1100. Jaman Bergeser

13-03-2023

Pada jamannya, ‘you can fool all the people some of the time’, dan naiklah sebuah rejim. Tentu akan melibatkan kekuatan uang yang tidak kecil juga. Pada ‘kesempatan’ berikutnya datanglah si-tetapi, ‘but you can not fool all of the people all of the time’, maka kekuatan uang menjadi lebih maju ke depan, dan kekuatan kekerasan-pun ikut-ikutan membesar pula. Pada titik tertentu, ‘permintaan’ akan uang itu semakin tidak masuk akal lagi, sungguh ugal-ugalan: kalau nggak segini ya tidak. Selain juga semakin banyak pihak ikut-ikutan mengacungkan tangannya untuk minta bagian. Rusak-rusakan. Maka, bahkan mungkin saja ada yang membayangkan kubutuhannya bisa mencapai ratusan trilyun! Tidak lagi bicara di angka puluhan trilyun lagi. Sekali lagi, rusak-rusakan. Maka tidak salah-salah amat jika ada yang kemudian membayangkan bahwa situasi seperti itu akan tidak 'berkelanjutan', dan mengapa bukan kekuatan kekerasan saja yang memimpin? Jika itu yang terjadi maka, sekali lagi, rusak-rusakan. Maka bisa dibayangkan pula, rute pergeseran di atas keluaran-nya akan tidak jauh berbeda pula: rejim rusak-rusakan. Maka jamannya memang jaman rusak-rusakan, yang tidak ikut rusak tidak akan kebagian. Asu-lah. *** (13-03-2023)

1101. Saat Hedonis Selfie Dengan Camera Obscura

14-03-2023

Memang tidak mungkinlah selfie dengan camera obscura. Maksudnya adalah seperti metafora-nya Marx. Jangan pamer kemewahan, demikian himbauan dari ‘atas’, padahal apa-apa yang terjadi di ‘basis’ tetaplah berjalan seperti biasanya, business as usual. Kapitalisme kroni, kapitalisme pat-gu-li-pat-kong-ka-li-kong, perburuan rente, ngunthet-korupsi, ngemplang-nggaglak-nguntal, dan sejenisnya. Memang Marx banyak benarnya, tetapi toh yang namanya manusia ia bisa punya banyak cara untuk berkelit. Maka dipasanglah camera obscura itu di depan khalayak, sehingga bukan laku hedon-hedon lagi penampakannya, tetapi bahkan bisa-bisa sudah ‘macak kéré’. Kenapa bisa? Karena kita sudah di era ‘the society of the spectacle’, kata Debord. Dua ’dunia’-nya Karl Marx itu sudah ‘dipecah’ jadi 3 oleh Karl Popper, sehingga aura deterministik dari ‘basis’ seakan bisa di-pause dulu, untuk ditimbang-timbang lagi apa yang mesti dilempar di ‘dunia ke-3‘ popperian itu sehingga ‘keseimbangan’ (palsu) tetap terjaga. *** (14-03-2023)

1102. Dari 'Power Distance' ke Kode-kode Kultural (1)

15-03-2023

Hofstede, ahli psikologi, pada periode 1960-1970-an keliling ke cabang-cabang IBM di seluruh dunia, dan sekaligus mengadakan penelitian. Penelitiannya adalah soal bagaimana persepsi terkait dengan ketidak-merataan distribusi otoritas. Maka kemudian kita mengenal power distance, tinggi dan rendah. Power distance rendah, ketidak-samaan otoritas itu sering masuk dalam situasi ‘panas-dingin’, dipertanyakan. Katakanlah yang berada di bawah tidak mudah-mudah saja mau nurut perintah dari atas. Mereka berani mempertanyakan keputusan otoritas di atasnya. Dalam komunitas dengan power distance tinggi, ketidak-samaan otoritas bisa-bisa dihayati sebagai memang begitu semestinya. Yang di bawah lebih mudah menerima ketidak-samaan otoritas itu. Mana yang lebih baik? Tentu jika boleh memilih kita ingin ada dalam komunitas dengan power distance rendah. Tetapi itu juga bukan berarti komunitas dengan power distance tinggi itu kemudian seperti jatuh dalam segala ‘kutukan’. Tidak-lah.

Rata-rata komunitas di Asia dimasukkan ke dalam komunitas dengan power distance tinggi. Demikian juga Jerman dan Itali. Tetapi kita juga mengenal apa yang sering kita dengar sebagai ‘macan-macan Asia’ –pasca perang Dunia II, atau bahkan sekarang sedang menggeliat, ‘dinosaurus Asia’, China. Sedikit banyak kita bisa belajar dari mereka juga, sama-sama sebagai komunitas dengan power distance tinggi. Power distance tinggi jelas juga tidak lepas dari ‘kutuk’ kediktatoran, tetapi jelas juga tidak hanya itu, ia juga memberikan kesempatan ‘efisiensi dan efektifitas’ juga. Yaitu ketika si-pemegang otoritas tertinggi memang sungguh mak-nyus. Tentu ini bukan semacam ‘cek-kosong’, misal Jepang sebagai salah satu ‘macan Asia’, kekalahan dalam Perang Dunia II justru berhasil diubah sebagai ‘elan vital’ dalam menggapai kemajuan. Korea Selatan ada dalam bayang-bayang kompetisi dengan Jepang, sekaligus terus menerus ada dalam bayang-bayang terkaman Korea Utara. Demikian juga Taiwan. Ada faktor ‘kematian’ yang terus membayang, dan itu pada akhirnya juga mendorong para pemimpinnya untuk tidak jatuh dalam kenikmatan kuasa di tengah komunitas dengan power distance tinggi, yang memang sungguh menggoda. Maka dalam komunitas dengan power distance tinggi, sistem jelas akan mengambil peran sangat penting, tetapi masalah rekrutmen pemimpin, aktor-aktor-nya adalah masalah utamanya. Masalah aktor adalah masalah ‘mutlak’, sistem adalah soal ‘mencukupi’. Mendapatkan pemimpin kelas medioker bisa-bisa sistem akan dipermainkan habis-habisan, dipermainkan secara ugal-ugalan, kucluk-kucluk-an. Ke-tidak-samaan otoritas itu dieksploitasi tanpa habis-habisnya. Tak tahu batas lagi. Tanpa beban lagi. *** (15-03-2023) 

1103. Dari 'Power Distance' ke Kode-kode Kultural (2)

16-03-2023

Clotaire Rapaille adalah seorang psikiater, dan saran untuk meluaskan pasar kopi di Jepang bisa menjadi pelajaran sendiri. Jepang dengan tradisi minum teh selama berabad-abad itu seakan sulit ditembus oleh pasar kopi. Beberapa upaya sebelum saran Clotaire dijalankan mengalami kegagalan. Saran Clotaire itu adalah soal ‘kode-kode kultural’. Bagaimana pasar kopi akan merebak jika ‘kode-kode kultural’ dalam ‘dunia insting’ rakyat Jepang soal rasa kopi begitu tipisnya? Maka saran Clotaire: berikan rasa kopi dalam bermacam jenis makanan, mulai dari biskuit, permen, dan seterusnya. Tujuannya adalah memasukkan dalam ‘dunia insting’ soal rasa kopi. Setelah itu berjalan bertahun, maka dengan cepat merebaklah gerai-gerai kopi seperti Starbuck di banyak kota di Jepang. Rasa kopi yang sudah menelusup di ‘dunia insting’ itu kemudian bertemu dengan segala imajinasi yang ditawarkan oleh Starbuck, misalnya.

Beberapa waktu lalu Presiden Vietnam terberitakan mengundurkan diri sebagai bentuk tanggung jawab atas beberapa skandal korupsi bawahannya. Apapun itu, bahakan jika ada ‘intrik’ di balakangnya, bagi khalayak peristiwa itu akan menjadi bagian dari ketidak-sadaran kolektifnya. Atau kalau memakai bahasa Clotaire di atas, ada ‘kode-kode kultural’ tertentu yang sedang disebar, sadar atau tidak. Kode-kode kultural tentang kehormatan. Dari Bourdieu kita bisa membayangkan bahwa kode-kode kultural itu pada titik tertentu akan mewujud sebagai ‘habitus’. Dan dengannya pula bermacam tindakan akan terpengaruh. Tindakan menurut Bourdieu akan dipengaruhi oleh ‘modal’, ranah, dan habitus. ‘Modal’ tidak selalu merupakan uang, tetapi bahkan seringnya adalah dalam bentuk ‘modal sosial’.

Maka menjadi semakin jelas soal pentingnya peran pemimpin dalam satu komunitas dengan power distance tinggi. Pemimpin yang sudah sungguh keranjingan dalam ngibul, atau tak habis-habisnya berlagak kaget, geram, kesal, marah, padahal semua itu ada dalam kendalinya, ia hanya akan menebar kode-kode kultural ‘jalan gampang’. Kode-kode kultural yang bahkan akan mengubur kehormatan. Kita tentu saja harus bicara soal sistem, tetapi bagaimana jika soal kehormatan sudah melenyap? Bagaimana jika ‘jalan gampang’ itu sudah begitu menyesaki ‘dunia insting’? Nampaknya memang ada yang sedang merusak dengan menebar kode-kode kultural serba mbèlgèdès itu. Jalan politik bertujuan penguasaan itu sudah sungguh sangat mahal ‘biaya’-nya, terutama biaya sosial-nya dan bahkan juga ‘biaya-kedaulatan’[1]-nya. Terlebih lagi ketika insting yang banyak ditebar adalah juga ‘instinct to exclude’, meminjam istilah Amy Chua. *** (16-03-2023)

[1] Lihat misalnya, ‘biaya-kedaulatan’ yang harus dibayar oleh Ukraina akibat invasi Rusia itu.

1104. Golèk Uceng Kélangan Deleg

17-03-2023

Memburu (ikan) uceng (nemacheilus fasciatus) tetapi justru kehilangan (ikan) deleg (channa striata), demikian maksud dari judul. Bermacam ‘uceng’ dan ‘deleg’ dapat kita lihat dalam keseharian. Atau dalam ranah republik, di tengah bermacam ombak menerjang, ‘uceng’ itu bisa-bisa mewujud sebagai IKN, dan bisa-bisa pula justru kita akan kehilangan republik. Atau beberapa ‘calon’ yang digadang-gadang jadi presiden atau wakil presiden, sebagai ‘uceng’-nya. Pethakilan tidak karu-karuan, yang bahkan sudah nampak sebagai ‘cah-edan’ itu, dan sungguh sudah tidak punya malu lagi. Katakanlah dalam konteks tulisan ini: kelas uceng, bukan kelas deleg, apalagi kakap. Atau ‘uceng’ yang sudah enggak tahu batas. Muncul di sana, muncul di sini –habis-habisan pecingas-pecingis menggunakan fasilitas negara, tak punya etika sama sekali. Dan saat asyik ‘memburu’-menggoreng ‘uceng-uceng’ itu, masalah-masalah besar-mendasar justru dilupakan.

Golèk uceng kélangan deleg adalah salah satu penampakan kuat dari menipisnya keutamaan (virtue) prudence. ‘Bola salju’ apa yang potensial menerjang dari menipisnya keutamaan prudence ini? Menipisnya ‘ibu’ dari keutamaan-keutamaan lainnya? Jika kita lihat lebih jauh, bermacam keutamaan itu sebenarnya dekat dengan laku para stoic, orang-orang yang menjalankan ‘ajaran’ Stoa. Mungkin tidak-usahlah menjadi kaum stoic ‘radikal’, tetapi kita coba saja membayangkan apa yang menjadi ‘oposisi’-nya: kaum epicurean, yang dengan suka-cita menapak jalan ‘ajaran’ Epicurus itu, atau dalam bahasa gaul-nya, kaum hedonis. Tujuan hidup adalah untuk menggapai segala kenikmatan. Salahkah Epicurus lebih dari 2000 tahun lalu itu? Ternyata masih bisa diperdebatkan. Tidak serta merta menjadi salah, dan tidak pula serta merta menjadi benar. Tetapi menjadi 100% salah jika ternyata kaum epicurean itu menyesaki ranah kekuasaan. Bermacam catatan sejarah telah membuktikan itu. Kegelapan semakin cepat mendekat ketika kaum epicurean menguasai ranah kuasa.

Berjalan hati-hati saat menyeberangi sungai yang dasarnya banyak batu-batu licinnya,” demikian Deng Xiao Ping mengajak rakyat China ‘membuka diri’, mengakrabkan diri dengan jalan kapitalisme itu. Dan itulah salah satu sikap keutamaan prudence. Kemudian dilanjutkan dengan pemberantasan korupsi yang sungguh serius, artinya, Deng dan penerusnya tahu persis daya rusak kaum epicurean dalam ranah negara. Korupsi adalah ‘jalan gampang’ dalam menumpuk kekayaan, dan itu bisa sangat mampu memprovokasi ‘insting hidup mewah penuh kenikmatan’. Easy come easy go. Terus saja menggelitik ‘insting membeli’ bermacam hal, dan tidak hanya itu, juga ‘insting pamer’-nya. Maka jika ada yang bermimpi menapak ‘jalan China’ untuk menggapai kemajuan-kemakmuran, tetapi tingkah-laku dan dalam membuat kebijakan sungguh menjauh dari keutamaan prudence, ditambah dengan upaya pemberantasan korupsi cuma sampai pada mulut saja, maka semua yang dikatakan soal kemajuan-kemakmuran itu pada dasarnya ngibul saja. Atau sedang ditipu habis-habisan. *** (17-03-2023)