1095. Dua Penguasa

27-02-2023

Jika mengikuti Marx, maka paling tidak kita bisa membayangkan adanya dua penguasa. Penguasa di ‘bangunan atas’ dan penguasa di ‘basis’. Penguasa di ‘pakta dominasi sekunder’ dan penguasa di ‘pakta dominasi primer’. Kita bisa membayangkan ini karena memang sebenarnya ada kesempatan untuk ‘menunda’. Kemampuan ‘basis’ dalam mempengaruhi bahkan menentukan ‘bangunan atas’ itu kita tunda dulu, kita beri ‘tanda kurung’ dulu sehingga kita tidak terperangkap dalam sikap ‘over-deterministik’. Akankah dengan ‘menunda’ itu menjadi semakin nampak soal mendasar-nya, yaitu soal ‘pembagian kekayaan’ –distribution of wealth? Akankah apa-apa yang ada di ‘bangunan atas’ mampu mempengaruhi ‘pembagian kekayaan’ ataukah semata ditentukan oleh relasi-relasi produksi di ‘basis’? Dari masa lalu kita bisa belajar, yang di ujung ‘kanan dan kiri’ itu sama-sama over-deterministiknya, yang satu mau menghancurkan dan diganti total dengan ‘sama-rata-sama-rasa’, satunya lagi mau melanggengkan dan selalu saja berkotbah soal survival of the fittest dalam ‘pasar swatata’ –self regulating market. Dan dapat kita lihat kedua-duanya mendorong hidup bersama pada kegelapannya. Sama-sama totaliternya.

Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah soal pasar misalnya, akan dapat dijelaskan tanpa adanya manusia? Atau segala yang ada di ‘bangunan atas’ itu, dapatkah dijelaskan tanpa adanya manusia? Maka tidak mengherankan bagian pertama dari Leviathan-nya Hobbes (1651) bicara soal manusia, Of Man. Manusia apa ada-nya, yang kemudian menurut Spinoza, manusia secara esensial adalah soal hasrat. Yang jauh sebelumnya Platon juga sudah menyinggungnya. Pergeseran dari kosmosentris, kemudian teosentris, dan bergeser menjadi antroposentris –di Eropa saat itu, menjadi dimungkinkan setelah manusia apa ada-nya ini dipersoalkan.

Tetapi krisis kemudian menjadi membesar ketika justru manusia apa ada-nya ini semakin dilupakan, diganti dengan ‘manusia-obyektif’ dalam arti lebih ditentukan oleh tekhnologi-serba-terukur yang justru diciptakan manusia. ‘Yang nyata’ itu yang obyektif, dapat dibuktikan secara ilmiah-teknologis. Atau dalam kata-kata van Peursen dalam Strategi Kebudayaan, praktek operasionalisme menjadi mewabah. Contoh di depan mata misalnya, dinamika kongkret sehari-hari yang dijalani-dihayati oleh si-demos dalam rejim demokrasi itu tiba-tiba saja menjadi ‘tidak obyektif’ lagi dikalahkan oleh ‘teknologi-ilmiah’ survei-polling itu. Manusia dalam hidup bersamanya sudah berkembang menjadi ‘masyarakat jaringan’ tetapi kemudian tetap saja diperlakukan secara terus-menerus semata sebagai ‘masyarakat konsumen’ saja.

Pandemi yang dilanjutkan perang Ukraina akibat invasi Rusia selama satu tahun terakhir ini salah satu dampak yang sering muncul di berita adalah inflasi, terlebih inflasi soal pangan. Apa ‘pesan’ di balik ini? Adalah soal ‘kebutuhan dasar’, dan lebih dari itu, itulah sebenarnya fungsi utama politik sebagai salah satu yang ngendon di ‘bangunan atas’: bagaimana ia berusaha memenuhi kebutuhan dasar dari warga negaranya. Dan bahkan soal pemenuhan kebutuhan dasar ini sudah ada dalam ekosisten yang sungguh sudah berubah. ‘Masyarakat jaringan’ seperti diintrodusir oleh Manuel Castells ini sudah semakin terhayati bukan saja jaringan antar manausia saja, tetapi juga terkait-erat dengan tempat manusia hidup, dengan ekosistemnya. Kedaruratan iklim itu semakin menegaskan hal tersebut. Maka fungsi utama politik-pun sebenarnya semakin berat. Input aktor-aktor politik-pun sebenarnya juga semakin penting untuk diperhatikan. Calon-calon yang sudah masuk orbit capres-cawapres tetapi lebih asyik-masyuk menapak jalan ‘fake-famous’, sebaiknya pagi-pagi sudah disingkirkan lebih dahulu. Bikin perut mual saja. Memuakkan. “Viral-isme” sebagaimana kritik Feurbach soal kristiani atau agama pada umumnya itu seakan menggaung kencang lagi. Dan saran Marx adalah kembalilah perhatian lebih pada soal hubungan-hubungan relasi kekuatan produksi yang ada di basis. Tetapi inipun akan sangat terkait dengan strategi-dan-taktik-nya.

Sejarah menunjukkan salah strategi, salah taktik, bisa-bisa terlalu mahal harganya. Dua penguasa dalam judul adalah ‘penguasa seolah-olah’. Tidak salah-salah amat jika Karl Popper ‘memecah” dua ‘dunia’ Karl Marx menjadi tiga ‘dunia’. Dunia pertama adalah dunia fisik, enerji, juga termasuk dinamika-relasi-relasi, dunia kedua adalah dunia persepsi, katakanlah dunia subyektif, yang bermacam persepsi, subyektifitas itu kemudian dilempar ke dunia ketiga. Dan ada yang merasa menjadi ‘penguasa’ dunia ketiga, dengan bermacam tangan-antek-nya di dunia kedua. Seolah bisa begitu saja meloloskan diri dari ‘terkaman’ dunia pertama, relasi-relasi kekuatan produksi. Popper tidak salah-salah amat karena dalam praktek, ‘penguasa seolah-olah’ yang merasa berkuasa di dunia ketiga itu memang bisa begitu menyihirnya. Mengapa bisa sedemikian menyihirnya? Tentu ‘tehnik propaganda’ tidak boleh dilupakan, tetapi kita sebagai manusia memang seperti kata Machiavelli, mudah atau bahkan senang ditipu. Karena adanya ‘kesadaran temaram’, twilight state menurut Hermann Broch. Jadi, what is to be done? *** (27-02-2023)

1096. Demokrasi dan Birokrasi

28-02-2023

Demokrasi: demos-kratos, birokrasi: bureau-kratos, sama-sama punya akhiran kratos, kekuasaan, power. Dan memang sebaiknya sekali-waktu antara demokrasi dan birokrasi dibicarakan bersama-sama. Bukan karena sama-sama berakhiran ‘kratos’, tetapi paling tidak jika kita ingat pendapat Alvin Toffler dalam Powershift (1990) terkait birokrasi dan demokrasi ini. Toffler menulis, “No matter how many parties run against one another in elections, and no matter who gets the most votes, a single party always wins. It is the Invisible Party of bureaucracy.” (Powershift, hlm. 257) Tidak percaya akan kekuatan birokrasi? Lihat misalnya jalur A, B, dan G di jaman old itu, ia merupakan salah satu pilarnya! Atau anggota KPU, KPUD itu jika tidak ‘kuat otak dan iman’-nya, bisa-bisa akan ‘dimakan’ oleh birokrasi melalui ke-sekjen-annya. Dan bisa dibayangkan itu tidak hanya terjadi di KPU/KPUD saja. Macam-macam rute ‘jebakan’ atau iming-imingnya.

Maka sebenarnya pembatasan masa jabatan presiden yang ditegaskan dalam Reformasi 1998 ada dalam bayang-bayang masalah terkait dengan tiga jalur jaman old di atas. Tidak hanya supaya si-A kembali ke barak, atau si-G menjadi multi-partai dengan kebebasannya, tetapi juga ada keinginan kuat supaya si-B itu di-reformasi juga. Sayangnya, ketiga soal di atas, terkait A-B-G, belumlah bisa dikatakan bahwa cita-cita Reformasi itu sudah diwujudkan, lebih dari 20 tahun kemudian. Bahkan soal pembatasan jabatan presiden-pun diulik-ulik untuk dihempaskan. Asu-lah.

Maka pemilihan dalam demokrasi adalah juga memilih ‘jiwa’. ‘Jiwa’ yang akan ‘menjiwai’ bermacam ‘organ-tubuh’, apparatus-apparatus negara. Dalam bermacam tingkah-laku-polah dari bermacam apparatus negara itulah sebenarnya menggambarkan ‘jiwa’ apa yang sebenarnya sedang ada, ‘jiwa’ dalam hidup kongkretnya. Si-terpilih ketika masuk ranah ‘penggunaan kuasa’, ia hanya akan bisa dihayati melalui perilaku keseluruhan tubuhnya, segala gerak-tubuhnya. Melalui apparatus-apparatus negara-nya.

Terkait yang muncul akhir-akhir ini, sebagian pegawai pajak yang ugal-ugalan, dan sebelumnya sebagian anggota polisi itu, tidak bisa kita ambil sendiri-sendiri dan kemudian kita taruh di bawah mikroskop dan dicari apa penyebabnya. ‘Oknumisasi’ jelas akan sangat menyesatkan. Tentu hal-hal tersebut akan bermanfaat sepertihalnya ketika darah atau biopsy diambil dan diletakkan di bawah mikroskop. Tetapi toh hasil-hasil pemeriksaan itu haruslah ditempatkan dikeseluruhan kondisi tubuh. Penampakan bermacam ugal-ugalannya di berbagai apparatus negara itu pada akhirnya akan menimbulkan pertanyaan, ‘jiwa’ seperti apakah yang mengalir dalam tubuh-tubuh itu? ‘Jiwa’ yang dipilih saat pemilihan itu? Ketika masuk ranah ‘penggunaan-kuasa’, ‘jiwa’ dan ‘tubuh-apparatus-negara’ itu menjadi tak terpisahkan.

Tetapi masalahnya, bicara soal birokrasi misalnya, tidak hanya soal meja, komputer, kertas, atau prosedur-prosedur, tetapi juga terutama soal orang-orangnya. Demikian juga ketika bicara soal apparatus kepolisian, atau ketentaraan. ‘Tubuh-apparatus-negara’ itupun juga mempunyai ‘jiwa’-nya sendiri-sendiri, apapun itu. Makanya apa yang diungkap Alvin Toffler soal birokrasi di atas menjadi mungkin. Atau cerita kudeta militer di beberapa negara, seperti Myanmar atau lainnya. Tetapi apapun itu, ‘jiwa’ terpilih dalam pemilihan pada akhirnya memang harus dihayati melalui perilaku apparatus-apparatus negara yang memang sebenarnya ada dalam kendalinya. (Hanya) melalui perilaku pemerintahannyalah sebenarnya khalayak akan bisa menghayati apa karakter negara yang sedang berkembang, demikian menurut Harold J. Laski hampir seabad lalu.

Hal-hal di atas menjadi penting karena jangan sampai ‘jiwa’ si-terpilih kerjaannya cuman ngibul ini ngibul itu jaga image sok-sok-an gegayaan, dan ketika apparatus di bawahnya berperilaku ugal-ugalan seakan tidak ada hubungannya dengan dirinya. *** (28-02-2023)

1097. Karnaval

02-03-2023

Beberapa waktu lalu Brasil menggelar lagi karnaval tahunannya, setelah tidak diselenggarakan selama 3 tahun berturut-turut karena pandemi. Tentu jika kita mengadakan karnaval, entah pas tujuh-belasan atau lainnya, tidak akan se-‘heboh’ penampilan peserta karnaval Brasil itu. Lain ladang lain belalang, tidak masalah. Intinya, karnaval itu tidak hanya di Brasil, tetapi juga di tempat-tempat lainnya. Sekali waktu dalam hidup bersama itu kadang memang perlu semacam ‘pelepasan’, ‘riang-gembira’ bersama, bahkan jika itu seakan sedikit ‘menembus batas’, tidak masalah juga. Hepi-hepi. Dalam beda waktu tak terlalu lama, nun jauh sana jika diukur dari Brasil, juga ada semacam karnaval, tetapi yang diarak adalah rudal-rudal, tank, dan juga tak ketinggalan tentara dengan senapan sedang baris-berbaris. Menggetarkan. Di Korea Utara sana. Tepuk tangan hadirin-pun nampak seragam, dengan bendera-bendera kecil dikibar-kibarkan. Suasana bikin para tetangga menjadi was-was. Atau lihat, tidak ada momentum apapun bagi kebanyakan khalayak, tiba-tiba saja ada rombongan motor-gede berdentum seakan sedang membuat karnaval-nya sendiri. Macam-macam. Atau kalau kita ingat peristiwa bertahun silam, setelah dimandikan dengan bunga dan air kendi, ada ‘mobil nasional’ yang diarak dan dielu-elukan. Padahal itu ‘mobil nasional’ tipu-tipu. Bertahun kemudian –beberapa waktu lalu, seakan sedang mengulangi ‘perayaan’ itu, dan sudah berubah menjadi ‘mobil nasional’ bertenaga listrik! Plok-plok-plok-plok-plok. Padahal sekali lagi, itu ‘mobil nasional’ tipu-tipu juga. Kucluk-lah. *** (02-03-2023)

1098. Rumah Pasir

04-03-2023

Bahasa adalah rumah manusia, demikian jika mengambil inspirasi dari Heidegger. Melalui bahasa manusia membangun ‘akar’-nya juga, lebih dari sekedar menggunakannya semata sebagai ‘alat’. Melalui bahasa dimana ia setiap hari bersentuhan, bermacam polah-tingkah manusia seakan menjadi mampu hadir di depannya. Perlahan tanpa sadar, melalui bahasa tidak hanya ‘rumah’ terbangun, tetapi juga komplit dengan ‘pondasi’-nya. Bahkan kita bisa membayangkan, bukan pertama-tama hukum di negara hukum yang akan membangun pondasi hidup bersama di atasnya, tetapi adalah ‘kata’, bahasa. Bahasa yang tidak hanya berhenti pada soal ‘baik dan benar’ dalam penggunaannya, tetapi juga yang sangat penting adalah soal ‘makna’ yang digendongnya.

Bagaimana jika bahasa semakin kering dari makna yang digendongnya? ‘Teknologi’ bahasa itu kemudian mengkooptasi bahasa secara sewenang-wenang dan ditempatkan di altar suci-nya, semata sebagai alat? Maka bisa-bisa pondasi ‘rumah’ itu seakan sedang menghadapi ‘kudeta merangkak’-nya, diganti dengan pasir yang menjadikan ‘rumah’ itu mudah tenggelam. Ketika makna-makna menghilang dari bahasa, dan bahasa semata sebagai ‘alat’ saja,, pada titik tertentu bahkan ‘rumah’ itupun akan meredup juga. Itulah hal mendasar yang dipertaruhkan ketika di ruang-ruang publik, ngibul-nya sudah tak tahu batas lagi. Sudah tidak lucu lagi. ‘Akar’ dimana hidup bersama dibangun semakin ‘pendek’ dan mudah ‘tercerabut’, yang nampak dalam perilaku semau-mau-nya. Bahkan hukum-pun kemudian dipermainkan. Dan itu semua pada awalnya adalah ‘kata’. ‘Permainan bahasa’ yang sungguh sudah ‘dipermainkan’. Tanpa beban lagi. *** (04-03-2023)

1099. Menjadi Kaya Itu Mulia

07-03-2023

Menjadi kaya itu mulia, demikian salah satu ‘andalan’ Deng Xiao Ping dalam mengajak rakyat China untuk ‘membuka diri’. Selain tentu, “tidak masalah itu kucing hitam atau putih, asal bisa menangkap tikus”. Pada saat China mulai membuka diri itu, GDP-nya sekitar GDP-nya Italia. Empatpuluh tahun kemudian, China menjadi kekuatan ekonomi nomer dua. Baru-baru ini Konggres Partai Komunis Cina digelar, dan salah satu yang menjadi program utamanya adalah mengurangi kesenjangan kesejahteraan. Jika memakai istilah jaman old, katakanlah pertumbuhan dulu baru pemerataan.

Masalahnya adalah, siapa yang berperan besar dalam ‘orkestra’ pertumbuhan dan pemerataan itu? Pasarkah, atau negara? Atau sebenarnya, jika pasar itu merupakan bagian dari masyarakat sipil, maka siapa berperan besar dalam orkestra pertumbuhan dan pemerataan itu? Masyarakat sipil atau negara? Maka dalam hidup bersama, bisa dikatakan bahwa masyarakat sipil itu pada dasarnya adalah ‘faksi’ sejahtera –dengan salah satu instrumen utamanya: pasar, sedangkan negara adalah ‘faksi’ keadilan.

Pembedaan masyarakat sipil, pasar, dan negara memang akan membantu dalam membayangkan, tetapi bisa juga menyesatkan, seakan dinamika masyarakat sipil itu bisa dipahami lepas dari dinamika pasar, dan bahkan bisa-bisa pasar akan mengkooptasi masyarakat sipil sebagaimana potensi negara dalam mengkooptasi masyarakat sipil. Dalam paradigma neoliberalisme, bahkan semua, termasuk masyarakat sipil dan negara, tidak bisa dijelaskan di luar logika pasar.

Jika dilihat dari bermacam terbitan, tahun-tahun pertama Reformasi ada banyak terbitan yang membahas soal masyarakat sipil ini. Ada yang terasa hilang selama bertahun-tahun sebelumnya, atas nama ‘stabilitas’ itu. Negara sebagai ‘faksi’ keadilan bukanlah imajinasi liar, banyak cerita-hikayat atau angan soal Ratu Adil misalnya, biacara soal ‘faksi’ keadilan ini. Bahkan negara sebagai sebuah kesepakatan-pun tidak akan terbentuk jika meninggalkan soal adil ini. Dan sejarah memberikan pelajaran banyak pada kita bahwa soal ‘adil’ ini bukanlah soal ‘kehendak baik’ semata, tetapi memang seringnya harus ‘dipaksa’. Atau dalam istilah yang sering kita dengan, check and balances.

Maka selain kutipan di awal tulisan, Deng Xiao Ping menggambarkan proses China ‘membuka diri’ itu seperti ‘menyeberangi sungai dengan hati-hati, karena banyak batu licin di dasarnya’. Jika kita lihat bermacam peristiwa di dalam tubuh Partai Komunis China, bukannya check and balances itu tidak terjadi. Nampaknya memang ada ‘faksi’ sejahtera dan keadilan di dalamnya. Paling tidak dari keputusan konggres partai baru-baru ini untuk mengurangi kesenjangan kesejahteraan sedikit banyak mengindikasi untuk mau mendengar desakan pihak lain. Supaya ‘tidak terpelesat’ ketika menginjak ‘batu licin’ kesenjangan sosial. *** (07-03-2023)