1260. Saat Pemimpin Kurang Latihan

13-10-2023

Apakah pemimpin itu dilahirkan? Lahir sebagai pemimpin? Ataukah ia ‘dibentuk’? ‘Teori’ bahwa pemimpin itu dilahirkan semakin ditinggalkan, dan semakin diyakini pula bahwa pemimpin itu perlu perjalanan panjang dalam proses pembentukannya. Potensi bisa bermacam dan berbeda-beda, tetapi potensi untuk menjadi ‘fakta faktual’ mestinya akan mengambil jalan tidak gampang-gampang saja. Menjadi seorang pemimpin tidak hanya ia adalah juga si-minoritas kreatif, yang menurut Toynbee akan terlibat intens dalam ‘tantangan dan respon’, tetapi ia juga perlu, katakanlah: ‘latihan rohani’, paling tidak bagaimana ia menjalani latihan keras dalam ‘mengelola’ hasrat. Jika memakai istilah Albert Camus, ketika ‘kejahatan hasrat’ bergejolak, bisa-bisa ia akan mencari ‘dukungan’ dari ‘kejahatan logika’. Maka ujung-ujungnya adalah keretakan ‘software’ hidup bersama. Yang luka dan kesakitannya tidak hanya begitu dalamnya, tetapi juga bisa berlangsung lama. Tidak hanya ‘kebiasaan buruk’ terus berkembang menjadi habit, tetapi juga soal ‘rasa-merasa’ hidup bersamapun akan bergeser lebih ke arah gelapnya peradaban. Dalam komunitas dengan power distance tinggi, ‘revolusi mental’ pada peristiwa pemilihan kemudian juga berarti tidak memilih orang-orang yang mempunyai potensi besar akan merusak mental hidup bersama. Atau yang dekat-dekat dengan yang sudah terbukti justru merusak mentalitas hidup bersama. Tentu soal tawaran program sangat penting dalam pemilihan, termasuk juga bagaimana itu akan dicapai. Juga ‘ideologi’ yang diusungnya. Tetapi bertahun terakhir dua hal terakhir ini seakan sudah ‘dibunuh’ dengan brutal-nya. Asal mangap asal njeplak, bohong sudah tak tahu batas, ideologi-pun dikangkangi secara brutal, juga: korupsi, kolusi, nepotisme sudah merebak begitu dalamnya. Maka dalam situasi seperti itu, dan terlebih dalam bayang-bayang lekat indeks power-distance yang tinggi, dari mulut siapa tawaran program itu keluar menjadi sangatlah penting.

Bertahun terakhir sebenarnya, sadar atau tidak, ‘brutalisme’ menelusup semakin merebak dalam sendi-sendi hidup berbangsa-bernegara. Baik dalam konteks ‘soft-power’ maupun ‘hard-power’. Brutal adalah serapan dari bahasa asing, salah satu artinya terkait dengan the lower animals, non-human. Mengapa seseorang sampai berbuat ke-brutal-an? Bisa juga karena yang dihadapi dipandang sebagai the lower animals, non-human. Itulah yang terjadi ketika Nazi-isme merasa sebagai ras yang lebih unggul, diam-diam menelusup pandangan: di luar kelompoknya sebagai the lower animals, non-human. Dan seterusnya sehingga merebaklah seperti dikatakan Hannah Arendt sebagai banality of evil. Yang menarik dari kata ‘brutal’ ini, dari data penggunaan kata ‘brutal’ dalam buku-buku berbahasa Inggris ternyata mengalami peningkatan signifikan sejak tahun 1980.[1] Tentu data ini masih perlu dilihat ulang, tetapi berdasarkan hal tersebut kita bisa mengajukan pertanyaan, apakah ini ada kaitannya dengan paradigma neoliberalisme yang diusung oleh Thatcher dan Reagen di tahun 1979-1980-an itu? Modal big business yang ikut numpang-lekat dengan narasi globalisasi itu? Dan kemudian kemana-mana ‘kerjaan’-nya menggedor-gedor pintu: “politik pintu terbuka”? Dan kadang meninggalkan jejak-jejak ke-brutal-annya.

Maka ketika seorang figure publik ngibul sudah tak tahu batas, bohong sudah tak tahu batas, tak tahu malu lagi, itu sebenarnya sudah bukan lagi soal kondisi patologis, -atau politik ya gitu itu, tidaklah, tetapi ini juga sudah sebagai ke-brutal-an, seakan ia sudah menghayati bahwa di luar dirinya itu sebagai the lower animals, non-human, dan dengan itu kemudian ia bertingkah semau-maunya. Tanpa beban. Jika orang-orang jenis ini tidak dihentikan di 2024 nanti, atau sebelumnya, maka peringatan Cak Nun hampir delapan tahun lalu bisa-bisa jadi kenyataan, kita akan menjadi ‘jongos total’.[2] Bahkan the lower animals, non-human. *** (13-10-2023)

[1] https://books.google.com/ngrams/graph?content=brutal&year_start=1800&year_end=2019&corpus=en-2019&smoothing=3

[2] https://www.pergerakankebangsaan.com/002-Cak-Nun-dan-Elysium/

1261. Sabar ... Sabar ... Sabar ...!!

15-10-2023

Totok teko kèri dhéwé, mlebu nang cakruk-é Nyah Ndut, langsung waé thingak-thinguk. Likwan: “Nopo kok thingak-thinguk koyo kethèk ketulup Tok?!” Totok ora njawab pitakonané Likwan, terus waé thingak-thinguk ora rampung-rampung. Cuk Bowo ora sabar, ditabok alon Totok nang gegeré: “Nggolèki sopo…?”

“Nyah Ndut Cuk. Wis mulih Cuk?”

“Seko ngendi?”

“Balé Deso Cuk …”

“Pertemuan ibu-ibu sing dibarengké karo relawané Lurahé Mukidi?”

“Hè’èh Cuk …”

“Ora budhal Tok,” Kang Yos kasih penjelasan.

“Nyah Ndut ora budhal?!”

“Oooo-raaa …,” Cak Babo mbalèni karo wegah-males.

“Lha saiki Nyah Ndut nang ngendi?” Mas Amir karo aras-arasen nunjuk nang mburi cakruk. Ujug-ujug waé kabèh podho krungu Nyah Ndut bengok-bengok: “Sabar … sabar … sabar …” Totok langsung waé omong nang Kang Yos: “Kang … Nyah Ndut kuwi mesti teko nang Balé Déso … mungkin ora tekan rampung …. terus mulih dhisik. Ning mesti budhal nang Balé Déso …”

“Lho ngertiné seko ngendi Tok?” Kang Yos penasaran, karo mangkel sithik kok ora dipercoyo.

“Lha kuwi omong: sabar … sabar ... sabar …”

Opo hubungané?!” Koh Bos mèlu-mèlu rodo mangkel.

Mau Lurahé Mukidi omong nang relawané kon sabar … sabar … sabar dhisik Koh ...”

Koh Bos karo aras-arasen: “Tilik-i dhéwé nang mburi kono …”

Totok gagé waé terus ngadeg lan mlaku nang mburi cakruk. Sedhélok waé terus balik kanan, lungguh manèh nang cakruk. Nang Koh Bos: “Koh … udud-é … ketinggalan nang omah …”

“Biasa Tok ….,” Cuk Bowo glécénan. Totok pecingas-pecingis waé, terus nampani rokok sing diulungké karo Koh Bos. “Nuwun Koh …”

Koh Bos: “Santai waé Tok …” Lanjut: “Terus Nyah Ndut mau gèk opo Tok?”

“Makani pitik Koh …..”

Lha kok ndadak omong: sabar … sabar … sabar …?”

Kuwi Koh … Jagoné sing blirik-blirik kuwi …” Jagoné Nyah Ndut pancèn mung siji, dijenengi karo Nyah Ndut: Kang Pojo. Pancèn jago sing paling njelèhi tenan kuwi. Tibo wektuné mangan, mesti baris nomor siji, ngarep dhéwé, ora sabar-an kaé cuk. Malah kadang liyané karepé diklabruki waé. Wis koyo ya’-ya’-o kaé. Kluruké waé sing banter –pethunthang-pethunthung koyo sing paling jago-jago-o dhéwé, ning tibo ono jago liyo nyedhak langsung mlebu cakruk, ndekem nang cedhak sikilé Nyah Ndut. Gombal tenan.

“Kang Pojo memang ngono Tok …”

“Ngono yo Lik …”

“Hè’èh Tok ….”

“Cluthak Lik …”

“Hè’èh Cuk …”

“Ora jelas …”

“Ngono yo Kang …”

“Ya’é …” *** (15-10-2023)

1262. Industri Tepuk Tangan

17-10-2023

It is not truth that rules the world but illusions,” demikian pernah dikatakan oleh Kierkegaard (1813-1855). Tentu Karl Marx yang lahir lima tahun setelah Kierkegaard akan tidak serta merta setuju. Tetapi jika benar bahwa tipu muslihat itu adalah salah satu senjata paling kuno –bahkan di dunia binatang sekalipun, maka ungkapan Kierkegaard di atas tidaklah salah-salah amat. Asal kata illusions sendiri akan menyinggung kata ludere, yang artinya: bermain. Menurut Huizinga (1872-1945), manusia adalah juga si-homo ludens.

Harapan, ilusi, sering bedanya tipis-tipis saja. Jaman old, soal tinggal-landas misalnya, apakah itu juga sebuah ilusi? Ilusi yang bahkan ikut diciptakan oleh buku-buku bergengsi di jamannya. Yang di jaman now mungkin akan dibahasakan dengan besok di tahun 2045 kita akan bla ... bla … bla. Jika kita bicara soal ‘rejim campuran’ seperti digambarkan oleh Polybius atau juga Aristoteles, atau bahkan Amerika Serikat yang dikatakan sebagai ‘negara demokrasi’ itu katakanlah: ada presiden (si-mono) kemudian Senat (the few, aristokrasi) dan House of Representatives (demokrasi). Adanya Supreme Court memastikan pemisahan dan pemilihan langsung berjalan dengan baik. Di jaman old presiden kemudian seakan sebagai si-mono dalam penghayatan monarki-nya, dari kaum teknokrat kemudian lebih bergeser pada jalur A, B, dan G dalam rekrutmen para aristokratnya, dan demokrasi lebih sebagai ‘pengendali yang banyak’ dan salah-satu rutenya adalah ‘jalur ilusi’. Bahkan tidak hanya di ranah demokrasi ‘jalur ilusi’ melekat tetapi sebenarnya juga di ranah ‘monarki’-nya. Maka nampak sebagai ‘penyeimbangnya’ adalah si-aristo, si-terpilih, terlebih ketika ia adalah si-teknokrat, atau sekitar-sekitarnya. Dengan lebih akrab dalam dinamika sains, ia bisa diharapkan mampu menjaga jarak dengan bermacam ilusi yang potensi besarnya ada di ranah demokrasi dan monarki. Bayangkan jika si-aristo itu disesaki oleh yang jauh dari sains. Atau si-teknokrat tapi kakinya disandera oleh bermacam kasus.

Apa yang mau disampaikan di sini adalah ketika kita bicara untuk memajukan demokrasi, maka bisa-bisa kita sedang berhadapan dengan yang sedang ber-imajinasi soal ‘rejim campuran’ bahkan imajinasi versi ‘busuk’-nya. ‘Rejim campuran’ yang diyakini akan memberikan ‘stabilitas’-nya, paling tidak selama 30 tahun ke depan. ‘Rejim campuran’ versi KW bahkan hanya jika dilihat dari sepak-terjang Supreme Court-nya yang seakan sudah berubah ‘fungsi dan kewenangannya’ karena terlalu banyak kaum ‘rascal[1] di dalamnya. Maka bukan patriotisme dalam demokrasi yang menjadi titik berangkatnya, tetapi ‘loyalitas’ pada si-mono-lah titik berangkatnya. Yang justru ini akan semakin mempertebal ‘jebakan ilusi’ pada si-mono. Pro-mono yang tidak bubar-bubar juga setelah pemilihan dan terus-menerus menebar puja-pujinya akan menjadi pupuk jitu dalam penggelembungan ilusi (si-mono). Atau berkembang-pesatnya ‘industri tepuk-tangan’ itu. Bagi Kierkegaard, An illusion can never be destroyed directly, and only by indirect means can it be radically removed... That is, one must approach from behind the person who is under an illusion.” Bermacam kritik secara langsung soal dinasti misalnya justru akan semakin mendorong ‘respon gila’ soal (ilusi) dinasti. Tetapi masalahnya bahkan dengan satire-pun juga sudah tidak mempan. Orang-orang di belakang si-mono-pun juga sudah ikut-ikutan tenggelam dalam ilusi. Repot memang ketika berhadapan dengan orang tak tahu diri, tak tahu malu, tak tahu batas lagi. Karena ketika ada yang melakukan pendekatan ‘dari belakang’ dan mempersoalkan ilusi-nya, one must approach from behind the person who is under an illusion, ia akan segera loncat mencari ‘dukungan’ yang lainnya. Bahkan jika itu harus menggadaikan-menjual republik sekalipun. Itulah yang terjadi ketika ranah negara terlalu banyak kaum ‘rascal’-nya. Bahkan sudah tidak ada lagi patriotisme sedikitpun. *** (17-10-2023)

[1] A pure democracy may possibly do, when patriotism is the ruling passion; but when the State abounds with rascals, as is the case with too many at this day, you must suppress a little of that popular spirit. (Surat Edward Rutledge ke John Jay 24 November 1776), https://digital.lib.niu.edu/islandora/object/niu-amarch%3A90358

1263. Siapa Paling Merusak Republik?

18-10-2023

Siapa paling merusak republik? Si-radikal, si-ekstremis, atau lainnya yang ada di ujung kanan-kiri atas-bawah? Ataukah para mafia pangan, mafia ini-itu? Atau merebaknya pornografi, atau judi on-line? Ataukah kaum oligark? Kaum koruptor? Jangan-jangan bukan itu semua, meski memang merusak tetapi tetap bukan yang paling merusak? Jika Mangunwijaya benar bahwa kualitas suatu bangsa akan ditentukan langsung oleh kemampuan dan efektivitas dalam mengelola kuasa, maka kuasa di ranah apa yang mempunyai kemungkinan penentu itu? Nampaknya yang dimaksud Mangun adalah kuasa di ranah negara. Dan siapa pemegang ‘kapital tertinggi’ kuasa di ranah negara? Tidak lain adalah yang sedang mempunyai kesempatan mengelola negara. Maka bisa dikatakan pula bahwa yang mempunyai potensi sebagai yang paling merusak republik, ya katakanlah: yang sedang berkuasa. Tidak yang lain-lainnya.

Life can only be understood backwards; but it must be lived forwards,” demikian dikatakan Kierkegaard dalam terjemahannya bahasa Inggris. Dua hal yang mestinya ada dalam diri yang sedang berkuasa. Yang sedang terpilih diantara sekian juta manusia, betul-betul pilihan untuk dalam rentang waktu mengelola negara. Terlalu banyak yang dipertaruhkan jika penghayatan akan masa lalu perjalanan dari yang sedang dipimpinnya itu dilupakan atas nama ‘masa depan’. Pelajaran berharga bertahun terakhir salah satunya adalah soal ‘gagal paham’ terhadap perjalanan panjang hidup bersama yang sudah ditapak. Memang hal pertama yang mesti dilakukan seorang pemimpin adalah ‘melihat ke depan’ –to govern is to foresee, tetapi itu tetaplah mengandaikan bahwa ia sudah ‘selesai’ terkait dengan penghayatan akan segala dinamika perjalanan bangsa. Jika ternyata belum ‘selesai’ bahkan ‘gagal paham’ terhadap katakanlah: sejarah, bertahun terakhir adalah contoh atau bahan pembelajaran bersama yang sungguh sangat berharga.

Mengapa bahkan dalam ‘rejim campuran’-pun dikembangkan soal checks and balances, dan juga pemisahan kuasa? Tidak lain karena kuasa yang sedang dipegang itu mempunyai ‘daya rusak’ paling tinggi. Kita boleh risau soal radikalisme, soal ekstremisme, soal pornografi, merebaknya kekerasan pada rakyat kebanyakan, soal judi on-line, soal KKN, narkoba, mafia ini mafia itu, dan banyak bermacam lagi. Tetapi itu semua adalah ‘tantangan’, dan bagaimana ‘tantangan’ itu di-respon, disitulah peradaban akan berkembang, atau stagnan, atau bahkan mengalami kemunduran. Dan yang terdepan dalam ranah kuasa negara dalam membangun respon adalah, tidak yang lain-lainnya: yang sedang pegang kausa. Mungkin ungkapan ‘ya ndak tau kok tanya saya’, atau sok kaget, geram, marah, kesal, pada waktu tertentu masih menampakkan ‘khasiat-mujarab’-nya. Lucuuu …, begitu mungkin sebagian akan menghayati. Tetapi ketika semakin lama semakin banyak yang sadar bahwa ini sudah bukan lucu-lucu-an lagi, ke-muak-anlah yang akhirnya muncul. Terlebih melihat yang sedang dipertaruhkan. Muak-muak-muak. *** (18-10-2023)

1264. Coblos Siapa?

19-10-2023

Nang cakruk-é Nyah Ndut, gayeng soal pemilu. Ngko pas coblosan arep nyoblos sopo? Nyah Ndut gayané koyo tukang surpé nakoni siji-siji mulai seko Totok. “Suk nyoblos sopo Tok?”

Totok: “Tergantung sopo sing nyedhaki Nyah …”

“Umpamané, sing nyedhaki isih komplotané Lurahé?!”

“Sebagai penggemar bal-bal-an Nyah?”

“Yo terserah waé Tok …”

“Sing nyedhaki komplotané Lurahé Nyah?”

“Hè’èh Tok …”

“Gampang Nyah …”

“Piyé?”

“Ngadeg siap-siap nglungani waé, karo dijawab: tak coblos nang liyo wektu yo Kang …”

“Ngono yo Tok …”

“Hè’èh Nyah …”

“Kuwi sebagai penggemar bal-bal-an, lha umpamané ….”

“Sebagai manusia Nyah?” Cuk Bowo sok ‘milsafat’ nyelo waé.

“Yo umpamamé kuwi Tok …”

Totok njawab, negeské: “Podho Nyah …, ditinggal lungo waé karo dijawab: tak coblos nang liyo wektu yo Kang …”

Likwan: “Karo pecingas-pecingis Tok?”

“Hè’èh Lik …”

Kang Yos: “Karo cekikikan Tok?”

“Hé … hé …. hé …. hé …. hé ….”

“Ngono yo Tok …”

“Jelas Nyah …” [1]*** (19-10-2023)


[1] Monggo dipirsani: https://twitter.com/i/status/1714500671251354054