1115. Jangan-jangan Bukan KPK?

02-04-2023

Dari bermacam penampakan akhir-akhir ini, kita sah-sah saja mengajukan pertanyaan, jangan-jangan bukan KPK sebagai ‘pusat gravitasi’-nya pemberantasan korupsi? Jika kita merunut ‘rute demokrasi’, bagaimana kita minta pertanggung jawaban terhadap si-terpilih, terkait dengan pemberantasan korupsi misalnya, sedang si-terpilih tidak bisa melakukan intervensi ke dalam tubuh KPK? Maka yang paling masuk akal jika ini soal ‘pertanggung-jawaban’ dari si-terpilih, yaitu dari yang sepenuhnya ada dalam kendali-nya. Dan dari bermacam penampakan akhir-akhir ini, kita bisa menunjuk: reformasi birokrasi. Terlebih ketika dunia pemburu rente, kong-ka-li-kong, pat-gu-li-pas, kapitalisme kroni, dan sejenisnya itu sudah sungguh kronis sifatnya. KPK dengan segala kinerjanya silahkan saja terus bekerja sesuai dengan tanggung jawab dan kewenangannya, tetapi bukan pada itu kita letakkan sukses atau tidaknya si-terpilih dalam soal pemberantasan korupsi, tetapi sekali lagi soal reformasi birokrasi-nya.[1] Tidak yang lain-lainnya. Maka sungguh aneh jika si-terpilih terkait mega-heboh transaksi janggal sampai 349 Triliun rupiah (!) itu, lebih banyak diam-nya. Ada apa dengan si-terpilih? Apa mau lagi teriak-teriak meng-olok-olok soal kebocoran anggaran seperti saat kampanye dulu itu? Bocooor …. bocooor …. bocooor ….., dan kerumunan massa itupun dengan gegap gempita menjawab tak kalah kerasnya olok-olok itu, bocooor …. bocooor …. bocooor …. Tanpa berpikir lagi. *** (02-04-2023)

[1] Lihat juga, https://pergerakankebangsaan.org/tulisan-05,, No. 1096

1116. "Nilai Lebih" Negara

03-04-2023

Christianto Wibisono hampir 40 tahun lalu mengenalkan istilah Indonesia Incorporated, Indonesia Inc. Dibayangkan di dalamnya berkembang sebuah budaya kerja yang terintegrasi dalam ‘gambar besar’-nya sehingga mampu memberikan daya saing, dan tentu masih dalam koridor konstitusi yang berlaku. Jika kita bekerja dalam sebuah korporasi, entah itu manufaktur atau jasa, dan bekerja selama 8 jam per harinya, mungkin saja kita hanya menerima penghasilan ‘selama’ 5 jam saja, yang 3 jam ‘diambil’ oleh pemilik modal. Itulah gambaran kasar dari ‘nilai lebih’ atau surplus value, kita mendapatkan kurang dari ‘nilai’ yang sebenarnya kita produksi. Tentu kita tidak bisa sepenuhnya mengharapkan 100% dikembalikan dalam bentuk upah karena korporasi-pun harus untung dan berkembang pula. Belum lagi jika bermacam resiko semakin membesar. Tetapi berapa yang ‘pantas’? Itulah gunanya buruh berserikat, misalnya. Itupun upah kita masih juga harus disisihkan sebagian untuk membayar pajak penghasilan, disetor pada negara. Apakah itu berarti negara bermain juga dalam ranah ‘nilai lebih’ ini?

Akumulasi primitif atau original lebih melalui rute di atas. Bagaimana dengan accumulation by dispossession seperti disinyalir oleh David Harvey? Jika melihat fitur-fitur accumulation by dispossession yang diperkenalkan oleh David Harvey maka bisa dilihat bahwa akumulasi sudah melibatkan tingkat negara secara intens. Mulai dari privatisasi, ‘manajemen dan manipulasi’ krisis, finansialisasi dan komodifikasi, sampai soal state redistribution. Jika dilihat lebih jauh, bermacam fitur accumulation by dispossession itu telah menerjang republik dengan sungguh telanjangnya. Sudah tanpa sungkan-sungkan lagi, tanpa beban. Lihat misalnya soal state redistribution, banyak kita lihat secara telanjang bagaimana keputusan politik itu lebih banyak berpihak pada ‘si-kaya’. Atau korporasi besar. Atau yang ‘besar-besar’ lainnya. Atau juga dijualnya jalan-jalan tol itu, atau bahkan bandara, pelabuhan? Bukankah itu adalah langkah privatisasi? Belum BUMN-BUMN yang ‘dibuat’ bangkrut itu. Finansialisasi, bukankah soal transaksi janggal itu juga di ranah finansialisasi? Belum lagi lainnya yang melibatkan dana pensiun, dan juga dana buruh itu. “Manajemen dan manipulasi” krisis? Bukankah kita dengan mudah mendapatkan bukti-buktinya? Masih segar, atau yang sudah agak lama, soal Bank Century dulu itu. Atau BLBI. Belum lagi soal ‘kutukan sumber daya’ itu. ‘Nilai lebih’ negara karena adanya bermacam sumber daya alam.

Apa-apa yang dibayangkan Christianto Wibisono justru terjadi kebalikannya. Carut-marut di banyak tempat, dan dengan itu bukannya soal berdaya-saing yang dicapai, tetapi lahan subur untuk laku-laku ‘perampasan’. Bayangkan Indonesia Inc. akan bicara soal kedaulatan pangan misalnya. Maka jika terjadi seperti dibayangkan oleh Christianto Wibisono, akan ada langgam kerja keras dan koordinasi yang mak-nyus di banyak lini-nya. Dan itu jelas akan banyak berhadapan yang selama ini menikmati secara ugal-ugalan ‘nilai lebih’ yang dihasilkan ranah pangan itu. Maka sekali lagi, what is to be done? *** (03-04-2023)

1117. Brutalisme (2)

04-04-2023

Apa salah satu ‘isme’ yang bisa-bisa berkembang dalam state of nature-nya Hobbes? Nampaknya ‘brutalisme’[1] bisa masuk dalam salah satunya. Tentu dalam politik banyak taktik dan strateginya, tetapi kemajuan peradaban manusia semakin tidak bisa menerima lagi ‘brutalisme’ membayang lekat dalam dinamikanya. Bahkan juga dialektikanya. Pembedaan lawan-kawan jika kita memakai istilah Carl Schmitt soal ‘yang politikal’ itupun semakin menjauh dari ‘brutalisme’ dalam penghayatan akan politik. Brutalisme dalam politik memang semestinyalah mendapat perhatian serius, bayangkan jika sudah menjadi banal. Jaman Hitler, brutalisme itu kemudian menjadi apa yang disebut Hannah Arendt sebagai banality of evil. Brutalisme selalu akan mendekat pada evil. Animalitas akan semakin membesar. Dari akar katanya saja bisa dirunut bahwa brutal yang merupakan serapan dari bahasa asing ini akan menyinggung pengertian “the lower animals[2] juga. Dengan kemajuan teknologi komunikasi seperti sekarang ini, sensitifitas terhadap brutalisme tidak hanya soal nyawa dan darah mengalir. Begitu cepat tindak kekerasan hadir dekat di depan mata melalui sosial media, misalnya. Setiap saat. Tidak hanya kekerasan berdarah-darah, tetapi juga ‘kekerasan verbal’. Apa yang dialami Kwik Kian Gie beberapa waktu lalu melalui sosial media setelah mengeluarkan kritik adalah contoh telanjangnya. Brutal, bahkan terhadap sekelas Kwik Kian Gie juga. Brutal, tanpa sungkan, tanpa beban. Atau juga brutalisme dalam ranah ‘sain-akademik’, misal kebrutalan polling-polling melalui tangan-tangan pollsterRp-pollsterRp itu. Brutal, sungguh brutal, menggambarkan orang-orang di belakangnya sungguh sudah masuk golongan “the lower animals”. Ngakunya saintis, tetapi animalitas-nyalah yang lebih berkembang. Atau yang sudah keranjingan ngibul itu, rasa-rasanya ngibul-nya sudah terasa brutal. Omong A dalam waktu singkat melalui jejak digital sudah bisa diajukan bukti-bukti bahwa kelakuannya lebih pada non-A. Begitu mudah, begitu cepat dibuktikan ngibul-nya. Sekali-dua-tiga kali masihlah wajar ngibul dalam politik, tetapi berulang dan berulang dan tanpa beban sama sekali? Brutal! Juga soal ‘begal partai’ itu. Brutal! Dan jangan-jangan di belakang ‘begal partai’ itu adalah sosok-sosok “the lower animal”? Atau juga brutalisme di ranah hukum, ketika pengadilan justru tanpa beban lagi membanting akal sehat, sekali lagi, secara brutal. Juga di ranah ekonomi, bagaimana kong-ka-li-kong pat-gu-li-pat, pemburuan rente, pencucian uang, dan lain-lain itu sudah juga berlangsung sungguh brutal. Maka jika kita ingin anak-anak kita besar dalam peradaban yang memungkin mereka –anak-anak kita, dapat berkembang secara maksimal sesuai dengan potensi masing-masing, tidak ada pilihan lain selain: lawan! Brutalisme ini harus dilawan sebelum menjadi banal. Demi anak-anak kita. Demi peradaban yang sedang kita bangun bersama. *** (04-04-2023)

[1] https://www.pergerakankebangsaan.com/1021-Brutalisme/

[2] https://www.etymonline.com/word/brutal

1118. Trump dan Penampakannya

06-04-2023

Less than two weeks before Election Day, former President Donald Trump signed an executive order that threatened to return the U.S. to a spoils system in which a large share of the federal government’s workforce could be fired for little or no reason – including a perceived lack of loyalty to the president,”[1] demikian terberitakan di bermacam media, lebih dua tahun lalu. Maka penampakan Trump ditahan karena kasus ‘uang tutup mulut’ yang dibayarkan pada aktris porno itu mungkin bukan isu ‘utama’-nya. Isu utamanya adalah supaya tidak kembali lagi ke jaman ‘barbar’ saat spoils system diterapkan tahun 1829, hampir 200 tahun lalu saat Andrew Jackson –salah satu idola Trump, naik jadi presiden, dan kemudian diputuskan untuk tidak diterapkan lagi sekitar 60 tahun kemudian dengan disahkannya Pendleton Act. Ketika Biden dinyatakan sebagai pemenang mengalahkan Trump, segera setelah resmi jadi Presiden, Biden membatalkan kebijakan ugal-ugalan Trump, “while President Joe Biden quickly reversed the order soon after taking office, the incident shows just how vulnerable the civil service is.[2]

Maka sebenarnya slogan kelompok Trump itu seakan menjadi kontradiksi dalam dirinya sendiri. “Make America Great Again”, tapi pada saat bersamaan lupa bahwa besarnya Amerika itu salah satu faktor pentingnya adalah tidak diberlakukannya spoils system itu. Dengan tidak diberlakukannya spoils system maka banyak klaster-klaster dalam penyelenggaraan negara dapat dikembangkan dengan berdasarkan meritokrasi. Dan itu ternyata membutuhkan jalan panjang. Yang memuncak keberhasilannya di tahun 1950-an, at its peak in the 1950s, the competitive civil service covered almost 90% of federal employees.”[3] Dengan spoils system, meritokrasi dikubur dalam-dalam. Tolok ukur utama supaya dapat mempertahankan atau mendapat pekerjaan di pemerintahan adalah loyalitas terhadap presiden terpilih. Maka kadang spoils system ini dikenal juga sebagai sistem patronase. Sebagai akibat dari diberlakukan spoils system selama hampir 60 tahun sejak Andrew Jackson itu -1829, maka inkompetensi merebak, korupsi-pun menggila. Rasa frustasi dan kemuakan-pun melebar di kalangan warga negara, melihat tingkah-polah para spoilsmen itu. Pecicilan, pethakilan, semau-maunya karena merasa sedang berkuasa. Penampakan kasus Trump akhir-akhir ini memang seakan membenarkan pendapat Manuel Castells bahwa di era Revolusi Informasi ini politik seringnya berkembang sebagai ‘politik skandal’. Tetapi ada baiknya kita tidak berhenti pada skandal-skandal yang sedang heboh itu, siapa tahu di balik itu ada yang lebih besar. Maka tidak heran jika Biden bicara soal ‘the soul of the nation’, selain soal demokrasi adalah juga soal meritokrasi itu. *** (06-04-2023)

[1] https://www.govexec.com/management/2021/01/trump-wasnt-first-president-try-politicize-civil-service-which-remains-risk-returning-jacksons-spoils-system/171751/, Election Day yang dimaksud adalah 3 November 2020, dan dimenangkan Joe Biden.

[2] Ibid

[3] Ibid

1119. Dua Pilihan?

07-04-2023

Pilihan pertama, melalui ‘teori segitiga hasrat’-nya Pierre Bourdieu. Pilihan kedua, melalui pendapat Platon soal ‘persahabatan sejati’. Seseorang (S) akan menghasrati sebuah obyek (O) karena ia meniru model (M) yang juga menghasrati O. Tetapi pada titik tertentu, model (M) -terlebih jika ia ‘model internal’, akan terhayati sebagai ‘rival’-nya. Rivalitas antara S dan M ini akan terus berkembang dan berkembang, dan supaya hidup bersama tidak terus mengalami keretakan parahnya maka diperlukanlah kehadiran ‘kambing hitam’ sehingga tensi rivalitas itu bisa diendapkan. Inilah gambar besar dari teori segitiga hasrat-nya Bourdieu. Atau dalam kata-kata Amy Chua: “Human are tribal. We need to belong to group. … But the tribal instinct is not just an instinct to belong. It is also an instinct to exclude.” (Political Tribes, 2019, hlm 1) “An instinct to exclude” itu bisa-bisa juga menunjuk pada ‘kambing hitam’. Platon berpendapat bahwa ‘persahabatan sejati’ memerlukan kehadiran ‘pihak ketiga’ yang menjadi kepedulian bersama. Tetapi ‘pihak ketiga’ ini mestinya sesuatu yang ‘bernilai luhur’, atau bernilai ‘tinggi’.

Apakah kedua hal di atas adalah merupakan pilihan dalam ‘olah massa’ di ranah ‘olah kuasa’? Atau digabung? Bagaimana jika digabung oleh ‘tangan iblis’ seperti contoh dalam salah satu sejarah gelap kemanusiaan misalnya, oleh Hitler? ‘Pihak ketiga’ adalah ‘bangsa Arya’ yang bla … bla … bla, sedang ‘kambing hitam’-nya ditemukan lewat jalan holocaust itu, dengan ‘model agung’-nya adalah Hitler sendiri. Maka memang sungguh tidak mudah dalam praktek terkait dengan kedua ‘pilihan’ di atas, terlebih jika sudah di ranah kuasa. Lihat misalnya soal dongeng-dongeng bagi anak-anak itu, mengapa menjadi penting? Bagaimana jika dalam dongeng-dongeng itu miskin akan kehormatan, akan kerja keras, dan hal-hal baik lainnya, bagaimana jika besar nanti ia akan berhadapan dengan bermacam ‘model’? Salah satu dosen (STF Driyarkara) yang mengambil S3-nya filsafat China, dan ia kemudian lama di China terkait dengan studinya, bercerita bagaimana dongeng-dongeng anak itu sungguh serius dikembangkan di sana. Apa yang mau dikatakan di sini adalah, kedua ‘pilihan’ di atas harus ‘dihadapi’ dengan sungguh serius, bahkan sangat perlu ditanam ‘kode-kode kultural’ akan hal-hal baik bahkan sejak masih anak-anak. Semua itu menjadi penting karena selalu akan ada potensi jatuh di ‘tangan iblis’. Tentu ini masih jauh dari cukup.

Kaum neolib akan mengajukan ‘pihak ketiga’-nya adalah kepentingan diri, sedang ‘kambing hitam’-nya ditemukan melalui rute ‘ultra-minimal state’ itu. Marx lain lagi. Di Republik ‘harga mati’? *** (07-04-2023)