1390. Partai Pelopor vs Partai Milli Vanilli

06-03-2024

Kadang sebuah warung makan yang laris akan menjadi semakin laris, dan bahkan yang mau makan sampai rela berdesak-desakan atau antri untuk dapat tempat duduk. Yang sedang berkerumun makan di warung itu seakan menjadi ‘model’ yang akan ditiru oleh lainnya. Kata Girard dalam ‘teori segitiga hasrat’-nya, seseorang menghasrati O itu karena meniru model yang menghasrati O juga. Partai politik memang bukan warung makan, tetapi mekanisme di atas sedikit banyak bisa menggambarkan mengapa partai itu perlu.

Selain itu seperti ditulis oleh Amy Chua dalam Political Tribes (2019): “Humans are tribal. We need to belong to group.” Tentu partai juga akan beda dengan group WA, atau fans sepak bola, tetapi bagaimanapun juga partai adalah salah satu jawaban dari kebutuhan berkelompok itu. Menurut Hermann Broch, manusia itu lekat dengan kesadaran temaram-nya, twilight state. Layaknya kumpulan para petinggi agama yang membuat jelas soal surga-neraka, partai juga diharapkan mampu memberikan pencerahan dalam segala ke-remang-remangan-nya kesadaran. Dan nampaknya itulah yang mendorong mengapa lebih dari seratus tahun lalu ada yang mengintrodusir soal ‘partai pelopor’ (vanguard party). Ia tidak hanya akan menjadi ‘model’ dan ‘tempat berkumpul’, tetapi karena banyak yang berhasil memecah keremangan kesadarannya dan kemudian menghayati situasi secara jernih, ia akan bersemangat mengajak lainnya untuk bersama-sama meretakkan kesadaran temaram-nya.

Tetapi sebagian besar khalayak itu akan disibukkan dengan urusannya masing-masing. Keterarahan kesadarannya lebih pada bagaimana untuk tetap mampu bertahan hidup. Atau mengembangkan hidup. Tidak banyak yang akan mau sepenuhnya masuk dalam perjuangan politik, apalagi jika penuh resiko. Tetapi bukannya mereka itu tidak mau ‘berpolitik’, sebagian besarnya pada titik tertentu akanlah bersikap. Inilah mengapa partai politik itu penting, bahkan jika mampu ia mestinya berdiri sebagai ujung-tombaknya perjuangan politik. Berdiri sebagai ‘pelopor’-nya perjuangan politik. Apa makna sebagai ‘pelopor’ bagi khalayak kebanyakan yang selalu saja disibukkan pada urusan sehari-hari? Jika memakai istilah Lakoff, maka tugas utama partai terhadap khalayak kebanyakan adalah menyediakan ‘deep frame’. Maka pula partai itu tidak akan lepas dari propaganda-edukasi. ‘Deep frame’ adalah tempat ‘digantungkannya’ jika muncul ‘surface frame’. Bahkan jika perlu dibantu dengan: agitasi.

Semua propaganda akan melibatkan imajinasi, dan yang namanya imajinasi itu bisa sangat liar. Maka disinilah letak penting dari kritik-otokritik. Tidak hanya soal propaganda, tetapi juga tentang strategi-taktik dalam perjuangan. Semestinya setiap perjuangan politik itu akan ada ‘yang diperjuangkan’ sebagai ‘axis-mundi’-nya dunia pergerakan. Sebab jika ‘yang diperjuangkan’ itu semakin kabur karena tidak pernah diuji dan diuji dalam dinamika kritik-otokritik maka perlahan bukan partai pelopor yang berkembang, tetapi justru akan menjadi ‘partai Milli Vanilli’. Seperti yang sudah banyak berkembang di sebuah republik. *** (06-03-2024)

1391. Tahap Penguasaan Yang Murah Meriah

07-03-2024

Paling tidak sepuluh tahun terakhir kita seakan mendapat pelajaran bagaimana Perang Modern seperti sering diungkap oleh Ryamizard Ryacudu, ada dalam praktek. Perang Modern terdiri dari beberapa tahap, infiltrasi, eksploitasi, politik adu domba, cuci otak, dan terakhir: invasi / pencapaian sasaran / penguasaan. Soal infiltrasi memang bukan barang aneh. Menjadi ‘aneh’ adalah pada soal skala dan kedalamannya. Dan bagi negara sasaran seperti republik, ‘keseimbangan’ hadirnya para ‘infiltrat global’ akan ikut-ikutan menjadi ‘aneh’ ketika terjadi ‘ketidak-seimbangan’ lagi. Ada yang mulai ‘membabi-buta’. Dalam bahasa ‘propaganda’, tahap eksploitasi adalah juga propaganda. Katakanlah juga: pembingkaian, framing yang dalam hal ini jika meminjam istilah George Lakoff: deep frame. Deep frame adalah ‘tempat’ dimana surface frame akan ‘digantungkan’. Adu-domba lapangan ‘bermainnya’ adalah di-surface frame ini.

Pada tahun 2007 Naomi Klein menerbitkan salah satu bukunya, The Shock Doctrine. Salah satu entry point dalam bangunan argumentasinya adalah terkait dengan Badai Katrina yang menerjang New Orleans di Agustus 2005. Badai itu menurut Naomi Klein –dibandingkan dengan tehnik interogasi oleh orang-orang intelijen, telah membuat kesadaran seperti sebuah ‘kanvas putih bersih’ khususnya bagi warga New Orleans. Dan saat itulah –menurut Naomi, para agen-agen neoliberalisme mulai ‘melukiskan’ program-programnya. Hasilnya? Pasca badai tiba-tiba saja jumlah sekolah publik menyusut drastis dan diganti oleh sekolah-sekolah swasta: privatisasi. Maka anak judul bukunya itu adalah: The Rise of Disaster Capitalism. Apa yang digambarkan Naomi Klein itu seakan mengkonfirmasi pendapat David Harvey dalam A Brief History of Neoliberalism, terbit beberapa bulan setelah Badai Katrina, dimana dalam buku itu Harvey menulis soal accumulation by dispossession, yang salah-dua fitur-nya adalah privatisasi dan manipulasi-manajemen krisis.

Apa yang mau dikatakan di sini adalah bagaimanapun (tahap) cuci-otak itu memang perlu ‘prolog’ sendiri. Salah satu ‘prolog’ efektif adalah sebuah shock, melalui krisis akibat bencana seperti dicontohkan Naomi Klein, misalnya. Sebenarnya hal ini sedikit banyak sudah disinggung oleh Carl Schmitt hampir se-abad lalu, dalam Political Theology. Kata Schmitt dalam terjemahan bahasa Inggrisnya, “sovereign is he who decides on the exception.” Jaman old kurang lebih bertahan melalui rute ini, republik seakan-akan selalu ada dalam situasi exception. Jaman now, kurang-lebih lagunya sama, hanya lirik refrain-nya saja yang berbeda. Yang di-repeat berbeda. Kata pepatah, repetition est mater studiorum.

Maka tahap adu-domba adalah tahap yang tidak sekedar pecah-belah saja, tetapi adalah juga upaya membangun ‘suasana-kebatinan-akan-kegentingan’. Jika jaman old ada yang sedang naik gelombang Perang Dingin, maka jaman now ‘deep frame’ itu naik gelombang ‘clash of civilizations’-nya Huntington: khas kaum oportunis sejati. Oportunisme yang akan meminggirkan hal-hal prinsip. ‘Situasi-kegentingan’ yang terus dipelihara tidak hanya akan memberikan ruang untuk unjuk gigi tentang siapa yang berdaulat, tetapi juga sudah menjadi bagian dari tahap cuci otak. ‘Serangan’ yang berujung pada cuci otak ini jelas juga dilancarkan dari bermacam penjuru. Intinya adalah bagaimana soft-power itu makin diperlemah.

Maka ketika sebuah pemilihan sudah masuk dalam ‘tahap penguasaan’, cukup dengan segala kebrutalan yang bahkan dibiayai oleh pajak-pajak rakyat itu, yakin bahwa tahap penguasaan itu akan sukses. Murah-meriah karena bahkan satu sen-pun ‘mereka’ tidak keluar uang. Bahkan masih untung banyak dari yang sering kita kenal sebagai ‘jebakan utang’. Yakin karena segala lini soft-power sudah begitu diperlemah. Nampaknya itulah ‘mereka’ punya imajinasi. *** (07-03-2024)

1392. "Invisible Hand" dalam Pemilihan

08-03-2024

Yang dimaksud ‘tangan tak terlihat’ di sini bukanlah soal sulapan via program komputer yang sungguh telanjang brutal-nya, atau cawé-cawé dari petinggi yang juga sama brutal-nya, tetapi lebih pada soal ‘semangat jaman’ atau zeitgeist. ‘Semangat jaman’ yang bisa-bisa akan mempengaruhi juga ‘semangat nasional’ atau volksgeist. Masalahnya seperti ditunjukkan oleh Van Peursen dalam Strategi Kebudayaan, katakanlah pemandangan sebuah danau itu bisa dilukis secara berbeda oleh lain-lain pelukis. Lukisan akan dipengaruhi bagaimana pemandangan itu dihayati, apakah dihayati secara mitis, ontologis, atau fungsionil?

Oportunisme adalah mendekati sesuatu dengan lebih berangkat dari penghayatan sisi gelap ‘tahap’ fungsionil: operasionalisme. Oportunisme tidak jauh-jauh amat dari operasionalisme seperti dimaksud di atas, sama-sama meminggirkan hal prinsip. Sama-sama menghindar dari perdebatan soal esensi. Maka penghayatan akan ‘semangat jaman’-pun bisa-bisa akan ‘terjerumus’ dalam penghayatan yang ‘dangkal-dangkal’ saja. Tidak jauh dari yang pernah diungkap oleh Toynbee tentang ‘hukum’ pertukaran budaya, semakin tinggi nilai sinar budaya maka akan semakin sulit menembus, tetapi semakin rendah nilai sinar budaya akan semakin mudah menembus. Yang ‘dangkal-dangkal’ itu pastilah tidak akan mampu meraba apa-apa yang belum menampakkan diri. Sama seperti fenomena lainnya, ‘semangat jaman’-pun tidak akan sepenuhnya menampakkan dirinya pada kita. Perlu upaya lebih untuk menguak lapis demi lapis sehingga esensi dari ‘semangat jaman’ itu semakin menampakkan diri. Upaya ini akan ‘terganggu’ tidak hanya jika ‘kebodohan’ justru mendapat tempat istimewa, tetapi juga ‘terganggu’ karena ‘keserakahan’. Keserakahan yang akan mengganggu moment ‘penundaan’ untuk melihat apa-apa dengan lebih luas, dalam, dan jernih. Dan bayangkan jika ‘kebodohan’ dan ‘keserakahan’ itu kemudian bersekutu.

Ketika perang berkecamuk di beberapa belahan dunia, dan dengan kemajuan tekhnologi komunikasi seperti sekarang ini, kebrutalan perang seakan hadir di depan mata. Seakan memberikan pesan bahwa kebrutalan telah menjadi hal yang biasa-biasa saja. Tidak hanya biasa-biasa saja, tetapi jangan-jangan ada yang sedang menghayati sebagai memang jamannya adalah jaman brutal. Dan kemudian berpikir jika tidak ikut-ikutan brutal maka tidak ‘kebagian’. Atau paling tidak melihat ‘peluang’ bahwa bertindak secara brutal itu memang sedang jaman-nya. Dan tanpa sadar menggeser ‘volkgeist’ sebagai yang brutal pula. Maka di ‘dalam-negeri’ tiba-tiba saja ia merasa sungguh tanpa beban lagi untuk berperilaku brutal.

Tetapi bukankah tidak hanya kebrutalan yang tergambarkan melalui perang-perang itu, tetapi ada juga soal kedaruratan iklim yang sungguh kita juga merasakan bahkan sampai pori-pori tubuh. Ada juga ancaman kekurangan pangan. Di lain pihak dari bermacam informasi kita bisa melihat bagaimana kemajuan dalam menjelajah ruang angkasa. Atau juga pergolakan geopolitik-ekonomi global. Belum sebentar lagi akan dihadapkan pada perkembangan cepat dari Artificial Intelligence itu. Maka hal-brutal itu hanyalah satu dari penampakan saja dari yang bisa kita sebut sebagai ‘semangat jaman’. Dan apa yang sebenarnya menjadi ‘semangat jaman’ sekarang ini? Bisa diperdebatkan memang, tetapi bagaimana jika kita menghayati sebagai ‘pergeseran’? Pergeseran ke arah mana? Tidak mudah menjawabnya, tetapi kita bisa memulai dengan lebih memahami dulu apa-apa yang ada dalam kendali dan yang tidak. Dan mengelola apa-apa yang ada dalam kendali dengan cara brutal jelas hanya akan menghadirkan kehancuran saja, cepat atau lambat. Dan sekali lagi, ujung-ujungnya bisa-bisa kita hanya akan menjadi penonton (lagi) saja, atau bahkan menjadi korban ketika pergeseran semakin menampakkan arah-nya. Kehancuran ketika kebodohan sudah bersekutu dengan keserakahan. *** (08-03-2024)

1393. Partai Demokrasi

09-03-2024

Partai Demokrasi bukanlah Partai Demokrat. Lain-lah, sangat berbeda, karena Partai Demokrasi mempunyai manifesto-nya sendiri, dengan dibuka: “Ada hantu gentayangan tepat di depan kaum fasis dan oligark, hantu para pemilih.” Partai Demokrasi bahkan tidak ikut pemilihan umum di semua tingkatannya. Ia hanya akan memastikan setiap suara akan dihitung sesuai dengan semestinya. Tentu ia akan juga mengajak tanpa henti supaya suara yang ada di tangan dapat dan mau dipergunakan. Intinya, dalam rentang peristiwa pemilihan, Partai Demokrasi akan mengawal ketat dari input, proses, dan output-nya.

Jika tentara mengawal kedaulatan republik dari serangan luar, maka Partai Demokrasi akan berdiri paling depan mengawal kedaulatan rakyat dengan mengawal suara para pemilih sebagai salah satu tugas utamanya. Memastikan tidak hanya suara dihitung secara semestinya, tetapi juga selalu siaga terhadap potensi serangan dari luar pada kedaulatan pemilih, termasuk di sini dan terutama dari penguasa.

Semboyan Partai Demokrasi adalah: Demokrasi Ilmiah! Semboyan ini untuk membedakan dengan ‘demokrasi utopia’. ‘Demokrasi utopia’ yang lebih didasarkan pada ‘maksud baik’, dan juga seakan-akan ketika lembaga-lembaga pendukung demokrasi itu sudah ada maka demokrasi akan berjalan dengan baik-baik saja. Berjalan sesuai dengan yang dimimpikan. Yang dimaksud dengan ‘demokrasi ilmiah’ adalah soal bagaimana demokrasi itu dikawal oleh manusia-manusia kongkret dengan bantuan bermacam pengetahuan. Dari program komputer, sejarah, statistik, bahasa, sampai pada psikologi manusia. Dari sifat-sifat manusia sampai dengan sifat-sifat binatang. Karena kadang yang ditemui memang wujud manusia, tetapi sifat dan perilakunya tak jauh dari binatang. Pengetahuan sebagai alat bantu utama dalam mengawal pemilihan misalnya, baik di input, proses, maupun output-nya. Maka bisa dibayangkan bahwa Partai Demokrasi jika memakai istilah manajeman, ia akan memposisikan diri ada dalam dinamika ‘quality assurance’ dalam sebuah ‘rantai produksi’ kedaulatan rakyat. Dan dinamika ‘quality assurance’ tidaklah mungkin bermanfaat dalam jangka panjang jika sifatnya ad hoc saja. Pihak mana yang akan mengelola kedaulatan dalam kurun waktu tertentu, silahkan saja, tetapi ia semestinyalah menapak jalan demokrasi yang berkualitas.

Tetapi ini adalah ranah negara, yang tentara misalnya dalam menghadapi serangan dari luar ia punya senjata. Lalu apakah senjata Partai Demokrasi selain pengetahuan? Itu adalah jaringan! Baik jaringan dari ‘dalam negeri’ maupun jaringan luar negeri, jaringan internasional. Maka manifesto Partai Demokrasi-pun ditutup dengan: “Para pemilih seluruh dunia, bersatulah!*** (09-03-2024)

1394. Triliunan Kegilaan

10-03-2024

Bar code memang sudah dimulai otak-atiknya sejak tahun 1949. Tetapi baru pada sekitar 1973-an dipakai secara resmi di AS sono. Alvin Toffler memakai bar code dalam pemakaiannya di supermarket-supermarket untuk menggambarkan bagaimana power shift terjadi. Sebuah pergeseran power yang didasarkan karena supermarket-supermarket menjadi segera saja tahu mana produk lebih disukai oleh pelanggan. Sebelumnya pihak produsen lebih tahu soal informasi tersebut.

Triliunan kegilaan adalah merebaknya kegilaan sebuah korupsi, ngemplang, ngunthet, nguntal-nggaglak, dengan jumlah gigantisnya: triliunan rupiah, atau jutaan-milyar dollar AS. Dari hari-ke-hari semakin nyata pergeseran terjadi. Dari kecil-kecilan, kemudian jutaan-puluhan-ratusan juta, kemudian milyaran-puluhan-ratusan milyar, dan sekarang semakin menampakkan diri, sudah biasa tuh: triliunan. Terjadi pergeseran kegilaan, madness shift.

Dalam komunitas dengan power distance tinggi (Hofstede), pergeseran kegilaan ini bisa dipastikan akan sangat terkait dengan ‘power shift’, dengan aktor utamanya adalah pemimpin-nya. Jika di setiap pemimpin ada bar code di keningnya, atau di tengkuknya, kira-kira barisan ‘coding’-nya akan berbunyi seperti apa? Konon setelah dilakukan penelitian intensif, ternyata ‘batang-coding’ terbesar di dalamnya tersembunyi kata-kata: tidak-punya-kehormatan. Masih ada ‘batang coding’ yang lebih kecil berbaris di kanan-kirinya, tetapi memang yang terbesar: tidak-punya-kehormatan. *** (10-03-2024)