena menjadi begitu obsesifnya ‘live’ di Tik-Tok. Atau soal ‘kecanduan’ mengunggah image dirinya dalam berbagai pose atau peristiwa di sosial-media. Dan menunggu dengan berdebar-debar bermacam comment dari follower-nya, atau jaringan-group-nya. Menurut Debord, the society of the spectacle itu bukan berhenti soal dilemparkannya bermacam images, tetapi image-image itu memang sudah menjadi ‘media komunikasi’ itu sendiri. Atau dalam pendapat Van Peursen dalam Strategi Kebudayaan, menghayati dunia sekitar, atau dalam konteks tulisan ini, the society of the spectacle, potensi jatuh dalam penghayatan mitis: menjadi lebih banyak tenggelam di dalamnya, besar kemungkinannya.

Menurut Carl Schmitt hampir seabad lalu, dalam penghayatan-Eropa-nya, konsep negara modern adalah merupakan sekularisasi dari konsep teologi. Dari sini kita bisa membayangkan bahwa di tengah-tengah kebanyakan khalayak hidup dalam modus taken for granted, maka mestinya ada ‘lembaga’ yang tidak begitu (lebih banyak hidup dalam modus taken for granted) supaya hidup bersama bisa terus dimajukan horison-nya. Ada yang ‘lebih punya waktu’ untuk me-refleksikan dunia ‘pra-refleksi’ itu. Dan itu sebaiknya ada di ranah negara, katakanlah, aktor-aktor di ranah negara itu memang orang-orang yang ‘terpilih’ untuk menempatkan kepentingan diri di bawah kepentingan publik, demikian kira-kira jika kita memakai pembedaan privat-publik. Atau kalau kita memakai isilah Van Peursen dalam Strategi Kebudayaan, ia yang mau dan mampu ‘menunda’ bermacam hal untuk menemukan hal esensi.

Tentu tidak hanya di ranah negara hal esensial itu mesti terus diupayakan didekati-dikuak, tetapi juga di masyarakat sipil, oleh bermacam pihak yang sungguh menaruh minat-kepeduliannya terhadap hidup bersama. Ditekankan di ranah negara karena daya ungkit-nya, baik untuk kemajuan atau kemunduran. Lihat misalnya ketika jargon kerja-kerja-kerja itu berubah menjadi ‘operasionalisme’, hal mendasar, hal esensi, perlahan dipinggirkan, dan terkait dengan ‘daya ungkit’, ujungnya ternyata adalah: rusak-rusak-an! Apa yang mendasar dari hidup bersama? Manusia! Manusia dalam hidup pribadinya, dalam hidup bersama dengan yang lainnya, dengan alam sekitarnya, atau dalam kata-kata Fritjof Capra, the web of life.

Dari calon-calon yang beredar maka jika kita ‘tunda’ bermacam hal yang sudah ngendon dalam otak kita, dan kita back the things themselves sebagai ‘pemula’, melihat dari bermacam sudut-nya, aspek, profilnya, dan lain-lainnya, maka segera nampaklah calon Anies B. yang paling mampu dalam mendekati hal-hal mendasar seperti disebut di atas. ‘Operasionalisme’ di tahun-tahun terakhir jelas harus dihentikan, atau paling tidak dikoreksi dalam banyak hal-nya. Yang jargon-nya ‘keberlanjutan’ itu jelas hanya akan ‘melanjutkan rusak-rusak-annya’. Apalagi selain itu nampak begitu demen-nya melakukan depolitisasi selama proses pemilihan ini. Bisa dipastikan, jika jenis seperti ini terpilih, de-humanisasi akan membayang lekat.

Masalahnya kita hidup sekarang ini ada banyak dalam ‘nuansa kebatinan’ yang membuat kata-kata menjadi sulit untuk dipercaya. Sungguh ini adalah kerusakan yang dahsyat, ke-tidak-percaya-an terhadap kata-kata yang meluncur dari mulut manusia, di ranah negara. Meski begitu, se-rusak-rusak-nya, kita tak bisa lepas dari soal kata-kata. Maka tetaplah cermati kata-kata yang meluncur, baik dalam tawaran program atau dalam debat, misalnya. Tetapi ada yang bisa kita perhatikan di luar kata-kata yang meluncur, yaitu pada peristiwa-peristiwa ketika sebuah tatap-muka, face-to-face terjadi. Kita bisa bicara soal ‘wajah-wajah tulus’ atau lainnya, tetapi hal terpenting adalah bagaimana ia ‘memperlakukan’ yang lain dalam momen tatap muka itu. Menurut Levinas, dalam momen face-to-face itu sebenarnya ada soal etika yang hadir. Dan dari situ pula kita sedikit-banyak bisa meraba apakah ia akan mampu menempatkan ‘manusia’ sebagai yang esensial dalam ranah politik, dalam ranah negara, dalam hidup bersama. *** (03-12-2023)

1308. Subsidiaritas

04-12-2023

Yang dimaksud dengan subsidiaritas di sini adalah apa-apa jika yang kecil itu bisa melakukan sendiri maka yang lebih besar jangan campur tangan. Di balik itu ada semangat tidak hanya memberikan kepercayaan dan kebebasan, tetapi juga sebenarnya siap membantu atau melindungi ketika ada yang besar-besar mau ‘menerkam’, atau upaya-upaya mandiri dari yang kecil-kecil itu memang membutuhkan bantuan. Konsep subsidiaritas ini berkembang tidak di ruang kosong. Bisa dikatakan dengan bahasa lain: janganlah terus menjadi ‘kolektivisme total’ tetapi jangan juga dibiarkan diterkam oleh keganasan kapitalisme laissez-faire, misalnya.

Bagaimana dalam praktek-nya? Apa yang kira-kira paling menghambat? Nampaknya apa yang disebut Nietzsche, the will to power. Maka dalam praktek, subsidiaritas itu adalah juga latihan, tidak hanya latihan untuk menjadi semakin mandiri, tetapi juga bagi ‘yang besar-besar’: latihan tahu-batas. Tetapi bagaimana, katakanlah dalam gambaran di atas, si-kapitalis besar-besar menjadi ‘tahu-batas’? Bahkan krisis-pun bisa-bisa merupakan saat tepat untuk akumulasi, terutama sebagai salah satu fitur accumulation by dispossession-nya David Harvey itu. Maka memang kemudian ini lebih pada soal negara dan warga-negaranya.

The will to power ini memang bisa sangat merepotkan. Lihat misal soal adanya ‘rivalitas’ dan kemudian dihadirkannya si-kambing hitam dalam teori segitiga-hasrat nya Rene Girard, bisa dikatakan juga itu tidak lepas dari the will to power. Atau seorang pemimpin yang sering beperilaku sebagai anak-anak itu, bukankah seakan ia menyediakan diri sebagai wadah gejolak yang dipimpin-nya dalam penyaluran the will to power itu. Padahal, katakanlah: serigala berbulu domba. Bagaimana jika ada peserta pemilu menggambarkan dirinya sebagai yang imut-ke-bayi-bayi-an? Mungkinkah ini bukan hanya soal sayang-sayang-an, tetapi adalah soal bukan sedang ‘menantang’ yang banyak, lebih ber-akting sebagai yang lugu dan dengan itu the will to power dari masing-masing yang banyak itu sedang di-wadahinya? Menampakkan diri sebagai ‘domba-yang-siap-disembelih’ –sementara: karena aslinya jangan-jangan serigala? Mungkin juga. Maka dalam praktek, subsidiaritas hanya akan mulai berhasil jika ada sikap yang genuine, really proceeding from its reputed source.[1] Yang pada dasarnya penuh dengan tipu-tipu itu jangan diharapkan mampu dan bahkan mau menjalankan prinsip-prinsip subsidiaritas.

Mungkin ada istilah subsidiaritas dalam undang-undang atau peraturan desa, terkait dengan pembagian kewenangan, misalnya. Tetapi yang dimaksud dengan subsidiaritas di sini unit terkecil-nya adalah individu-individu manusia, atau juga keluarga. Apa yang ditawarkan Anies B. soal ‘contract farming’ itu jika dilihat dengan kacamata subsidiaritas akan segera nampak kedekatannya. Para petani tidak diserap dalam sebuah kolektivisme total, atau dikalahkan oleh ugal-ugalannya modal, misal proyek food estate,, atau mafia pangan dalam bermacam tingkatannya. Karena selain tetap ada kebebasan, petani dibantu-dilindungi tidak hanya soal input, proses, tetapi juga outcome-nya, sudah ada perjanjian jual-beli dengan negara. Soal input, negara membantu dalam akses irigasi misalnya. Soal air ini di masa depan bisa-bisa akan masuk dalam keserakahan kapitalisme. Negara hadir untuk melindungi terkaman jenis ini, misalnya. Juga soal benih –negara harus siap pasang badan melindungi kreativitas petani, dan tak kalah penting akses pada informasi. Sistem informasi pertanian semestinya sungguh bisa membantu petani untuk menentukan pilihan-pilihannya. Termasuk juga dalam prosesnya, bagaimana dikembangkannya soal pupuk-memupuk itu, pengendalian hama, dan bermacam lagi. Dan yang terpenting di sini akhirnya adalah bagaimana petani mendapatkan keuntungan dengan adanya kontrak pembelian yang berpihak pada petani. Apa yang akan dirasakan oleh petani dengan sistem ini? Nampaknya tidak hanya soal kesejahteraan saja, tetapi juga: keadilan. Mungkin ini bisa sebagai ‘studi kasus’ praktek subsidiaritas bagi Keuskupan Agung Jakarta, yang dalam Arah Dasar Keuskupan Agung Jakarta 2022-2026, pada tahun 2024 penekannya ada di: solidaritas dan subsidiaritas. Berkah Dalem monsinyur Haryo …. Salam dari Semarang …., hormat kami, pak dokter*** (04-12-2023)

[1] https://www.etymonline.com/word/genuine

1309. How to Train Your Dictator

04-12-2023

Judul plèsètan dari film How to Train Your Dragon, sebagai ‘pemanis’ judul saja. Yang mau dipermasalahkan di sini adalah, jangan-jangan kita –sadar atau tidak, ikut berkontribusi dalam melatih seseorang untuk menjadi diktator. Seseorang tidak tiba-tiba saja menjadi diktator, ada kesempatan dan jangan-jangan ada pembiaran pula. Tentu banyak faktor seseorang menjadi diktator, tetapi jelas juga tidak mungkinlah ia ‘mendadak diktator’. Tulisan ini hanya ingin melihat kemungkinan-kemungkinan saja.

Salah satu kemungkinan yaitu adanya habitat seperti digambarkan oleh Platon dalam Alegori Gua-nya.

Bayangkan di dalam gua, ada beberapa orang dirantai dan selalu saja hanya menghadap tembok. Di belakangnya ada api unggun. Diantara beberapa orang yang dirantai dan api unggun, lalu-lalang-lah orang dengan tempayan di atas kepalanya. Karena cahaya dari api unggun maka bayangan dari orang-orang dengan tempayan di kepala itu hadir di depan orang-orang yang dirantai. Bayangan di tembok itulah yang setiap saat dilihat orang-orang dengan rantai itu. Bagi mereka, bayangan itulah realitas. Bagaimana jika khalayak kebanyakan terus saja ‘dipaksa’ melihat bayangan soal ‘tinggal landas’? Atau tahun 2045 adalah masa keemasan, gilang-gemilang! Dengan terus saja ‘dirantai’ dengan ketakutan akan ini dan itu? Karena sihir-nya begitu kuatnya maka ‘realitas lain’ dimana ada yang sedang ‘semau-maunya’ itu seakan lolos saja dari perhatian. ‘Realitas lain’ perampokan republik itu terus saja berjalan dengan mulus-mulusnya. Maka, ups … ternyata laku semau-maunya itu berjalan ‘tanpa lawan’!

Syahdan, dalam satu kesempatan satu dari sekian yang terantai dalam gua itu berhasil melepaskan diri dari rantai, dan menengok ke belakang. Maka segeralah ia sadar bahwa bayang-bayang yang ada di tembok itu hanyalah bayangan dari aktifitas di belakangnya, antara dia dan api unggun. Dan ia sadar bahwa itulah realitas yang sebenarnya. Ia kemudian memberitahukan hal ini kepada teman-temannya yang masih terantai dan hanya bisa melihat ke depan. Ternyata tidak mudah meyakinkan teman-temannya yang masih terantai itu, tidak ada yang percaya. Maka ia kemudian berusaha dengan susah payah naik untuk keluar gua. Sampai di luar gua, segera saja ia ‘disergap’ oleh sinar matahari yang menyilaukan. Realitas lain di luar gua ia temukan selain realitas api unggun dalam gua. Ketika ia dengan susah payah ‘melawan’ sakit-matanya karena silau akan matahari, tiba-tiba ada saja yang meng-olok-olok, SJW … SJW …, misalnya. Atau kalau jaman now, bisa dari akun-akun ‘troll’ itu, atau gempuran dari buzzerRp-buzzerRp. Tidak tahan maka segeralah ia masuk gua lagi. Beberapa setelah ia yang berhasil lolos dari rantai, dan sampai berhasil keluar gua, akhirnya kembali lagi masuk gua. Kembali masuk gua, dan laku ‘semau-maunya’ itupun semakin yakin ia tanpa lawan lagi: diktator!

Bagaimana dengan calon-calon presiden yang beredar sekarang ini? Siapa yang berhasil ‘keluar gua’? Siapa yang justru demen-nya bermain-main bayangan-bayangan? Bayangan anak-anak kebayi-bayian diusung kemana-mana. Dan macam-macam lagi. Dari ketiga calon presiden, dari apa yang terungkap nampaknya Anies B.-lah yang berhasil keluar gua dan berhasil melawan sakitnya saat menghadapi silau-nya matahari –si sumber pengetahuan, dan tidak kemudian mundur masuk gua lagi lantaran di olok-olok terus. Tetapi berhasilkan Anies B. menyadarkan orang-orang yang masih dirantai kakinya dan terus saja asyik dengan bayangan-bayangan di dinding gua itu? Tidak mudah, sekali lagi tidak mudah, sebab sering itu perlu pengalaman langsung akan hal tersebut. Maka jika terpilih dan kemudian misalnya, contract farming itu benar-benar dijalankan sesuai dengan apa yang direncanakan, itulah revolusi yang sebenarnya untuk hari-hari ini. Revolusi ‘merangkak’ menggulingkan ‘sang-diktator’. Maka, tetaplah bertaruh pada Anies B. Tidak yang lainnya. Amiiiin. *** (04-12-2023)