1250. 'Lingkaran Setan' Power Distance Tinggi (2)

26-09-2023

Tidak ada revolusi tanpa teori revolusioner, demikian kata Lenin. Maka bisa juga dikatakan, tidak ada ‘pengendalian yang banyak’ tanpa teori ‘pengendali’, dan index tinggi power distance telah menjadi ‘paradigma’ utama untuk melanggengkan ‘status quo’. Telah menjadi keyakinan bahwa dengan itu pula si-mono dan si-aristo bisa tetap ugal-ugalan merampok republik. Bahkan ketika modus komunikasi mass-to-mass via jaringan digital-internet sudah merebak seperti sekarang ini. Keyakinan itu juga akan mengatakan bahwa jika power distance bisa dipertahankan tetap tinggi maka si-mono dan si-aristo akan tetap bisa bertahan. Bahkan jika itu sudah berubah menjadi si-tiran dan si-oligark. Maka memang perlawanan haruslah melalui ‘pendekatan struktural’ –ditujukan terutama untuk merubah stuktur ‘campuran’ yang sungguh tidak-berkeadilan ini, tetapi taktik apa yang mesti dilakukan? Bagi Gramsci, hadirnya intelektual organik bisa menjadi ujung tombak untuk membongkar ‘eksploitasi tingginya index power distance’ oleh ‘pro-status quo’. Yang dalam hal tertentu fungsi ‘ke-organikan’-nya itu dijalankan oleh kader-kader ‘partai pelopor’, mestinya. Sayangnya, bagaimana jika justru partai politik ikut-ikutan ‘menikmati’ tingginya power distance ini?

Tetapi di depan mata tak lama lagi ada pemilihan umum. Dengan melihat bermacam peristiwa bertahun terakhir sangat nampak bahwa eksploitasi tingginya index power distance itu begitu tingginya, bahkan sudah tak-tahu-malu lagi, begitu telanjangnya. Dari joget-joget misalnya, saat perayaan kemerdekaan, para ‘bangsawan’ joget-joget penthalitan, si-mono manthuk-manthuk saja seakan memang beda ‘kelas’. Atau di tempat lain baru-baru ini, kembali para ‘bangsawan’ joget-joget penthalitan, dan ketika si-mono diminta ikut menyanyi justru si-artis malah dimarahi oleh pengawal. Bukan itu ‘skenario’-nya, karena si-mono harus nampak ‘beda kelas’, manthuk-manthuk sambil plendas-plendus jatahnya. Tak jauh ketika ‘drama’ lempar-lempar bingkisan-kaos pada ‘rakyat-jelata’, fungsinya tidak lain adalah ‘memelihara’ tingginya index power distance itu. Dan banyak lagi contoh lainnya yang bisa dikategorikan ranah ‘soft power’. Di ranah ‘hard power’ via penthungan-gas air mata, bahkan sampai penghilangan nyawa bisa dicari sendiri contoh-contohnya. Maka jika ada yang ingin supaya visi rejim sekarang ini dilanjutkan, itu adalah soal status-quo-nya struktur ‘rejim-campuran’[1] yang sungguh (terbukti) tidak berkeadilan. Maka ini bukan soal keberlanjutan vs perubahan, tetapi adalah soal status-quo vs perubahan.

Apakah modus komunikasi mass-to-mass bisa berkontribusi untuk ikut terlibat dalam meretakkan status-quo seperti itu? Meski banyak ‘gangguan’-nya tetaplah ketika modus komunikasi mass-to-mass itu berkembang-merebak seperti sekarang ini ia akan ‘mempercepat’ proses. Jika jaman old bisa bertahan lebih dari 30 tahun dalam modus komunikasi man-to-mass, maka jaman now bahkan sudah bisa dirasakan, paling lama 10 tahun. Ke depan itu sebaiknya menjadi mungkin mempercepat proses jadi 5 tahun-an. Dalam konteks pemilihan sebagai bagian demokrasi, maka salah satu upaya adalah membuat demokrasi bukan lagi sebagai alat untuk ‘mengendalikan yang-banyak’, dan itu bisa dimulai dengan semua saja ikut melawan jika kecurangan dalam bermacam bentuknya mulai menampakkan batang hidungnya. Memang tidak mudah untuk mem-prediksi apakah melalui pemilihan umum itu akan ada perubahan struktur menjadi lebih berkeadilan. Tetapi kita bisa juga ingat apa yang pernah dikatakan Abraham Lincoln: “The best way to predict the future is to create it.” Dan dalam pemilihan ke depan itu bisa dimulai dengan TIDAK MEMILIH siapa saja yang didukung oleh Joko Widodo, presiden saat ini. Jangan pilih yang pro-status quo! *** (26-09-2023)

[1] Mixed constitution, campuran rejim monarki-aristokrasi-demokrasi

1251. Mirror Neurons System

27-09-2023

Dalam sepakbola, ada beberapa ‘klaster’ kompetisi. Tetapi meski begitu ada juga gelar piala yang diperebutkan semua klub tanpa melihat klaster-klasternya. Tetapi yang regular, setiap klaster-nya akan bertanding antar klub se-klaster dalam satu pertandingan home-away-nya. Dan muncullah klasemen untuk menentukan siapa juara di akhir musim. Dengan ada kesempatan bagi yang di klaster bawah untuk naik ke atas, dan yang kepayahan di klaster tinggi selama semusim kompetisi terpaksa ia akan turun kelas juga. Mungkin benar juga Toynbee yang berpendapat bahwa peradaban itu akan melibatkan tantangan dan responnya. Dan diantaranya ada si-minoritas kreatif. Si-minoritas kreatif dalam bola bisa pelatihnya, bisa pemainnya, atau kedua-duanya. Maka setiap klaster akan banyak menampakkan kekuatan masing-masing klub yang diperkirakan di awal musim tidak njomplang sekali kekuatannya satu sama lainnya. Sebab menurut Toynbee, tantangan terlalu besar justru akan menghancurkan peradaban. Liga Premier Inggris lebih menarik karena ‘papan atas’ tidak hanya diisi 2-3 klub saja, demikian juga ‘papan tengah’-nya, atau yang sedang kepayahan mempertahankan diri untuk tetap di liga utama. Tetapi meski begitu klub-klub ‘kecil’ ada kesempatan untuk berhadapan dengan para ‘raksasa’ satu-dua kali dalam kompetisi piala tertentu. Sekali-dua kali bermanfaatlah menghadapi tantangan besar. Tetapi tidak dalam kompetisi regular. Dipaksa masuk ke Liga Utama malah akan hancur-hancuran.

Dari kondisi biologis dan pendapat Rene Girard soal teori segitiga-hasrat kita bisa membayangkan bahwa manusia itu memang lekat dengan kompetisi. Bahkan dalam dunia anak-anak-pun akan kita temui juga hasrat-kompetisi ini. Tetapi bagaimana anak-anak dipersiapkan untuk bisa masuk dunia kompetisi orang dewasa? Inilah pentingnya menguak potensi-potensi unik anak-anak. Sehingga ketika dewasa nanti anak-anak tidak salah masuk ‘liga kompetisi’-nya, ia masuk dalam ‘liga kompetisi’ sesuai dengan potensi-bakat-gairah-nya. Pajak-pajak yang kita bayar pada negara salah satunya untuk itu mengembangkan ‘liga-liga kompetisi’ dimana anak-anak kita akan mengembangkan diri sesuai dengan potensi dirinya. Sesuai dengan bakat-bakat yang ada dalam dirinya.

Kondisi biologis dalam konteks ini ‘ditemukan’ dalam ranah neuroscience: mirror neurons system. Sistem jaringan syaraf yang ada di otak kita, dan bertanggung jawab dalam proses-proses meniru. Jauh sebelum mirror neurons system ini semakin dikenal, Rene Girard menulis soal teori segitiga-hasrat. S akan menghasrati O karena S meniru M (model) yang juga menghasrati O. Tetapi pada titik tertentu, terutama jika M-nya adalah model ‘internal’ akan terjadi ‘rivalitas’ antara S dan M. Menurut Girard, rivalitas itu perlu dikelola sehingga tidak menghancurkan, dan hadirlah si-kambing hitam sebagai ‘solusi’-nya. Tetapi yang mau ditekankan di sini adalah soal meniru dan ‘rivalitas’-nya. Atau bisa dikatakan bahwa secara biologis menurut neuroscience memang ada mekanisme diri untuk meniru, tetapi perjalanan meniru itu pada titik tertentu ternyata berujung pada dorongan kompetisi.

Jauh sebelum Girard dan ilmu soal mirror neurons system berkembang, Hegel memperkenalkan yang disebutnya sebagai dialektika tuan-budak. Pada titik tertentu, tidak hanya si-tuan butuh si-budak, tetapi ada semacam ‘ketergantungan’ si-tuan terhadap si-budak, sehingga seakan kemudian si-budak menjadi si-tuan. Demikian juga sebaliknya. Apakah dalam si-budak seakan si-tuan memperoleh bayangan betapa kuatnya dia? Dan bayangan itu kemudian seakan ‘ditirunya’ lagi? Masalahnya mungkin seperti dikatakan Toynbee dalam ‘hukum’ pertukaran budaya, sinar budaya yang ‘bernilai rendah’ justru lebih mudah ‘menerobos’ dibandingkan yang ‘bernilai tinggi’. Mungkinkah ini yang menyebabkan dialektika tuan-budak itu menjadi mungkin terjadi?

Bayangkan ketika seorang presiden, Trump misalnya, tampak begitu sumringah-nya ketika bertemu dengan ‘relawan-relawan’-nya. Bahkan setelah pemilihan selesai. Bahkan setelah lengser. ‘Relawan-relawan’ di sono katakanlah termasuk gerombolan Proud Boys itu. Ketika petinggi tertinggi negara itu bertemu dengan ‘relawan’ yang minim ideologi, minim pengorganisasian, dan sekitarnya, dengan jabatannya setelah pemilihan itu sebenarnya bisa dikatakan sedang bertemulah ‘si-tuan’ dan ‘si-budak’. Atau ketika ia lempar-lempar bingkisan atau kaos pada rakyat jelata. Atau memberikan sembako saat tidak terjadi bencana, terlebih ditujukan hanya untuk potret sana potret sini. Seakan pula sedang dalam pertemuan antara ‘si-tuan’ dan ‘si-budak’. Jika dilihat dari pendapat Toynbee mengenai berkembangnya peradaban karena adanya tantangan dan respon, tidak ada sama sekali ‘tantangan’ saat bertemu dengan ‘budak-budak’ itu. Tidak akan ada perkembangan peradaban baik dari sisi ‘si-pejabat-tertinggi’ maupun yang sedang dilempari kaos, yang sedang diberikan sembako malam-malam demi konten itu, maupun bagi ‘relawan-relawan’-nya. Bagi ‘si-pejabat’ karena ‘tantangan’ terlalu kecil, bagi yang lainnya karena ‘tantangan’ terlalu besar. Semestinya bagi ‘si-pejabat’, katakanlah Sidang Umum PBB adalah salah satu tantangan yang mesti dihadapi. Tetapi ia lebih memilih ‘tantangan’ seperti dicontohkan di atas itu.

Tidak hanya ‘peradaban-diri’ yang tidak berkembang, tetapi juga seperti nampak jelas pada Trump, ia menjadi semau-maunya. Ia semakin dijauhkan dari ke-berpikiran. Bahkan kadang menjadi anti-sains. Sumringah-nya ketika menghadapi kerumunan yang selalu saja memberikan puja-puji, tepuk-tangan, tanpa sadar ia justru meniru ‘logika’ kerumunan itu yang ‘bernilai rendah’: sinar ketidak-berpikiran. Juga seakan ia menemukan cermin-diri yang seakan power-full itu, dan konstitusi diri kemudian ‘bekerja’, bayangan diri yang ada dalam bermacam kerumunan itu akhirnya juga ditirunya. Akhirnya ia menjadi tidak-terlatih lagi bagaimana hasrat mesti dikelola. Ia menjadi tidak terlatih lagi bagaimana hasrat mestinya tidak menjadi mudah memperbudak rasio. Lihat misalnya di republik akhir-akhir ini, bagaimana logika yang telah terperosok dalam ‘kejahatan logika’ –istilah Albert Camus, itu sebenarnya sedang diperbudak habis-habisan oleh ‘kejahatan hasrat’. Pemimpin jenis ini semestinya dikoreksi habis-habisan. Karena zona-nyaman-nya lebih ada dalam ranah fanatisme saja. Jika dilanjutkan, pasti peradaban hidup bersama ini tidak berkembang, tetapi malah justru akan menjadi rusak-rusakan. Terlebih dalam komunitas dengan index power-distance (Hofstede) masih tinggi. Jadi sebaiknya, pemimpin jenis kayak Trump ini segera saja diakhiri. Atau kumpulkan segala kekuatan untuk tidak melanjutkan-diri. Bisa hancur-hancuran jika terus saja dilanjutkan. Hancur-hancuran karena pemimpin-nya ‘salah asuhan’. *** (27-09-2023)

1252. Para Pembunuh Martabat

28-09-2023

Dalam Universal Declaration of Human Rights, artikel 1, dibuka dengan: “All human beings are born free and equal in dignity and rights.” Katakanlah di dalam manusia yang baru lahir itu telah melekat-membawa nilai-nilai, value, tertentu sebagai manusia. Ketika manusia beranjak dewasa, ia semakin ingin mempunyai hidup yang bermakna, salah satunya ia berusaha menempuh jalan ‘ber-keutamaan’, virtue. Sehingga tidak hanya sebuah makna yang didapat, tetapi tanpa sadar ia membangun martabat-nya sebagai manusia. Pada titik tertentu dalam hidup bersama, hidup yang dengan keras diupayakan untuk bermakna dan bermartabat itu, kadang mau atau tidak mau perlahan akan berubah menjadi ‘status’. ‘Suatu tempat’ dimana yang lain bisa ‘memberikan penghormatan’-nya, respect. ‘Keterperosokan’ pada situasi ‘gila hormat’ nampaknya lebih terkait ketika ‘martabat’ lebih terhayati dalam kaitannya dengan ‘status’ ini. Menghayati martabat lebih dari sisi ‘output’-nya saja. Misal dalam nuansa lebih luas, menghayati keterikatan masyarakat setempat yang sudah berpuluh tahun, beratus tahun hidup di suatu tempat kemudian yang dilihat hanya ‘status kepemilikan’ saja. Bagaimana ber-makna-nya tempat tersebut bagi hidup yang tinggal di situ, bagaimana tempat itu menjadi saksi sebuah kerja keras, menjadi tempat membangun rasa aman, ber-tenggang-rasa dengan sekitar-terdekatnya kemudian dengan enteng-enteng saja dipinggirkan. Bahkan nilai-nilai kemartabatan sebagai manusia itu pun dikangkangi dengan penthungan-gas airmata, ancaman penjara, dan bermacam cerita-cerita bohong yang memojokkan. Atau memutar-balikkan fakta. Komplit, dari ‘ringan tangan’ –mudah memukul, ‘ringan hati’ –menjadi mudah begitu kejam-nya, sampai dengan ‘ringan mulut’: menjadi mudah berbohong, asal njeplak, asal mangap.

Ketika ke-martabatan menjadi semacam ‘status’ memang akan lebih mudah terhayati dibandingkan ketika ber-keutamaan atau ketika ‘menggetarkan’ sebagai nilai-nilai. Kedua terakhir ini lebih membutuhkan ‘imajinasi’ dibanding ketika martabat dalam hal tertentunya telah menjadi sebuah ‘status’. ‘Paradigma-output’ semacam di atas, yaitu penghayatan ke-martabatan manusia lebih dihayati dalam ‘status’-nya memang penuh godaan untuk menjadi rabun terhadap hal ‘input’ dan ‘proses’-nya. Ujung yang akan dituai ketika lebih nyaman dengan ‘jalan-gampang’. Terlebih jika imajinasi hadir dengan segala ‘keterbatasan’-nya. Contoh lain yang kasat mata jika kita bicara soal ke-‘martabatan akademik’, survei-survei itu misalnya. Mengapa kita kadang menuntut untuk dibuka ke publik dari mana biaya penyelenggaraan survei itu. Juga proses-proses persiapan, pendekatan ilmiah yang dipakai, pengumpulan-sebaran data, sampai pada pengolahan datanya. Juga siapa-siapa saja yang bertanggung jawab atas survei itu. Atau lihat, terutama pada pendidikan dasar, sampai tingkat SMP itu, bermacam masalah muncul karena sering terjebak dalam ‘paradigma-output’ sebagai yang dominan.

Kegagapan dalam ‘mengelola’ input –kadang ada yang bilang garbage in garbage out, atau istilah Koentjaraningrat 50 tahun lalu: suka menerabas, dan proses -atau dalam istilah Koentjaraningrat lagi misalnya, tidak menghargai mutu, tidak mau bertanggung jawab yang kokoh, dan lebih dominan bahkan kemuudian memutlakkan output, nampaknya inilah hal penting sehingga lahirlah para ‘pembunuh martabat’ itu. Yang lebih muncul kemudian adalah: gila hormat. Bahkan di tengah-tengah ketika kehormatan sebenarnya sudah begitu menipisnya di republik, karena sudah kehilangan pijakannya di ‘input’ dan ‘proses’-nya. Keterbatasan ‘imajinasi’ itupun kemudian justru merusak ‘komunitas terbayang’ –imagined communities, yang sedang dikelolanya. Rejim gila hormat seperti ini mau dilanjutkan? *** (28-09-2023)

1253. Visi, Misi, Strategi, dan Goals

30-09-2023

Apakah aneh jika seorang presiden menjelang akhir jabatannya punya keinginan supaya apa yang menjadi visi-nya itu tetap dilanjutkan? Sebelum menjawab masalah ini kita harus hati-hati lebih dahulu. Kita tunda lebih dahulu soal pantas atau tidaknya keinginan itu dan kita lihat lebih dalam lagi soal apa yang dimaksud dengan ‘visi’ itu.

Dalam manajemen kita sering mendengar soal visi, misi, strategi, dan goal. Yang semua memang serapan dari bahasa asing. Tidak masalah. Tetapi hal tersebut bisa membantu kita untuk membuat ‘peta’ masalah. Dalam ranah republik apa yang sebenarnya menjadi visi? Dari Pembukaan UUD 1945 sebenarnya kita bisa meraba apa yang menjadi visi dan misi-nya. Visi republik bisa kita raba dalam alinea 1-3 Pembukaan UUD 1945. Sedang misi yang mesti dilaksanakan oleh siapa saja yang sedang punya tugas mengelola pemerintah negara Indonesia terutama ada di alinea ke-4, bagian awal. Lalu apa yang menjadi strategi-nya? Termasuk goal yang terukur? Itulah yang ditawarkan masing-masing kontestan dalam pemilihan umum. Dengan masih dalam batas-batas perundangan dengan asal jiwa-semangatnya dari Pembukaan UUD 1945 itu.Termasuk tentu pasal-pasal di Batang Tubuh. Dalam bahasa si-Bung, ‘azas’ itu adalah ‘visi’, sedangkan ‘azas perjuangan’ bisa kita hayati sebagai ‘misi’, dan strategi-taktik tak jauh berbeda dengan strategi dan goal –meski si-Bung kurang memperhatikan soal ‘keterukuran’ dalam goal, misalnya. Dengan segala konsekuensinya.

Bagi yang sedang atau akan mengurus republik semestinyalah ia tidak akan lepas dari visi-misi di atas dalam menyusun strategi dan goal-nya. Baik tersirat maupun tersurat. Maka pilihan ‘kata-kata’ semestinyalah juga diperhitungkan dengan sungguh-sungguh. Karena ‘kata-kata’ itu perlahan akan membangun ‘sacred canopy’ dari hidup bersama. Dengan selalu diingatkan visi hidup bersama yang ada dalam Pembukaan UUD 1945 maka ‘makna’ hidup bersama bisa selalu ditegaskan. Bahkan bisa-bisa khalayak menemukan ‘makna hidup’ dalam visi tersebut. Ketika strategi atau juga goal diupayakan pencapaiannya, misi bisa langsung mempunyai tidak hanya sebagai inspirasi, tetapi juga kekuatan menegurnya.

Bagaimana jika sebenarnya adalah ‘tingkat’ strategi-goal tetapi kemudian dipandang atau dihayati sebagai visi-nya? Maka sebenarnya telah terjadi ‘kudeta’ terhadap ‘sacred canopy’, terhadap ‘langit-langit kognitif’ hidup bersama dalam republik. Mengapa ‘harus’ di-‘kudeta’? Karena sedikit-banyak-nya, apa-apa yang ada dalam ‘sacred canopy’ itu bisa-bisa juga berkemampuan untuk ‘menegur’ dinamika di ‘basis’, dinamika relasi-relasi kekuatan produksi. Yang jika itu ternyata lebih dekat ke nuansa ‘imperialistik’ pada titik tertentu visi hidup bersama yang berangkat dari soal penjajahan dan kemerdekaan itu cepat atau lambat, akan terusik juga. Dan akan memberikan perlawanannya. Jadi ini bukan soal slip of the tongue semata, tetapi memang dengan sadar dipilih kata-kata itu, kata-kata ‘visi’ yang sebenarnya dimaksudkan adalah tingkat ‘strategi-goals’ itu. Pragmatisme yang sebenarnya juga menggendong kepentingan-kepentingan tertentu. Pragmatisme yang telah mengeringkan dengan sewenang-wenang jiwa yang ada dalam Pembukaan UUD 1945. Maka tak mengherankan pula kegusaran akan kedaulatan itu semakin lama semakin menyebar di banyak kalangan. *** (30-09-2023)

1254. Rempang: Prototipe Republik Masa Depan?

10-01-2023

Bayangkan ketika menjelang kemerdekaan, tiba-tiba dari belakang di tengah-tengah rapat persiapan ada orang berseru: “Saatnya Soekarno jadi presiden!” Padahal suasana kebatinan saat itu adalah: “Saatnya merdeka!” Jika ada delman-delman berseliweran saat itu maka jika ada tulisan pakai cat di sampingnya, pasti ditulis bukan: “saatnya Soekarno, atau Hatta, atau Tan Malaka’, tetapi adalah: ‘saatnya Merdeka’! Maka memang teriakan “saatnya Soekarno jadi presiden” itu tidak muncul sama sekali. Atau nama-nama lainnya.

Jika manusia secara esensial adalah ‘story-telling-animal’, menurut Alasdair McIntyre dalam After Virtue, maka story-telling saat itu bukanlah siapa yang akan menjadi presiden nantinya, tetapi adalah: merdeka! Sebuah ‘cerita’ yang terbangun dari bermacam peristiwa ‘kecil-kecil’ bertahun sebelumnya, dan dengan ‘bantuan’ kaum ‘intelektual organik’-nya, perlahan ‘cerita’ tentang kemerdekaan itu menyebar dan seakan menjadi ‘langit-langit suci’ bagi sebagian orang. Terhadap ‘cerita’ itu maka kemudian saya bisa bertanya dalam diri, aku ada dimana? Berperan seperti apa? Dan seterusnya. Maka, terlebih dalam res-publika, mestinya ‘cerita’-nyalah yang maju paling depan untuk ‘memimpin’ gejolak suasana kebatinan hidup bersama. ‘Memimpin’ karena cerita yang berkembang, semestinya, tidak jauh-jauh amat dari yang dirasakan oleh orang kebanyakan. Bukan cerita yang telah masuk dalam lubang ‘camera-obscura’, misalnya. Atau yang sudah di-filter dan dijungkir-balikkan oleh pollsterRp.

Dari bermacam penampakan, dari bermacam sisi, aspek, profil, masalah di Pulau Rempang –juga Tragedi Kunjuruhan atau juga Wadas, Papua, dan banyak lagi, jelas tidak hanya masalah Rempang semata dan tidak hanya soal sekarang saja, tetapi bisa-bisa itu adalah gambaran masa depan republik jika tidak ada perubahan rejim. Rempang adalah ‘nada’ masa depan yang jika tidak diantisipasi maka segala kebrutalan itu bisa-bisa akan menjadi berita berulang di masa depan. Rempang adalah gambaran republik di masa depan, sekali lagi, jika tidak ada perubahan rejim. Republik masa depan yang akan dengan mudahnya di-acak-acak oleh dinamika geopolitik global. Atau juga geo-ekonomi global. Rempang adalah gambaran ketidak-mampuan untuk mengelola apa-apa yang semestinya ada dalam kendali.

Ketika ‘visi’ lebih dibayangi lekat oleh tindakan pragmatis maka itu sebenarnya sedang berdiri di tepi jurang pragmatisme. ‘Visi’ republik oleh para founding fathers adalah lekat dengan soal penjajahan dan kemerdekaan, seperti dinampakkan dalam alinea 1-3 Pembukaan UUD 1945. Dan itu kemudian diterjemahkan dalam ‘misi’ negara Indonesia yang (1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, (2) memajukan kesejahteraan umum, (3) mencerdaskan kehidupan bangsa, dan (4) ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. (Lihat, Pembukaan UUD 1945, alinea 4) Misi inilah yang mestinya diemban oleh pemerintah negara Indonesia.

Dalam banyak hal-nya pragmatisme tidaklah melulu negatif. Karena pada dasarnya sebagian besar hidup kita-pun akan dijalani dalam koridor ‘pragmatis’ ini, suatu pilihan tindakan lebih didasarkan pada pertimbangan praktisnya. Yang dimaksud dengan pragmatisme dalam ‘konotasi negatif’ seperti disebut di atas adalah ketika kemudian memutlakkan ‘hal-hal pragmatis’ yang sebenarnya lebih sebagai ‘tirai asap’ dari kepentingan tertentu. Maka tidak mengherankan sering kemudian diiringi dengan ‘logika situasi mendesak’ yang dikatakannya bahwa itu segeralah diatasi. Hal ini akan menjadi begitu menggodanya ketika soal check and balances, atau katakanlah: oposisi dalam bermacam bentuknya tidak berkembang. Jadi jangan kemudian mengatakan toh Amerika juga maju ketika pragmatisme lebih berkembang di sana. Itu bukanlah ‘cek-kosong’. Contoh nyata imajinasi soal pragmatisme seakan sudah sebagai ‘panacea’ adalah rejim ‘kerja-kerja-kerja’ yang sungguh menampakkan jati-diri siapa sebenarnya misalnya, dalam kasus baru-baru ini: Rempang. Juga sebenarnya di banyak kasus-kasus lainnya. Maka jika tidak mau republik masa depan menjadi hancur-hancuran, ini adalah soal perjuangan menemukan lagi ‘jiwa’ republik, berubah-menggeser lagi ke dalam ‘paradigma-visi’ republik sesuai dengan Pembukaan UUD 1945 seperti sudah disebut di atas. Berubah-menggeser lagi terkait apa-apa yang menjadi misi negara Indonesia seperti ada dalam Pembukaan UUD 1945. Tetapi tidak usahlah kemudian ditabuh genderang untuk ‘kembali ke UUD 1945 yang asli’. Tidak-lah. Mengapa? Karena itu nanti yang diperhatikan dengan segala ‘gairah’ hanyalah soal presiden dipilih oleh MPR. Dan berapa sih jumlah anggota MPR? Dan jika kemudian di rupiahkan? Atau berapa peluru untuk ditaruh di sampingnya? Maka, kembalilah membaca Pembukaan UUD 1945 itu secara perlahan, dan membuka diri terhadap semangat ‘patriotik’ yang sangat mungkin akan muncul. Dan dengan itu kemudian kita membayangkan apa strategi dan goals dalam mewujudkan misi bersama negara Indonesia itu. Kita bisa berdebat soal itu dalam konteks pemilihan umum misalnya. Atau kesempatan lainnya. *** (10-01-2023)