1345. Dari Ci' Elisa_Jkt

06-01-2023

Siaran Pers:

Advokasi Hak Hunian Layak di Kampung Kota Jakarta Menang Gold Medal World Habitat Awards 2024

Advokasi dan kolaborasi multipihak di kampung kota Jakarta dalam memenuhi hak atas hunian layak memenangkan anugerah tertinggi yaitu Gold Medal di ajang World Habitat Awards 2024. Ini adalah kerja bersama antara kurang lebih 20 kampung kota yang tergabung dalam Jaringan Rakyat Miskin Kota, Urban Poor Consortium (UPC), Rujak Center for Urban Studies (RCUS), dan didukung juga oleh ASF Indonesia, AKUR, Departemen Arsitektur Universitas Indonesia, serta Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Ini adalah pertama kalinya Indonesia mendapatkan anugerah Gold Medal di World Habitat Awards, setelah sebelumnya Arkom Indonesia di 2021 mendapatkan Bronze Medal untuk proyek rehabilitas dan pembangunan kembalii permukiman pasca gempa Palu.

Setelah kampung kota Jakarta mengalami gelombang penggusuran paksa pada tahun 2014-2016, warga kampung kota yang tergabung dalam Jaringan Rakyat Miskin Kota, bangkit dan berjejaring serta melakukan berbagai advokasi bekerja sama dengan berbagai lembaga, termasuk RCUS dan UPC, dengan tujuan untuk merebut hak atas hunian layak. Hak atas Hunian Layak adalah mandat konstitusi seperti tercantum dalam Pasal 28H UUD 1945 dan telah diratifikasi dalam UU 11/2005 tentang Ratifikasi Konvensi Internasional tentang Hak Ekonomi Sosial dan Budaya.

Upaya advokasi bersama di kampung kota Jakarta terwujud dalam berbagai strategi, antara lain advokasi dan kampanye multilevel, penataan mandiri, advokasi kebijakan, pengorganisasian antar kampung, desain dan perencanaan, kegiatan kesenian dan kebudayaan, serta litigasi.

Kegiatan advokasi dan kampanye multilevel termasuk dengan mengundang UN Special Rapporteur Leilani Farha di September 2016 untuk melihat langsung korban penggusuran paksa dan solusi warga dalam mencegah penggusurah di Jakarta. Advokasi dan kampanye bekerja sama dengan berbagai universitas dalam dan luar negeri, jurnalis, seniman hingga pembuat film agar terus menyuarakan apa yang terjadi di kampung kota Jakarta.

Warga kampung kota juga mengorganisir diri dalm menyusun kontrak politik dengan Calon Gubernur (masa itu) Anies Baswedan jelang Pilkada DKI Jakarta 2017, yang akhirnya menghasilkan konsep Community Action Planning di Jakarta dan mendorong terbitnya Peraturan Gubernur 90/2018 tentang Peningkatan Kualitas Permukiman dalam Rangka Penatawan Kawasan Permukiman Terpadu dengan total penerima manfaat adalah 220 RW. Advokasi kebijakan lain adalah keberhasilan kampung untuk mendorong revisi pada Rencana Detil Tata Ruang, sehingga kampung kota menjadi terakomodasi dalam Pergub 32/2022 tentang Rencana Detil Tata Ruang. Sekitar 12 kampung kota Jakarta telah mendapatkan IMB Sementara secara kolektif berbasiskan koperasi.

Secara khusus, penghargaan ini memberikan perhatian kepada 2 proyek dalam program advokasi ini, yaitu penataan hunian mandiri oleh Komunitas Anak Kali Ciliwung (KAKC) dan pembangunan kembali Kampung Susun Akuarium. KAKC telah berulang kali mendapatkan ancaman penggusuran paksa, yang kemudian dijawab oleh KAKC dan bekerja sama dengan JRMK, UPC, ASF Indonesia, Departemen Arsitektur Universitas Indonesia melakukan penataan mandiri dengan memotong bangunan sehingga menghasilkan ruang publik sepanjang sungai. KAKC mendorong lahirnya gagasan Kampung Inspeksi, dimana seluruh elemen kampung, baik ruang dan warganya menjaga dan merawat kali.

Pasca penggusuran paksa 11 April 2016, warga Kampung Akuarium gigih berjuang untuk membangun kembali kampungnya. Didampingi oleh JRMK, UPC dan RCUS, warga Kampung Akuarium melakukan berbagai terobosan antara lain, pembangunan hunian sementara bagi korban penggusuran paksa, desain partisipatif yang menghasilkan konsep kampung susun. Selain itu terobosan lain adalah pembentukan koperasi yaitu Koperasi Aquarium Bangkit Mandiri sebagai alat untuk menyejahterahkan warga dan embrio koperasi perumahan. Terobosan oleh Pemprov DKI Jakarta yaitu penggunaan dana hunian berimbang yang didapat dari kewajiban developer untuk membangun hunian secara partisipatif.

Jakarta telah lama dikenal sebagai kota yang tidak ramah untuk warga miskin dan kampung kota, dan melekatkan stigma keduanya. Karena itu kami mengapresiasi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, khususnya kepada Gubernur Anies Baswedan, Asisten Pembangunan dan Lingkungan Hidup, Asisten Pemerintah dan Kepala Dinas Perumahan, serta Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan DKI Jakarta 2017-2022, yang membuka ruang diskusi dan terobosan kebijakan hingga terjadi perubahan.

Secara khusus, Dewan Juri World Habitat Awards 2024, memberikan berbgai apresiasi kepada kerja bersama ini. Antara lain, Maimunah Mohd Sharif, Direktur Eksekutif UN Habitat (lembaga PBB yang bergerak di isu permukiman dan perumahan), menyatakan pujiannya terhadap kemitraan berbagai pihak dan keterlibatan warga sedini mungkin, termasuk keputusan untuk memanfaatkan kebijakan dan pendekatan politik untuk mendorong perubahan. Beliau juga mengapresiasi penggunaan koperasi untuk memberikan solusi tanah, mengurangi spekulasi dan memperkuat keamanan bermukim.

Sementara Leilani Farha, Direktur The Shift dan Pelapor Khusus PBB untuk Hak atas Hunian Layak 2014-2019, menyatakan Advokasi Hak atas Hunian Layak di Jakarta sebagai terobosan fantastis yang memberikan ruang bagi warga yang berisiko digusur dan telah tergusur, untuk melakukan advokasi bagi perubahan hukum dan politik yang signifikan. Terobosan ini berakar kuat pada pendekatan hak asasi manusia dengan fokus pada perubahan sistemis, keterlibatan masyarakat, dan jaminan keamanan bermukim. Ini adalah aspek-aspek mendasar dari hak atas perumahan. Saya menyadari bahwa keterlibatan masyarakat sering kali tidak terpusat pada pekerjaan perumahan, sehingga saya sangat terkesan dengan aspek proyek ini.

Sejak 1986, World Habitat Award adalah anugerah tahunan di bidang perumahan dan permukiman yang diberikan oleh World Habitat, bekerja sama dengan UN Habitat. Selain Advokasi Hak atas Hunian Layak di Jakarta, Gold Medal juga diberikan kepada Energiesprong, proyek adaptasi hunian yang berwawasan iklim.

Kontak: Dian (Rujak Center for Urban Studies), 082110349707

@rujakrcus

@JRMK_Jakarta

@Urbanpoor

https://twitter.com/elisa_jkt/status/1743135758926655725

(The World Habitat Awards were established in 1985 by the Building and Social Housing Foundation as part of its contribution to the United Nations' International Year of Shelter for the Homeless in 1987) -https://en.wikipedia.org/wiki/World_Habitat_Awards

1346. Pemilu Rasa Amerika?

07-01-2024

Ada dua partai dominan peserta pemilu di Amerika, Partai Republik dan Partai Demokrat. Sama-sama kapitalis-nya memang, tetapi Demokrat biasanya akan mengambil posisi ‘lebih kiri’ dari Republik. Dan siapa bilang di Amerika sono tidak ada soal oligarki? Ada, lihat bagaimana perusahaan-perusahaan senjata akan mengalirkan dana lebih ke Republik melalui bermacam perusahaan lobi. Hanya saja jika memakai pembedaan bermacam bentuk oligarki, mengambil contoh era jaman old, Indonesia oligarki-nya adalah ‘sultanic oligarchy’, kata Jeffrey Winters. Soal pajak misalnya, Republik akan cenderung mengurangi pajak si-crazy rich, sedang Demokrat akan sebaliknya dan cenderung memberikan keringanan pajak bagi si-kecil. Jika memakai term jaman old, Republik akan lebih pada ‘pertumbuhan’ sedang Demokrat pada ‘pemerataan’. Republik akan lebih berangkat pada ‘survival of the fittest’ sedang Demokrat akan lebih berangkat pada isu ‘kesetaraan’.

Tetapi mengapa dengan ‘demokrasi semacam itu’ Amerika –suka atau tidak, dapat menjadi maju? Ada beberapa hal yang memungkinkan, pertama adanya Pendleton Act tahun 1883, seratus-empat puluh tahun lalu, yang menghapus ‘spoils system’ setelah berlaku sekitar 60-an tahun sejak presiden Andrew Jackson –idola Trump, berkuasa. Artinya bagaimana pegawai pemerintah itu kemudian dijauhkan dari urusan politik praktis. “Spoils system’ kadang juga disebut sebagai ‘sistem patronase’. Dari nuansa patronase, dengan Pandleton Act ke-pegawaian pemerintahan kemudian digeser ke sistem meritokrasi. Dan perlu berpuluh tahun sehingga ‘sisa-sisa spoils system’ itu bisa sungguh dibersihkan. Yang kedua adalah seperti digambarkan dalam peristiwa di sekitar Juni 2020 lalu ketika Mark Miley –komandan tentara gabungan saat itu, meminta maaf karena foto bareng dengan Trump yang saat itu sedang menghadapi pemilihan umum untuk mempertahankan kekuasaan –yang akhirnya kalah oleh Biden. Artinya adalah tentara tidak ikut-ikutan dalam politik praktis. Serdadu ya tempatnya di barak-barak militer. Di jaman old, justru dua ‘tabu’ dalam demokrasi di AS sono malah ‘dilembagakan’ dalam istilah jalur ABG itu, bukan singkatan dari Asal Bukan Gibran, tetapi adalah jalur Abri, Birokrasi, dan Golkar.

Kalau dicermati hasil pemilu di AS sono maka nampak bagaimana Republik dan Demokrat dalam gambaran-nya sekarang ini, bergantian memimpin. Seakan apa yang dibayangkan oleh Karl Polanyi terkait ‘double movement’ dalam The Great Transformation (1944) itu menampakkan diri. Gerakan ganda atau double movement itu intinya adalah bagaimana soal ‘pertumbuhan’ dan ‘pemerataan’ itu berlangsung tidak dalam ‘maksud baik’ saja. Kedua-nya terhayati benar-benar secara mendasar dalam politik, atau dalam kata-kata Carl Schmitt sekitar 20 tahun sebelum The Great Transformation-nya Karl Polanyi, soal ‘pertumbuhan’ dan ‘pemerataan’ ini ada bahkan dalam nuansa ‘yang politikal’-nya: friend and enemy distinction.

Apa yang bisa dipelajari dari pengalaman di Amerika sono itu? Salah satunya adalah ‘terserap’-nya kemungkinan ‘revolusi proletariat’ ke dalam ‘logika’ bangunan politik di atas. ‘Kaum proletar’ disediakan tempat untuk memperjuangkan kepentingannya untuk hal-hal yang ‘lebih kiri’ –secara ‘moderat’, melalui Demokrat –kalau mau. Memang di AS sono tetap diperbolehkan ada partai komunis atau sejenisnya. Atau mau maju jalur independen. Bahkan lahir pula intelektual-intelektual tangguh yang memilih ada di sisi ‘kiri’. Bebas.

Lalu apakah pemilihan di republik ini ada rasa pemilihan a la Amerika? Terlalu jauh untuk mengatakan itu. Tetapi jelas juga apa-apa yang terjadi jaman now ataupun sejarah panjang (demokrasi) yang ditapak di AS bisa menjadi bahan pelajaran. Selain soal ‘spoils system’ dan ‘peran tentara’ seperti disinggung di atas, adalah juga soal sungguh terhormat-nya lembaga-lembaga peradilan, terutama yang ada di ‘puncak’, dan juga soal kebebasan pers-nya. Kebebasan bicara-nya. *** (07-01-2024)

1347. Reifikasi dalam Pemilihan

07-01-2024

To be radical is to go to the root of the matter. For man, however, the root is man himself.
Marx: Critique of Hegel’s Philosophy of Right.

Reifikasi dalam pemilihan umum adalah ketika si-pemilih dianggap sebagai ‘obyek-benda’ saja, layaknya sebuah komoditas. Yang sungguh vulgar adalah ketika terjadi ‘politik uang’, one man one dollar. Reifikasi akan lebih membesar potensial-nya jika yang dominan adalah ‘paradigma output’, sehingga apa yang kita kenal sebagai survei-survei itu jika tidak hati-hati akan memberikan latar belakang yang mendorong terjadinya reifikasi, dengan jalur yang berbeda. Kadang bagaimana itu di-narasikan akan menentukan bagaimana soal survei-survei itu akan dihayati.

Dengan sudah tidak adanya kebijakan floating mass sebenarnya partai-partai politik itu bisa melaksanakan fungsinya dalam keseharian, tidak hanya sibuk saat menjelang pemilihan saja. Yaitu dengan melakukan terus kontak antar kader-kadernya, atau kader-kader dengan masyarakat sekitar secara terus-menerus sampai di tingkat yang paling bawah. Dan ini adalah soal input dan proses, yang sebenarnya output akan dituai dengan sendirinya saat pemilihan umum. Atau dalam mendesakkan bermacam kebijakan.

Apakah hal di atas dimungkinkan? Sangat mungkin, mengapa tidak? Menjadi sangat mungkin karena kita berurusan dengan manusia. Manusia yang ingin mengucapkan sesuatu, dan mendengar sesuatu, atau didengar. Manusia yang jauh di lubuk hatinya ingin diperlakukan tidak sekedar angka-angka statistik saja. Dan apapun itu, peristiwa bertemunya antar manusia secara tatap-muka, face-to-face, tetaplah sebuah peristiwa yang tak tergantikan. Dalam tatap-muka itu akan terlatih soal toleransi dan kesabaran, hal yang sebenarnya sangat penting dalam demokrasi. Maka jika kita merasa bahwa demokrasi sedang tidak baik-baik saja, sedang dalam ancaman kelumpuhan-totalnya, kita bisa melihat dengan mata jernih apa yang ada-berkembang dalam kegiatan Desak Anies itu. Bagaimana ketika ‘memanusiakan manusia pemilih’ itu dapat membayang semakin akrab ketika dengan sabar dan penuh toleransi terbangun dalam dialog tatap-muka dengan prinsip ‘kesetaraan’ yang selalu dijunjung tinggi. *** (07-01-2024)

1348. Saat Paling Lemah Jadi Korban

07-01-2024

Ketika anak-anak menjadi korban perang dan diunggah dalam bermacam kanal informasi, berulang dan berulang, maka semakin lama semakin banyak dan terjadi di berbagai tempat, muncul demonstrasi terkait serangan Israel pada Hamas. Anak-anak menjadi yang paling lemah ketika perang berkecamuk. Juga lansia dan kaum perempuan. Siapa yang tidak terketuk empatinya ketika melihat sosok anak-anak berlumuran darah dan debu, dan terkapar tak berdaya? Bahkan ajal-pun kemudian menjemputnya. Dengan sudah merebaknya modus komunikasi mass-to-mass via digital-internet seperti sekarang ini, antara satu dengan yang lain menjadi mudah untuk mengetahui sentimen masing-masing, atau apa-apa yang dirasakan ketika ‘mirror neuron system’ yang ada di otaknya itu ‘diaktifkan’ ketika melihat anak-anak menjadi korban, maka menjadi mudah pula untuk yang satu tahu dengan yang lain ketika apa-apa yang dirasakan itu diunggah ke dunia digital-internet.

Demikian pula dengan #nazarpemilu, itu juga merebak tidak ruang kosong. Itu bisa dihayati seperti saat demonstrasi merebak di mana-mana ketika kekejaman perang merenggut nyawa yang paling lemah, anak-anak. Yang paling lemah dalam pemilihan umum adalah yang miskin, atau juga yang sedang kepèpèt karena kebutuhan –pupuk, misalnya.

Maka ketika para predator dengan uang segepok, dengan pupuk berton-ton siap atau bahkan sudah mulai memangsa yang paling lemah itu, perasaan dongkol dan empati-pun menyeruak ke permukaan. Dan ketika itu diunggah di dunia digital-internet-pun semakin lama semakin banyak yang ikutan dongkol. ‘Proses-proses molekuler’-pun mulai merayap-meluas. Tinggal tunggu ‘katalis’ saja, dan ketika ada yang memulai dengan #nazarpemilu maka merebak-lah dukungan terhadap #nazarpemilu itu. Maka jangan anggap remeh #nazarpemilu ini. Bagaimana jika ‘meledak’ tidak berhenti di dunia digital-internet saja –untuk ‘proses-proses molekuler’ lainnya? *** (07-01-2024)

1349. Dari Thucydides ke Alvin Toffler

09-01-2024

Dari Thucydides ke Alvin Toffler berjarak hampir 2500 tahun. Jika mengikuti pembedaan antara Revolusi Pertanian, Revolusi Industri, dan Revolusi Informasi, Thucydides hidup di rentang dimana Revolusi Pertanian sudah berlangsung. Menurut Alvin Toffler dalam Power Shift (1990) dalam rentang Revolusi Pertanian kekuatan yang dominan adalah kekuatan kekerasan. Sedangkan dalam Revolusi Industri akan terjadi power shift, yang dominan kemudian adalah kekuatan uang. Power shift terjadi lagi ketika Revolusi Informasi seperti ditunjukkan di abad-21 ini, yaitu kekuatan dominan akan bergeser ke kekuatan pengetahuan.

Mengapa Thucydides disebut di sini? Karena dalam banyak hal-nya ia seakan adalah sumber pertama dari yang dikenal sebagai ‘realisme politik’. Salah satu yang sering dikutip adalah tulisan Thucydides dalam The Melian Dialogue: “… the standard of justice depends on the equality of power to compel and that in fact the strong do what they have the power to do and the weak accept what they have to accept.”[1] Berangkat dari kutipan Thucydides ini kita bisa membayangkan terkait dengan apa-siapa itu ‘the strong’ dan ‘the weak’ dalam konteks bermacam revolusi seperti digambarkan oleh Alvin Toffler di atas. Apakah kita bisa membayangkan bahwa kolonialisme yang kita kenal sebagai yang mbèlgèdès jaman doeloe itu adalah juga sisi gelap dari Revolusi Pertanian? Termasuk juga bermacam bentuk perbudakannya. Bagaimana setelah masuk era Revolusi Industri? Dalam banyak halnya memang tidak banyak berubah, ataukah perbudakan mengambil bentuk baru? Atau ada perspektif baru: pasar bagi bermacam produk industri. Bagaimana dengan berkembangnya ‘ford-ism’ dalam Revolusi Industri? Abad Nasionalisme yang sering disematkan pada abad-20 itu ternyata bagi banyak negara-bangsa tetap menghadapi ‘kolonialisme gaya baru’, eksploitasi kekayaan alam dan pembukaan pasar-pasar baru. Apakah abad-21 yang disebut Alvin Toffler sebagai Abad Informasi dimana the power of knowledge akan memimpin, bayang-bayang ‘kolonialisme gaya terbaru’ masih akan lekat juga? Akankah muncul kemudian paradigma ‘post-fordism’?

Maka menghayati ‘the strong’ dan ‘the weak’ itu –dengan segala konsekuensinya, kemudian layaknya kita menghayati ‘posisi’ hukum gravitasi menurut Newton dan Einstein. Pada titik tertentu, ‘the strong’ dan ‘the weak’ itu adalah soal kekuatan kekerasan dan kekuatan uang –katakanlah dengan hukum gravitasi-nya Newton masih banyak yang bisa dijelaskan. Tetapi semakin kita ‘mendekati’ Einstein, maka faktor kekuatan pengetahuan bisa-bisa akan menjadi penentunya, tanpa mengingkari kebenaran hukum gravitasi Newton sampai pada batas-batasnya. *** (09-01-2024)

[1] https://www.pergerakankebangsaan.com/024-The-Melian-Dialogue/