1280. Dosen Serius dan Yang Banyak Dagelan

09-11-2023

Ada beberapa jenis dosen, ada yang serius: jika ada waktu 60 menit untuk memberikan kuliah, 50 menit ia gunakan full untuk ‘transfer’ pengetahuan, sedang 10 menit ia gunakan untuk mendukung ‘tehnik’ pengajaran, entah untuk mencairkan suasana atau apalah yang diajarkan dalam ‘kursus menjadi dosen yang baik’. Ada jenis dosen yang lebih banyak ndagel-nya. Dari luar ruang kelas sering terdengar keriuhan yang berasal dari dalam ruang kuliah. Riang-gembira. Dari 60 menit, hampir 40 menit ia gunakan untuk ber-riang gembira, dan hanya 20 menit digunakan untuk ‘transfer’ pengetahuan. Jika kemudian ada pemilihan dosen favorit, siapa yang akan dipilih?

Dosen yang banyak dagelan itu kemudian membentuk tim pemenangan pemilihan, dan tim kemudian mulai bekerja dengan melempar ‘jembatan keledai’ untuk digunakan dalam menentukan pilihan. Salah satu yang terdepan sebagai ‘jembatan keledai’ adalah: membosankan. Soal membosankan dan yang tidak. Maka dengan ‘kaca-mata’ atau ‘bingkai’ membosankan atau tidak itu, diharapkan ‘dosen serius’ akan masuk dalam kategori ‘membosankan’ dan kalah dalam pemilihan. Bahkan hobi nonton film porno yang (terlanjur) diakui secara terbuka oleh dosen yang banyak dagelan itupun akan dimasukkan dalam bingkai pernak-pernik-nya perilaku yang tidak membosankan! Lupa bahwa jika pengakuan terbuka di depan publik itu kemudian diputar ulang dan diputar ulang akan merepotkan ibu-ibu yang masih mempunyai anak-anak yang masih di bawah umur. Atau guru-guru SD-SMP, bahkan SMA. Karena terlalu banyak dagelan-nya bahkan sampai lupa mana hal yang privat sifatnya, dan mana hal publik.

Yang menjadi masalah dalam pemilihan, salah satunya seperti ditunjukkan Arnold J. Toynbee dalam psikologi perjumpaan kebudayaan-kebudayaan. Dikatakan oleh Toynbee, daya tembus sebuah pancaran budaya biasanya berbanding terbalik dengan nilai budaya sinarnya.[1] Jadi bisa kita bayangkan sepenting atau sebagus apapun itu adu gagasan, bisa-bisa akan lebih ‘sulit-menembus’ kesadaran khalayak dibanding dengan hal-hal ‘remeh-temeh’ lainnya. Padahal jika kita bicara soal ‘kematangan demokrasi’ tentu kita bayangkan bukan yang ‘remeh-temeh’ itu yang maju terdepan.

Jika pendapat Toynbee kita teruskan bacaannya, sedikit banyak Toynbee menyinggung soal ‘hasrat’. Dikatakan oleh Toynbee: “Suatu sinar yang tidak berarti menimbulkan tahanan yang kurang pada kelompok masyarakat yang diserangnya daripada yang ditimbulkan oleh sebuah sinar penting, sebab sinar yang tidak berarti tadi tidak mengancam membawa gangguan yang hebat atau yang menyakitkan kepada cara adat hidup kelompok yang diserang itu.[2] Bahkan jika kita lihat pendapat Amy Chua, ke-status-quo-an, ke-tribal-an manusia itu menunjukkan bahwa the tribal instinct is not just an instinct to belong. It is also an instinct to exclude.”[3]

Skandal Cambridge Analytica yang terjadi saat pilpres di AS tahun 2016 menunjukkan bagaimana eksploitasi ‘hasrat’ ini bisa masuk bahkan ke ruang-ruang yang sungguh privat melalui jaringan sosial media, saat itu terutama melalui jaringan Facebook yang jutaan data penggunanya bocor. Dengan algoritma tertentu ‘profil psikologis’ pengguna bisa dikelompok-kelompokkan dan dengan itu dikirimkanlah pesan-pesan sesuai dengan profil psikologisnya. Apa yang dibayangkan oleh Herbert Marcuse soal ‘one-dimensional man’ seakan kembali menguat justru ketika kesempatan ‘inter-subyektifitas’ semakin menguat melalui jaringan media sosial. Hal yang tak jauh berbeda dengan yang dicapai oleh Komite Creel saat pemerintah Woodrow Wilson mencari dukungan rakyat AS sono untuk ikut terlibat dalam Perang Dunia I, di tengah-tengah puncak modus komunikasi man-to-mass.

Maka dalam ‘gambar besar’-nya, hari-hari ini kita semakin melihat bagaimana ‘semangat jaman’ tentang hal-hal etis mendapat lawan yang sungguh menggelisahkan: fanatisme. Keduanya sama-sama membesar melalui jaringan komunikasi digital-internet. Pertarungan antara ‘akal sehat’ dan gejolak ‘gumpalan hasrat’. *** (09-11-2023)

[1] Arnold J. Toynbee, Psikologi Perjumpaan Kebudayaan-kebudayaan, dalam Y.B. Mangunijaya (ed), Teknologi dan Dampak Kebudayaannya, Vol 1, YOI, 1987 cet-2, hlm. 79-80

[2] Ibid hlm. 80

[3] Amy Chua, Political Tribes, Penguin Books, 2019, hlm. 1

1281. Ada Raipublik Rasa Raigedek ...

09-11-2023

https://twitter.com/sudjiwotedjo/status/1722263509755736126

The following media includes potentially sensitive content

Tjancuuk Mbah ..ekekekke

https://twitter.com/mfsa75/status/1722381698145595589

Membangun itu memang perlu memasang tembok... apalagi membangun dinasti..perlu muka tembok

https://twitter.com/papanedu/status/1722403046746128811

Tenang mbah saya ada disini

https://twitter.com/wijayafound/status/1722319071214248447

Cocok kalimatmu Jo, tumben waras bingit sampean wkekeeekekwk

https://twitter.com/Dimasjoko12/status/1722386605137379566

1282. Dosen Serius dan Yang Banyak Dagelan (2)

11-11-2023

How did ‘Social Justice Warrior’ Become an Insult?” Demikian Stark Raving menulis tentang SJW, tiga tahun silam.[1] Ada bagian menarik dalam tulisan tersebut, ditulis Raving: “Why is there this persistent myth that those who do good things are boring, annoying or even morally questionable?” Pernyataan ini jelas tidak mengada-ada, contoh jelas yang jadi fokus tulisan tersebut, ‘nasib’ pejuang keadilan sosial di beberapa kalangan tertentu. Tetapi ingat, apa pendapat anda soal lukisan Van Gogh yang dilempar cat oleh para aktivis lingkungan beberapa waktu lalu? Tentu ini sebaiknya tidak juga membuat ‘nasib’ aktivis lingkungan terus dimasukkan ‘golongan’ SJW dalam konotasi olok-oloknya. Jika dari waktu-ke-waktu ditemukan saja olok-olok atau nyinyir-an terhadap yang berjuang untuk kebaikan, mengapa itu bisa terjadi?

Dari Paulo Freire kita bisa banyak belajar, salah satunya mengapa fanatisme bisa merebak, yaitu ketika pada ‘tahap’ kesadaran transitif-naif tidak juga beranjak ke kesadaran transitif-kritis.[2] Di tahun sekitar dekade 1960-an itu Freire mengamati bahwa hal tersebut justru terjadi di kota-kota besar di Brasil. Dari segi bagaimana ‘tingkat’ pemenuhan kebutuhan dasar-nya, bisa dikatakan yang ada di kesadaran transitif-naif itu katakanlah sudah tidak terlalu disibukkan akan pemenuhan kebutuhan dasar. Atau dalam konteks tulisan ini, nampaknya yang lebih mungkin mengolok-olok who do good things sebagai boring, annoying or even morally questionable, lebih dari ‘segmen’ sekitar ini, yang dengan kesadaran transitif-naif. Tetapi benarkan ini hanya masalah ‘ke-kritis-an’? Dari ilmu soal ‘mirror neuron systems’ yang berkembang sekitar 40 tahun setelah Freire mengamati bermacam kesadaran di atas, kita bisa semakin memahami penampakan ini. Dan ini adalah soal ‘tiru-meniru’. Apa yang ada di depan kita seakan mendapatkan ‘bayangan’-nya dalam mekanisme otak kita, dan siap kita tiru. Tetapi bagaimana jika hal tersebut justru membuat ‘rasa tidak nyaman’? Maka olok-olok-lah salah satu ‘jalan keluar’-nya, apalagi ia sudah ada dalam ‘kondisi matang’ untuk sebuah fanatisme. Bagaimana-pun soal sakit dan bebas dari rasa sakit merupakan salah satu ‘insting’ dasar dari makhluk hidup. Apalagi jika ingat pendapat Hermann Broch soal ‘kesadaran temaram’, twilight state itu. Di tengah-tengah ‘kegundahan’ hadirnya jalan sulit dan bahkan keras dari para who do good things – masuk dalam otaknya melalui mekanisme mirror neuron systems, dan ‘kegagalan’ dalam masuk ke ‘kesadaran kritis’ maka tawaran dari para propagandis misalnya, dalam bentuk olok-olok itu, akan dengan cepat akan diambil juga demi ‘ketenangan jiwa’-nya.

Apakah ada perbedaan dalam mekanisme mirror neuron systems ini jika ada dalam ‘modus kerumunan’ dan ‘modus face-to-face’? Nampaknya pendapat Toynbee soal ‘hukum terbalik’ dalam psikologi perjumpaan kebudayaan-kebudayaan bisa dipakai di sini. Dalam ‘modus kerumunan’ seperti dikatakan Toynbee, justru ‘sinyal’ yang tidak berarti yang akan ditangkap oleh khalayak. Dalam pertemuan face-to-face-pun sebenarnya bekerja prinsip itu, tetapi itu lebih mungkin untuk ‘dinetralisir’ dengan intensitas dialog. Juga dalam pertemuan face-to-face, seperti dikatakan Levinas, hadir juga hal etis.

Yang terakhir adalah soal ‘kambing hitam’ seperti dikatakan oleh Pierre Bourdieu dalam teori segitiga-hasrat-nya. Bisa-bisa dalam ‘modus kerumunan’ itu yang terjadi adalah ke-mabuk-an dalam perayaan ‘penyembelihan’ si-‘kambing hitam’. Dalam pertemuan face-to-face, soal ‘kambing hitam’-pun akan membayang juga. Tetapi ini akan lebih bisa ‘dikendalikan’ untuk tidak masuk ke level ‘mabuk-mabuk’-an karena hal etis juga hadir di situ. Semestinya. *** (11-11-2023)

[1] https://starkraving.medium.com/how-did-social-justice-warrior-become-an-insult-ce1505c03666

[2] https://www.pergerakankebangsaan.com/154-Manipulasi-Di-Tiga-Lapangan-2/ lihat juga no. 153 dan 155

1283. Lima Tahun Lalu: "Bocor ... Bocor ... Bocor ..."

12-11-2023

Lima tahun lalu: “Bocor … bocor … bocor …” Dan selama lima tahun kemudian: korupsi merebak gila-gilaan. Yang hadir saat kampanye pemilihan presiden tahun lalu, dan menemukan jejak digital saat kebocoran anggaran itu menjadi bahan olok-olok, apa yang dirasakan saat melihat jejak digital (lagi) peristiwa tersebut? Atau saat ingat ketika ia ikut dengan suara kerasnya menimpali olok-olok itu? Dengan keras dan penuh kepuasan ia bersama lainnya berteriak: “Bocor … bocor … bocor …” Tanpa beban. Sekarang ia setelah melihat jejak digital itu berulang dan berulang akankah ia menyesal? Ataukah ia akan mengatakan, itu toh hanya tehnik kampanye saja … Tetapi benarkah hal teknis itu bisa dengan mudahnya meminggirkan hal esensi? Apakah kita begitu bodohnya? Bodoh? Bukankah ada jejak digital lain: dalam satu ruang besar sedang menunggu hasil pemilihan, tampak wajah-wajah suram-gundah-kelana melihat perolehan suara jagoannya? Wajah-wajah sebelum …. sim salabim ….adakadabra! Kecerdasan khalayak itu nampaknya sedang dirampok secara brutal …., tidak hanya di proses, tetapi juga di output-nya. Bahkan sekarang juga di-input-nya. Semakin komplit brutal-nya.

Adanya sinyalir dari Hermann Broch soal kesadaran temaram -twilight state, menjadikan manusia mempunyai lubang besar dalam ranah politik misalnya. Maka jika hidup bersama ingin maju, tidak ada jalan lain selain melahirkan pemimpin yang sekaligus mampu sebagai salah satu dari sang-penjelas yang mumpuni. Sebagai sang-penjelas ia bisa ikut mendorong kemajuan hidup bersama, terlebih dalam hal memajukan horison. Dan bukan justru memerangkap khalayak dalam bermacam ilusi. Dari kata-per-kata nampaknya beberapa hal tersebut mungkin akan banyak yang mengatakan ya memang sudah semestinya. Tetapi dalam praktek terlebih dalam praktek kuasa, dua hal tersebut bisa-bisa merupakan pertarungan yang tidak ada habis-habisnya. Dengan bermacam konsekuensi gelapnya. Jika abad-20 ada yang menyebut sebagai ‘abad ideologi’, akankah abad-21 yang banyak berharap sebagai ‘abad-etika’ adalah sebagai ‘penyeimbang’-nya? Jangan pernah meyakini bahwa ideologi itu tidak punya bablasan-nya sendiri. Potensi ‘ketidak-terkendalian’ nya sendiri-sendiri. Ataukah justru kita menjadi terperosok dalam ‘abad-ilusi’? Sang-penjelas malah di-olok-olok, tetapi model kucluk kayak sik-Trump itu justru yang dielu-elukan? *** (12-11-2023)

1284. Anies B. dan AI

14-11-2023

Ada yang menarik dalam salah satu unggahan Anies B –salah satu calon presiden, yaitu yang terkait dengan soal sain-teknokrasi, dan bagaimana harus bersikap terhadap hal tersebut dalam ranah negara. Secara garis besar, Anies ingin menandaskan bahwa yang namanya sain itu tidak hanya akan memperbanyak pilihan-pilihan, tetapi juga akan memberikan juga pilihan-pilihan baru. Lalu siapa yang akan memilih diantara sekian pilihan-pilihan itu? Nah ini yang ingin ditekankan oleh Anies, tidak lain adalah si-pembuat keputusan, manusia-manusia konkret yang sedang mendapat kesempatan untuk mengelola negara. Bukannya negara memutuskan dulu, terus minta si-ahli sain untuk memberikan legitimasinya. Apa yang ditekankan oleh Anies ini sangat penting, terlebih sekarang dan ke depannya apa yang disebut sebagai Artificial Intellegence itu akan berkembang pesat. Bagaimana kita bersikap dengan berkembangnya AI ini? Ya semestinya seperti di gambarkan oleh Anies di atas, AI -apapun itu, akan membantu kita juga dengan memberikan pilihan-pilihan.

Dalam keseluruhan pendapat Anies itu segera nampak bagaimana sain di tempatkan pada tempat terhormat, tetapi jelas juga kita tidak kemudian jatuh pada penghayatan sain sebagai satu-satunya pertimbangan dalam membuat keputusan. Rekam jejak dalam pembangunan Kampung Susun Akuarium yang memperoleh perhargaan “Sustainable Consumption and Production Innovation Award’ itu menunjukkan bagaimana itu tidak hanya soal berapa besi beton yang harus digunakan sesuai dengan kaidah sain soal bangunan bertingkat, misalnya. Apa yang digambarkan Anies di atas juga bisa kita lihat bagaimana ‘paradigma proses’ itu dibayangkan akan menggeser ‘paradigma output’.

Bertahun terakhir kita seakan hidup tidak hanya dalam ugal-ugalannya ‘paradigma output’ yang dibanyak halnya justru ditemukan adanya kebrutalan dalam proses-nya, tetapi juga eksploitasi yang tidak habis-habisnya soal ‘output’: tahun 2045 kita akan menjadi bangsa bla … bla … bla! Kita khalayak kebanyakan diminta untuk kenyang dalam ilusi, sementara ada-banyak yang kemarin, hari ini, dan besok-besoknya selalu pesta pora dalam korupsi. Tak habis-habisnya, tanpa beban. Dari pengalaman-pengalaman bertahun terakhir, sungguh sebuah ironi ketika politisi bicara soal ‘masa depan’ kita sebagai khalayak kebanyakan justru sebaiknya ‘pasang kuda-kuda’: orang ini sedang mabuk ngibul, atau sedang pasang tirai asap, atau bahkan sedang menyebar ilusi?

Masa depan dibicarakan itu pertama-tama adalah untuk di-antisipasi, bukan untuk berternak ilusi. Dan dalam antisipasi itu akan melibatkan soal input dan proses. Membayangkan masa depan akan seperti bla .. bla … bla, tetapi input-nya sekelas bocah ingusan ya sama saja bohong. Maka sebenarnya yang masih punya ‘hak moral’ untuk bicara masa depan terkait kepentingan khalayak kebanyakan adalah yang sungguh paham dan menghormati langkah-langkah dalam ber-proses. Hanya input seperti inilah yang akan membuat kemajuan yang genuine -really proceeding from its reputed source,[1] bagi khalayak kebanyakan. Bukan hanya bagi dirinya dan komplotannya saja, yang sudah keranjingan me-manipulasi khalayak dengan bermacam ilusi itu. *** (14-11-2023)

[1] https://www.etymonline.com/search?q=genuine