1295. Machiavelli dan Ejakulasi Dini-nya

22-11-2023

Kalau mempunyai kesempatan, raja yang bijaksana akan secara licik membangkitkan orang-orang melawan dirinya sehingga dengan menumpas perlawanan tersebut kedudukan dan pengaruhnya akan semakin kuat,”[1] demikian ditulis Machiavelli dalam Sang Penguasa. Bayangkan ada upaya kecurangan yang dirancang secara besar-besaran, maka untuk bisa berjalan dengan mulus perlulah kadang ‘dikorbankan’ satu bagian dengan segera ditumpaslah kecurangan di bagian itu. Seakan kecurangan sudah hilang dengan satu prototype penumpasannya.[2] Paling tidak ‘persepsi’ tentang kecurangan diharapkan akan berkurang dengan ditunjukkan: ini lho sudah disikat itu yang curang-curang. Padahal yang ‘disikat’ hanyalah bagian kecil saja sebagai ‘prototipe’ penumpasan. Dan jelas juga, sisanya: lanjut terus sesuai rencana! …..… ! (umpatan) *** (22-11-2023)

[1] Niccolo Machiavelli, Sang Penguasa, hlm. 88-89

[2] Lihat juga: https://www.pergerakankebangsaan.com/237-Machiavelli-dan-Ejakulasi-Dini-nya/

1296. Kehormatan Sebagai Pembeda

23-11-2023

Bagi penggemar trilogi The Godfather pasti akrab dengan theme song-nya, demikian juga penggemar Spongebob atau boneka si-Unyil. Atau tiba-tiba saja ingat Roger Deltrey dengan The Who-nya saat theme song serial CSI membuka tayangannya: Baba O’Riley! Atau intro Smoke On the Water dari Deep Purple. Begitu mendengarnya dan ketika sampai nada 2, kedatangan nada 3-nya seakan sudah kita antisipasi. Meski kadang ada hal yang sulit dibedakan antara satu dengan yang lain, tetapi tetaplah ada pembeda yang membuat kita yakin bahwa satu dengan yang lainnya itu memang beda, bahkan jika itu anak kembar sekalipun.

Politik menjadi berbeda dengan yang lain karena memang yang memungkinkan adanya politik itu, ‘yang politikal’ –the political, berbeda dengan yang memungkinkan adanya ekonomi misalnya. Bisakah kita kemudian bertanya, apa yang memungkinkan adanya ‘lembaga’ pemimpin itu? Yang jika itu tidak ada maka sebenarnya kita tidak akan bisa menghayati hadirnya seorang pemimpin. Atau kita di sini bicara soal ‘syarat mutlak’-nya. Atau juga tempat dimana segala predikat ‘ketrampilan khusus’ seorang pemimpin itu –sebagai ‘surface frames’, akan ‘digantungkan’ dalam sebuah ‘deep frames’-nya? Mengapa ini perlu kita perhatikan? Paling tidak untuk menghindari apa yang disebut Gilbert Ryle sebagai ‘kesalahan kategori’. Tetapi lebih dari itu, jika kita bicara soal ‘lembaga’ pemimpin dalam republik, itu adalah soal segala yang bisa dipertaruhkan, terutama republik dengan segala mimpi-mimpinya.

Adam Smith dalam The Theory of Moral Sentiments edisi ke-6 menambahkan satu istilah: ‘sekte agung’, famous sect.[1] Ketika era teosentris bergeser ke antroposentris di abad-abad Pertengahan, maka ‘pendasaran’ akan ‘hidup baik’ mengalami ‘kekosongan’ dan perlahan mulai dibuka-buka lagi tulisan-tulisan dari para filsuf Yunani Kuno, jadilah: renaissance, re-birth. Tak ketinggalan juga Adam Smith dengan membahas beberapa filsafat Yunani Kuno terutama aliran Stoa. Bagi Smith, para pelaku pasar dalam mengejar ‘kepentingan diri’-nya tetaplah perlu adanya keutamaan, virtue, tetapi secukupnya saja. Tetapi nampaknya tidak bagi si-‘sekte agung’, ia perlu keutamaan lebih dari sekedar secukupnya. Nampaknya si-‘sekte agung’ harus punya keutamaan lebih, terutama soal ‘tahu batas’. Mungkin dibayangkan jika si-‘sekte agung’ itu ada di ranah negara, dan ‘tak tahu batas’ maka ia akan ngerécoki pasar, dan pasar akan terganggu sebagai ‘lahan’ masing-masing individu mengejar ‘kepentingan diri’-nya. Bagi Smith, the wealth of nations itu hanyalah ‘akibat sampingan’ saja dari sejahteranya individu-individu. Tetapi fokus tulisan ini adalah soal ‘sekte agung’, soal ‘yang berkeutamaan’ lebih dari sekedar secukupnya itu.

Bagaimana jika Adam Smith hidup di republik seperti sekarang ini, dimana perburuan-rente itu sudah menjadi gila-gilaan? Mungkinkah soal ‘sekte agung’ ini secara terang-benderang akan dilekatkan pada si-pengelola negara? Tetapi mau disebut apapun, kita bisa belajar bersama bahwa memang ‘tidak-tahu-batas’ itu telah begitu merusak tertib-tatanan hidup bersama, bertahun-tahun terakhir. Dua kegagalan, gagal dalam mekanisme ‘hasrat vs hasrat’ –dalam arti check and balances, dan gagal dalam mekanisme ‘kendali diri’: jadilah ‘tak-tahu-batas’ bahkan sudah dengan tanpa beban lagi. Tetapi bagaimana soal ‘tahu batas’ ini akan lebih terhayati?

Mungkin yang dibayangkan oleh Smith dengan merujuk banyak pada stoisme itu adalah soal ‘pengendalian diri’, menjadi paham betul apa yang masih ‘dalam kendali diri’ dan ‘yang tidak’. Atau jika kita kaitkan dengan ‘lembaga’ pemimpin seperti disinggung di atas bisa kita bayangkan dengan meminjam ‘paradigma’ awal bagaimana seorang Jesuit dilatih: “ … semua kepemimpinan berawal dengan kepemimpinan diri.[2] Sebuah ‘paradigma-olah-diri’ dimana soal segala ‘teknis’ kepemimpinan akan digantungkan padanya. Bahkan jika kita bicara soal ilmu pengetahuan sain-pun akan bicara soal ‘batas’ ini. Juga soal hadirnya etika dalam peristiwa face-to-face menurut Levinas. ‘Yang lain’ itu tidak kemudian ‘diserap’ secara sewenang-wenang dalam segala imajinasinya. Soal kehormatan-pun tidak akan lepas dari ‘latihan-tahu-batas’ ini. Bahkan bisa dikatakan, menjadi sosok ‘yang terhormat’ itu adalah yang juga terlatih dalam penghayatan akan batas-batas. Maka tidak mengherankan pula dalam soal ‘lembaga’ pemimpin ini, di banyak komunitas menjadi salah satu pembeda pentingnya. Karena di balik itu ada soal kemampuan dalam menghayati ‘batas-batas’. Pada soal kehormatan-lah bermacam ‘ketrampilan teknis’ kepemimpinan akan digantungkan. Pemimpin tanpa kehormatan hanya akan ‘melukai’ hidup bersama, harmful to society. Terbukti bertahun terakhir. “Negara-dikelola-dengan-tanpa-kehormatan’ seperti ini akan dilanjutkan? *** (23-11-2023)

[1] Adam Smith, The Theory of Moral Sentiments, Cambridge University Press, 2004, hlm. 3

[2] Chris Lowney, Heroic Leadership, Gramedia Pustaka Utama, 2005, hlm. 11

1297. Demokrasi Mosaik

24-11-2023

Ada dua pendapat di bagian akhir abad-20 yang mungkin saja menarik untuk diproblematisir, pertama adalah pendapat Alvin Toffler dalam Power Shift, di mana ia berpendapat di era informasional ini mass democracy akan bergeser pada mosaic democracy. Pendapat lain dari Manuel Castells dalam The Power of Identity yang mengatakan bahwa di era informasional yang serba cepat dan ringkas ini bisa-bisa identitas menjadi sumber makna utamanya.

Tetapi kedua pendapat di atas dilempar belumlah ada yang namanya sosial-media seperti facebook, twitter dan sejenisnya. Coba kita lihat lagi apa yang disebut sebagai Skandal Cambridge Analytica itu, terkait bocornya puluhan juta data pengguna facebook. Dari data-data tersebut melalui algoritma tertentu profil-profil psikologis pengguna dikelompok-kelompokkan, dan dengan itu pula dikirim pesan-pesan (politik-kampanye) yang sudah disesuaikan pada masing-masing kelompok. Hasilnya tidak hanya memperbesar potensi kemenangan calon yang didukung atau referendum seperti Brexit misalnya, tetapi juga perlahan bombardier pesan yang sudah disesuaikan dengan psikologis pengguna itu akan memperbesarkan pula berkembangnya fanatisme. Suatu situasi yang sebenarnya bisa dilihat sebagai ‘percepatan-yang-disengaja’ dari pendapat Castells di atas.

Demokrasi mosaik’ menurut Alvin Toffler di era Revolusi Informasi ini, untuk memenangkan pemilihan misalnya, si-calon akan lebih berkeringat karena harus menemui lebih banyak kelompok-kelompok, baik dari segi jumlah maupun keragamannya. Dan tentu ini tidak mudah, karena bisa-bisa ada kelompok yang nyaman di ujung, sedikit ke tengah, atau di tengah-tengah. Masing-masing dengan imajinasinya sendiri-sendiri tentang masa depan misalnya, dengan nuansa ikatan kelompok yang sangat mungkin juga berbeda-beda. Bahkan untuk menghadirkan ‘pihak ketiga’-pun tidak mudah, dan sayangnya lebih mudah jika diajak ramai-ramai menyembelih ‘kambing hitam’. Tetapi benarkah yang terakhir itu kemudian menjadi pilihan? Hati-hati. Maka salah satunya adalah menghadirkan ‘pihak ketiga’ dengan berselancar naik gelombang ‘semangat jaman’. Karena kita tidak hidup dalam ‘republik Galapagos’ yang berabad-abad terisolasi dari dunia luar. Maka jika ingin maju dalam pergaulan yang lebih luas –yang tak terhindarkan itu, mau tidak mau gelombang ‘semangat jaman global’ harus menjadi perhatian serius, yaitu soal sain dan etika. Bahkan yang disebut sebagai kedaruratan iklim itu jika tidak mau ‘gagal paham’ ia harus dihayati juga dengan berangkat dari sain dan etika. Richard Robinson dalam salah satu kuliahnya menandaskan bahwa sebuah negara-banagsa jika mau kuat ia harus mampu merefleksikan kepentingan nasional pada kepentingan internasional. Atau kalau meminjam istilah Cardoso di sekitar tahun 1970-an, kita harus paham apa yang menjadikan ada ‘pakta dominasi primer’ sehingga kita tidak menyerah saja -bahkan dengan ‘riang gembira’ seperti kasus perpanjangan kontrak Freeport baru-baru ini, diposisikan sebagai yang di ‘pakta dominasi sekunder’ secara habis-habisan. Maka terkait dengan ‘demokrasi mosaik’ seperti dikemukakan oleh Alvin Toffler, hanya akan ‘produktif dan menarik’ di Abad-21 ini jika dan hanya jika ‘jembatan keledai’ yang dibangun di antara bermacam kelompok itu berangkat dari sain dan etika. Tanpa itu ujung-ujungnya pada dasarnya secara ‘sukarela’ kita sedang nyaman-nyaman saja tetap ada di posisi ‘pakta dominasi sekunder’. Singkatnya: sebagai kacung! Dongeng-nya adalah soal: proses, bukan eksploitasi ouput-nya.

Tetapi di tengah-tengah ‘apa yang seharusnya ada’ itu, tetap saja ada yang ingin menikmati ‘mass democracy’ bahkan secara brutal menggunakan tangan-tangan kekuasaan. Tentu demokrasi akan selalu mempunyai nuansa ‘massa’, tak terhindarkan. Tetapi model ‘Trump-isme’ itu jelas juga akan merusak demokrasi, atau paling tidak kemunduran demokrasi. Soal merengseknya pendukung die hard Trump ke Capitol Hill 6 Januari 2021 lalu itu sebenarnya tak akan terjelaskan jika kita melupakan Skandal Cambridge Analytica. Demokrasi mosaik yang mengandaikan keberagaman dan dua arah itu, ditelikung habis-habisan dengan bantuan ‘AI’, satu arah dan sebenarnya ‘seragam’. Eksploitasi kedangkalan dan hasrat yang sudah tanpa malu-malu lagi. Tetapi apakah sekedar hanya itu, soal eksploitasi kedangkalan di ranah-demos, dan eksploitasi hasrat-nya? Pandapat Antonio Negri dan Michael Hardt soal Empire (2000) kiranya dapat menambah nuansa konteksnya. *** (24-11-2023)

1298. Menyelamatkan Otak Republik

25-11-2023

Ketrampilan apa yang mesti dikuasai seorang dokter, terlebih yang bertugas di Unit Gawat Darurat? Itu adalah soal A-B-C: airway, breathing, circulatory. Airway control: bebaskan jalur napas, breathing support: beri bantuan pernapasan, circulatory support: soal bagaimana darah bisa ber-sirkulasi dalam pembuluh darah untuk mencapai organ-organ penting. Organ-organ penting, dan terutama adalah otak kerena otak adalah salah satu organ penting tubuh yang paling sensitif terhadap kekurangan oksigen.

Ilustrasi di atas adalah pengantar dari seorang dokter yang ingin menegaskan betapa penting otak bagi manusia, dan mengapa itu kemudian menjadi pertama-tama untuk diselamatkan. Jika kita mengatakan ‘menyelamatkan jiwa’ bukan berarti terus kita telisik di bagian mana jiwa tersembunyi dalam tubuh, dan setelah ketemu terus kita selamatkan. Jika ini kita lakukan maka dokter itu sedang tenggelam dalam ‘kesalahan kategoris’ menurut Gilber Ryle, seakan ia sedang mencari sosok ‘hantu’ dalam sebuah ‘mesin’. Tubuh kita selamatkan, terutama mulai dari otak-nya, dan selamatlah juga jiwa-nya. Tetapi bagaimana dengan ‘otak republik’? Tetapi bukankah republik itu dari kata res-publika? Publika yang adalah manusia-manusia kongkret, komplit dengan masing-masing otak-nya?

Kalau ada yang menghayati ‘organ-organ vital’ sebagai ‘alat-alat vital’ yang lekat dengan imajinasi segala hasrat terutama hasrat akan seks, perlu perlahan kita geser pemikiran itu. Karena ‘gambar besar’-nya adalah soal dominannya hasrat yang bahkan sudah mengkooptasi akal sehat. Otak yang seakan sudah diselimuti secara ketat oleh gejolak hasrat. Hasilnya otak terus menerus dalam keadaan tertekan bahkan perlahan mengkerut. Inilah situasi ke-gawat-daruratan republik, ‘otak republik’ yang terus menerus ‘dipaksa’ untuk mengkerut. Ujungnya? Penguasaan! Penguasaan segala isi republik, terutama kekayaan alam dan mimpi-mimpinya. Tidak yang lain-lainnya.

Masalahnya menjadi tidak mudah karena menurut Spinoza, hasrat adalah bagian esensial dari seorang manusia. Dan peradaban memang dalam catatan sejarahnya salah satu ‘kesibukan’-nya adalah soal pengendalian hasrat ini. Sangat-sangat-sulit hasrat dihilangkan terlebih jika kita hidup di antara manusia-manusia lain. Berkembangnya peradaban menurut Toynbee karena adanya ‘tantangan’ dan ‘respon’. Adanya tantangan, terlebih di luar komunitas akan sedikit banyak ‘menurunkan-tensi’ gejolak hasrat yang ada dalam komunitas. Tetapi entah tantangan itu mendekat dari luar atau dalam, tetap saja ‘respon’-lah yang akan menentukan bagaimana nasib peradaban ke depannya. Si-Bung sedikit memberikan petunjuk soal tantangan di-‘seberang jembatan emas’: kapitalisme bangsa sendiri. Atau dalam konteks tulisan ini, ‘hasrat’ yang sudah ugal-ugalan bahkan tanpa beban sudah mengkooptasi akal sehat. Jadi, what is to be done?

Apa respon kita sehingga ‘otak republik’ terselamatkan? Pertama-tama adalah ‘sikap terbuka’ terhadap ‘hembusan’ akal sehat. Tidak mudah memang ada dalam ‘tahap airway’ ini, karena ‘bendungan hasrat’ yang bisa-bisa begitu kentalnya. Tetapi bukannya tidak mungkin karena bagaimanapun sebuah masyarakat tentu akan punya ‘bagian terang’ sebagai ‘masyarakat pembelajar’. Maka tahap berikutnya adalah tiada henti untuk memberikan ‘hembusan’ akal sehat. Terus-menerus. Kemudian juga berusaha tanpa henti pula meneruskan ‘hembusan’ akal sehat itu sampai ke ujung-ujung-nya dengan dorongan ‘sirkulasi’ tanpa henti pula. Yang terakhir, karena yang dihadapi itu adalah hasrat yang sudah bermain dalam permainan at all cost, maka harus mempersiapkan diri untuk menghadapi segala kemungkinannya.

Tentu hal di atas tergambarkan seakan sebagai ‘meniti garis lurus’ saja. Kita bisa mengharapkan ‘percepatan proses’ karena dengan modus-komunikasi digital-internet ini kita bisa lihat bahwa ‘kami muak’ itu adalah ungkapan yang menggambarkan adanya proses-proses molekuler terkait respon terhadap ‘pembodohan massal’ bertahun terakhir. Pada dasarnya, hanya ‘main kayu’-lah yang akan mampu membalikkan proses ini. ‘Main kayu’ yang nampaknya sedang dan akan dimainken oleh kaum ‘rascals’ itu. *** (25-11-2023)

1299. Bayi Trump

27-11-2023

Siapa yang tidak akan tergerak hati mendengar tangis bayi di tepi jalan? Atau menurut Levinas, pertemuan face-to-face itu akan berlangsung dalam ‘lapangan etis’, seakan ‘yang lain’ itu menuntut tanggung-jawab kita terhadapnya. Bahkan di paling ujung seakan ia sedang berkata: jangan bunuh aku –apalagi jika itu wajah bayi atau anak-anak. Atau kita buka buku-buku Adam Smith, bagaimana soal empati (dulu dikatakan sebagai simpati) itu memainkan peran penting dalam bangunan teorinya. Tetapi bagaimana jika soal empati ini kemudian di-eksploitasi dalam ranah politik? Terutama dalam peristiwa pemilihan? Kita bisa belajar dari Donald Trump, berikut juga dengan segala konsekuensinya.

Di bagian akhir Abad-20 dan bagian awal Abad-21 studi tentang mirror neuron systems mengalami percepatannya. Ternyata dalam otak kita ada jaringan atau sirkuit neuron yang katakanlah, serta merta terlibat dalam proses peniruan atau imitasi. Termasuk juga di sini soal empati. Ketika kita melihat orang tersenyum, tiba-tiba saja seakan kita tergerak untuk ikut tersenyum juga meski kita tidak tahu alasan mengapa orang tersebut tersenyum. Prosesnya lebih pada ‘perasaan’, bukan ‘berpikir’. Dan lihat apa yang dilakukan oleh Trump saat naik podium atau di hadapan kerumunan pendukungnya, sering ia bertingkah seperti bayi, gerakan tangannya yang seakan menari itu dan tepuk-tepuk tangannya. Bayi Trump seakan sedang ngglundung saja naik ke podium. Jika saat itu sedang ada larangan untuk bicara, hening-sunyi total, bisa-bisa akan jadi aneh gerakan Trump itu. Tetapi kan tidak begitu, cukup sekelompok pendukung die hard atau sekelompok kecil ‘massa’ bayaran misalnya, mereka tepuk tangan dan seakan mengelu-elukan sik-Trump, maka ‘gerakan bayi’ itu seakan menjadi ‘sah’ untuk tampil di depan kerumunan, dan cerita selanjutnya biar sirkuit mirror neuron yang ada di otak itu menyelesaikan pekerjaannya. Terlebih lagi menurut Albert Mehrabian, ‘bahasa tubuh’ akan lebih mudah diserap dibanding bahasa verbal, apalagi soal isinya. Atau kalau ingat pendapat Toynbee soal ‘hukum’ pertukaran kebudayaan, memang sinar budaya yang nilainya lebih ‘rendah’ akan lebih mudah menembus dibanding yang bernilai ‘tinggi’. Atau kita bayangkan yang ‘ter-refleksi’ dan kemudian masuk dalam otak dan men-stimulasi sirkuit mirror neuron kita adalah sosok bayi atau anak-anak, ketidak-nyamanan karena itu adalah ‘ancaman’-pun akan menipis pula. Bagaimanapun bebas dari rasa sakit tetaplah salah satu insting dasar manusia, bahkan makhluk hidup. Maka ‘main-main’ itu sebenarnya adalah sedang ‘mempermainkan permainan’. Mengapa?

Karena jika itu terus-menerus berlanjut dan ‘tiba-tiba’ saja kemudian menjadi pakem-nya cari dukungan maka bisa-bisa yang terjadi adalah ‘perlombaan menuju ke dasar’ ke-tidak-mutu-an demokrasi. Out-put mengambil alih total proses. Kagak peduli lagi bagaimana sebuah proses berjalan asal bisa menang. Tidak peduli lagi jika khalayak kebanyakan itu perlahan sedang dilatih untuk berperilaku sebagai anak-anak di dunia dewasanya. Anak-anak sebelum usia 7 tahun cenderung lebih egosentris, masih kesulitan untuk memahami sudut pandang anak-anak lainnya. Dalam dunia dewasa ini bisa dilihat sebagai benih-benih fanatisme. Dan juga pastilah dunia anak-anak bahkan bayi cara berpikirnya, keluasan-kedalaman masih banyak soal potensi, dan bagaimana jika cara atau tingkat berpikir anak atau bayi itu dipakai dalam dunia dewasa? Jelas saja akan terlihat sungguh cekak. Apa yang perlu kita khawatirkan? Kata Hannah Arendt: banality of evil, yang berangkat dari cekak-nya bahkan ketidak-berpikiran itu. Paling tidak ini sudah kita rasakan bagaimana evil-nya para pollsterRp itu sudah menjadi banal.

Coba kita telisik berapa peristiwa gerak tubuh, ‘bahasa anak-anak’, ‘egosentrisme ala anak-anak di bawah 7 tahun’ hadir di dunia dewasa melalui ‘pemimpin’ di republik bertahun terakhir? Hasilnya? Semau-maunya! Kayak anak-anak sedang dalam tahap perkembangan, sedang dalam tahap semau-maunya itu? Bisa ya, bisa tidak. Ya, jika kita ingat ‘dialektika tuan-budak’-nya Hegel itu. Tidak, karena polah-tingkah seperti anak-anak itu adalah bagian dari ‘sihir’ dari tehnik mengendalikan massa. Atau kedua-duanya? You are what you eat! Tetapi apakah ‘jalan Trump’ itu adalah jalan bagi ‘yang tak terkalahkan’? Tidak-lah, nyatanya Trump kalah juga. Tetapi berapa biaya atau akibat lanjutan dari kalahnya Trump itu? Trump menang atau kalah tetap saja kerusakan demokrasi atau kemunduran demokrasi telah terjadi. Memang tidak mudah mengalahkan ‘bayi/anak-anak’ dalam dunia dewasa. Tetapi jika ingin peradaban terus maju, maka pada saat kita menginjak rentang dewasa, dewasa-lah! Jangan sampai generasi muda kita tidak beranjak dewasa karena melihat-dilatih oleh tingkah anak-anak atau bahkan bayi di dunia dewasa di ranah elektoral. Silahkan saja kalau mau bertingkah seperti itu, dipanggung Srimulat atau panggung komedi lain. Tetapi jangan di panggung elektoral yang ber-biaya puluhan triliun itu. Triliun-an dari pajak-pajak rakyat! *** (27-11-2023)